Jumat, 01 September 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 18. Part 3: Pengkhianatan Bag. 2

Joni di sebelahku gugur. Salah-satu belati anggota Brigade Tong menembus perutnya, dia terkapar di lantai. Tubuhnya kotor oleh darah, debu dan tampias air hujan. Aku menelan ludah. Di luar bangunan sana, terdengar perkelahian yang lebih seru. Letnan dan tukang pukul Keluarga Tong telah tiba, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Saat puluhan jeep itu tiba di halaman parkir, ratusan anak buah putra tertua Keluarga Lin dan anggota Brigade Tong menyerangnya. Tanpa sempat bersiap-siap, mereka seperti roti yang diremas, berguguran satu-persatu.
Kondisi Tauke Besar buruk, dia terlihat tidak bergerak di atas ranjang, dia tidak mampu membantuku lagi dari belakang dengan pistol. Aku tidak tahu di mana Parwez, mungkin bersembunyi ketakutan di belakang tumpukan bantal.
Tere Liye : Pulang

“Menyerahlah, Bujang. Aku tidak ingin membunuhmu. Serahkan Tauke Besar kepadaku. Aku akan memastikan Tauke dieksekusi dengan cepat.” Basyir menatapku merendahkan, “Bukankah itu selalu isi pesanmu? Habisi dengan cepat, agar korban tidak menderita. Bujang yang sentimental, tukang pukul yang berhati lembut. Bagaimana kau akan mengalahkanku dengan hati selembek itu?”
Aku berusaha berdiri, memasang kuda-kuda baru dengan kaki terluka. Untuk kesekian kalinya aku harus melangkah mundur. Tubuhku tinggal setengah meter lagi dari ranjang Tauke. Aku terkepung. Basyir, dan belasan anggota Brigade Tong mengepungku. Tubuh Joni tergeletak di antara kaki-kaki mereka. Putra tertua Keluarga Lin menatap dari lubang dinding, dia tersenyum penuh kemenangan.
“Kau benar-benar keras kepala, Bujang. Buat apa lagi kau melawan? Orang tua itu layak menerima hukuman dariku, hah? Biarkan dia menyaksikan, kau, anak kesayangannya, akhirnya menyerahkan dia kepada pengkhianat!”
Aku menggeram, aku tidak akan lari dari pertarungan. Jika malam ini aku ditakdirkan mati, maka aku akan mati dengan seluruh kehormatan. Pedangku teracung ke depan, aku akan memberikan perlawanan dengan sisa tenaga terakhir.
“Baiklah, Bujang. Kau sendiri yang menginginkannya, aku akan menghabisimu.”
Tubuh tinggi besar Basyir menyerangku, dia berseru buas, khanjarnya menyasar kepala, aku menangkisnya dengan pedang. Tenagaku sudah lemah, pedang terlepas dari tanganku, berkelontang di lantai. Tangan kosong Basyir meninju daguku, tanpa bisa kuhindari, tubuhku terpelanting ke belakang, mendarat di ranjang Tauke Besar.
Basyir ganas mengacungkan belatinya, tanpa ampun hendak menikam leherku. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Aku menatap ujung belati yang berkemilauan.
Saat itulah, dengan sisa tenaga, Tauke Besar mengangkat tangannya, matanya yang sejak tadi tertutup, memicing, tangan lemahnya gemetar menggenggam pistol milik Parwez yang masih memiliki peluru, mengacungkannya ke pelipis Basyir.
Dor! 
Basyir adalah tukang pukul terlatih, dia masih sempat melihat pistol yang teracung, dia berkelit lihai, peluru meleset, hanya menyerempet bahunya. 
Tapi itu lebih dari cukup bagi Tauke, aku selamat, serangan Basyir kepadaku terhenti. Itu juga memberikannya lima detik waktu yang sangat berharga. Saat Basyir tertahan di depan sana, berteriak marah karena kaget, satu tangan Tauke yang menggenggam benda kecil seperti remote control, menekan tombol darurat terakhir. Tauke memang menungguku terjatuh di atas ranjang, agar dia bisa membawaku. Saat tombol itu diaktifkan, lantai di bawah tempat tidur merekah, terbentuk sebuah lorong miring, ranjang meluncur turun, membawaku, Tauke Besar dan juga Parwez. Cepat sekali kejadiannya, sedetik kemudian, lantai itu kembali menutup rapat, menyisakan Basyir yang berteriak kalap. Juga putra tertua Keluarga Lin. 
Bom yang ditanam di dinding kamar tidur meledak, menghentikan teriakan marah Basyir. Susul-menyusul. Belasan anggota Brigade Tong terlempar, hanya beberapa diantara mereka yang reflek tiarap berlindung yang selamat, termasuk Basyir dan putra tertua Keluarga Lin. Debu memenuhi kamar itu. Dindingnya hancur di semua sisi. Hujan deras menyiram kamar, membuat lantai semakin berantakan.
Sepuluh detik, ranjang Tauke Besar telah melewati lorong miring dua puluh puluh meter, akhirnya berhenti di basemen bangunan yang landai. Itu jalur darurat yang disiapkan oleh Kopong. Sejak kejadian di kota provinsi dulu, Kopong memutuskan membangunnya diam-diam, tidak hanya memasang bom di dinding, juga lorong evakuasi otomatis. Hanya Tauke Besar yang tahu. Aku bahkan tidak menduganya, aku tadi sudah bersiap menyambut khanjar Basyir.
Ruangan di sekitar kami gelap.
Aku hendak meraih telepon genggam di saku. Tidak ada. Teleponku terjatuh saat perkelahian melawan Basyir.
“Telepon genggammu, Parwez!” Aku berseru.
Gemetar Parwez menyerahkan telepon genggamnya.
Dengan cahaya terbatas dari layar telepon genggam aku memeriksa kondisi Tauke.
“Tauke baik-baik saja?” Bertanya cemas.
Tauke tertawa pelan, “Siapa pula yang akan baik-baik saja setelah pengkhianatan…. Buruk, Bujang. Buruk sekali. Badanku seperti mati rasa oleh sakit tulang punggung sialan ini, belum lagi komplikasi penyakit lain. Maafkan orang tua ini, aku tidak bisa membantu banyak.”
“Kemana Kopong membangun lorong ini berakhir?” Aku bertanya, mengabaikan keluhan Tauke. Waktu kami terbatas. Cepat atau lambat Basyir akan menyuruh anak-buahnya mencari kami, menghancurkan pintu besi di atas lorong.
“Ke halaman rumah seorang kawan.” 
“Berapa panjangnya?”
“Dua ratus meter. Lurus ke utara.” Tauke terbatuk, dari mulutnya keluar darah.
“Kau terluka, Tauke?” 
Tauke menggeleng, “Pergilah Bujang, Parwez, tinggalkan aku di sini. Aku hanya akan menghambat kalian. Batuk sialan ini sudah tiba di ujungnya, aku tidak akan bertahan lama. Kalian harus selamat, menyusun kekuatan selagi bersembunyi beberapa waktu. Kau adalah sebenarnya Tauke Keluarga Tong sekarang, Bujang. Kau harus merebut kembali markas besar.”
Aku menggeleng, aku tidak akan meninggalkan Tauke Besar.
“Kau pegang telepon genggam, Parwez.” 
Aku melemparkan telepon genggam. Parwez menangkapnya.
Tubuhku sebenarnya remuk, badanku dipenuhi oleh luka, tapi aku tidak akan meninggalkan Tauke Besar di sini, membiarkan dia ditemukan oleh Basyir atau putra tertua Keluarga Lin. Aku meraih tubuh Tauke, aku akan menggendongnya keluar lorong. Kami harus bergegas pergi.
Tauke terbatuk beberapa kali, dia hendak menolaknya, tapi kondisinya semakin payah, terkulai di punggungku. Entahlah, aku tidak sempat memeriksanya, aku sudah melangkah melewati lorong dengan cahaya dari telepon genggam Parwez.
Lantai lorong itu basah, beberapa tikus berlarian saat kami melintas. Panjang lorong itu persis yang dikatakan Tauke, hampir dua ratus meter, lurus terus mengarah ke depan. Seratus meter pertama aku terjatuh di lantai lorong, tenagaku hampir habis. Tersengal, membujuk kakiku agar bertahan. Parwez menatapku cemas, dia menawarkan membantu menggendong Tauke. Aku menggeleng, aku bisa melakukannya. Adalah tugasku menjaga Tauke dengan nyawaku.
Kami melangkah lagi, perlahan-lahan melanjutkan perjalanan. Tiba di ujung lorong, mendongak ke atas. Ada tangga besi yang menghubungkan lorong ini dengan permukaan. Itu menjadi bagian yang paling sulit. Aku harus menggendong Tauke naik ke atas.
Tanganku gemetar memegang besi yang lembab. Kakiku terasa sakit sekali setiap digerakkan. Aku terus membujuk kakiku agar bisa bertahan, terus naik satu demi satu anak tangga. Mendesis, menggigit bibir setiap rasa sakit menusuk hingga kepala. Lima menit, aku akhirnya berhasil tiba di atas, mendorong penutup besi—yang ternyata mudah dibuka, aku sudah khawatir itu terkunci.
Kami tiba di atas hamparan rumput yang terpotong rapi, halaman asri sebuah rumah. Tubuhku terkulai, tenagaku sudah habis. Tauke Besar terjatuh di sebelahku. Parwez berseru cemas. 
Mata nanarku menatap ke depan, antara sadar dan tidak. Pintu rumah kecil itu terbuka, dari dalamnya, seseorang yang mengenakan sorban putih, berbaju putih mendekat. Wajah tua itu menatapku, janggut putihnya bergerak samar, aku hampir pingsan.
“Agam, kau tidak apa-apa, Nak?”
Hanya sedikit sekali orang yang tahu namaku. Lebih banyak hanya memanggilku, Bujang, atau memanggil julukanku, Si Babi Hutan.
Tapi orang tua yang mendekat itu menyebut nama asliku.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar