Selasa, 05 September 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 20 Part 2. Suara Adzan
Sarapan.
Pukul delapan pagi, beberapa pemuda membawakan nampan dengan mangkok bubur dan gelas teh hangat. 
Tuanku Imam menemani aku dan Parwez sarapan, tersenyum, “Ini makanan khas santri di sekolah agama, Agam. Bapak kau dulu, bertahun-tahun menikmatinya, ini favoritnya. Aku kakak kelasnya di sana. Kami bahkan satu bangunan asrama, aku menjadi pengawas adik-adik kelas, Syahdan paling susah diatur. Dia selalu melawanku.”
Aku hanya diam, meraih mangkok dengan gambar ayam jago dan bunga. Itu mangkok yang juga dimiliki Mamak dulu, gambarnya klasik. Bubur nasi terlihat mengepul, aroma lezatnya hinggap ke hidung. 
Aku menyendok satu-dua, selera makanku tidak ada. 
Tere Liye : Pulang

Separuh sarapan, Tuanku Imam meninggalkan kami lagi, dia sibuk, dia harus memimpin sekolah agama dengan ratusan murid. Aktivitas sekolah telah dimulai sejak subuh di asrama masing-masing, menyusul kelas-kelas formal, para murid hilir mudik di lorong-lorong bangunan, di halaman, membawa buku, bercakap-cakap serius, mengenakan pakaian putih longgar, satu-dua berlari, saling menggoda, tertawa. Usia mereka terentang dari dua belas hingga delapan belas tahun, beberapa lebih besar lagi, murid senior yang tetap tinggal di sekolah sambil melanjutkan kuliah di tempat lain.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Bujang?” Parwez bertanya, dia meletakkan mangkok bubur. Habis. Meski dengan rentetan kejadian tadi malam, selera makannya masih lebih baik dibanding aku. Parwez sepagi ini juga sudah mandi, memakai baju pinjaman dari Tuanku Imam.
Aku menghela nafas. Aku tidak tahu.
“Kantorku telah diambil alih Basyir, Bujang. Ada banyak orang-orangnya berjaga di sana.”
Aku mengangguk. Aku sudah menduganya. Tadi Parwez meminjam telepon salah-satu murid senior Tuanku Imam—aku melarang Parwez menggunakan telepon genggamnya sendiri, itu bisa memberitahu lokasi kami. Dengan telepon pinjaman, Parwez menelepon staf kepercayaannya di kantor, bertanya situasi terakhir, lantas menyuruh staf itu tutup mulut, tidak memberitahu jika dia barusaja menelepon.
Markas Besar juga sudah dikuasai penuh Basyir, sebagian besar Letnan dan tukang pukul yang masih setia dengan Tauke tewas tadi malam, sisanya segera mundur, kocar-kacir entah bersembunyi di mana. Ratusan tubuh mereka sedang dibersihkan, dibawa dengan mobil-mobil, tanpa diketahui siapapun kalau tadi malam di kawasan elit ibukota itu telah terjadi pertempuran besar. Sisanya yang bersedia membelot, Letnan, tukang pukul, termasuk pelayan-pelayan, mereka bergabung dengan Basyir, kepala keluarga baru. Sejak kejatuhan markas besar, Brigade Tong, dibantu pasukan putra tertua Keluarga Lin menjaga seluruh properti Tauke.
Aku juga tahu kabar itu, staf kepercayaan Parwez yang mengirimnya lewat telepon. Basyir juga mengerahkan tukang pukul menyisir banyak tempat, memeriksa hingga ujung lorong. Buntu. Rumah itu sudah kosong, dan pemiliknya justeru tercatat atas nama Kopong—yang sudah meninggal lima tahun lalu. Tidak ada jejak tertinggal di rumah itu kemana kami pergi. Basyir mengamuk, dia ingin agar kami segera ditemukan, memastikan apakah Tauke Besar sudah meninggal atau belum. Juga putra tertua Keluarga Lin, dia lebih marah lagi, dia harus membawaku ke Makau, itu perjanjiannya dengan Basyir. Semakin cepat dia melakukannya, semakin cepat pula dia menjadi kepala Keluarga Lin.
“Apa yang harus kita lakukan, Bujang?” Parwez bertanya lagi.
“Aku tidak tahu, Parwez.” Aku menjawab pendek.
“Kita tidak bisa menunggu terus—“
“Kau bisa kembali ke kantor jika kau mau, Parwez!” Aku berseru kesal, meletakkan mangkok buburku dengan kasar, mangkok bergambar ayam jago itu terguling, jatuh ke lantai, tidak pecah tapi isinya berserakan. Sudah dua kali Parwez bertanya soal ini, mendesak.
“Kau selalu bisa kembali ke sana, Parwez. Kau bukan tukang pukul. Basyir tidak akan membunuhmu, dia mungkin akan tertawa senang melihat kau bergabung, memelukmu, menepuk-nepuk bahu. Dia membutuhkan kau, hanya kau satu-satunya yang bisa menjalankan bisnis legal puluhan perusahaan. Kau tidak perlu menghabiskan waktu bersamaku di sini.”
Parwez terdiam, menelan ludah menatap wajahku.
“Aku tidak mau kembali ke sana, Bujang. Basyir bukan kepala keluarga. Kau-lah kepala Keluarga Tong sekarang.”
Aku menghembuskan nafas, balas menatap wajah tertekuk Parwez. 
Aku mungkin terlalu kasar dengan Parwez. Tidak seharusnya aku meneriakinya barusan. Parwez sangat setia kepada Tauke Besar—dan itu berarti dia akan setia kepadaku. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaannya. Tubuhku masih terasa sakit, lebam biru, luka tusuk, ada di mana-mana, bahkan kalaupun aku sehat bugar, aku tetap tidak bisa melakukan apapun. Basyir kuat sekali, aku selalu kalah bertarung dengannya. Tadi malam, aku sudah mengerahkan seluruh kemampuan, dia dengan mudah mengalahkanku. Dan yang lebih serius lagi, sejak tadi pagi, sejak tahu Tauke sudah meninggal, kepalaku dipenuhi kecemasan, ketakutan. Sesuatu yang tidak pernah terjadi dua puluh tahun terakhir. Aku kembali mengenal rasa takut. Apa yang harus kulakukan, jika aku sendiri saja mulai takut? 
Parwez menunduk. Kali ini tidak banyak bicara lagi.
***
Siang berlalu dengan cepat, juga sore, melintas, dan malam telah tiba.
Seharian aku dan Parwez hanya berada di ruangan itu. Sesekali Parwez menelepon staf kepercayaannya, bertanya situasi terkini, sesekali dia yang ditelepon, dan stafnya berbisik takut-takut di seberang sana. Menjelang petang, terbetik kabar, Basyir telah memindahkan markas ke gedung tempat kantor Parwez. Dia tidak merasa aman di markas lama, karena ada banyak sistem keamanan Kopong yang dia tidak tahu, setidaknya di gedung tiga puluh lantai itu, posisinya lebih kuat, ada lapisan lantai yang harus ditembus sebelum tiba di kantor Parwez.
Aku juga sudah menduga kepindahan markas, Basyir jelas khawatir atas banyak hal. Dia memang terlihat percaya diri, kuat dan cepat, tapi di sudut hatinya, dia masih memiliki rasa takut—yang juga kumiliki sekarang. Basyir mungkin cemas masih ada kemungkinan Letnan, orang-orang yang membelot kepadanya, tiba-tiba mengkhianatinya, menikamnya dari belakang. Situasi masih rentan, masa-masa transisi, tidak bisa diduga. Di luar juga masih banyak tukang pukul yang setia kepada Tauke Besar. Tambahkan Tauke, aku dan Parwez yang belum jelas posisinya. Apakah kami telah tewas atau sedang bersembunyi menyusun kekuatan. Basyir memilih memusatkan pertahanan di gedung itu, bersama pasukan Keluarga Lin.
Sepanjang hari, Tuanku Imam menemuiku dua kali, satu saat makan siang, satu menjelang makan malam. Muridnya membawa nampan makanan, Tuanku Imam menemani kami, mengajak bercakap-cakap sebentar, bertanya bagaimana kondisiku. Hampir dua puluh jam sejak pertarungan, fisikku pulih dengan cepat, luka-luka mengering, lebam biru memudar, sama seperti dulu saat dua puluh empat luka setelah berkelahi dengan babi besar. Tapi tidak dengan motivasi dan semangatku, aku terus berkutat dengan banyak keraguan. Parwez hanya diam di ranjang kayunya, tidak ikut bicara, dia menunduk menatap lantai.
“Kau tidak ingin keluar dari kamar, Agam?”
Buat apa?
“Melihat-lihat sekolah? Melemaskan badan?”
Aku menggeleng.
“Murid-muridku mengurus diri sendiri di sekolah ini. Mereka memasak, mencuci, membersihkan asrama secara mandiri. Sama seperti yang Syahdan dulu lakukan. Dia pandai sekali memasak, kami selalu senang setiap kali Syahdan piket di dapur. Apakah kau tahu bapak kau pintar memasak, Agam?”
Aku mengusap wajah, aku tidak pernah melihat Bapak memasak.
“Tauke Besar sudah disemayamkan di rumah duka tidak jauh dari sini, aku mendaftarkannya dengan nama alias. Tidak akan ada yang tahu dan curiga. Kau ingin mereka segera menguburkannya atau menunggu, Agam?” Tuanku Imam pindah membahas hal lain.
“Segera kuburkan.” Aku menjawab pelan. Itu mungkin lebih baik, Tauke Besar selalu menginginkan prosesnya dilakukan cepat, tanpa menunggu siapapun. 
Tuanku Imam mengangguk, “Akan kuberitahu rumah dukanya.”
Separuh jalan menghabiskan makanan, Tuanku Imam pamit, dia hendak pergi ke masjid, mengisi majlis ilmu, “Semoga kau suka tinggal di sekolah ini, Agam. Anggap saja seperti rumah sendiri. Saat fisikmu sudah pulih, kau bisa menyiapkan rencana-rencana.” 
Aku tidak menjawab. Suasana hatiku kembali buruk. Percakapan dengan Tuanku Imam membuatku membayangkan Tauke Besar dikuburkan oleh petugas rumah duka. Malang sekali nasibnya, Tauke harus dimakamkan dengan nama alias. Seseorang yang sangat berkuasa sepanjang hidupnya, mati sendirian, tanpa ada yang menghadiri pemakaman. Tidak ada sanak keluarga, kerabat, teman dekat. Aku menghela nafas berat. Dadaku terasa sesak. Ini sama persis seperti saat kepergian Mamak dan Bapak dulu, kematian Tauke membuatku kehilangan semangat.
Aku bahkan meringkuk tidak berdaya setiap kali adzan berkumandang. Itu selalu menyiksa. Aku benci mendengarnya. Seluruh kenangan masa kecil kembali menghantam kepalaku saat adzan itu terdengar.
“Kau baik-baik saja, Bujang?” Parwez bertanya.
Makan malam selesai setengah jam lalu, shalat Isya tiba. Suara adzan dari speaker masjid sekolah terdengar lantang. Aku yang sedang tidur-tiduran di atas ranjang reflek menutup kuping. Nafasku tersengal. Butir keringat menetes di wajah, tanganku gemetar. Aku tidak baik-baik saja. Aku ingin adzan itu berhenti. Secepat mungkin.
Parwez menatapku tidak mengerti. Dia berdiri di dekatku, bingung harus melakukan apa.
Kondisiku membaik saat adzan selesai. Nafasku kembali normal. Meluruskan kakiku, melemaskan tangan. Aku mengusap wajah. 
“Kau baik-baik saja, Bujang?” Parwez bertanya sekali lagi.
Aku mengangguk. Aku sekarang baik-baik saja.
Malam itu, aku memutuskan tidur dengan cepat. Aku lelah dengan semuanya. Kepalaku dipenuhi oleh banyak pertanyaan, kecemasan dan keraguan. Semua bertalu-talu di sana. Mungkin tubuhku butuh istirahat. Dua puluh tahun aku berlari cepat, belajar banyak hal, melewati banyak kejadian, dua puluh tahun aku merasakan pahit getirnya kehidupanku, aku sudah lelah. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan besok lusa, mungkin tidur akan membuatku lebih baik.
Parwez juga beranjak tidur di ranjang kayunya. 
Setelah berkali-kali berganti posisi, aku tertidur di atas tikar pandan, tubuhku membutuhkan lebih banyak istirahat. Aku tidur lelap.
Hingga suara adzan kembali terdengar dari menara masjid, shalat shubuh. Bagai ada yang menyentrum tubuh, aku terbangun. Semua kecemasan itu kembali menyergap kepalaku. Seperti terbangun di antara keramaian yang memekakkan telinga, atau terbangun di atas perahu yang limbung. Apa yang harus kulakukan? Aku akhirnya hanya bisa meringkuk, menutup telinga serapat mungkin. 
Tapi pagi itu, ada yang berbeda, Tuanku Imam melihat gerakan resahku di atas ranjang. Dia yang selalu disiplin memeriksa asrama sekolah, memastikan murid-muridnya beranjak ke masjid tepat waktu, sedang melewati kamarku. Menyaksikan tubuhku yang berontak, seperti seekor cacing kepanasan.
Tuanku Imam menatapku iba, menghela nafas. Dia beranjak melanjutkan langkah ke masjid, lantas kembali menemuiku setelah shalat, mengajakku bicara tentang masa lalu, hari ini, dan masa depan. Memberikan sebagian jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. 
Termasuk mengatasi ketakutan-ketakutan baru yang kumiliki. 
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar