Sabtu, 09 September 2017

Tere Liye : Pulang

BAB 23 Part 1. Lantai Dua Puluh Lima
Setengah jam sebelum tengah malam, se
mua tukang pukul telah berganti pakaian, menyiapkan senjata masing-masing, beberapa dari mereka juga mengenakan alat komunikasi di kepala, White yang menyediakannya, peralatan standar marinir agar bisa saling mengontak saat perang. Togar dan dua Letnan menjabat tanganku. Aku mengangguk. Mereka melompat ke dalam mobil jeep, mereka sudah siap, mobil jeep bergerak meninggalkan pelabuhan. 
Di saat yang bersamaan, White dan sebelas marinir berlarian menaiki helikopter. Baling-baling helikopter berputar kencang, membuat butir air hujan tersibak. White mengacungkan tangannya, aku balas mengacungkan tangan, pilot menggerakkan tuas kemudi, helikopter itu mulai naik meninggalkan parkiran pelabuhan, menuju gedung kantor Parwez. 
Tere Liye : Pulang

Aku dan si kembar naik ke salah-satu mobil jeep, Parwez memutuskan ikut bersamaku. Dia terlihat cemas, gugup, tapi tetap memaksa untuk ikut, tidak mau disuruh menunggu di pelabuhan. Aku menyetujuinya. Mobil jeep yang kukendari melintasi gerbang, bergabung dengan konvoi.
Tanpa proses pelepasan, kami berangkat menuju arena perang.
Jalanan ibukota lengang, tidak banyak orang yang tertarik berada di luar saat hujan gerimis, mobil-mobil kami melaju tanpa hambatan. 
“Tidak bisakah kalian berhenti mengganggu Parwez?” Aku berseru dari balik kemudi.
Sepanjang perjalanan Parwez menjadi bulan-bulanan bergurau si kembar.
Si kembar baru pertama kali bertemu Parwez. Kiko sedang santai meminjamkan shuriken kepada Parwez, bintang ninja, Parwez menolak memegangnya. Di mata Parwez, senjata itu terlihat mematikan, ujung-ujungnya tajam, terlihat jelas di bawah cahaya lampu jalanan. 
“Ayolah, kau pegang, ‘India’. Ini hanya mainan. Meski kadang aku mengoleskan racun di ujungnya, yang bisa membuat lumpuh seekor gajah.” Kiko tertawa, tidak mendengarkan—dia memanggil Parwez ‘india’.
Parwez menggeleng. Semakin jerih.
“Kau penakut sekali untuk seseorang yang sudah sebesar ini.” Kiko terlihat pura-pura kecewa. Yuki yang duduk di sebelahku ikut tertawa.
“Lantas apa hal hebat yang bisa kau lakukan untuk Keluarga Tong?” Kiko menyelidik, matanya berkerjap-kerjap, bando hello kitty melengkapi tingkahnya.
“Dia pimpinan bisnis, Kiko. Satu tanda-tangannya seharga triliunan rupiah.” Aku berseru kesal, mobil jeep terus melesat dalam konvoi panjang.
“Oh ya? Aku tidak percaya. Dia memegang shuriken saja gemetar, bagaimana dia akan menanda-tangani kertas senilai itu, mungkin sudah terkencing di dalam celana.” Kiko menggeleng-geleng.
Wajah Parwez terlihat merah-padam. Tersinggung. Tapi hanya bisa diam.
Kalau saja situasinya lebih baik, aku akan menimpuk Kiko di kursi belakang dengan telepon genggam, dalam situasi apapun, anak itu selalu saja bermain-main, semaunya saja. Dia lebih parah dibanding Yuki, yang kadang masih mendengarkanku, menganggapku layak dihormati.
“Atau kau mau melihat senjataku yang lain? Pedang?” Kiko meraih kotak panjang yang dia bawa dari Jepang, hendak membuka tutupnya. 
“Hentikan, Kiko!” Aku berseru.
“Cek, Bujang. Kau mendengar suaraku?”
Suara di alat komunikasi lebih dulu memotong sebelum aku benar-benar jengkel kepada Kiko.
“Cek, White. Aku mendengarnya, loud and clear. Kau sudah ada dimana?”
“Poisis kami dua menit, ETA. Kami siap mendekati sasaran.”
“Tahan, White. Tunggu perintah dariku.” 
“Iya, kami akan berputar di atas target.”
Aku memperhatikan layar GPS mobil yang kukemudikan. Anak panah hijau, kecepatan dan sisa jarak tempuh terlihat di layar. Konvoi mobil jeep masih sepuluh menit dari gedung kantor Parwez. White harus menunggu. Serangan marinir dari atas harus serempak dengan serangan tukang pukul dari bawah. Itu akan membuat fokus mereka terpecah.
“Masukkan pedang itu ke dalam kotak, Kiko!” Aku teringat sesuatu.
“Ayolah, Bujang. Aku hanya memperlihatkannya pada ‘india’.”
“Aku serius, Kiko. Masukkan pedangnya.” 
“Baiklah!” Kiko bersungut-sungut, “Kau lama-lama mirip sekali dengan orang tua itu. Cerewet.”
Yang dimaksud Kiko ‘orang tua itu’ adalah Guru Bushi. Wajah Parwez sedikit lega setelah pedang itu kembali dimasukkan. Tapi aku tidak terlalu memperhatikan Parwez, konsentrasiku ada di kemudi. 
Delapan menit, konvoi mobil jeep akhirnya tiba di jalan protokol. Gedung tiga puluh lantai itu sudah terlihat dari kejauhan, berada diantara pencakar langit lainnya, rimba beton ibukota.
“Cek, kau mendengarku, Togar?” Aku berbicara lewat alat komunikasi.
“Iya, Si Babi Hutan. Aku mendengarnya.” 
“Kalian sudah siap, Togar?” 
“Lebih dari siap, Si Babi Hutan.”
“Cek, White, kau sudah siap di atas sana?”
“Aye-aye, Bujang.”
Jarak konvoi mobil jeep tinggal dua ratus meter. Aku juga bisa melihat helikopter White yang mendekat, terbang dari arah selatan, siap menyerang.
Aku menghela nafas. Inilah saatnya, kami tidak bisa lagi melangkah mundur. Inilah saatnya, peperangan akan segera dimulai. Demi kehormatan Keluarga Tong, aku akan membalas sakit hati kematian Tauke Besar, Joni dan anggota keluarga lainnya. Aku mencengkeram kemudi, sekarang!
“SERANG, Togar! White!” Aku berseru.
“Laksanakan, Si Babi Hutan!” Togar mengangguk, satu detik kemudian, lewat alat komunikasi dia memerintahkan mobil jeep paling depan, paling besar, paling kokoh, yang dilengkapi alat penghancur tembok di bemper depan, melesat lebih cepat. Mobil itu menghantam gerbang gedung, membuatnya patah dua, empat tukang pukul yang membelot kepada Basyir yang berjaga di sana berseru kaget, mereka tidak sempat menyelamatkan diri, dua diantaranya dilindas mobil.
Mobil jeep itu terus melaju, melewati taman, naik ke trotoar pejalan kaki, suara mesinnya meraung kencang, tiba di lobi tempat menurunkan penumpang, menabrak kaca besar, hancur lebur, kepingan kaca berguguran. Pengemudinya tidak mengurangi kecepatan, melaju di dalam ruang besar tempat resepsionis gedung, menabrak apa saja yang ada di sana. Meja-meja, kursi, tanaman hias, semua jungkir balik. Puluhan tukang pukul pembelot yang ada di sana berseru-seru, mereka menghindar. 
Belasan mobil jeep lain juga telah tiba di ruang lobi gedung, berhenti sembarangan, lantas Togar, dua Letnan dan anak-buahnya berloncatan, mencabut senjata tajam. 
Pertarungan jarak dekat sudah dimulai.
“Astaga! AWAS!!” 
Aku mendengar teriakan White. Juga suara sesuatu ditembakkan.
“Kau baik-baik saja, White?” Aku berseru, mobilku dan satu mobil jeep lain tidak berbelok masuk ke gedung kantor Parwez, mobilku masuk ke gerbang gedung berikutnya, kantor pusat perbankan pemerintah. 
“Mereka menembakkan bazooka, Bujang. Sial!”
Aku mendongak keluar jendela. Helikopter di atas sana terlihat bergerak menghindar, berhasil, misil terus melesat menghantam pucuk gedung di seberang jalan. Meledak. Siapapun yang berada di luar bisa melihat ledakannya yang besar.
“Lumpuhkan yang membawa bazooka di atas gedung.” Terdengar seruan White.
“Tembak!”
Suara tembakan terdengar susul-menyusul, mantan marinir sudah melepas peluru, pertarungan di atas gedung juga telah dimulai bahkan sebelum White mendaratkan helikopter. Penjaga di atas atap balas menembak. Juga dentum berikutnya, bazooka yang terjatuh dari tangan pasukan Keluarga Lin mengenai lantai, tubuh mereka terpelanting.
“Clear! Clear! Segara mendarat, sebelum mereka membawa bazooka berikutnya.” White berseru kepada pilot helikopter.
Aku mengangguk, aku bisa merasakan atmosfer perang di atap gedung, White dan pasukan marinirnya telah berhasil mendarat, tanganku terus konsentrasi memegang setir, mobil jeep yang kukemudikan menaiki spiral area parkir. Tiba di lantai dua belas, berhenti di depan pintu lift. Mobil jeep yang ikut bersamaku di belakang juga berhenti. Empat tukang pukul segera menurunkan peralatan dari mobil. 
Aku tidak akan menyerang dari bawah, pun tidak dari atas. Aku akan langsung menyerang lantai dua puluh lima, tempat Basyir berada. Si kembar sudah menyiapkan alat untuk bisa menggapai lantai itu dari gedung di sebelahnya. Pintu lift terbuka, kami masuk membawa semua peralatan. Lift bergerak naik, tiba di lantai yang sejajar dengan posisi lantai Basyir. Empat tukang pukul membawa peralatan mendekati jendela kaca. Yuki menarik pistol, menembak kaca itu hingga hancur. 
Butir air hujan dan kesiur angin menerpa wajah.
Kiko sudah gesit memasang alat di dekat lubang kaca. Memastikan arah dan sudutnya tepat.
Itu adalah mesin pelontar. Tapi bukan batu, kayu atau benda berat yang akan dilontarkannya malam ini, melainkan kami. Itulah cara kami tiba di lantai dua puluh lima gedung kantor Parwez.
“Kau duluan, Bujang!” Kiko berseru.
Aku mengangguk. Naik ke atas pelontar, duduk meringkuk.
Jarak gedung ini dengan gedung kantor Parwez lima puluh meter, pelontar ini akan melemparkan tubuhku ke seberang. Basyir benar, kaca-kaca di lantai kantor Parwez tidak bisa dihancurkan dengan rudal sekalipun. Tapi aku tahu ada bagian yang dulu sengaja dibuat rentan. Tidak besar, hanya 2x2 meter. Itu jalan melarikan diri jika terjadi sesuatu dengan gedung, kebakaran misalnya. Parwez bisa memecahkan bagian itu dengan martil, kemudian menjulurkan tangga tali, turun. Hanya aku, Parwez, dan Kopong yang tahu bagian kecil itu. Secara kasat-mata bentuknya sama dengan seluruh dinding kaca, tebal dan kokoh.
“Kau sudah siap, Bujang?” Kiko bertanya, “Atau kau ingin membatalkannya? Masih ada waktu untuk berpikir ulang, sebelum terlambat. Kau bisa mati muda gara-gara alat ini.”
“Tekan tombolnya, Kiko!” Aku berseru, tubuhku sudah berada di dalam mesin pelontar.
“Baiklah. Happy flight, Bujang!” Kiko menjawab santai.
Persis saat tombolnya ditekan Kiko, mesin itu terhentak, tubuhku terlontar cepat ke udara di ketinggian nyaris seratus meter. Gerimis langsung menyiramku. Aku merentangkan badan, berdiri, bisa menatap ke bawah, menyaksikan Togar dan yang lain menyerbu lobi gedung. Aku juga bisa melihat ke atas, ledakan terlihat, juga rentetan senjata White dan mantan marinir.
Tubuhku bergerak parabola, tepat di puncaknya, setengah jalan, aku mencabut pistol colt, mengarahkannya ke depan, menembak jendela dua kali. Kaca itu pecah berhamburan, aku tahu persis lokasinya, tubuhku melesat menuju lubang yang terbuka, aku memasukkan pistol ke pinggang, bersiap mendarat, berguling lincah seperti seorang ninja di atas marmer lantai. Pendaratan yang mulus. Menepuk-nepuk pakaianku yang terkena butiran kaca.
Aku telah berada persis di lantai dua puluh lima gedung kantor Parwez. Yuki dan Kiko menyusul tiga puluh detik kemudian, mereka lincah mendarat, bangkit dari lantai, menepis ujung rambut yang basah terkena gerimis, memperbaiki posisi bando hello kitty.
“Ini keren, Bujang.” Kiko tertawa, “Lebih keren dibanding meluncur dari atas Grand Lisabon.”
Aku tidak berkomentar. Sebenarnya, keliru satu derajat saja alat pelontar si kembar, kami akan menabrak jendela kaca tebal, berakhir jatuh ke bawah sana, seratus meter tingginya.
Ruangan di sekitar kami remang. Hanya beberapa lampu yang menyala.
Aku mencabut katanaku. Si kembar juga sudah bersiap.
“Cek, kami sudah masuk, White.” Aku bicara lewat alat komunikasi.
“Bagus, Bujang. Kami juga sudah masuk. Tapi sial! Pasukan Keluarga Lin banyak sekali, mereka lebih sulit ditaklukkan dibanding Makau. Semoga aku bisa mengatasi mereka. Sampai bertemu di lantai dua lima, aku akan menuju ke sana.”
Aku mengangguk. 
Saatnya mencari Basyir. Di lantai yang luas, dengan lorong-lorong dan belasan ruangan, entah di mana Basyir berada. Mungkin dia menunggu di ruangan kerja Parwez.
Pedangku teracung ke depan, aku siap bergerak.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar