Kamis, 07 September 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 21 part 2. Memeluk Erat

“Rebut kembali kekuasaan Keluarga Tong! Kau ditakdirkan memimpin keluarga itu, dan mengubah haluannya.”
Aku menggeleng, “Aku tidak bisa melakukannya, Tuanku.”
Jiwaku sekarang kerdil, dipenuhi rasa takut, rasa cemas. Aku bukan seperti Bujang yang dulu, yang menaklukkan babi hutan raksasa sendirian. Bahkan dalam kekuatan terbaikku, aku tetap tidak bisa mengalahkan Basyir berduel. Dia terlalu kuat, sangat cepat.
“Kau bisa, Nak.” Tuanku Imam meyakinkan.
Aku menggeleng. Aku takut.
Tuanku Imam menepuk pipiku lembut, “Agam, apakah pernah dalam hidupmu, kau tidak takut dengan apapun? Ketika sensasi keberanian itu memenuhi dadamu?”
Aku mengangguk. 
Tere Liye : Pulang

“Lantas sekarang perasaan berani itu hilang begitu saja, seperti debu disiram air?”
Aku mengangguk lagi.
“Maka itu adalah anugerah terbaik bagimu, Agam. Kau punya kesempatan menafsirkan ulang rasa takutmu. Akan kuceritakan sebuah kisah tentang leluhur kita, yang diwariskan secara turun-temurun. Seharusnya Midah, Mamak kau yang menceritakannya, tapi mungkin dia tidak sempat, kau terlanjur berangkat ke kota provinsi. Pagi ini, biarkan aku yang menyampaikannya. Semoga itu bisa membantu kau menyusun keberanian yang baru.”
Aku menatap Tuanku Imam. 
“Adalah Tuanku Imam Agam, kakek dari kakekmu yang memimpin peperangan melawan penjajah Belanda di tanah Sumatera. Dia hanya guru agama kampung, tapi lima tahun lamanya dia berhasil menahan laju pasukan Belanda yang hendak menguasai daerah strategis yang kaya dengan batu bara. Usianya baru berbilang tiga puluh tahun, tapi ilmu agamanya tinggi, kemampuan bela diri mumpuni, dan dia gagah berani memimpin ratusan pasukan syahid. Tidak ada kata takut dalam kamus hidupnya. Semua pengikutnya tahu, Tuanku Imam Agam memiliki hati baja, tidak kenal takut walau sebenang, tidak gentar walau setetes. Itu seperti menjadi takdir hidupnya.
“Setelah lima tahun sia-sia, lima tahun kerepotan menghadapi perang melawan Tuanku Imam, banyak pasukannya tewas, Belanda mengubah strateginya. Mereka menawarkan perdamaian kepada Tuanku Imam, mengundangnya ke benteng Belanda di kota provinsi. Mereka bersedia memenuhi syarat yang diajukan Tuanku, sepanjang Tuanku bersedia datang. Tapi undangan itu strategi licik, setiba di benteng, pasukan Belanda dengan keji meringkus Tuanku bersama belasan kapten pasukannya. Terjadi pertempuran hidup mati, seluruh kapten pasukan Tuanku tewas, juga ratusan pasukan yang ikut mengantar ke kota, mereka tidak menduga akan mendapat serangan mendadak. Tuanku Imam berhasil meloloskan diri dengan tubuh terluka, tapi harga yang dibayar amat mahal. 
“Sejak hari itu, Tuanku Imam Agam kehilangan pijakan. Rasa bersalah menyelinap dalam hati, dia kehilangan semangat, keberaniannya seolah luntur begitu saja. Hati bajanya hilang tak berbekas. Membuatnya ragu untuk bertindak, cemas untuk melakukan rencana berikut, sementara penjajah Belanda, terus bergerak maju menyerang, kali ini tanpa perlawanan apapun, satu-persatu kampung dan kota jatuh di tangan Belanda. Berhari-hari Tuanku Imam Agam mencoba mencari jawaban atas permasalahannya, itu tidak mudah, seperti merobek hati sendiri, hingga akhirnya dia berhasil membangun ulang semua motivasi, keyakinan yang dia miliki. 
“Jawabannya sederhana, Nak. Dulu, dia gagah berani, tidak kenal takut demi membela tanah airnya, membela yang lemah, melawan penjajah yang aniaya. Dulu dia gagah berani, karena yakin dengan kekuatan yang dia miliki. Sekarang dengan pengalaman baru, dia memahami, tidak mengapa jika rasa takut itu hadir, sepanjang itu baik, menyadari masih ada yang memegang takdir. Dia takut, dia mengakuinya, dia tidak akan lari dari kenyataan itu, tapi dia akan menitipkan sisanya kepada takdir Tuhan. Dia menambatkan rasa takut itu kepada yang maha memiliki, maka serta-merta dia memiliki keberanian baru, menggantikan yang lama. Tuanku Imam Agam berhasil menafsirkan ulang semuanya. Dia berhasil membangun hati baja yang baru.
“Tuanku mengumpulkan sisa pasukannya, menyerukan ke setiap kota, perkampungan, agar mereka berdiri bersamanya melawan penjajah Belanda. Dia memanggil perewa, bandit, penjahat, siapapun yang masih punya hati untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Akhirnya pasukan baru terbentuk. Jumlah mereka hanya lima puluh orang, harus melawan enam ratus tentara Belanda dengan senjata lengkap, meriam, senapan api. Tapi Tuanku Imam Agam tidak mundur walau selangkah. Kakinya memang bergetar, suaranya serak karena takut, tapi dia sudah meneguhkan hati. Maka dia mengangkat rencong—hadiah dari gurunya dari tanah Aceh, teracung tinggi rencong itu, dia memekikkan takbir, menyerbu benteng Belanda. 
“Kau punya kesempatan yang sama, Nak. Pagi ini, sambil menatap matahari terbit, kau bisa menafsirkan ulang seluruh pemahaman hidupmu. Menerjemahkan kembali keberanianmu. Apakah kau Bujang? Apakah kau Si Babi Hutan? Apakah kau Agam? Atau kau akan lahir dengan sosok baru. Rebut kembali markas Keluarga Tong, kau berhak mewarisinya dari Tauke Besar. Jangan ragu walau sejengkal, jangan takut walau sebenang, majulah, Nak.”
Aku mengangguk. Semangat baru memenuhi rongga dadaku.
“Kau bisa melakukannya, Agam.” Tuanku Imam menepuk-nepuk pipiku.
Sekali lagi aku mengangguk. Aku bisa melakukannya.
Cahaya matahari pagi menerangi seluruh menara. Hari yang baru telah dimulai. Nasehat dan cerita lembut Tuanku Imam telah menumbuhkan sesuatu di hatiku. Sama persis saat dulu menatap mata merah si babi hutan, dengan moncong berlendir. Bedanya, waktu itu, keberanian itu datang dengan gumpal pekat hitam. Pagi ini, keberanian itu datang dengan cahaya terang. Aku takut, itu benar. Aku bahkan tidak tahu bagaimana harus mengalahkan Basyir. Tapi aku akan berusaha sebaik mungkin, sisanya akan kuserahkan kepada pemegang takdir kehidupan—sesuatu yang tidak pernah kupahami dan kulakukan selama ini.
Tuanku Imam benar. Akan selalu ada hari-hari menyakitkan, dan kita tidak tahu kapan hari itu menghantam kita. Tapi akan selalu ada hari-hari berikutnya, memulai bab yang baru bersama matahari terbit.
***

Bab 22. Part 1: Kesetiaan Yang Memanggil
Aku kembali ke kamar setelah matahari benar-benar beranjak naik, menuruni anak tangga spiral menara. Tuanku Imam lebih dulu meninggalkanku, dia harus mengurus sekolah. Parwez sedang sarapan di kamar, menghabiskan mangkok bubur
“Habiskan sarapan dengan cepat, Parwez, kita akan pergi!”
Parwez mendongak, menatap tidak mengerti.
“Kau tidak sarapan dulu, Bujang.”
Aku menggeleng, aku tidak lapar.
Setengah jam kemudian, aku berpamitan dengan Tuanku Imam, dia memelukku, tersenyum, mendoakan yang terbaik. Tuanku Imam meminjamkan mobil bak terbuka—mobil operasional sekolah untuk membeli beras, sayur dari pasar. Dia juga meminjamkan telepon genggam. 
Dibawah lambaian tangan Tuanku Imam dan tatapan belasan murid-muridnya, mobil bak terbuka meninggalkan halaman sekolah. Aku memegang setir, Parwez duduk di sebelahku, mobil segera melintasi pusat pelelangan dan dermaga yang dipenuhi perahu nelayan. Jalanan juga dipenuhi oleh nelayan yang membawa jaring, keranjang rotan berisi ikan, beberapa anak-anak terlihat menggotong ikan besar berdua.
“Kita akan kemana, Bujang?” Parwez bertanya, suaranya cemas.
“Kita akan berperang.”
Parwez menelan ludah, wajahnya memucat.
“Kau serius?”
Aku mengangguk.
“Kita hanya berdua, Bujang? Bagaimana kita akan melawan Basyir?”
Aku menggeleng, “Kita tidak pernah berdua, Parwez. Kita punya banyak sekali orang-orang yang bersedia membantu. Hanya kesetiaan pada prinsiplah yang akan memanggil kesetiaan terbaik. Pagi ini aku akan memanggil semuanya.”
Parwez tetap tidak mengerti.
Mobil bak terbuka memasuki ibukota, jalanan macet. Aku mengaktifkan telepon genggam, saatnya menghubungi satu-persatu tim terbaikku. 
Lan Kwai Fong, pusat kuliner Hong Kong yang pertama. Nada panggil terdengar dua kali. 
“Hallo, White?” Aku menyapa langsung saat telepon diangkat.
“Ingin bicara dengan siapa?” Suara tua balas menyapa.
“White, bisa disambungkan dengannya?”
“Bujang, apakah itu kau?” Suara itu justeru bertanya balik.
Aku terdiam sebentar, aku mengenali suaranya, “Oh, hallo, Frans. Benar, ini aku. Kau sedang di resto White, Frans?”
“Aku bosan hanya tinggal di apartemen, Bujang, pagi ini aku ingin sarapan sambil menghirup udara segar. Kebetulan sekali kau menelepon, senang mendengar suaramu, Bujang. Kau seharusnya menemuiku beberapa hari lalu saat mampir di Hong Kong, White cerita.”
“Aku terburu-buru, Frans. Tidak sempat. Apakah kau sehat?”
“Aku jauh lebih sehat, Bujang. Apa kabar Tauke Besar, apakah dia juga sehat?”
Aku terdiam. Menginjak perlahan pedal gas, mobil maju beberapa meter—untuk kemudian macet lagi.
“Tauke sudah meninggal, Frans.”
“Ya Tuhan? Kau tidak sedang bergurau?” Suara Frans tercekat.
“Tauke sudah meninggal dua hari lalu, Frans. Markas besar diserang dari dalam dan luar. Situasi di ibukota buruk sekali. Itulah kenapa aku ingin bicara dengan White. Kau bisa memanggilnya.”
“Iya. Sebentar, Bujang.”
Frans memanggil White yang sedang menggoreng cumi, suaranya terdengar bergetar. White masih mengenakan celemek, dia mendekat santai, lantas menerima gagang telepon.
“Hallo, Bujang. Wajah ayahku pucat, tangannya gemetar, kabar buruk apa yang barusaja kau beritahu kepadanya, Kawan?”
“Tauke Besar meninggal, White.”
“Astaga?” White menepuk dahi, memperbaiki posisi menerima telepon, “Pantas saja ayahku terduduk di kursinya sekarang. Itu sungguh kabar buruk yang mengejutkan, meskipun Tauke sudah lama sakit-sakitan.”
“Dia tidak meninggal hanya karena sakit, White.” Aku menelan ludah, “Markas besar diserang, dia meninggal saat pertempuran.”
“Keluarga Lin? Mereka menyerang kalian?”
“Iya, Keluarga Lin, ditambah pengkhianatan dari dalam. Basyir.”
“Basyir si penunggang kuda?” White menggerutu, “Aku sejak dulu tidak suka dengannya. Melihat gayanya, cara bicaranya, dia mengingatkanku kejadian di Baghdad. Bagaimana kabarmu, Bujang? Apa yang bisa kulakukan?”
“Aku sedang bersembunyi, menyusun rencana. Aku membutuhkan bantuanmu, White. Kau harus segera ke ibukota, siang ini juga. Bawa seluruh senjata dan amunisi yang kau punya. Juga panggil teman-temanmu mantan marinir yang masih aktif menerima misi berbahaya. Berapapun yang bisa kau bawa, mereka akan dibayar mahal. Edwin akan menyiapkan rencana perjalanan dari Hong Kong dan tempat-tempat lain untuk menjemput.”
“Ini gila, Bujang. Kau ingin aku berperang?”
“Kau harus pergi berperang, White!” Frans yang menjawabnya, dengan suara masih bergetar dari atas kursi dorong, “Bujang memanggil kesetiaan keluarga kita. Kau bantu dia dengan nyawa sekalipun. Jika aku masih sehat, aku sendiri yang ikut pergi memanggul senapan.”
“Eh, tentu saja aku akan membantu, Ayah.” White menggaruk kepala, sedikit kikuk, “Aku hanya sedang berbasa-basi bicara dengan Bujang. Eh, itu hanya gaya bahasa marinir, biar terdengar keren.”
Aku tertawa di seberang telepon. 
“Segera, White. Kau siapkan pasukanmu. Malam ini, semua orang sudah harus berkumpul di ibukota. Semakin lama kita menundanya, Basyir dan putra tertua Keluarga Lin semakin kuat, mereka terus mengkonsolidasi kekuatan.”
“Aye-aye, Bujang.”
Aku memutus sambungan telepon. White meletakkan gagang telepon, dia berteriak memanggil koki dan pelayan resto-nya, bilang dia harus segera pergi. Frans si Amerika menghela nafas panjang. Wajahnya terlihat sedih—kabar kematian Tauke Besar membuatnya terpukul. 
Mobil bak terbuka terus melewati jalanan macet. Aku menekan pedal gas, maju beberapa meter. Parwez mengelap leher yang berkeringat, tidak ada pendingin di mobil, udara ibukota terasa pengap.
“Kita akan kemana sekarang, Bujang?” Parwez bertanya setelah aku meletakkan telepon.
“Pelabuhan ibukota.” 
“Bukankah tempat itu sudah dikuasai Basyir?”
Aku menggeleng, “Basyir tidak akan pernah menguasai pelabuhan. Seluruh Letnan dan tukang pukul yang berada di sana direkrut oleh Kopong. Mereka setia kepada Kopong dan Tauke Besar. Kita akan menuju ke sana, Parwez, untuk menyusun kekuatan.”
“Basyir akan tahu lokasi kita, Bujang?” Parwez terlihat cemas.
“Memang itu yang aku inginkan. Kita tidak akan menyerang dengan cara pengecut seperti yang Basyir lakukan. Kita akan menyerang secara terbuka. Aku justeru akan mengirim pesan kapan serangan itu dilakukan. Aku punya rencana, Parwez, kau tidak perlu khawatir, kita masih punya kesempatan menguasai kembali Keluarga Tong.”
Parwez terdiam, dia akhirnya mengangguk.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar