Senin, 04 September 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 20 Part 1. Suara Adzan

“Kau mungkin tidak mengenalku, Nak. Tapi aku amat mengenalmu.” 
Tuanku Imam tersenyum, wajahnya terlihat teduh. Membantuku duduk di atas ranjang kayu.
“Apa yang terjadi?” Aku bertanya, suaraku masih serak.
“Kau ditemukan pingsan bersama Tauke di halaman rumahku. Juga bersama salah-satu temanmu. Kalian keluar dari lorong rahasia.”
Ada banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku, tapi saat nama Tauke disebut, aku segera ingat seluruh kejadian sebelumnya, aku bergegas bertanya, “Di mana Tauke sekarang? Bagaimana kondisinya?”
Tuanku Imam menunjuk ke samping, “Maafkan aku, Agam. Kami sudah berusaha maksimal, tapi Tauke tidak tertolong. Dia sudah sangat payah saat tiba di halaman rumput.”
Aku menatap tak percaya ke sampingku, di atas tempat tidur kayu satunya, terbujur kaku Tauke Besar. Tubuh pendek gempal itu telah membeku, ditutupi kain putih hingga leher. Ada beberapa pemuda dengan pakaian sama seperti yang dikenakan Tuanku Imam berdiri di sana, mungkin murid-murid Tuanku Imam, mereka yang tadi mengurus luka-lukaku. Juga Parwez, duduk di kursi samping ranjang Tauke, wajah Parwez kuyu, matanya merah, dia sedang terpukul.
Tere Liye : Pulang

Apalagi aku, aku menggeram panjang. Terdengar seperti lengking kesedihan seekor anak srigala yang kehilangan induknya. Mengeluh tertahan. Seperti lolongan nestapa hewan di malam hari. Ruangan besar itu senyap, hanya menyisakan suaraku.
“Kau sebaiknya tidak banyak bergerak, Agam. Kau butuh beristirahat, agar jahitan dan bebat lukamu tidak bergeser.”
Aku tidak peduli. Aku bahkan tidak peduli jika aku mati. Lihatlah, Tauke Besar, orang yang sudah kuanggap sebagai Bapakku, keluargaku satu-satunya, telah meninggal. Jantungku seperti diiris sembilu, kepalaku seakan pecah oleh kesedihan yang datang. Aku beranjak turun dari tempat tidur, melangkah gemetar mendekati Tauke.
Beberapa pemuda dengan pakaian putih hendak menahanku, tapi Tuanku Imam bijak mengangkat tangan, menyuruh membiarkan. Setelah melangkah patah-patah, aku terduduk di kursi kosong samping ranjang Tauke, bergetar tanganku meraih jemari Tauke yang pucat. 
“Tauke…. Tauke….” Aku berkata dengan suara serak.
Bagaimanalah ini? Tauke Besar tetap terbujur kaku.
“Tauke sudah pergi, Bujang.” Parwez di hadapanku berkata serak.
Aku menunduk, menggigit bibir. Kesedihan ini. Terasa sangat menyakitkan. Inilah hal yang paling kutakutkan dalam hidupku. Sejak aku menyelamatkan Tauke dari serangan babi raksasa di lereng rimba Sumatera, aku tidak lagi memiliki rasa takut, kecuali atas tiga hal, kematian orang terdekatku. Ada tiga lapis benteng rasa takutku. Satu lapis terkelupas, saat Mamak pergi. Satu lapis lagi terlepas, saat Bapak pergi. Malam ini—entah ini malam atau siang di luar sana, lapisan terakhirnya telah rontok, ketika Tauke Besar akhirnya mati. Itulah kenapa aku tidak mau membicarakan soal kematian Tauke. Aku tahu persis, itulah benteng terakhir ketakutan yang kumiliki. 
Aku menangis tersedu tanpa air mata, tanpa suara, Tauke, hiduplah! Aku menggerakkan tubuh Tauke. Aku mohon. Jika Tauke juga pergi, maka kemana lagi aku harus pulang?
Aku tidak punya lagi tempat pulang.
Ruangan itu senyap.
***
Lima belas menit kemudian, Tuanku Imam menepuk lembut bahuku.
“Kau harus istirahat, Agam. Biarkan murid-muridku membawa Tauke pergi, akan ada orang yang mengurusnya, sesuai agama dan kepercayaan Tauke. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan, Tauke tidak akan kembali.”
Aku mengangguk, menurut kepada orang dengan jubah putih itu, kembali ke atas tempat tidurku. Tubuh Tauke dibawa keluar dari kamar, menyisakan kami bertiga, Parwez masih di sana, duduk menatap ranjang kayu tempat Tauke disemayamkan sebelumnya yang sekarang kosong. 
“Di mana kita sekarang?” Aku teringat soal Basyir dan putra tertua Keluarga Lin. Kapanpun, Brigade Tong dan pasukan Keluarga Lin bisa menemukan kami, mereka bisa menembus lantai, kemudian mengikuti lorong darurat itu.
“Kita berada di tempat yang aman, Agam.” Tuanku Imam menjawab, “Tiga puluh kilometer dari ibukota. Saat aku tahu lempeng besi di halamanku dibuka, itu berarti kondisi yang sangat darurat telah terjadi di rumah Tauke. Kami langsung menyiapkan kendaraan, membawa kalian keluar kota, ke tempat ini. Ke sekolah agamaku.”
“Aku tahu kau punya banyak pertanyaan. Satu-dua aku mungkin bisa menjawabnya, satu-dua akan kau ketahui sendiri jawabannya, sisanya mungkin butuh waktu…. Kenapa lorong itu keluar di halaman rumah itu? Jawabannya, itu ide Kopong. Bagaimana aku bisa mengenal Kopong? Kau mungkin tidak tahu, setiap bulan, Kopong selalu mengirim surat ke Mamak kau di talang sejak kau ikut Tauke ke kota provinsi. Dia telah berjanji kepada Mamak kau, untuk mengabarkan apapun tentang Bujang, anak satu-satunya.
“Saat kau lulus sekolah persamaan, saat kau diterima di universitas ternama ibukota, Mamak kau berlinang air-mata membaca kabar-kabar hebat itu. Jangan tanya saat Kopong mengirim surat kau lulus menjadi sarjana. Mamak kau sudah sakit-sakitan waktu itu, tapi dia memeluk erat foto kau, menciuminya, amat bangga. Tidak terbayangkan, anak satu-satunya telah sekolah tinggi. Dan Kopong berlaku bijak, dia selalu mengirimkan kabar yang baik-baik, dia enggan bercerita tentang hal lain yang bisa membuat Mamak kau runsing. Tak sepatah pun Kopong menulis tentang tukang pukul.
“Setelah Mamak kau wafat, surat-surat itu terus dikirimkan Kopong, sekarang kepada Bapak kau, Syahdan. Isinya tentang kau yang kuliah di luar negeri, menamatkan pelajaran berpistol dari Salonga, juga pelajaran berpedang dari Guru Bushi. Kau yang menjadi tukang pukul nomor satu di Keluarga Tong, hebat sekali, hari ini ada di Hong Kong, malamnya sudah di Tokyo, untuk besok paginya sudah berada di Mumbai. Bapak kau bangga membacanya, terkekeh. Berseru bangga, dalam seluruh sejarah perewa pulau Sumatera, belum ada yang sehabat anaknya, Bujang.
“Aku tahu semua surat-menyurat itu saat Bapak kau sekarat. Aku datang menemaninya selama tiga hari di talang. Bapak kau memberikan seluruh surat-surat dari Kopong, memintaku membacanya, dan di penghujung hayatnya dia bilang, agar aku menjagamu, setidaknya mengawasimu dari kejauhan. Aku mengangguk, menerima wasiat itu. Aku iba melihat keluarga kalian. Syahdan, Midah, malang sekali nasib mereka, terusir dari tanah kelahiran karena cinta. Itu juga salahku, Bujang. Aku sungguh minta maaf tidak bisa melawan tetua, seharusnya aku menjadi pelindung orang tuamu. Mereka sepatutnya berhak tinggal di kampung kita, tidak terusir. Tapi urusan ini terlanjur rumit, padahal kau jelas adalah keluarga kami. Kau tahu kenapa namamu adalah Agam? Karena itu diambil dari nama leluhur kita, Tuanku Imam Agam, seorang syahid, ulama besar, panglima perang paling berani di seluruh pulau Sumatera. Satu pekik takbir darinya, mampu merontokkan benteng-benteng penjajah Belanda. Syahdan yang menyematkan nama itu atas usul Mamak kau.
“Setahun setelah Bapak kau wafat, aku memutuskan pindah ke ibukota, agar aku bisa menunaikan wasiat Bapak kau. Putra tertuaku mengambil alih sekolah agama di kampung, dia menjadi Tuanku Imam. Aku mendirikan sekolah agama baru di ibukota, beberapa muridku ikut berangkat, juga ratusan murid lain yang bergabung di sini. Saat kau sedang bertugas di luar negeri, beberapa tahun lalu, aku memutuskan menemui Kopong, tukang pukul yang dulu menemani Bapak kau pulang. Aku datang memperkenalkan diri, Kopong masih mengingatku. Dan terjadilah hal menarik, tidak hanya bertemu Kopong, aku juga bertemu dengan Tauke Besar. Kepala Keluarga Tong.”
“Hidup ini penuh misteri, Agam. Satu-dua aku mengerti jawabannya, lebih banyak yang tidak. Tauke Besar adalah karakter yang menarik tersebut. Dia sangat menghormati orang-orang sepertiku meski kami berbeda jalan, meski dia adalah bandit besar. Dia menganggapku sebagai kawan, memanggilku Guru, menyanjung, pun bersedia mendengarkan. Dia setuju agar aku ikut mengawasi Bujang, anak angkatnya. Bilang, jika dia mati, maka Bujang akan sendirian, kau butuh bantuan dan dukungan dari siapapun. 
“Kami sering bertemu tanpa sepengetahuanmu, Tauke dan Kopong bahkan pernah datang ke sekolah agamaku. Kami bersepakat tidak memberitahumu, agar kau tidak salah-paham, atau marah karena itu akan mengingatkanmu atas masa lalu. Dalam sebuah pertemuan, Kopong mengusulkan sesuatu terkait lorong itu, agar ujungnya tiba di halaman rumah dekat markas kalian. Malam tadi aku kebetulan sedang di sana, biasanya rumah itu hanya ditinggali beberapa murid sekolah agama yang sedang ada keperluan di ibukota, aku melihat kau menggendong Tauke Besar keluar, kemudian terjatuh di halaman rumput. Aku dan murid-muridku segera membawa kau ke tempat ini. Sisanya kau sudah tahu.”
Ruangan itu lengang sejenak.
“Apa yang terjadi di markas Keluarga Tong, Agam?”
Aku menghela nafas, menunduk.
“Pengkhianatan.”
Tuanku Imam menarik nafas prihatin.
“Seberapa serius?”
“Mereka mengambil-alih seluruh markas. Ratusan tukang pukul tewas.”
“Itu berarti buruk sekali.” Tuanku Imam menepuk lenganku, “Baiklah. Sekarang hampir waktu shalat subuh, aku harus memimpin murid-murid berjamaah. Akan kubiarkan kau bersama temanmu di sini untuk beristirahat, jangan cemaskan banyak hal terlebih dahulu. Kau aman di sini. Mereka tidak tahu hubungan kau dengan sekolah agama ini, bahkan itu terlihat tidak masuk akal.”
Orang tua dengan jubah putih itu meninggalkanku, punggungnya hilang dibalik pintu.
Aku meringkuk di atas ranjang papan. 
Situasi kami memang buruk. Tauke Besar telah mati. Memikirkan itu, rasa sedih kembali menikam jantungku. Teringat wajah Tauke saat mengajakku berburu, wajahnya saat mengajakku ikut ke kota provinsi. Wajahnya saat marah karena aku minta berhenti membaca buku, dan dia membuat ritual amok. Wajah masamnya, tawa lebarnya, teriakan kencangnya saat mengamuk, seruan bangganya, semua campur aduk, melintas di kepalaku. Tauke mati karena pengkhianatan. Seluruh kerja-kerasnya berpuluh tahun sia-sia, diambil alih pengkhianat dalam waktu semalam.
Lima menit kemudian, suara adzan terdengar. Kami persis berada di komplek sekolah agama, masjid hanya belasan meter dari ruanganku, maka suara panggilan shalat itu terdengar lantang, bagai menusuk telinga, memenuhi langit-langit kamar. Aku memeluk lutut, mendesis benci. Seluruh momen kesedihan milikku hadir saat adzan ini terdengar. Aku membencinya, bagaimana suara itu akan memanggil orang-orang untuk menghadap Tuhan, jika terdengar berisik dan mengganggu?
Aku tergugu di atas ranjang. Berusaha menutup kupingku. Yang semakin kututup, suara adzan itu semakin memantul-mantul, seolah aku sendiri yang mengumandangkannya.
Situasiku amat buruk. Pagi itu, tiga orang yang paling penting dalam hidupku telah mati, menyusul kematian Tauke Besar. Tiga lapis benteng pertahananku, motivasiku, inspirasiku telah pergi selama-lamanya. Itu mencabut banyak hal dari diriku, salah-satunya yang paling penting adalah: keberanianku.
Pagi itu, rasa takutku kembali. 
Menyelinap dalam hati. Mulai menggerogoti pondasinya.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar