Rabu, 06 September 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 21 part 1. Memeluk Erat
Tuanku Imam datang ke kamar saat kondisiku lebih baik. Murid-murid sudah meninggalkan masjid, suara mereka melintasi halaman, lorong-lorong bangunan terdengar. Sesekali tertawa, saling bergurau. 
“Apa kabar, Agam?” Tuanku Imam menyapa, wajah tua itu tersenyum.
Aku sedang duduk di atas ranjang, menyeka sisa keringat di leher.
“Kau mau berjalan-jalan di luar, Agam?” Dia tersenyum, “Aku punya tempat dengan pemandangan yang menakjubkan, jika kau mau melihatnya.”
Aku tidak tertarik atas tawaran Tuanku Imam. Tapi aku tidak punya kegiatan lain, setelah terbangun oleh suara adzan tadi aku tidak bisa melanjutkan tidur. Parwez masih lelap di ranjangnya, suara berisik dan kesibukan tidak mengganggunya.
“Ayo, Agam. Temani aku mencari udara segar. Tidak ada salahnya.”
Aku mengangguk, turun dari ranjang, melangkah mengikuti Tuanku Imam.
Pukul lima pagi, langit masih gelap, tidak ada awan di atas sana, bulan sabit tergantung bersama satu-dua titik bintang terlihat jelas. Aku melangkah ke halaman sekolah, mengekor punggung Tuanku. Para santri terlihat melakukan aktivitas pagi di asrama masing-masing, beberapa asyik mengaji, membaca buku, mengerjakan tugas, atau mengantri kamar mandi, membawa handuk.
Tuanku Imam berjalan santai, melewati halaman rumput.
Tere Liye : Pulang

Kami tiba di halaman masjid sekolah. Aku diajak masuk ke sana? Aku menelan ludah. Seumur hidupku aku tidak pernah masuk masjid, Bapak melarangku. Tidak. Tuanku Imam terus berjalan, dia memutari bangunan masjid, tiba di belakang, sebuah menara tinggi, kokoh menjulang hampir tiga puluh meter ada di depan kami. Lebih mirip seperti bangunan mercu-suar dibanding menara masjid biasanya.
“Kita naik, Agam.” Tuanku Imam menoleh, menatapku yang ragu-ragu, “Pemandangan di atas lebih baik. Kau bisa melihat banyak hal dari atas sana.”
Tubuh kurus tua itu mulai menaiki undakan tangga melingkar. Udara hangat menyergap hidung. Dalam menara bersih, tidak pengap atau bau. Aku ikut melangkah. Meski sudah hampir delapan puluh tahun, Tuanku Imam tidak terlihat kesulitan mendaki. Nafasnya tetap normal, gerakannya mantap. Justeru aku yang meringis, pahaku masih terasa sakit sisa pertarungan dengan Basyir. 
Kami tiba di puncak menara beberapa menit kemudian. Ada ruangan terbuka di sana, dengan empat speaker raksasa menghadap ke empat penjuru mata angin. Siapapun bisa melihat pemandangan sekitar dari atas, 360 derajat tanpa halangan.
“Aku sengaja membangun menara ini tinggi dan besar, agar suara adzan terdengar hingga jauh. Butuh dua tahun, tapi hasilnya memuaskan. Kokoh. Ini tempat favorit murid-murid jika mereka sedang ingin melihat pemandangan atau mengerjakan tugas ilmu falak.” 
“Kau kenapa, Agam?” Tuanku Imam menatap wajahku yang mengernyit.
Aku menggeleng, aku cemas jika speaker ini tiba-tiba mengeluarkan suara, kami persis berada di dekatnya, pasti akan membuat pekak telinga.
Tuanku Imam tersenyum, “Kau tidak suka mendengar suara adzan, bukan?”
Aku terdiam, menatap Tuanku Imam.
“Kepalamu seperti hendak pecah mendengarnya, bukan? Dadamu tiba-tiba sesak. Nafasmu menderu. Kau ingin suara berisik itu segera berakhir.” 
Aku menelan ludah. Bagaimana Tuanku Imam tahu?
“Aku melihatmu meringkuk gelisah di atas ranjang tadi pagi, tapi lupakan, Agam. Aku mengajakmu kemari untuk menyaksikan pemandangan menakjubkan, sambil bercakap-cakap ringan. Kau lihatlah ke arah timur. Sebentar lagi pertunjukan dimulai.”
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Tuanku. 
Kami persis berada di bangunan paling tinggi di pinggiran ibukota. Dari sana, aku bisa melihat garis horizon laut. Sekolah agama ini ternyata tidak jauh dari pantai. Berada di perkampungan nelayan, perahu-perahu terikat di dermaga, pohon nyiur, lampu-lampu rumah yang masih menyala, jalanan lengang. Semua terlihat dari atas sini. Dan di kejauhan, semburat merah mulai terlihat di kaki langit, warna-warni indah, matahari bersiap menetas. Sunrise. Terlihat sangat indah.
Aku mengusap wajah, aku jarang sekali menyaksikan matahari terbit. Aku lebih sering bangun kesiangan, kalaupun bangun pagi, pekerjaanku banyak, tidak sempat menikmati pemandangan. Aku tidak tahu jika sunrise bisa sehebat ini.
Tuanku Imam tersenyum, “Kau tahu, Agam, hidup ini sebenarnya perjalanan panjang, yang setiap harinya disaksikan oleh matahari terbit.”
Aku menoleh kepada Tuanku Imam, tidak mengerti maksud kalimatnya.
“Berapa usiamu sekarang?”
Aku menjawab pendek.
“Itu berarti kau setidaknya sudah memiliki 13.000 hari. Usiaku saat ini delapan puluh tahun, lebih banyak lagi hari yang kumiliki, 28.000 hari. Aku sudah memiliki 28.000 kali matahari terbit. Itu bukan jumlah yang sedikit. Beberapa aku menyaksikannya, takjub menatap sunrise. Lebih banyak yang tidak, lewat begitu saja. Nah, mau kita menyaksikannya atau tidak, matahari selalu terbit. Mau ditutup mendung atau kabut, matahari juga tetap terbit. Mau kita menyadarinya atau tidak, matahari tetap terbit. 28.000 matahari terbit sepanjang hidupku.”
Aku mendengarkan Tuanku Imam bicara. Dia menghela nafas sejenak.
“Seperti yang kubilang tadi, hidup ini adalah perjalanan panjang, Agam. Kumpulan dari hari-hari. Di salah-satu hari itu, hari yang sangat spesial, kita dilahirkan, kita menangis kencang saat menghirup udara pertama kali. Di salah-satu hari lainnya, kita belajar tengkurap, belajar merangkak, kemudian berjalan. Di salah-satu hari berikutnya kita bisa mengendarai sepeda. Masuk sekolah pertama kali, semua serba pertama kali. Penuh kenangan masa kecil yang indah, seperti menatap matahari terbit.
“Lantas hari-hari melesat cepat. Siang beranjak datang, kita tumbuh menjadi dewasa, besar. Mulai menemui pahit kehidupan. Maka, di salah-satu hari itu, kita tiba-tiba tergugu sedih, karena kegagalan atau kehilangan. Di salah-satu hari berikutnya, kita tertikam sesak, tersungkur terluka, berharap hari segera berlalu. Hari-hari buruk mulai datang. Dan kita tidak pernah tahu kapan dia akan tiba mengetuk pintu. Kemarin kita masih tertawa, untuk besok lusa tergugu menangis. Kemarin kita masih berbahagia dengan banyak hal, untuk besok lusa terjatuh, dipukul telak oleh kehidupan. Hari-hari menyakitkan.
“Bapak kau, Syahdan dan Mamak kau, Midah. Sungguh begitu banyak hari-hari menyakitkan yang mereka alami. Saat Ayahku, Tuanku Imam lama menolak perjodohan mereka, lima belas tahun lamanya Syahdan harus berkutat dengan hari-hari buruk miliknya. Bukan, aku tahu sekali, bukan saat dia harus menjadi tukang pukul yang menikam hatinya, melainkan saat terkenang wajah Midah, adikku. Saat beranjak tidur, saat terbangun, wajah kekasih hatinya melintas, dan dia hanya bisa menggapai kosong. Lima belas tahun lamanya, Syahdan harus melewati hari-hari yang buruk. 
“Juga Mamak kau, Agam. Lima belas tahun Syahdan pergi, tanpa kabar, tanpa berita. Lebih sesak lagi hari yang harus Midah lewati. Hari-hari penuh penderitaan. Kemudian tibalah hari yang sangat penting. Syahdan pulang, dia kembali melamar Midah. Tapi itu hanya satu hari indah yang terselip, karena kemudian, esoknya, mereka harus menerima kenyataan, terusir dari kampung…. Malang sekali hidup mereka berdua…. Mungkin saat kau lahir, itu juga hari yang indah bagi mereka, saat kau belajar merangkak, melihat kau berjalan, mungkin itu hari-hari yang spesial bagi Syahdan dan Midah, tapi tetap saja mereka dilingkupi kesedihan, mereka terusir dari keluarga. Matahari terbit terasa berbeda, tetap mendung di atasnya, ada kabut muram menutupi.
“Begitu pula kau, Agam. Lebih banyak lagi hari-hari gelap yang kau lewati, sejak kecil. Aku tahu, Midah mengajarimu belajar mengaji, mengajarimu shalat, mengumandangkan adzan. Sebanyak Syahdan memecut punggungmu, menghukummu berdiri di luar rumah panggung, kehujanan, kedinginan. Itu semua hari-hari yang menyakitkan, dan terus dibawa hingga kemanapun kau pergi. London, Hong Kong, New York, sejauh apapun kau pergi, dia tetap ikut. Kenangan atas hari-hari yang tertinggal. Dan bertambah-tambah sakitnya saat Mamak kau wafat, disusul Bapakmu, kemudian Tauke yang mendidik dan memberimu banyak kesempatan. Mungkin, lebih 13.000 hari yang kau lewati, tidak pernah ada sunrise sejati di hatimu, Agam. Selalu berkabut.”
Semburat merah di horizon laut mulai terang, warnanya berpendar-pendar menakjubkan. Bagian atas Matahari mulai terlihat. 
“Tapi sungguh, Agam, jangan dilawan semua hari-hari menyakitkan itu, Nak. Jangan pernah kau lawan. Karena kau pasti kalah. Mau semuak apapun kau dengan hari-hari itu, matahari akan tetap terbit indah seperti yang kita lihat sekarang. Mau sejijik apapun kau dengan hari-hari itu, matahari akan tetap memenuhi janjinya, terbit dan terbit lagi, tanpa peduli apa perasaanmu. Kau keliru sekali jika berusaha melawannya, membencinya, itu tidak pernah menyelesaikan masalah.”
Aku tercenung, suara lembut Tuanku Imam terasa menusuk-nusuk hatiku. Aku mulai mengerti arah pembicaraan Tuanku Imam.
“Peluklah semuanya, Agam. Peluk erat-erat. Dekap seluruh kebencian itu. Hanya itu cara agar hatimu damai, Nak. Semua pertanyaan, semua keraguan, semua kecemasan, semua kenangan masa lalu, maka peluklah erat-erat. Tidak perlu disesali, tidak perlu membenci, buat apa? Bukankah kita selalu bisa melihat hari yang indah meski di hari terburuk sekalipun. 
“Saat Mamak kau meninggal misalnya, itu adalah hari paling indah bagi Mamakmu. Memang bukan bagi Syahdan yang ditinggalkan, apalagi bagi kau anak satu-satunya. Tapi bagi Mamakmu, itu adalah hari penting, saat dia menunaikan tugasnya sebagai istri yang mencintai suaminya, sebagai Ibu yang membesarkan anaknya. Midah memang tidak pernah lagi bisa mengajarimu mengaji, tapi tak pernah lelah setiap malam mendoakanmu Agam. Tak pernah kering mulutnya lirih menguntai doa. Dia masih menunaikan kewajibannya sebagai Ibu. Saat hari kematiannya tiba, itu adalah hari paling indah miliknya. Genap pengabdiannya, tunai baktinya. Kau terkapar saat membaca surat dari Syahdan. Itu memang menyedihkan, hari terburuk dari 13.000 hari milikmu, tapi buat apa dilawan? Sepanjang kita mau melihatnya, maka kita selalu bisa menyaksikan masih ada hal indah di hari paling buruk sekalipun.” 
Aku terdiam. Kalimat Tuanku Imam benar sekali. Aku selalu melawan hari-hari itu. Aku selalu menyalahkan masa lalu, membenci hari-hari yang telah lewat, yang sebenarnya tidak bisa kuubah lagi, sekuat apapun aku ingin mengubahnya. Aku menatap semburat di kaki langit dengan air mata mengalir, kalimat lembut Tuanku Imam telah menghancurkan benteng egoku. Selarik cahaya matahari tiba di atas menara, menerpa bulir air di pipiku. 
“Ketahuilah, Nak, hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapapun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran. Kau membenci suara adzan misalnya, benci sekali, mengingatkan pada masa lalu, itu karena kau tidak pernah mau berdamai dengan kenangan tersebut. Adzan jelas adalah mekanisme Tuhan memanggil siapapun agar pulang ke pangkuan Tuhan, bersujud. Adzan tidak dirancang untuk mengganggu, suara berisik itu bukan untuk menyakiti siapapun, itu justeru suara panggilan dan harus kencang agar orang mendengarnya. Kau tidak pernah mau berdamai dengan hati sendiri, Nak, itulah yang membuatmu benci pada suara adzan, kau sendiri yang mendefinisikannya demikian.
“Agam, kembalilah. Pulanglah kepada Tuhanmu. Aku tahu, kau tidak pernah menyentuh setetes pun minuman keras, tidak mengunyah sepotong pun daging babi dan semua yang diharamkan oleh agama. Perutmu bersih, itulah cara Mamak kau menjagamu agar tetap dekat saat panggilan untuk pulang telah tiba. Berdiri tegaklah pada kebenaran. Kau bisa melakukannya, karena kau adalah keturunan dua orang yang sangat penting di masa lalu. Kakek dari kakekmu adalah Tuanku Imam Agam, syahid, pejuang melawan penjajah Belanda. Satu lagi adalah perewa mahsyur, yang kemudian menetap di kampung kita, dia memang punya masa lalu hitam, tapi dia kembali, semua orang bisa berubah.”
Aku menyeka pipi, menatap wajah teduh Tuanku Imam.
“Apa yang harus kulakukan sekarang, Tuanku?”
“Rebut kembali kekuasaan Keluarga Tong! Kau ditakdirkan memimpin keluarga itu, dan mengubah haluannya.”

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar