Minggu, 10 September 2017

Tere Liye : Pulang

BAB 23 Part 2. Lantai Dua Puluh Lima
Di bawah sana, Togar dan dua Letnan yang masih setia dengan Tauke berlompatan ke lobi gedung.
Dari sisi-sisi aula, sudah menunggu tiga puluh anggota Brigade Tong, mereka mencabut belati. Juga ratusan tukang pukul yang membelot, mengeluarkan senjata tajam.
“Serang!” Togar berseru parau, berlari maju. Enam puluh anak buahnya ikut maju. 
Suara denting logam beradu, percikan api, teriakan-teriakan, memenuhi aula gedung. Tidak ada Letnan kepala Brigade Tong, dia belum pulih, tapi anggota Brigade Tong tidak bisa diremehkan, dibantu tukang pukul pembelot mereka menang jumlah dan kualitas, hampir lima kali lipat.
Tere Liye : Pulang

Togar bertarung seperti harimau terluka, dia terus menyemangati anak buahnya. Dua Letnan lain bahu-membahu di sebelahnya. Tempat itu berubah menjadi area perkelahian massal.
Lima menit berlalu, dua belas orang tukang pukul pembelot berhasil dilumpuhkan Togar, juga dua anggota Brigade Tong, tapi dia juga kehilangan enam anak-buahnya. Teriakan kesakitan, suara mengaduh terdengar di setiap jengkal aula. Pertahanan lantai bawah Basyir kokoh sekali. Jangankan merangsek maju, Togar justeru mulai keteteran, dipukul mundur.
“Cek, kau baik-baik saja, Togar?” Aku bertanya lewat alat komunikasi.
Aku sedang melangkah hati-hati di antara remangnya lorong lantai dua puluh lima. Aku barusaja mendengar Togar mengeluh tertahan.
“Kami terdesak, Bujang. Satu belati sialan itu merobek bajuku. Mereka banyak sekali.”
Aku menghembuskan nafas pelan, “Tahan mereka, Togar. Semampu yang kau bisa, bantuan akan segera tiba. Gunakan mobil jeep, apapun agar kalian bisa mengulur waktu.”
“Aku akan menahannya. Sebisa mungkin.”
“Ada orang di depan, Bujang.” Yuki berbisik, menghentikan percakapanku dengan Togar.
Aku menatap ujung lorong. Yuki benar, ada empat orang di sana, berdiri di balik remang, terpisah dua puluh meter dari kami, mungkin anggota Brigade Tong, boleh jadi pasukan Keluarga Lin. Tidak terlihat jelas dari tempat kami mengintai.
“Biarkan aku yang mengurusnya.” 
Tanpa menunggu persetujuanku, Kiko sudah maju, dia lompat ke atas meja, melenting, sambil melayang di udara, tangannya bergerak melepas shuriken, dua orang di depan tumbang bahkan sebelum tahu apa yang menembus lehernya.
Dua yang lain berseru, senjatanya terarah kepada kami, melepas tembakan.
M16, itu pasukan Keluarga Lin, aku berguling ke kanan, berlindung, juga Yuki, dia merunduk di sebelahku. Peluru mengukir dinding, membuat semen tercerabut, batu-bata berlubang. Tapi tidak dengan Kiko, dia tidak berlindung, tubuhnya melenting lagi ke depan, menghindari peluru dengan lincah, dan tangannya kembali bergerak, dua bintang ninja melesat menuju sasaran. Dua orang di ujung lorong menyusul rekannya, jatuh ke lantai.
Kiko berkacak pinggang, menoleh ke belakang.
Aku dan Yuki bangkit, mendekati Kiko.
“Beres, Bujang.” Kiko merapikan pakaiannya.
Aku harus mengakui, meski si kembar ini amat menyebalkan, selalu bermain-main, mereka adalah ninja terbaik, didikan langsung Guru Bushi. Itulah kenapa aku mengajaknya bersamaku, kami bertiga mungkin punya kesempatan mengalahkan Basyir.
“Cek, Bujang! Kami semakin terdesak.” Togar berseru lewat alat komunikasi.
“Apa yang terjadi, Togar?” Aku baru ingat jika Togar masih di seberang sana.
“Mereka ada di mana-mana, Bujang. Menyerbu seperti air bah. Kami sudah bertahan habis-habisan di bawah sini. Beberapa tukang pukul sudah masuk ke mobil jeep, mengamuk, menabrakkan mobil itu untuk menahan laju mereka, sia-sia, mereka seperti laron, mengerubuti setiap mobil.”
Aku menghela nafas, berpikir cepat.
“Mundur, Togar, mundur hingga parkiran.”
“Baik, kami akan mundur.”
“Kau tahan mereka di sana. Apapun harganya!”
Rencanaku gagal total jika Togar dan anak buahnya gagal. Anggota Brigade Tong dan tukang pukul pembelot akan pindah ke lantai dua puluh lima sekali Togar kalah. Aku mengusap wajah, pasukan terakhir yang kutunggu sepertinya terlambat. Seharusnya mereka sudah tiba lima belas menit lalu. 
Si kembar sudah maju di depank. Aku tidak ada waktu untuk mencemaskan Togar. Kami hampir tiba di ruangan kerja milik Parwez, ruangan terbesar yang ada di lantai dua puluh lima. Tidak ada siapa-siapa di lorong dan di depan pintunya. Lengang. Aku melirik Yuki, dia mengangguk. Yuki bergerak cepat melintasi lorong, tubuhnya seperti tidak terlihat di remang cahaya, tiba di depan pintu dalam hitungan detik. Mengangkat tangannya. 
Aku balas mengangkat tangan, kode agar dia membuka pintu ruangan itu. 
Yuki mendorong pintu perlahan, mata awasnya memeriksa ke dalam. Gelap. Tidak terlihat siapapun di dalam sana. Yuki mengangkat tangannya lagi, memberitahu kami aman.
Aku dan Kiko tiba di belakang Yuki. 
“Kosong, Bujang. Tidak ada siapa-siapa di sana.” Yuki berbisik.
“Kita harus memeriksanya. Hati-hati.”
Si kembar mengangguk. Bertiga kami masuk ke dalam ruangan. 
Saat itulah, saat kami persis berada di tengah ruangan, memeriksa sekitar, lampu mendadak menyala terang. Seseorang menekan tombolnya, dan dari sisi-sisi ruangan melangkah maju belasan anggota Brigade Tong.
“Assalammualaikum, Bujang.” 
Basyir keluar dari ceruk dinding. Di belakangnya melangkah putra tertua Keluarga Lin.
Aku reflek mengangkat pedangku. Aku sudah menduga Basyir sudah menunggu kami. Cepat atau lambat, kami akan saling berhadapan lagi. 
“Ow, kau tidak datang sendirian, Bujang?” Basyir menyeringai, menatap si kembar di belakang, “Tapi ini seperti sebuah penghinaan bagiku. Aku pikir kau akan membawa pasukan hebat untuk menyerangku, tapi ternyata hanya dua wanita yang berdandan norak. Siapa mereka? Cucu Guru Bushi?”
Aku tidak menjawab.
“Tapi harus kuakui, cara kau masuk ke lantai ini, itu sangat menarik, Bujang, itu hebat. Aku pikir kau akan menyerang bersama Togar dari bawah sana, atau masuk dari atas dengan marinir itu. Ternyata tidak, kau memilih cara yang berkelas…. Hei, kau memang selalu punya cara hebat masuk ke dalam suatu pertemuan, membuat orang-orang menoleh, terkesan, lantas bertepuk-tangan”
Aku lagi-lagi tidak menimpali Basyir, aku sedang berhitung, mataku menyapu seluruh ruangan. Kami bertiga persis terkepung di tengah. Dua belas anggota Brigade Tong mencabut belatinya, melangkah maju. Kapanpun mereka bisa menyerang.
“Cek, Bujang, kau mendengarku?” White berteriak lewat alat komunikasi di telinga.
“Sialan! Kami tertahan di lantai dua puluh sembilan. Pasukan Keluarga Lin benar-benar merepotkan. Bagaimana dengan kau?” White memberitahu statusnya. Kali ini aku tidak bisa menjawabnya, aku juga punya masalah serius.
Basyir tinggal empat langkah dariku.
“Tinggalkan Si Babi Hutan untukku, kalian urus dua wanita bersamanya.” 
Basyir memberi perintah, dia meloloskan khanjar. Anggota Brigade Tong mengubah haluan, menghunus belati ke arah Yuki dan Kiko.
“Kali ini aku tidak akan memberi ampun, Bujang.” Basyir menyeringai, menghina, “Dan tidak ada ranjang ajaib yang bisa membawa kau kabur.”
Aku balas menghina, “Kau akan mulai menyerang atau akan terus bicara, Basyir?”
“Serang mereka!” Sebagai jawabannya, Basyir berteriak kencang. 
Belum habis teriakannya, tubuh tinggi besar Basyir melompat, khanjarnya mengarah ganas ke dadaku, aku sudah siap, pedangku balas terangkat, menangkis. Juga dua belas anggota Brigade Tong, mereka serempak menyerbu si kembar yang berdiri membelakangiku.
Basyir benar-benar serius menyerang, barusaja pedangku menangkis khanjar-nya, dia sudah bergerak lagi, tinju kirinya mengarah ke daguku, aku menghindar ke samping, tinju Basyir mengenai udara kosong, tubuhnya bergerak terlalu maju, aku punya kesempatan, aku cepat menyabetkan pedang ke punggungnya. Tapi Basyir seperti tahu apa yang akan kulakukan, kakinya menghentak, gerakannya berhenti, dalam situasi yang sangat rumit, dia masih bisa menangkis pedangku dengan khanjar. Lihai sekali. Senjata kami beradu lagi. Aku mundur dua langkah, kuat sekali tangkisannya. Sementara Basyir tetap di posisinya, kuda-kudanya mantap.
Di belakangku, Yuki dan Kiko mulai melayani dua belas anggota Brigade Tong, mereka dengan cepat menguasai pertarungan. Yuki telah mengeluarkan kusarigama miliknya—sabit berantai, senjata khas ninja itu menebar maut setiap kali digerakkan. Kiko memegang katana, pedangnya lincah bergerak kesana-kemari. Dua anggota Brigade Tong tumbang. Mereka terlalu meremehkan kemampuan si kembar. Yuki dan Kiko jelas bukan Joni, mereka jauh lebih terlatih.
“Cek, Bujang! Dua anggota timku tertembak,” White berteriak lewat alat komunikasi, “Aku harus mengubah rencana, kami akan mundur ke lantai tiga puluh, kembali ke atas. Sial! Sebanyak apapun yang berhasil kami rubuhkan, sebanyak itu pula yang muncul kembali.”
Aku tidak sempat memikirkan White dan mantan marinirnya. Basyir telah maju menyerangku lagi, tanpa memberikan waktu untuk menarik nafas, khanjarnya menikam dari samping kanan, aku hendak menangkisnya dengan pedang, Basyir justeru menghentikan gerakan khanjar, itu serangan tipuan, tinju kirinya yang maju, dan aku tidak sempat melihatnya, tinju itu telak mengenai bahuku. Aku mengaduh, terbanting ke belakang. Basyir tidak berhenti, dia segera buas lompat, kali ini khanjarnya benar-benar menikamku, bukan serangan tipuan, aku tidak sempat menghindar.
Yuki bergerak memotong serangan itu, katananya menangkis. Yuki melihatku terdesak, lompat membantu. Dan saat Basyir masih terkejut, katana Yuki sudah menebas ke depan, Basyir bergegas mundur, nyaris saja, pedang Yuki merobek jubah hitam Basyir. 
Wajah Basyir merah-padam. Dia jelas kaget dengan serangan Yuki. Di belakangku, Kiko sekali lagi berhasil menjatuhkan anggota Brigade Tong, sabitnya berlumuran darah, juga rantainya. Sudah separuh anggota Brigade Tong terkapar di lantai. Separuh lagi menatap jerih kepada si kembar.
“Ini menarik sekali.” Basyir menggeram, “Aku tidak menduga jika cucu Guru Bushi yang kau bawa bukan hanya sekadar turis dengan pakaian mereka.” 
Basyir meloloskan khanjar kedua dari balik jubahnya. Sekarang dua tangannya memegang belati, matanya menatap galak ke arahku dan Yuki. Wajahnya merah-padam. Aku belum pernah melihat aura pembunuh semengerikan ini. Basyir bersiap bertarung habis-habisan, menggunakan seluruh kemampuan yang dia peroleh dari berbagai pertarungan hidup mati di gurun pasir.
Basyir berteriak, dia kembali menyerang.
Dua khanjar Basyir melesat ke arahku dan Yuki, kiri dan kanan. Gerakannya sangat bertenaga. Aku dan Yuki berusaha menangkisnya, tanganku kesemutan, kuat sekali. Yuki di sebelahku terbanting, dan sebelum dia sempat memperbaiki kuda-kuda, khanjar kanan Basyir sudah mengejarnya. Aku berusaha menghalangi dengan pedang, khanjar kiri Basyir menangkis pedangku, aku tidak mampu menghentikan serangannya kepada Yuki. Berbahaya. Mematikan.
Kali ini Kiko yang maju, melihat saudara kembarnya tersudut, rantai sabitnya melenting ke wajah Basyir. Cepat, tidak ada kemungkinan Basyir menghindar. Tapi Basyir memang tidak berniat menghindar, dia mengurungkan serangan ke Yuki, menangkis rantai kusarigama Kiko dengan khanjar. Basyir berteriak marah. Serangannya gagal lagi. 
Cepat sekali situasi pertarungan berubah, sekarang kami bertiga melawan Basyir. 
Tubuh tinggi besar Basyir dikepung dari depan, samping dan belakang. Dua katana dan sabit berantai mengincar tubuhnya. Yuki dan Kiko melenting lincah kesana-kemari, sementara aku mengisi ruang antar serangan. Tapi Basyir tetap tidak bisa dikalahkan. Dia bergerak lebih cepat, lebih kuat, aku belum pernah melihat kemampuan seperti itu. Berapapun serangan yang kami kirim, dia mampu menangkis atau menghindar, dan setiap kali dia membalas menyerang, kami bertiga harus mati-matian saling melindungi satu sama lain. Wajah si kembar sudah terlihat serius sejak tadi, tidak ada lagi main-main, mereka memberikan usaha terbaik. 
Lima menit pertarungan tiga lawan satu, lenganku terluka disabet khanjar. Yuki terbanting ke lantai, terkena tendangan Basyir, sementara Kiko mundur dua langkah, Basyir baru saja menarik lepas sabit berantainya. Senjata Kiko tergeletak di belakang.
“Kalian tidak akan menang melawanku.” Mata Basyir merah, menyapu kami bertiga. 
Aku tersengal, peluh membanjiri tubuh, bercampur darah.
Ini rumit. Aku tidak menduga jika kami bertiga tetap tidak bisa menandingi Basyir. 
“Kau butuh orang lebih banyak untuk mengalahkanku, Bujang.” Basyir menggeram, “Sayangnya, mana anak buahmu yang lain, hah? Mereka tertahan di lantai bawah dan di lantai atas, bukan? Strategi jeniusmu gagal, Bujang.”
Aku menggigit bibir. Basyir benar, Togar dan White juga terdesak.
“Cek, Bujang! Kami sudah mundur hingga parkiran! Apa lagi yang harus kami lakukan? Separuh anak-buahku tewas, juga dua Letnan lain.” Togar berseru lewat alat komunikasi, suaranya serak, dia mati-matian terus bertahan di bawah sana.
“Cek, Bujang! Dua anggota timku kembali tumbang. Kami terus dipukul mundur, kami sudah bertahan di helipad. Mereka banyak sekali.” White melaporkan dari atas, situasi mereka tidak lebih baik.
Aku menggeram, aku tidak bisa memberi mereka berdua solusi. Kami terdesak di semua bagian. Ini situasi yang amat genting. Togar dan anak buahnya akan dihabisi di bawah sana tanpa bantuan, sementara White dan mantan marinirnya terdesak hingga tubir atap. Aku sendiri, tetap tidak tahu bagaimana mengalahkan Basyir. Dia tetap lebih kuat dibanding aku, Yuki dan Kiko. Juga masih ada enam anggota Brigade Tong di sini, jika mereka ikut membantu Basyir menyerang, kami bertiga pasti kalah. Pertarungan ini sudah hampir tiba di akhirnya.
“Ada apa, Bujang? Kenapa kau terdiam? Kau baru menyadari jika misimu menyerang gedung ini sama saja bunuh diri?” Basyir menatapku menghina.
“Sayang sekali, Bujang. Malam ini, julukanmu harus diganti. Bukan lagi Si Babi Hutan, baiknya diubah menjadi Si Babi Panggang.” Basyir terkekeh.
Aku mencengkeram katana lebih erat. Nafasku menderu, jantungku berdetak kencang. Lantai dua puluh lima terasa pengap.
Aku membutuhkan keajaiban tersisa.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar