Selasa, 12 September 2017

Tere Liye : Pulang

BAB 24 Part 2: Samurai Sejati
Kami telah memenangkan peperangan. 
Ada banyak tukang pukul yang tewas dari kedua belah pihak. Togar dan anak-buahnya segera mengurusnya, tubuh bergelimpangan itu harus dibersihkan sebelum pagi tiba. Juga bekas darah, senjata, dan benda-benda tajam. Togar juga harus memikirkan tentang gedung seberang yang terkena bazooka, suara tembakan dan semua keributan dari gedung kantor Parwez. Dia harus mengarang cerita yang baik, menyumpal banyak petugas, juga wartawan, agar berita yang keluar hanya terlihat seperti ledakan pipa gas, korslet genset listrik atau cerita karangan sejenisnya. 
Tere Liye : Pulang

Aku mempercayai Togar, dia bisa mengerjakan semuanya dengan baik. Aku bahkan sudah punya kandidat tepat sebagai pengganti Kopong. Togar telah melewati ritual amok, dia satu jam lebih menahan ratusan anggota Brigade Tong saat peperangan tadi, meski dengan kaki terluka, dia tetap berdiri. Itu lebih dari cukup.
White kehilangan dua anggota tim mantan marinirnya, dua lagi luka parah, harus dibawa untuk mendapatkan pertolongan medis segera. White harus pergi.
“Terima kasih banyak atas bantuan kau, White.” Aku menepuk bahunya.
“Sama-sama, Bujang. Jangan lupa, kau harus membayar mereka. Termasuk asuransi kematian, biaya pengobatan, biaya lain-lain, tagihan akan dikirimkan ke alamatmu.”
Aku mengangguk, aku pasti mengurusnya.
“Salam buat Frans. Bilang kepadanya, Tauke Besar telah beristirahat dengan damai. Sakit hatinya telah terbalaskan. Markas Keluarga Tong kembali dikuasai. Jika Frans sempat, mampirlah ke ibukota, aku akan mengantarnya sendiri ke makam Tauke. Orang tua itu malang sekali, tidak ada kerabat dan kenalan yang mengantarnya hingga liang kubur.”
White mengangguk, menjabat tanganku, kemudian berlarian menaiki helikopter. Baling-baling menyibak butir air, angin kencang menerpa wajah kami. White melambaikan tangan, helikopter itu segera naik. Aku menatap helikopter itu hingga hilang di langit gelap.
Salonga! Dia melangkah mendekat, tertawa melihatku, menepuk-nepuk pipiku.
“Ini seru, Bujang. Lebih seru daripada hanya duduk melamun menjaga benda yang kau titipkan di Manila. Aku barusaja mendapatkan liburan terbaik.” 
Aku ikut tertawa—meski sebenarnya jika Salonga terlambat lima menit lagi saja, maka Togar, White tidak akan tertolong. Salonga sama seperti si kembar, keributan seperti ini hanya dianggap selingan menarik.
“Terima kasih telah mengirimkan pasukan berpistol, Salonga. Mereka tidak sebodoh yang sering kau katakan, mereka petarung yang baik.”
“Hei!” Salonga mengangkat tangannya, tidak terima dengan kalimatku, “Aku tidak pernah serius saat memaki muridku, Bujang. Aku hanya tidak tahu bagaimana menunjukkan betapa pedulinya aku kepada mereka. Tidak semua orang master dalam menyampaikan perasaan. Aku hanya ahli menembak.”
“Kau selalu serius saat memaki orang, Salonga.” Aku menggeleng, tidak termakan bualan Salonga, “Hingga hari ini, aku tidak bisa melupakan malam-malam saat berlatih menembak dengan kau.”
Salonga terkekeh, tidak balas berkomentar, dia memasang topi hitam, gerimis kembali deras.
Parwez telah tiba dari gedung kantor pusat perbankan milik pemerintah. Sepanjang pertempuran dia menunggu di sana, bersama tukang pukul yang menjaganya. Wajahnya jauh lebih cerah, dia tersenyum lebar.
“Kita menang, Bujang.” 
“Ya. Kau pastikan tidak ada operasional bisnis legal yang terganggu karena kejadian ini, Parwez.” Aku langsung memberi perintah, “Besok, seluruh kantor perusahaan harus kembali dibuka, adakan konferensi pers, pastikan cerita versimu sama dengan versi Togar. Semoga harga saham perusahaan kita di bursa efek dunia tidak terkoreksi akibat menghilangnya kau dua hari terakhir dan begitu banyaknya insiden yang melibatkan gedung ini.”
Parwez mengangguk, dia segera pamit menuju lantai ruangan kerjanya, memastikan tidak ada dokumen penting yang tercecer setelah dikuasa Basyir dua hari terakhir.
Kesibukan di gedung kantor Parwez terus terlihat hingga dini hari. Gerimis membungkus ibukota. Aku mendongak, menatap rimba beton. Gedung-gedung menjulang. Aku sudah berhasil merebut kembali kekuasaan Keluarga Tong. 
Dari jauh sayup-sayup terdengar suara adzan shubuh. 
Aku tersenyum.
Tuanku Imam benar, itu panggilan Tuhan bagi siapapun, tidak pernah didesain untuk mengganggu. Kali ini, aku bisa mendengarnya dengan lega. Lebih dari 13.000 hari aku mendengarkan suara adzan, lima kali sehari, pagi, siang, sore dan malam. Dari sekian puluh ribu panggilan itu, kali ini, aku baru memahaminya. Aku menyeka wajah yang basah oleh butir air. Terlambat? Tidak juga. Panggilan itu tidak pernah mengenal kata terlambat, panggilan itu selalu bekerja secara misterius.
Aku kepala Keluarga Tong sekarang, memimpin ribuan anggota keluarganya, puluhan perusahaan, tersebar di seluruh kawasan Asia Pasifik. Aku bisa menentukan haluan baru kemana keluarga penguasa shadow economy ini akan dibawa. 
Akulah Tauke Besar.
*** 
Bab 25. Epilog: Pulang

Empat minggu sejak peperangan di gedung kantor Parwez.
Aku memutuskan menjenguk pusara Mamak dan Bapak di talang.
Menatap kembali ladang tadah hujan milik Bapak yang sekarang telah menjadi belukar. Juga mengunjungi rumah panggung, yang hanya tinggal tiangnya saja. Rumput liar tumbuh di atas reruntuhannya. Dua puluh tahun lamanya aku meninggalkan talang ini.
Aku duduk di sebelah pusara Mamak, tak jauh dari bekas ladang dan reruntuhan rumah. Menatap gundukan tanah tanpa nisan. Berkata lirih.
“Mamak, Bujang pulang hari ini. Tidak tidak di pangkuanmu, tidak lagi bisa mencium tanganmu. Anakmu pulang di samping pusaramu, bersimpuh penuh kerinduan. 
Mamak, Bujang pulang hari ini. Anak laki-lakimu satu-satunya telah kembali. Maafkan aku yang tidak pernah menjengukmu selama ini. Sungguh maafkan.
Mamak, Bujang pulang hari ini. Terima kasih banyak atas seluruh didikanmu, walau Mamak harus menangis setiap kali melihat Bapak melecut punggungku dengan rotan. Terima kasih banyak atas nasehat dan pesanmu.
Mamak, Bujang pulang hari ini. Tidak hanya pulang bersimpuh di pusaramu, tapi juga telah pulang kepada panggilan Tuhan. Sungguh, sejauh apapun kehidupan menyesatkan, segelap apapun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang. Anakmu telah pulang.”
Lima belas menit kemudian. 
Aku sudah mengenakan kaca-mata hitam. Melangkah mantap menuju lapangan dekat ladang padi tadah hujan. Di sana telah menunggu helikopter apache. Aku naik ke atasnya.
“Berangkat, Edwin. Aku harus tiba di Hong Kong malam ini, aku ada urusan dengan Master Dragon yang harus diselesaikan. Dia harus membayar kebohongannya.”
***

TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar