Kamis, 31 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 18. Part 2: Pengkhianatan Bag. 2
“Kenapa dia menyerang kelompok Arab yang berpuluh tahun hidup damai mengurus pabrik tekstil. Hanya untuk memuaskan ide gilanya tentang menguasai seluruh kota provinsi. Keluargaku bukan bangsat, bajingan, mereka hanya kebetulan saja tinggal di sana, berbaur di kampung Arab. Malam itu, puluhan tukang pukul Keluarga Tong datang menyerang, membabi-buta, menghancurkan apapun yang ada di sana. Rumah keluargaku terbakar, Ayah dan Ibuku mati terpanggang. Mereka tidak berhasil menguasai kawasan itu pada serangan pertama, mereka dipukul mundur, tapi akibatnya, orang-orang yang tidak bersalah menjadi korban. Aku menatap sendiri tubuh orang tuaku yang menjadi arang hitam, tidak sempat melarikan diri dari kebakaran.” 
Suara Basyir tercekat oleh emosi, wajahnya merah-padam menatap Tauke Besar.
“Malam itu juga, aku ingin membalaskan rasa sakit hati itu. Tapi usiaku baru enam tahun. Bagaimana aku melakukannya? Tanganku lemah, kakiku gemetar. Aku hanya bisa menangis. Bagaimana aku akan melawan satu rombongan tukang pukul penuh amarah? Satu-satunya yang berhasil kuselamatkan dari rumah itu hanyalah buku saku hadiah ulang tahun dari Ibuku. Berisi pepatah leluhur kami, suku Bedouin. Tapi Bapakku bukan penunggang kuda, Bujang, dia hanya guru sekolah dasar, Ibuku juga bukan bangsa nomaden, dia hanya ibu rumah tangga, kami bukan preman, bajingan seperti kelompok Arab yang hendak dihabisi Tauke, kami hanya keluarga biasa.”
“Sejak malam itu, aku tidak punya rumah lagi, aku menjadi anak jalanan. Hidup dari satu pasar ke pasar lain, tumbuh dengan semua kekerasan, mencuri, berkelahi. Setiap malam, saat gelap tiba, aku hanya bisa meringkuk di depan los pasar, atau kolong jembatan, berusaha tidur. Satu-satunya hiburanku adalah membaca buku hadiah ulang tahun dari Ibu, menangis, memeluk buku itu. Terkenang, setiap malam, saat kami masih tinggal di rumah yang nyaman, Ibu selalu membacakan pepatah-pepatah itu, menjelaskan maksudnya, kali itu tidak lagi, Ibu telah terbakar hangus. Aku hanya punya buku itu, membacanya berkali-kali hingga aku hafal di luar kepala.
“Buku itu dipenuhi nasehat indah yang saat membacanya justeru membuatku menangis. Bersabarlah, maka gunung-gunung akan luruh dengan sendirinya, lautan akan kering. Biarkan waktu menghabisi semuanya. Bagaimana aku harus bersabar? Setelah seluruh kebahagiaan keluargaku dihancurkan dalam semalam. Mudah sekali bicara, tapi menyakitkan menjalaninya.”
“Tapi buku itu benar, usia dua belas tahun, jalan balas dendam itu terbuka sendiri. Salah-satu tukang pukul Keluarga Tong membawaku ke markas, Tauke hanya menganggapku anak jalanan, sama seperti ratusan anak jalanan lain yang direkrut, setelah bersabar enam tahun di jalanan, tiba-tiba aku telah menjadi anggota Keluarga Tong. Aku sebenarnya bisa mengendap-endap ke kamar Tauke, menghujamkan belati ke lehernya. Tapi itu tidak cukup, pembalasan seperti itu terlalu gampang. Pepatah di buku saku itu menulis tentang gunung, tentang lautan. Maka apalah artinya menunggu lagi bertahun-tahun, tidak masalah. Aku akan menunggu saat yang tepat, ketika Tauke bisa melihat seluruh kejayaan yang dia bangun bertahun-tahun, menjadi sia-sia begitu saja.
Tere Liye : Pulang

“Kau tahu bagaimana rasanya bersabar selama itu? Tidak bisakah kau membayangkan, bagaimana aku harus menipu diri sendiri, hah? Tersenyum di hadapan orang yang membakar keluargaku, tertawa, melaksanakan tugasnya dengan patuh, dan semua sandiwara hebat itu. Aku bisa melakukannya, Bujang. Karena saat malam-malam di jalanan, meringkuk demam di bawah selimut bau, menggigil menatap gerimis menyiram pasar, aku berjanji, jika besok aku masih hidup, bisa melewati malam, aku akan menunggu waktu terbaik membalaskan dendamku. Maka aku menunggu hingga hari ini, dua puluh tahun lebih. Saat Keluarga Tong sudah tiba di puncak kekuasaannya. Itu akan menjadi hari yang sangat sempurna. Membalaskan kematian Ayah dan Ibuku yang terbakar hidup-hidup.” Basyir mengakhiri ceritanya.
Ruangan lengang sejenak. Tauke Besar di atas ranjang terdiam. 
“Cerita yang bagus, Basyir.” Aku berkata dingin, “Tapi itu tetap tidak mengubah fakta, kau adalah pengkhianat rendah.” 
Basyir tertawa, “Hei! Aku memang pengkhianat, Bujang. Sejak hari pertama aku tiba di rumah ini, aku sudah menjadi pengkhianat. Tidak sekalipun aku menutupi siapa latar-belakang keluargaku. Aku selalu membanggakan suku Bedouin, leluhur orang tuaku. Kau ingat pepatah yang kutulis besar-besar di dinding kamarku, "I against my brother, my brothers and I against my cousins, then my cousins and I against strangers." Itu adalah pepatah paling terkenal di suku Bedouin. Aku melawan kakakku; kakakku dan aku melawan sepupuku; sepupu-sepupuku, saudara-saudaraku melawan orang asing. Pepatah itu adalah simbol kesetiaan. Keluarga adalah segalanya bagi suku Bedouin. Keluarga yang kumaksudkan tidak pernah Tauke Besar, melainkan keluargaku sendiri.”
“Bergabunglah bersamaku, Bujang. Kita bisa menjadi partner setara, berbagi kekuasaan. Parwez tetap bisa menjadi kepala seluruh perusahaan, semua akan berjalan normal seperti sedia kala. Serahkan Tauke kepadaku, aku akan membawanya ke bekas rumahku dulu. Membakarnya di sana. Tidak ada lagi yang bisa kau lakukan, Keluarga Tong akan jatuh di tanganku, Tauke akan melihat seluruh kerja-kerasnya, akhirnya jatuh ke tangan pengkhianatnya.”
Aku menggeleng, “Kau tidak dalam posisi bernegosiasi, Basyir. Masih ada ratusan tukang pukul di keluarga ini. Brigade Tong hanya puluhan orang, sehebat apapun kau melatihnya, kau tidak akan menang melawan Letnan dan ratusan tukang pukul lain yang masih setia kepada Tauke. Saat alarm berbunyi, penyeranta di Letnan juga berbunyi, mereka sedang dalam perjalanan ke sini. Sia-sia kau mengirim mereka pergi menjauhi markas besar.”
Basyir kembali tertawa, “Oh ya? Aku tidak sebodoh itu, Bujang. Aku memang tidak pernah sekolah seperti yang kau lakukan, tapi aku tidak pandir. Aku punya rencana-rencana.”
Persis saat Basyir berhenti tertawa, dari balik lubang di dinding, melangkah masuk seseorang.
Putra tertua Keluarga Lin. 
“Selamat malam, Si Babi Hutan. Kau terkejut melihatku datang?”
Aku menggerung. Ini sungguh di luar dugaan. Bagaimana? Bagaimana dia bisa masuk begitu saja ke dalam markas? Dari luar terdengar keramaian, seperti ada puluhan mobil merapat ke halaman bangunan utama, bergabung dengan Brigade Tong. Itu bukan tukang pukul Keluaga Tong, itu adalah pasukan Keluarga Lin yang didatangkan dari Makau, juga orang-orang bayaran lain yang direkrut di ibukota. 
“Jasad Ayahku masih terbujur kaku di Grand Lisabon, Si Babi Hutan. Kami sudah sepakat, sebelum orang yang membunuhnya mendapat balasan setimpal, kami tidak akan mengremasi Ayahku…. Tidak akan mudah menangkap kau, Si Babi Hutan. Kabar baiknya, aku punya kawan satu kepentingan di sini, Basyir dengan senang hati membuka pintu gerbang markas Keluarga Tong, mempersilahkanku melenggang masuk. Aku membantunya berkuasa, dan dia akan membantuku memastikan kau berhasil dibawa hidup-hidup ke Makau.” 
“Kau bekerjasama dengan dia untuk mengkhianati Keluarga Tong, Basyir?” Aku menatap Basyir tidak percaya.
“Musuh dari musuhku adalah temanku. Itu juga pepatah lama dari suku Bedouin, Bujang.” Basyir tertawa, menoleh ke sekutunya, “Terima kasih atas kedatangan kau, Tuan Lin Muda. Kau tiba tepat waktu, kita bisa menyelesaikan semua urusan malam ini.”
Sekarang situasinya benar-benar rumit. Letnan dan tukang pukul yang kembali ke markas tidak akan menduga apa yang akan menyambutnya, pengkhianatan ini berkelindan dengan masalah lain. Keluarga Tong diserang dari dalam dan luar sekaligus. Pertarungan besar akan segera terjadi. 
“Tidak. Akulah yang berterima kasih diundang berpesta malam ini, Basyir.” Putra tertua Keluarga Lin balas tertawa, “Dan aku sangat berterima kasih pada kau, Si Babi Hutan. Aku sudah bosan menunggu Ayahku mati, untuk menggantikannya, kau telah mempercepatnya. Orang tua itu tidak bisa lagi mengatur-aturku seperti anak kecil. Setelah membereskan urusan ini, aku akan menjadi kepala keluarga. Genap sudah kekuasaanku di Makau. Mari kita sudahi percakapan, habisi mereka.”
Anggota Brigade Tong maju, belati mereka terhunus. Aku mengacungkan pedang. Bersiap menerima serangan kapanpun. Joni di sebelahku juga sudah siap—sejak tadi dia muak dengan basa-basi.
“Biar aku yang mengurus Si Babi Hutan, kalian tidak akan menang melawannya. Kalian urus Joni.” Basyir memberi perintah, sambil meloloskan khanjar dari balik jubahnya.
“Kau menginginkan pertarungan ini, bukan?” Basyir tersenyum kepadaku, “Membalaskan kekalahan di amok, bukan?”
Aku mendesis. 
“Kau tidak punya kesempatan menang melawanku, Bujang.” Basyir tertawa.
Aku menggenggam pedangku lebih erat. Menunggu kapanpun dia maju.
Di ujung tawanya, Basyir maju menyerang, khanjarnya berkelbat menyambar dadaku. Aku bergerak mundur satu langkah, khanjar itu mengenai udara kosong, aku balas menyabetkan pedang. Basyir berkelit, dia menghindar ke samping, tangan kirinya yang kosong memukul ke arahku, cepat, sebelum aku sempat melihatnya. Tinju Basyir menghantam tubuhku, membuatku terhentak dua langkah. 
Di sampingku, anggota Brigade Tong juga sudah maju menyerang Joni. Tanpa Letnan kepala yang terluka, tetap saja mereka berbahaya, Tauke Besar juga tidak bisa membantu, pistolnya kosong. Sementara Parwez meringkuk di samping ranjang, menciut ngeri melihat pertarungan ronde kedua. Putra tertua Keluarga Lin menonton di dekat lubang dinding, tersenyum sinis, membiarkan anggota Keluarga Tong saling membunuh. Dia tidak berniat mengotori tangannya.
Aku kembali memasang kuda-kuda kokoh, bahuku yang terkena pukulan Basyir terasa nyilu.
“Ada apa, Bujang? Wajahmu mengernyit kesakitan?” Basyir tertawa.
Sebagai jawabannya, aku menyabetkan pedang ke arahnya, lebih cepat, sebisa yang kulakukan. Basyir tidak menghindar, dia mengangkat khanjar, suara denting logam beradu memekakkan telinga, percik api menyambar. Pedangku terbanting, kuat sekali gerakan dia. Basyir bahkan segera maju, tangan kosongnya kembali mengincar, kali ini meninju perutku. Pedang di tanganku nyaris terlepas saat tinju Basyir mengenaiku. Aku melenguh menahan sakit, mundur dua langkah.
“Kau tidak akan pernah menang melawanku, Bujang.” Basyir berseru, menggeleng-gelengkan kepala, “Aku lebih cepat, lebih kuat. Kau tidak belajar dari ritual amok. Dua kali aku mengalahkanmu.”
Aku menyeka pelipis yang basah. Hujan semakin deras di luar. Juga angin berkesiur kencang, bulir airnya yang masuk membuat lembab kamar.
Beberapa menit lalu aku dan Joni menguasai pertarungan, sekarang situasinya terbalik. Di sebelahku, Joni sudah bersimbah darah, tubuhnya dipenuhi luka sabetan belati. Hanya karena daya juang yang tinggi, Joni tetap berdiri menahan seluruh rasa sakit, dia menjadi bulan-bulanan anggota Brigade Tong. Sementara aku seperti menemui benteng kokoh dari Basyir. 
Lima menit lagi berlalu, secepat apapun aku menebaskan pedang, sekuat apapun aku memukul Basyir, aku tetap kalah cepat, kalah kuat dibanding gerakannya. Ini sama seperti ritual amok beberapa tahun lalu, saat Basyir menggantikan Kopong. Basyir bisa bertahan enam puluh menit di dalam lingkaran, berapapun jumlah tukang pukul yang menyerangnya, Basyir tetap berdiri kokoh. Aku yang menjadi lawan terakhirnya, dan setelah pertarungan tangan kosong yang seru, dia berhasil menjatuhkanku. 
Aku dan Joni terus melangkah mundur, terdesak hingga mendekati ranjang Tauke. Situasi kami buruk, tubuhku juga terluka dibanyak tempat disambar Khanjar Basyir atau pukulan tangan kosong. Aku sudah berusaha bertahan habis-habisan, tapi ini sia-sia.
“Kau tahu kenapa kau tidak pernah menang berkelahi melawanku, Bujang?” Basyir menyeringai, menatapku yang menyeka darah di ujung bibir, “Karena kau hanya berlatih, hanya melakukan simulasi dengan guru-gurumu itu. Saat kau sedang bermain pedang-pedangan di Jepang sana, aku bertarung hidup mati di gurun pasir, terlibat pertempuran melawan milisi di Afrika. Saat kau sedang belajar menembak dengan Salonga, aku justeru berlarian dibawah hujan peluru perompak, juga hujan anak panah peperangan antar suku. 
“Bagaimana mungkin kau akan menang? Kau sejak kecil dimanjakan Kopong, takut sekali anak kesayangan Tauke Besar tergores. Sedangkan aku, sejak kecil bersahabat dengan bahaya dan kematian. Kau hanya dilatih lari cepat oleh Kopong, di tempat yang aman sentosa, sementara aku, hidup mati belajar meloloskan diri dari kejaran pembunuh bayaran. Kita tidak pernah setara, Bujang. Kau bukan tukang pukul, kau hanya orang yang tahu berkelahi dan kebetulan pintar. Kau lemah, kau tidak secepat dan sekuat yang kau bayangkan.”
Aku menggeram, sekali lagi khanjar Basyir berhasil menikam lenganku. Aku sudah berusaha menyerangnya dengan cepat, berkelit dengan cepat, gerakanku tetap tidak cukup. Basyir seperti bisa membacanya, dia bisa menangkis, untuk kemudian menusukkan belatinya.

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar