Minggu, 03 September 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 19. Part 2: Tuanku Imam

‘Aku tidak akan mundur, Tuanku Imam.’ Syahdan menegakkan kepala,matanya yang basah menatap sekitar, suaranya terdengar bergetar, ‘Aku memang keturunan seorang perewa, tapi aku mencintai adik Anda. Aku mencintainya sejak remaja, dan dia juga mencintaiku. Seluruh kampung tahu itu.’
‘Diam kau, Syahdan. Tahu apa kau tentang cinta, hah?’ Salah-satu tetua berseru, memotong.
‘Aku tahu, Wak! Setahu lima belas tahun seluruh kesedihan yang harus kutanggung. Lima belas tahun menanggung kerinduan. Hari ini aku kembali datang melamar Midah, Wak. Aku tidak akan mundur seperti dulu. Mati pun akan kuhadapi.’
Tetua kampung semakin gemas, ‘Dasar anak tidak tahu diuntung. Kau mau diusir dari sini, hah?’
‘Kita usir saja bandit satu ini. Dari dulu, seharusnya mereka semua diusir dari kampung kita.’
Syahdan tetap berdiri tegak, menanti jawaban dari Tuanku Imam.
Tuanku Imam yang sejak tadi diam, akhirnya mengangkat tangan, membuat yang lain terdiam, ‘Syahdan, aku akan menerima lamaran ini.’
Tere Liye : Pulang

Pecah sudah keributan di masjid itu, lebih rusuh dibanding sebelumnya. Lupa jika itu rumah Tuhan, tetua berseru-seru tidak terima, memukul lantai masjid. Satu-dua berdiri, mengacungkan jari ke depan.
Tuanku Imam menatap sekitar, ‘Demi Allah, apa yang kalian inginkan? Syahdan dan Midah saling menyukai. Kita tidak akan memisahkan mereka lagi. Aku mengenal Syahdan, sejak kecil dia bermalam di masjid ini, murid sekolah ini, aku menjadi temannya bermain bola.’
‘Kau tidak tahu lima belas tahun terakhir kemana Syahdan pergi?’ Seorang tetua berseru, ‘Dia menjadi perewa di kota provinsi. Bapaknya juga seorang bandit besar. Itulah kenapa Tuanku Imam lama menolaknya, itulah kenapa Bapak kau menolaknya. Kenapa kau sekarang malah setuju dia menikahi Midah?’
Tuanku Imam menggeleng, ‘Aku tahu persis kejadian lima belas tahun lalu, aku juga hadir di masjid ini saat Syahdan melamar. Bapakku tidak pernah menolak perjodohan mereka. Tapi kalian, kalianlah yang membuatnya ditolak, membuat Bapakku ragu-ragu, hingga kemudian menuruti mau kalian. Tidak untuk kali ini, aku akan menerima lamaran Syahdan. Semua orang berubah, Syahdan bisa menjadi bagian keluarga ini sejak dulu, jika kita tidak kejam sekali kepadanya. Aku menyetujui dia menikah dengan adikku, Midah, apapun pendapat tetua. Ingatlah nasehat-nasehat Tuanku Imam Agam, guru pertama di kampung ini yang mengajak perewa tinggal bersama. Dia jangan-jangan akan malu melihat kelakuan kita? Tuanku Imam Agam selalu memberi kesempatan kepada siapapun.’ 
“Bulat sudah keputusan Tuanku Imam, lamaran itu diterima. Siang itu juga Bapak kau menikah, tapi harganya mahal sekali. Saat pernikahan dilangsungkan, saat Syahdan dan Midah berjalan keluar masjid, ada anggota keluarga Mamak kau yang meludahi mereka. Merah-padam wajah Syahdan, jika dia tidak ingat sedang di mana, tabiat tukang pukulnya akan keluar, mengamuk. Tapi dia hanya tersenyum perih, Mamak kau menggenggam jemarinya erat-erat, berbisik agar Bapak kau sabar. Sore itu juga Syahdan mengajak Mamak kau pindah ke kampung lain, mereka tidak bisa tinggal di sana.”
Kamar Kopong lengang. Aku terdiam.
“Apakah Syahdan bahagia, Bujang? Dia bahagia sekali. Saat berangkat naik mobil colt, membawa Mamak kau pergi, wajahnya dipenuhi air mata. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu, kau mungkin lahir beberapa tahun kemudian, kehidupan berkeluarga kadang tidak mudah, karena pasti banyak masalah yang datang. Bertengkar. Ribut. Apalagi dengan keterbatasan, Syahdan menolak uang dari Tauke, dia memulai kehidupan berkeluarganya dari kosong. Tapi aku tahu, meski Bapak kau sering mengomel, berteriak dan sebagainya, dia bahagia atas pernikahan itu. Syahdan beruntung sekali, dia menemukan kembali cinta sejatinya.
“Dua puluh tahun sejak hari itu, Bapak kau menghilang dari Keluarga Tong. Hingga sepucuk suratnya tiba di meja Tauke, memberitahu, masanya sudah pas. Putra tertuanya sudah remaja, usia lima belas tahun. Tauke datang seolah untuk berburu, tapi dia datang untuk menjemput kau, Bujang. Aku tidak ikut rombongan, aku sedang bertugas di kota lain, tapi aku tidak sabar menanti kau tiba di rumah. Melihat kau datang dengan alas kaki, dengan tubuh penuh luka, saat itu seluruh kenangan atas Syahdan memenuhi kepala. Aku belum menyapamu hingga beberap hari kemudian, tapi aku tahu, kau akan lebih hebat dibanding dia. Maka lihatlah sekarang, Bujang, kau sungguh sudah lebih hebat. Bisikkan nama Si Babi Hutan di telinga mereka, maka orang-orang akan gemetar ketakutan. Suruh Si Babi Hutan bicara, bahkan seorang presiden pun akan terdiam mendengarkan.”
Tangan lemah Kopong menggapai tanganku.
“Aku akan pergi, Bujang. Jaga Tauke Besar, jaga Keluarga Tong, besok lusa, kau-lah yang akan menjadi Tauke di sini. Kau bisa membawa seluruh keluarga kemanapun kau suka. Termasuk akan menjadi apa kau sendiri. Apakah tetap menjadi perewa seperti kakekmu dari Bapakmu, atau menjadi pemuda yang baik seperti kakekmu dari Ibumu, dari Tuanku Imam. Di keluarga ini, seluruh masa lalu, hari ini dan masa depan selalu berkelindan, kait-mengait, esok lusa kau akan lebih memahaminya.”
Aku menggenggam tangan Kopong yang mulai dingin. 
Mata Kopong terpejam, dan dia tidak bangun lagi selama-lamanya.
Aku tertunduk, satu butir air mataku menetes di lantai. Bukan semata-mata karena kepergian Kopong, tapi juga untuk ceritanya. Aku tahu sekarang, lebih banyak luka di hati Bapakku dibanding di tubuhnya. Juga Mamakku, lebih banyak tangis di hati Mamakku dibanding di matanya.
Aku tahu itu sekarang.
***
“Agam, kau sudah siuman, Nak?”
Aku membuka mata, silau, cahaya lampu yang ada di atasku membuatku kembali memejamkan mata beberapa saat. Seluruh tubuhku terasa remuk, aku terbaring di atas ranjang kayu beralaskan tikar, di dalam kamar besar berukuran enam kali enam meter. Ada bohlam lampu di langit-langit, tidak terlalu terang, tapi karena aku baru sadar dari pingsan, tetap menyilaukan.
Setelah mataku bisa menatap normal, aku beranjak duduk, memeriksa tubuhku. Luka-luka telah dibalut, dibersihkan. Pakaianku sudah diganti dengan kemeja putih longgar. Menoleh ke samping, ada seseorang berdiri di sana, yang tadi mengajakku bicara.
“Di mana aku?”
“Kau ada di tempat yang aman, Agam.” Orang dengan sorban putih itu menatapku, tersenyum lembut.
“Siapa kau? Bagaimana kau tahu namaku?” Aku bertanya, menatap orang tua itu.
“Orang-orang memanggilku Tuanku Imam, Agam. Aku kakak tertua dari Mamak kau.”
Jawaban yang membuatku mematung.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar