Kamis, 30 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 19. SEBERAPA BESAR CINTA MAMAK – 1
---------------------------------------------------------------
Seingatku, Mamak belum pernah semarah sore itu. 
Benar-benar marah, karena hingga malam semakin larut, Mamak sepatah pun tidak menegurku. Gerimis membasuh kampung. Jalanan terlihat lengang, tidak ada orang yang lewat membawa obor bambu pergi ke hutan mencari jangkrik atau sekadar pergi duduk di bale-bale bambu, mengobrol mengisi malam. Sempat ada dua tetangga yang menonton televisi, hanya bertahan sebentar. Mungkin karena acaranya tidak menarik, atau mereka ingin segera memeluk bantal hangat berselimutkan kemul, dua orang itu pulang. Meninggalkan aku sendirian di depan.
Tadi Bapak berseru dari dalam, menyuruhku masuk. 
Tere Liye Burlian

Aku tidak menjawab, hanya duduk di pojokan kursi. Memeluk lutut, menatap lantai, tidak bersuara kecuali dengusan sebal dalam hati, malam ini aku tidak akan masuk ke rumah. 
Setengah jam berlalu, Bapak berseru lagi, menyuruhku masuk, dengan intonasi suara sedikit jengkel.
Aku tetap tidak menjawab, sekarang berusaha tidur di kursi, bergelung. Udara malam mulai dingin menusuk tulang, apalagi perutku lapar. Sore tadi aku juga boikot makan. Peduli amat dengan dingin dan lapar, aku akan tidur di luar malam ini.
Setengah jam berlalu lagi, Bapak sekarang berdiri di depan pintu. Menatapku setengah jengkel setengah putus-asa, berkata tajam, “Kau akan masuk atau tidak, Burlian?”
Aku membenamkan mukaku ke sandaran kursi. 
Bapak menghela nafas panjang, “Terserah kau-lah!” Kembali masuk ke dalam.
Bagus, dengusku dalam hati, biarkan saja aku tidur di luar. Tidak usah pedulikan.
Tadi sore memang rusuh. Aku berteriak-teriak. Melempar buku-buku, membalikkan kursi-kursi, apa saja yang bisa kuraih. “TIDAK MAUUU!!! MAMAK SUDAH JANJIII!!” 
“Iya, tapi mau dibilang apa lagi, Burlian,” Mamak menyambar tanganku, menarik tubuhku agar menatap matanya. “Ayuk Eli butuh semua uang untuk sekolah di kota. Dan tadi, anaknya Wak Lihan yang sakit keras harus dibawa ke rumah sakit, mereka meminjam uang ke kita, apa yang bisa Mamak lakukan? Menolak mereka? Membiarkan si Buyung yang sudah pucat pasi, demam, matanya mendelik tanpa pertolongan.”
“TAPI MAMAK SUDAH JANJI!!!”
“Dengarkan Mamak, Burlian… tolong sekali ini saja dengarkan Mamak… uang untuk membeli sepedamu memang terpakai sekarang, untuk keperluan yang lebih penting. Tapi bukan berarti Mamak tidak jadi membeli sepeda itu. Enam bulan lagi saat panen kopi, Mamak akan belikan… atau saat Wak Lihan bisa mengembalikan uangnya—“
“TIDAK MAU!!! AKU MAU SEKARANG! SEKARANG!” Aku memotong penjelasan Mamak, mengibaskan tangannya lantas berlari ke depan rumah, membanting pintu hingga berdebam.
Maka aku yang masih marah sepanjang sore, hanya duduk menonton teman-teman yang bermain bola di lapangan bekas pabrik karet. Diam membisu saat yang lain mengajak bergabung, mendengus mengabaikan saat yang lain sibuk bergurau, mengolok-olok tampang kusutku. 
Omong kosong! Bukankah Mamak dulu selalu bilang, Burlian, di keluarga kita tidak pernah ada yang mengingkari janji. Kau hingga kapanpun juga tidak akan pernah melanggar janji. Bohong! Cerita-cerita Mamak sebelum tidur soal harga diri dusta. Buktinya, setelah sejak pagi menunggu Mamak pulang dari kota kabupaten, menunggu dengan tidak sabaran, bolak-balik berlari keluar setiap mendengar deru mobil di jalanan, hingga akhirnya Mamak pulang, tidak ada sepeda yang dijanjikan. Tidak ada.
Aku yang terlonjak gembira, ikut berlari berusaha membantu menurunkan barang-barang yang dibeli Mamak, sedikit mendecit saat menyadari ada yang kurang.
“Ergh, sepedanya mana, Mak? Mana?” Bertanya, memastikan siapa tahu tertinggal di mobil angkutan pedesaan itu. Mamak tersenyum kecut menggeleng. 
Aku mulai sesak saat Mamak menjelaskan tidak akan ada sepeda hari ini. Rasa tidak sabarku, rasa cemas saat melihat ada yang kurang, dengan segera berubah menjadi kemarahan. Aku marah berteriak. Enak saja Mamak mengorbankan sepedeku. Tidak boleh. Mamak sudah berjanji sejak bertahun-tahun silam, kalau aku berhasil mengkhatamkan Al Qur’an di Nek Kiba. Bukankah Mamak selalu bilang, “Kau tidak mengaji malam ini, Burlian?” saat aku malas-malasan, “Nanti sepedanya urung Mamak belikan.” Tertawa menggoda.
Dan sekarang? Semua omong-kosong.
Aku bari pulang ke rumah saat adzan maghrib terdengar. Malas mandi di pancuran belakang, malas berangkat shalat di mesjid dan memutuskan menolak makan. Hanya duduk di depan rumah, menonton televisi yang sama sekali tidak kuperhatikan sedang menyiarkan apa. Gerimis mulai turun selepas maghrib, menderas menjelang isya, dan mereda lagi beberapa menit berlalu. Aku tetap duduk di pojokan kursi. Mulai kedinginan saat malam semakin larut. Suara burung hantu terdengar di kejauhan, mungkin bosan menunggu hujan reda.
Pintu terdengar berderit lagi, aku melirik sekilas, Bapak melangkah keluar. Helaan nafasnya terdengar. Aku segera kembali menghadapkan wajah ke sandaran kursi. Bersiap tidak peduli dengan apa yang Bapak katakan atau lakukan, memunggungi Bapak yang duduk di pinggiran kursi, lembut menyentuh pundakku.
“Kau akan tidur di luar malam ini?” Bapak bertanya pelan.
Aku mendengus, iya.
Bapak terdiam sebentar, “Kalau begitu Bapak temani… rasa-rasanya sudah cukup lama Bapak tidak tidur di luar seperti ini… mungkin seru juga tidur di luar bersama kau.”
Aku hanya menggerakkan kaki tanda tidak peduli. 
Lima belas menit berlalu, lama-lama sesak juga menghadapkan wajah ke sandaran kursi. Bertahan beberapa menit lagi sebelum akhirnya membalik badan, menghirup udara segar.
Bapak tersenyum melihat perangaiku, “Kau masih marah pada Mamakmu?”
Aku menjawab dengan ekspresi muak, tentu saja.
“Mamak tidak punya pilihan, Burlian—”
“Mamak lebih sayang putranya Wak Lihan.” Aku kasar memotong Bapak.
Bapak tidak segera menjawab. Hujan menderas lagi di luar.
“Itu darurat. Kita tidak bisa mengalahkan keperluan darurat.”
“Kalau begitu Ayuk Eli saja yang batal mendaftar sekolah.” Jawabku sirik, sama sekali tidak berpikir kalau telah mengatakan hal yang sangat tidak logis. Tetapi Bapak tidak menjawab kalimatku, diam sambil santai meluruskan kaki. 
“Kau pernah diajak Bakwo Dar panen madu di pohon besar dekat kebun kopi kita?” 
Aku menoleh ke Bapak, tidak mengerti, jelas-jelas aku lagi sebal, kenapa tiba-tiba Bapak mengajak bicara tentang panen madu segala. Lagipula saat panen madu itu bukankah Bapak ikut serta membantu mengasapi sarang-sarang lebah. Jadi tidak perlu bertanya, Bapak sudah tahu kalau aku ikut.
“Pernah, bukan?” Bapak tersenyum.
Aku mengangguk. Panen madu itu selalu seru. Bakwo Dar, Bapak, Kak Pukat dan Can semangat ikut pergi. Sarang lebah itu terletak di pohon besar, di dahan-dahannya yang kokoh dan tinggi. Ada belasan sarang lebah di sana. 
Bakwo Dar menyiapkan tangga tali untuk memudahkan memanjat pohon itu. Membakar sabut kelapa yang dibungkus dengan rumput basah. Asap tebal mengepul mengusir lebah dari sarangnya, lantas salah Bakwo memanjat pohon itu, mengambil salah-satu sarang lebahnya. Kemudian madu di dalamnya ditiriskan ke ember. Banyak sekali madu yang mengucur, ember itu nyaris melimpah tidak kuat menampung madu yang didapat. 
Kata Bakwo Dar, secara alamiah lebah-lebah yang terusir akan membuat sarang baru, sepanjang kami tidak serakah mengambil sarang-sarang itu sekaligus, lebah-lebah akan terus bersarang. Itu artinya madu-madu akan terus tersedia. 
Bagaimana mungkin aku lupa pengalaman hebat tersebut?
“Kau mau mendengar sebuah cerita?” Bapak menoleh kepadaku.
Aku tidak menjawab, hanya bangkit mengambil posisi duduk, bersiap mendengarkan. Percakapan soal panen madu tadi sedikit banyak mengurangi rasa sebalku. Apalagi setelah hampir tengah malam, sendirian duduk menahan dingin dan lapar, mungkin sudah saatnya aku menurunkan kadar protes soal sepeda.
“Dulu, mungkin sekitar enam-tujuh tahun lalu, di dekat pohon tempat lebah itu bersarang pernah ada kejadian yang mengharukan.” Bapak mulai bercerita, “Kita sebut saja judul cerita ini dengan: ‘pengorbanan seorang ibu’.”
Hujan semakin deras menerpa atap seng. 
“Suatu hari, di kebun yang tanaman kopinya masih kecil-kecil, saat seorang ibu sedang sibuk membersihkan rumput dan ilalang, tiba-tiba terdengar suara berderak patah. Ibu itu sontak menoleh ke arah suara. Ternyata suara itu berasal dari salah-satu dahan pohon besar tempat lebah bersarang. Dahan itu patah dimakan rayap, dan betapa tidak beruntungnya, di dahan itu ada sarang lebahnya. Sarang itu hancur berkeping-keping menghantam tanah, dan lebah di dalamnya yang kaget, panik, marah terbang berdengung. Mungkin ada ribuan lebah dari sarang hancur itu. Mendengar suaranya saja sudah mengerikan.” Bapak diam sebentar, lembut merapikan kerah bajuku. 
“Kejadian itu berlangsung cepat sekali, saat ibu itu tersadar apa yang telah terjadi, dia berteriak histeris mencari tiga anaknya yang kebetulan hari itu ikut ke kebun. Dua anaknya yang berusia lima dan delapan tahun kebetulan sedang bermain di dangau, ibu itu langsung berseru menyuruh anaknya bersembunyi di dalam dangau, menutup seluruh jendela rapat-rapat. Tapi, hei, di mana satu lagi anaknya yang baru berumur tiga tahun? Si ibu berseru-seru panik.
“Suara lebah yang marah terdengar memenuhi langit-langit kebun. Ribuan lebah itu menderu mencari sasaran apa saja untuk melampiaskan amarah mereka, dan celaka sekali jika ada hewan atau manusia yang kebetulan berada di sekitarnya. Si Ibu ini tahu persis betapa bahayanya posisi ia sekarang, tapi apa yang bisa ia lakukan, anak kecilnya yang baru berusia tiga tahun berkeliaran di kebun entah sedang jahil bermain apa. Apalah jadinya jika lebah itu menemukan dan menyerang anaknya lebih dahulu. Maka tanpa peduli ada ribuan lebah yang terbang di atas kepala, ia panik berlarian di sekitar kebun mencari si kecil.
“Kau tahu Burlian, demi melihat ada sasaran bergerak, lebah itu bagai formasi pesawat tempur menyerbu ke arah kebun. Semua terjadi begitu cepat. Si ibu beberapa detik kemudian berhasil menemukan anaknya yang sedang asyik menyeret-nyeret sengkuit pemotong rumput dan ilalang, si Ibu berteriak-teriak, berlari secepat yang ia bisa, berusaha mengambil anaknya, membawa ke dangau, berlindung dari serbuan lebah marah.
“Tapi waktunya tidak cukup lagi, lebah itu sudah terlalu dekat… tidak ada pilihan, si ibu loncat memeluk anaknya, merebahkannya ke tanah, berbisik ke telinga anaknya, ‘Merunduk! Merunduk sayang, jangan bergerak!” lantas membiarkan tubuhnya menjadi tameng. Berusaha setenang mungkin tanpa gerakan sedikit apapun saat ribuan lebah itu bagai roket, melesat semakin dekat.” Bapak menghela nafas, aku menelan ludah.
Suara hujan terdengar semakin deras menimpa atap seng.
“Meski si ibu sudah berusaha untuk diam bagai batu, tetap saja belasan lebah menyengatnya. Ia menggigit bibir menahan rasa sakit tidak terkira. Ingin rasanya ia berteriak mengaduh, sayangnya itu tidak bisa dilakukan. Karena bukan hanya akan membuat lebah itu menyengat semakin banyak, tapi juga membahayakan si kecil yang didekapnya. 
“Beberapa menit setelah lebah itu akhirnya pergi, setelah situasi kembali aman, si ibu jatuh pingsan dengan memeluk erat anaknya. Beruntung ada tetangga kebun yang mendengar teriakan si ibu yang menyuruh anak-anaknya bersembunyi… si Ibu ditandu pulang dengan seluruh punggung lebam bengkak oleh sengatan lebah, lehernya, kepalanya… kau tahu, Burlian, berminggu lamanya ibu tersebut hanya bisa tidur telentang, dan berbulan-bulan ia tidak bisa menoleh bebas, karena lehernya masih sakit digerakkan.”
Aku tahu rasa sakit yang diceritakan Bapak. Hidungku pernah disengat lebah, bengkaknya baru hilang setelah beberapa hari, jadi aku bisa membayangkan betapa menderitanya ibu itu disengat puluhan lebah. 
Bapak sekarang menatapku lamat-lamat, lembut mengelus rambutku.
“Tahukah kau, Burlian… kejadian itu di kebun kita.”
Mataku segera membulat.
“Dua orang anak itu adalah Kak Pukat dan Ayuk Eli…. Anak yang dilindungi erat-erat, yang masih berusia tiga tahun itu adalah kau…. Sedangkan ibu yang memberikan seluruh tubuhnya sebagai tameng sengatan ribuan lebah itu adalah Mamak kau.”
Aku langsung tercekat.
“Jangan pernah membenci Mamak kau, Burlian… jangan pernah.. karena jika kau tahu sedikit saja apa yang telah ia lakukan demi kau, Amelia, Kak Pukat dan Ayuk Eli, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian.”
Mataku tiba-tiba terasa panas… berair… lantas menangis terisak.
Hujan turun semakin deras.
Lima menit kemudian aku masuk ke rumah. Protes sepanjang hari soal sepeda itu berakhir. Aku melangkah ke kamar Mamak. Menatap wajah Mamak yang sudah terlelap. Wajah yang amat lelah mengendalikan emosinya saat mengatasi perangai burukku tadi siang. 
Aku memeluk leher Mamak erat sekali.

Rabu, 29 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 18. SURAT DARI KEIKO
---------------------------------------

“Kau mau kemana?” Ayuk Eli bertanya saat aku melangkah ke arah jalan lain, berpisah dari rombongan anak-anak yang baru pulang dari mengaji di rumah panggung Nek Kiba.
“Ke tenda Nakamura.”
“Ke sana lagi?” Ayuk Eli menatap tajam, “Hampir setiap malam kau ke sana, memangnya PR-PR kau sudah dikerjakan?”
Aku mengangguk (bohong). 
“Amelia ikut, Kak.” Amelia tiba-tiba mendekat, angin malam membuat obor di tangannya meliuk pelan.
“Pulang, Amelia. Nanti kau dimarahi Mamak.” Ayuk Eli menarik tangan Amelia.
“Yaaah… Kak Burlian kenapa boleh main ke sana? Tidak pernah dimarahi Mamak.”
“Biarin saja, kata Mamak paling juga Burlian mau dibawa ke Jepang.” Ayuk Eli nyengir. Aku tidak mempedulikan, melangkah menuju lapangan stasiun kereta. 
“Jangan pulang terlalu larut, biar besok kau tidak bangun kesiangan.” Suara teriakan Ayuk Eli terdengar dari belakang. 
Tere Liye : Burlian

Malam ini langit terlihat indah. Dari kampung kami, bintang-bintang memang terlihat lebih terang-gemerlap. Rasi-rasi yang penuh arti, hamparan gagah gugusan bintang galaksi bima sakti, semuanya terlihat menawan di langit yang jernih tanpa tersaput awan. Apalagi langit kampung bersih dari polusi cahaya lampu; hanya kerlip obor, petromaks atau lampu canting yang terlihat dari beranda rumah-rumah panggung. Aku berusaha melindungi obor dari terpaan angin malam yang semakin kencang, bergegas menuju salah-satu tenda oranye.
“Hallo… Konbangwa. Shitsurei shimasu. Selamat malam, permisi.“ Kepalaku menyeruak ke balik pintu tenda. Berkenalan beberapa minggu dengan Nakamura membuatku bisa mengucapkan sepatah-dua patah bahasa Jepang.
Kosong. Tidak ada Nakamura di dalamnya. Melihat ke sekeliling, beberapa insinyur dari Korea-Jepang sedang bermain gitar, tertawa riang entah menyanyikan lagu apa. Setiap tiba di refrain tertentu mereka merentangkan tangan, berdiri. Pura-pura saling memukul bahu. Aku menatap lebih detail, siapa tahu Nakamura sedang duduk bersama mereka. 
“Nakamura-san menunggumu di bukit kampung, Burlian-kun.” Salah seorang dari mereka memberitahu sebelum aku bertanya duluan. Tangannya menunjuk ke depan, “Di sana, kau rihat? Benar, yang ada obornya.”
“Arigatou gozaimasu, Jang Dong-san.” Aku mengangguk, menggaruk rambut yang tidak gatal. Apa pula yang sedang dikerjakan Nakamura di atas bukit malam-malam berangin kencang, melihat pemandangan kampung dari ketinggian? Itu tidak ada seru-serunya kecuali gelap. Aku bergegas membawa obor menuju bukit kampung. 
Awalnya, aku tidak tahu benda apa yang sedang dipegang-pegang Nakamura. Dia asyik sekali mengintip dari tabung panjang yang disanggah tiga tiang besi, sampai tidak tahu kalau aku sudah berdiri lima langkah di depannya. Panjang benda itu sekitar satu meter, dengan diameter sebesar paha orang dewasa. Pasti lumayan berat membawanya ke bukit kampung.
“Ah, Burlian-kun… kau dathang thepat wakthu, ayo mari ke sini.” Nakamura tertawa, menunjukkan tabung panjang di depannya. 
“Ayo berkenalan dengan Tori-tori…”
“Toli-toli?”
“Ya, nama benda ini. Nama yang bagus, bukan?” Nakamura mengangkat bahunya, “Aku pernah mengerjakan jaran di kampung yang bernama Tori-tori. Di balai kampung mereka ada meriam besar peninggarlan jaman Oranda. Hebat sekarli meriam tua itu, masih berdentum nyaring ketika digunakan. Nah, semoga teropong ini juga sehebat meriam itu.”
Jadi nama itu berasal dari meriam peninggalan Belanda? Aku nyengir, menahan tawa. 
“A, kirai da? Kau tidak suka? Ah, rupakan soal namanya… Ini therleskop, Burlian-kun. Kau pasti pernah dengar… theropong binthang!” Nakamura dengan bangga memperkenalkan benda itu, “Baru dathang tadi pagi langsung dari Parlembang. Aku pesan ini dari Singapore, akhirnya tiba setelah hampir dua burlan tertahan di bea cukai Tanjyung Priok….rama sekarli aku menunggu benda ini. Ayo, mendekat, jyangan ragu-ragu, pegang saja. Coba khau inthip dari sini…. Come-on, Tori-tori tidak akan menggigitmu.”
Adalah lima belas menit Nakamura mengajariku menggunakan benda itu, memutar-mutar pergelangan zoom dan fokus lensanya, mengarahkan tabungnya berputar ke kanan-kiri, atas-bawah. Itu lima menit yang mengagumkan, tidak peduli kalau obor yang kutancapkan di tanah sudah sejak tadi padam ditiup angin malam yang semakin kencang. Menatap bintang-bintang itu dengan mata telanjang saja sudah mengagumkan, apalagi dengan teleskop hebat Nakamura. Fantastis.
“Itu formasi ‘busur dewa-dewa’, Burlian-kun…. Itu rasi bintang kesayangan Keiko-chan…. Dia setiap kali kuajak mendaki bukit kota Tokyo, mengintip langit jauh dari keramaian cahaya lampu kota, selalu betah berjam-jam hanya untuk melihat formasi bintang itu.” Nakamura tertawa, yang sayangnya aku tidak terlalu memperhatikan kalau tawa itu getir sekali.
Setengah jam berlalu, aku baru tahu kalau ada banyak sekali formasi bintang hebat di atas sana. Menggaruk rambut yang tidak gatal, membayangkan betapa kreatifnya orang jaman dulu, bisa-bisanya memberi setiap rasi bintang itu satu nama hebat. 
Seperti halnya Keiko, aku segera memiliki formasi bintang favorit, apalagi kalau bukan Gemini. Itu cocok benar dengan rasi bintangku. Nakamura tertawa mendengar alasannya.
Waktu berjalan tidak terasa, setelah lelah satu jam memicingkan mata, membungkuk-bungkuk mengintip, aku duduk menjeplak di atas rumput lembab. Dingin. Merapatkan sarung yang sejak pulang dari tempat mengaji Nek Kiba sudah kuselempangkan.
“Khalau saja malam ini fhurnama, itu akan lebih seru raghi, Burlian-kun…” Nakamura ikut duduk di sebelah.
Aku mengangguk setuju.
“Khau tahu, menurut kepercayaan orang Jepang, jika ada dua orang yang memandang bulan fhurnama di saat bersamaan, maka tidak pedulri seberapa jauh kau terpisah dengannya, kau seorah bisa saring merihat wajah satu sama rain.”
Aku kali ini tidak langsung mengangguk, menatap sangsi. Aku menunggu Nakamura tertawa, karena biasanya selepas bicara seperti itu, dia akan tertawa. Walau baru mengenalnya dua bulan terakhir, aku sedikit-banyak tahu tabiat Nakamura, olok-olok ‘kelapa muda bikin cacingan’ saja dia tertawa, apalagi cerita aneh soal purnama itu. Tapi Nakamura tidak tertawa, hanya menatap lamat-lamat ke arah bulan sabit.
“Kau tahu, Burlian-kun… setiap purnama tiba, Keiko-chan selalu bersemangat berteriak-teriak memanggil kami sekeluarga. Berlarian menaiki tangga menuju roteng, membuka tutup roteng, rantas berdiri di atap rumah, membawa therleskop mini-nya…. Andaikata maram ini fhurnama, Keiko-chan pastirah sedang bersama therleskopnya. rihat, aku juga sekarang punya therleskop, maka aku pasti bisa menatap wajah Keiko-chan dengan kepang rambutnya. Menatap wajah manisnya… tidak pedurli sebarapa jauh kami terpisah.”
Untuk pertama-kalinya aku merasa Nakamura kehilangan seluruh keriangan yang dia miliki. Menguap bersama dinginnya malam dan bulan menyabit tertutup awan. Untuk pertama-kalinya aku merasa intonasi suara Nakamura terasa ganjil, seperti suara Mamak yang sedang cemas memikirkan kami.
“Kapan Nakamura terakhir kali bertemu Keiko?” Aku bertanya pelan.
Nakamura menghela nafas, terdiam sebentar, “Dua tahun sirlam.”
Aku menelan ludah. Itu berarti sudah dua kali lebaran puasa. Tidak terbayang Keiko ber-lebaran tanpa orang-tuanya, Mamak lupa membelikan baju baru saja sudah menyesakkan, apalagi kalau Mamak tidak ada di rumah malam takbiran. Aku mengangguk-angguk sok-ikut bersimpati, lupa kalau di Jepang sana tidak ada yang ber-lebaran puasa.
“Kau dan Keiko-chan sepantaran, Burlian-kun. Parling hanya berbeda usia hitungan burlan… dia sama beraninya seperti kau, mudah bergaul dengan orang asing sekarlipun, cerdas, pandai bicara bahkan dengan orang yang jauh rebih tua dari karlian… Keiko-chan suka panjyat-panjyat, meski aku tidak tahu apakah dia sepintar kau memanjyat pohon kerapa… dan tentu saja yang pasti kalian sama-sama nakal, Keiko-chan suka sekarli menganggap ringan nasehat Mama-nya.” Nakamura tertawa kecil, menyeka sudut mata.
“Saat aku pulang cuti selama tiga minggu dua tahun lalu, dia sebenarnya senang sekarli. Dia tidak henti mengajakku berkerliring kota. Kami menaiki kereta, berjalan di trotoar, dia semangat menunjukkan bagian-bagian kota yang berubah sejak terakhir karli aku pulang… Kami duduk di bawah guguran bunga sakura untuk makan siang, lantas malamnya duduk di korlam air mancur kota untuk melihat bintang-bintang… dia senang sekali…” Nakamura semakin sering menyeka mata, membuat aku sungkan melirik ke sebelah, hanya bisa tertunduk. 
“Tapi semakin dekat hari kepurlanganku kembarli ke Jakarta, Keiko-chan berubah menjadi pendiam. Ia enggan menegur, marlas kerluar kamar, dan seperti menghindari bertemu denganku… Gadis kecil itu seperti ingin bilang sesuatu. Ingin menunjukkan kalau dia tidak mau Papanya pergi… Waktu hari keberangkatan, Keiko-chan menangis.. dia menangis, Burlian-kun. Untuk anak kecil yang serarlu tertawa riang, merlihatnya menangis sungguh menusuk perasaan. Apalagi itu adalah puteri cantikku… Kanojo wa kirei na musume da…” Suara Nakamura terhenti sebentar, “Keiko-chan birlang, Papa tidak boleh pergi! Papa tidak borleh kembali ke Jakarta! Dia tidak mau berpisah walau semenit denganku…”
Suara burung hantu terdengar dari kejauhan, mengisi senyap sejenak.
“Aku memerluknya, menjerlaskan banyak harl… sia-sia, Keiko-chan justru berteriak marah di bandara… dia membanting hadiah riontin perpisahan yang kuberikan… berlari meninggalkanku sambil berteriak, ‘Papa jahat! Papa hidoi! Papa tidak sayang Keiko! Papa lebih sayang orang lain’…. Watashino koto wo ki ni shinaide….” Nakamura sekarang benar-benar terhenti, suaranya tercekat, dia mendongak mencegah aku melihatnya menangis.
“Itu hari terburuk bagiku, Burlian-kun… tapi aku tidak bisa membatarlkannya. Bukan semata-mata karena aku terikat kontrak pekerjaan, tapi rebih karena semua yang kukerjakan ini akan menjadi contoh baginya karlau berbuat baik bagi orang lain, bermanfaat bagi orang banyak, jauh rebih berharga dibandingkan apapun… Membangun jarlan-jarlan ini… ini semua bukan sekadar menumpahkan batu dan asparu, bukan sekada-r membuat parito dan zembatan. Ini semua tentang masa-depan orang-orang yang dirlewati proyek jalran… Tapi Keiko-chan masih terlalu kecil untuk mengerti. Ia berlari pergi… Ia membenci Papanya. Kanojou wa otousan no koto wo nikunde iru… kanojou…”
Angin malam membuat teropong bintang berderit. 
“Sejak Keiko-chan masih bayi, saat itu aku masih bertugas di Kamboja, aku serlaru rajin mengiriminya surat. Mamanya yang membacakan… Saat dia sekora-h, bisa menulis kanji, tulisan pertama yang dibuatnya adarlah barlasan surat untukku. Dan sejak itu kami setiap bulan berkirim surat… aku bertanya kabar sekorlahnya, dia bertanya tentang tempat-tempat yang aku lewati… Durlu dia rajin sekarli membarlas surat-surat itu. Tidak pernah terlambat.”
“Dua tahun terakhir, sejak keributan di bandara, Keiko-chan tidak pernah lagi membarlas surat-suratku, Mamanya yang membarlas… mengabarkan karlau Keiko-chan ikut kontes Masquerade di televisi, bercerita Keiko-chan menjadi pengibar bendera di sekorlah, bilang tangan Keiko-chan patah saat terjatuh di taman… tentu saja aku tetap tahu kabar Keiko-chan dari surat-surat itu, tapi semuanya akan berbeda jika itu diturlis oleh ia sendiri. Sungguh akan berbeda… Dan yang rebih menyedihkan, hingga hari ini aku tidak tahu seberapa benci ia padaku… ah, karlau kau sempat bertemu dengannya, karlian akan jadi teman baik, Burlian-kun… dua monstar nakal yang terlalu percaya diri. Karlian cocok benar.” Nakamura tertawa kecil di tengah suara seraknya.
Aku menggaruk rambut bingung mau berkomentar apa.
“Mou osoi ne… Sudah malam…” Nakamura melirik pergelangan tangannya setelah kami terdiam agak lama, “Mari kuantar pulang, nanti Mamak kau marah-marah karau kau pulang sendirian selarut ini. Ayo, Burlian-kun.”
Aku menggangguk. Oi, itulah yang membuat Mamak tidak bisa marah kalau aku mampir ke tenda Nakamura selepas mengaji dari Nek Kiba. Nakamura selalu mengantarku pulang, dan di depan rumah, saat Mamak melotot membukakan pintu, bersiap mengomel, Nakamura juga selalu lebih dulu bilang, “Mamak, aku belum pernah bertemu anak sesopan dan sepandai Burlian-kun…. Anda pastirah mendidik dia dengan baik.” 
Bagaimana Mamak akan mengomeliku?

***
Dua bulan berlalu, percakapan malam itu selalu terngiang di telingaku. Meski selama dua bulan itu, tenda-tenda oranye itu sudah dipindahkan dua kali. Rombongan Koera itu perlahan meninggalkan kampung kami, terus maju belasan pal berikutnya, ke lokasi baru yang tidak mudah aku capai dengan jalan kaki. 
Maka kebiasaanku mengunjungi tenda Nakamura selepas sekolah atau sepulang mengaji terputus. Mereka sudah terlampau jauh. 
Jalan di depan kampung kami sudah mulus. Aroma aspalnya masih tercium di minggu-minggu pertama, orang-orang jadi senang berkumpul di tepi jalan, duduk jongkok, pindah dari bale-bale bambu, meski beberapa minggu kemudian kebiasaan aneh itu berhenti, karena mereka sering diteriaki “Kampungan!” oleh mobil atau truk yang melintas.
Aku tahu, untuk mengirimkan satu surat ke Jepang di masa itu membutuhkan waktu hampir satu bulan, panjang sekali perjalanannya melewati lautan. Dengan balasannya (asumsi surat itu dibalas), maka membutuhkan sebulan lagi. Aku sedikit banyak bisa membayangkan cerita Nakamura malam itu, tentu menyedihkan baginya, ternyata dua bulan menunggu itu sia-sia, pengharapan untuk yang kesekian kalinya itu berakhir kecewa, yang hadir hanya surat istrinya, tidak ada surat Keiko di dalam amplop berstempel huruf kanji itu. 
Semua ini terlihat tidak adil bagi Nakamura. Dia menjadi ‘orang tua’ yang hebat bagi anak-anak di setiap jengkal jalan yang dilewati rombongannya, menjadi orang yang dihormati dan disegani penduduk kampung, mendapatkan rasa sayang dari orang-orang yang bahkan tidak dikenalnya, tidak sewarna kulit, apalagi se-bahasa. Tapi itu semua justru tidak ia dapatkan dari anak satu-satunya. Maka aku memutuskan melakukan sesuatu.
Sesuatu yang membuat Nakamura tergopoh-gopoh dua bulan persis setelah pembicaraan sambil mengintip bintang itu. Dia datang menumpang truk pasir proyek, menyapa Bapak yang sedang memperbaiki bubu di beranda, menegur Mamak yang menjemur jamur tiram di halaman. Dan Nakamura berseru-seru tidak sabaran memanggilku. Hanya dalam hitungan detik, dengan mata berkaca-kaca dia menunjukkan amplop cokelat besar itu.
“Burlian-kun… kau rihat.. oh, kau harus rihat.” 
Ayuk Eli yang lagi menyetrika di dalam ikut mendekat.
“Ini surat Keiko-chan.. ya Tuhan… ini surat Keiko-chan.. kau baca, Burlian-kun… Kau baca.” Lembar surat yang satu, dua, bahkan belasan itu berjatuhan dari tangan bergetar Nakamura. 
Ayuk Eli menunduk, mengambil salah-satunya. Tertegun. Mana bisa dia membaca huruf kanji itu. Tapi aku tahu, meski aku juga tidak bisa membacanya, surat itu pastilah amat spesial bagi Nakamura. Setelah dua tahun, setelah sekian lama menunggu, akhirnya ada surat dari Keiko. Tidak hanya satu-dua lembar, melainkan sembilan belas lembar, dan di beberapa kertasnya, terlihat bercak-bercak air memudarkan tinta. 
Mungkin itu air mata Keiko saat menuliskannya.
“Dear Papa, Anata ga inakute watashi wa samishii, totemo samishii… Keiko rindu sekali… teramat rindu.. tidak bisa Keiko katakan seberapa besar perasaan rindu itu… setiap purnama, Keiko selalu berdiri di atap rumah, melihat bulan dengan teleskop hadiah ulang tahun Papa, berharap bisa melihat wajah Papa yang selalu tersenyum meski senakal apapun Keiko… 
“Pa, kalau saja Keiko bisa terbang, maka Keiko akan terbang ke tempat Papa saat ini juga… terbang mengajak Papa mengelilingi dunia, dan bilang ke semua anak yang ada di seluruh dunia, inilah Papa Keiko.. orang paling hebat yang Keiko kenal.. orang yang paling Keiko banggakan.” 
Nakamura berhenti sebentar membaca surat itu, berusaha mendongak. 
“Sungguh maafkan Keiko yang selama ini egois, tidak mau mengerti. Maafkan Keiko yang berlari meninggalkan Papa di bandara. Maafkan Keiko yang tidak pernah membalas surat-surat Papa, sungguh maafkan… Keiko ingin terus, terus dan terus menulis surat yang panjang untuk Papa, mengganti surat-surat sebelumnya yang tidak terbalas… Tapi Mama sudah tiga kali menyuruh Keiko tidur… Papa tahu, sekarang sudah pukul 02.15 di Tokyo, langit malam terlihat cerah dari jendela kamar Keiko. Sekarang sedang musim salju. Dingin sekali rasanya di luar, tapi di sini, dengan bertemankan surat dari Papa, Keiko akan selalu merasa hangat. Peluk cium Keiko untuk Papa. Peluk cium Keiko 1000x.”
Nakamura melipat lembaran terakhir surat itu. Terdiam.
Bapak, Mamak saling pandang. Sejak tadi tidak mengerti benar apa muasal dan maksud Nakamura tiba-tiba datang dengan wajah terharu. Ayuk Eli menyeka mata, meski dia sering mengolok-olok aku (soal Nakamura ini), tapi mendengar surat itu dibacakan, membuatnya ikut terharu. Aku hanya menggaruk ujung hidung yang tidak gatal.
“Arigatou, Burlian-kun.” Nakamura memeluk kepalaku.
Lantas Nakamura menatap Mamak penuh pernghargaan. “Mamak, meski aku terlah berkali-kali birlang setiap mengantar Burlian-kun pulang, tapi kari ini, ijinkan aku mengurlanginya lagi untuk kesekian kalinya… Mamak, aku belum pernah bertemu anak sebaik-hati Burlian-kun. Dia berbeda, sungguh spesyaru…. Anda pastirah selama ini telah mendidik Burlian-kun dengan baik.”
Yeah, meski aku tahu persis, kalimat sakti endorser Nakamura itu paling hanya bertahan beberapa hari membuat Mamak selalu tersenyum melihatku. Setidaknya siang itu aku bisa tersenyum jumawa ke arah Ayuk Eli. 
Seminggu kemudian, teriakan Mamak yang menyuruh, memarahi dan mengomeliku kembali terdengar, “BURLIAAN!!”

***
Akulah yang membuat Keiko akhirnya mengirimkan surat. 
Sehari setelah percakapan di bukit kampung itu, aku memutuskan mengirimkan surat ke Keiko di Tokyo sana. Jang Dong, salah satu insinyur Korea di tenda-tenda oranye itu berbaik-hati memberikan alamat rumah Nakamura. Dan aku mengirimkan surat itu lewat kantor pos kota kecamatan. Keiko bingung menerima surat berbahasa Indonesia itu. Mamanya memutuskan mengontak kedutaan Indonesia di Jepang, yang kemudian membantu menterjemahkannya.
Aku tidak bilang banyak di surat itu. Hanya menulis: 
“Dear Keiko, saat kau membaca surat ini, kau pasti sama sekali tidak punya ide siapa yang telah mengirimkan surat ini, tapi ajaib, aku mengenalmu dengan sangat baik, bahkan aku tahu kalau kau suka memanjat pohon sakura di depan rumahmu sambil membawa kucing kesayangan…. 
Surat ini datang dari jarak puluhan ribu kilometer dari tempatmu sekarang…. Di sini, di kampungku yang kalau malam tidak berlampu selain obor bambu dan cahaya kunang-kunang. Di sini, di kampungku yang tidak gemerlap dan tidak indah selain tebaran jutaan bintang (yang salah-satunya pastilah kau kenal sekali: rasi busur dewa-dewa). Di sini, di kampungku yang tidak terlihat di peta-peta, jauh dari mana-mana, di tempat yang tidak penting dan tidak mudah dibayangkan banyak orang… 
Tetapi ada seseorang yang datang menjadi pahlawan bagi kami. Seseorang yang selalu memanggilku Burlian-kun, Burlian-kun (jujur saja aku selalu hendak tertawa saat dipanggil begitu). Orang itu selalu bercerita tentang kau, tentang permata paling indah miliknya, tentang orang yang paling disayanginya. Orang itu menjadi dewa penyelamat kampung kami, juga ribuan kampung-kampung lainnya di pelosok hutan, karena dia memberikan ‘jalan’ bagi kami… Jalan baik dalam artian sesungguhnya, atau dalam artian memberikan jalan bagi kesempatan masa depan kami yang lebih baik.
Kau sudah seharusnya bangga, Keiko. Karena Papa-mu adalah orang hebat. Aku ingin sekali mengatakan ini berkali-kali, berkali-kali, berkali-kali secara langsung kepadamu, tapi sayangnya Mamak pasti tidak mengijinkanku pergi jauh. Terus-terang saja, melihat kapalpun aku belum pernah, jadi mana mungkin aku bisa ke Jepang…. Ah iya, kau tahu berapa jumlah kapal yang melewati Terusan Panama setiap hari? Aku tahu…” 
Dan seterusnya… dan seterusnya…

***
Waktu melesat tanpa terasa. Musim kemarau hampir terlewati.
Terakhir kali aku bertemu Nakamura saat jalan yang dibangunnya sudah lebih dari empat puluh kilometer dari kampung kami. Dia yang barusaja pulang dari rapat rutin enam bulanan di kota provinsi singgah menjemputku, mengajakku bermalam, melihat lokasi kerja terbarunya. Nakamura berjanji, besok pagi-pagi aku akan diantar pulang oleh salah-satu insinyurnya, lagipula besok tanggal merah, sekolah libur. Mamak mengangguk, tidak keberatan.
Nakamura malam-malam mengajakku duduk tempat paling tinggi di sekitar lokasi kerja barunya. Menyuruhku menggunakan teropong bintang melihat kelokan jalan dari kejauhan. Di setiap beberapa puluh meter jalan itu sudah diberikan obor bambu, jadi amat menakjubkan melihatnya. Barisan obor-obor itu laksana naga api yang berkelok, kerlap-kerlip.
Ada banyak yang kami bicarakan sambil tertawa malam itu, kebanyakan bergurau tentang tabu, pantangan atau cerita aneh kampung-kampung yang pernah dilewati Nakamura. “Kau tahu, Burlian-kun. Bapak, Mamak kau pastilah pernah birlang, jangan makan sambir tidur, nanti kotoran yang kau kerluarkan jadi panjyang.” Aku sudah tertawa duluan, benar, Mamak pernah bilang itu. “Itu bohong, Burlian-kun. Itu cara mereka agar besok-rusa tidak perlu repot mencuci seprai tempat tidur yang terkena makanan tumpah.” 
Malam berlalu menyenangkan. Nakamura juga membacakan surat kedua yang barusaja diterimanya dari Keiko. Bilang kalau Keiko ingin sekali berkenalan denganku. Aku manggut-manggut mendengarnya. 
Tapi malam itu, di bawah selungkup taburan juta bintang, bulan yang menyabit, ada sebuah kalimat yang tidak akan pernah aku lupakan dari Nakamaru.
“Kemanakah jalan-jalan ini akan berujung?” Aku bertanya sambil tertegun menyaksikan kelokan api naga itu yang jauh memanjang.
Nakamura terdiam sebentar. Mengelus rambutku, “Jalan ini tidak pernah berujung, Burlian-kun… tidak pernah… jalan-jalan ini akan terus mengalir merewati lembah-lembah basah, lereng-lereng gunung terjal, kota-kota ramai, desa-desa eksotis nan indah, tempat-tempat yang memberikan pengetahuan, tempat-tempat yang menjanjikan masa depan… lantas jalan ini akan terusss.. terus menuju perlabuhan-perlabuhan, bandara-bandara… dan dari sana kau bahkan bisa pergi rebih jauh lagi, menemukan sambungan jalan berikutnya… mengelilingi dunia… merlihat seluruh dunia, masa depan anak-anak kampung, masa depan bangsa karlia. Masa depan kau yang penuh kesempatan, Burlian-kun.”
Aku menelan ludah. Menatap wajah Nakamura yang tersenyum. Mendongak menatap langit… malam itu, aku seperti bisa melihat kalimat Nakamura barusan terlukis di antara gemerlap bintang. Aku akhirnya tahu, jalan di depan rumah tidak pernah memiliki ujung.
“Masa depan kau yang penuh kesempatan.” Itu hebat sekali. 
Setiap kali aku mengingat percakapan itu, bulu kudukku selalu merinding. Itulah masa depan kami. Anak-anak kampung.

Selasa, 28 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 17. NAKAMURA-SAN
------------------------------------
“Coba kalian lihat peta Amerika.” Pak Bin membentangkan atlas kumal di depan kelas. Tepi-tepinya nampak tanda dimakan rayap, garis-garis lipatannya cokelat terkelupas karena terlalu sering dipakai.
“Bagian atas disebut Amerika Utara, bagian bawah disebut Amerika Selatan. Jika kalian lihat di peta, maka kedua bagian benua ini nampak seperti terputus, seolah-olah kalian bisa begitu saja melintasi bagian tengah benua ini dengan kapal laut. Kenyataannya tidak, jika ada kapal dari sebelah kanan hendak ke kiri, dari barat ke timur, maka kapal itu sempurna harus memutari bagian Amerika Utara dengan jarak lebih dari 12.000 kilometer, dan akan lebih jauh lagi jaraknya jika kapal itu memilih memutari bagian Amerika Serikat. Masalah ini amat menjengkelkan bagi dunia pelayaran. Perjalanan memutar sejauh itu menghabiskan waktu berbulan-bulan dan tidak sedikit biaya. Maka mereka mulai mencari jalan keluar terbaiknya.”
Tere Liye Burlian

Kami berebut ke depan, menatap lebih jelas peta yang dibentangkan Pak Bin.
“Bagian tengah benua Amerika yang terlihat seperti tanah genting ini adalah negara Panama. Walau di peta bagian tanah menjengkelkan ini hanya terlihat setengah senti, lebar aslinya 80 kilometer, tapi itu tetap jauh lebih dekat dibandingkan memutari setengah benua Amerika. Maka tercetuslah ide, kenapa tidak dibuat saja sejenis kanal, parit atau sungai buatan raksasa yang membelah negara Panama agar kapal laut bisa mengambil jalan pintas. 
“Perdebatan panjang tentang ide itu berlangsung ratusan tahun, berabad-abad lamanya, dan ketika Terusan Panama benar-benar dibangun pertama kali untuk menghubungkan Laut Karibia dan Samudera Pasifik, tidak pernah ada sebelumnya yang berani membayangkan pekerjaan besar itu bisa diwujudkan. Itu di luar imajinasi bahkan yang paling liar sekalipun.” Pak Bin menghela nafas sejenak, membiarkan wajah-wajah terpesona kami menggantung di kelas. 
“Menurut catatan, ketika proyek itu dikerjakan antara tahun 1881-1889 saja, lebih dari 20.000 pekerjanya meninggal dunia. Wabah penyakit menular merebak di lokasi, membuat kacau-balau semuanya. Belum lagi keterbatasan teknologi alat berat untuk mengeduk tanah, insinyur yang kesulitan mengatasi tekstur geologi, sengketa lahan dan sebagainya membuat proyek itu terhenti total. Setelah terkatung-katung selama tiga tahun, proyek itu akhirnya bisa diteruskan dengan bantuan negara Amerika Serikat.” 
“Puluhan ribu pekerja kembali dikerahkan siang malam. Ratusan alat berat paling canggih di jamannya didatangkan, ahli-ahli konstruksi, insinyur-insinyur sipil, hingga akhirnya dua belas tahun kemudian terusan sepanjang 80 kilometer itu selesai…. Kalian bayangkan, ratusan ribu orang mengeduk tanah untuk membuat parit raksasa sepanjang 80 kilometer, membutuhkan kesabaran puluhan tahun, melibatkan banyak negara, uang yang tidak sedikit, bahkan mengorbankan ribuan nyawa pekerjanya. Tapi itu tidak sia-sia, sekarang terusan itu setahun dilewati lebih dari 14.000 kapal, ratusan juta ton muatan. Menjadi tanda kebangkitan ekonomi, kesempatan, dan masa depan penduduk di sekitarnya…. Kalian ada yang pernah melihat kapal?” Pak Bin tiba-tiba bertanya.
Pertanyaan retorik, tentu saja seluruh kelas menggeleng polos.
“Bapak pernah melihatnya. Tapi itu kecil saja dan hanya sekali. Bayangkan 14.000 kapal yang setiap tahun lewat di terusan itu, artinya setiap hari hampir 40 kapal, atau setiap jam ada minimal tiga kapal yang lewat. Dab jangan lupa, setiap kali melewati kanal, kapal itu telah menghemat 10.000 kilometer jika harus memutar benua. Benar-benar penghematan waktu, tenaga dan biaya yang luar biasa, bukan?”
Kami mengangguk-angguk, seperti bisa membayangkan di depan mata kapal-kapal itu, benua Amerika, dan betapa agungnya proyek terusan itu. Ah, pelajaran sejarah memang selalu menyenangkan. Sebenarnya, pelajaran apa saja yang diajarkan Pak Bin selalu menyenangkan sepanjang Pak Bin mengajarkannya dengan bercerita. Berbeda dengan Matematika, itu menyebalkan, karena kami disuruh maju bergantian mengerjakan soal, dan Pak Bin tidak segan menyuruh kami berdiri di depan kelas sebagai tontonan jika tidak bisa mengerjakannya.
Lonceng pulang berbunyi nyaring, memutus kesenangan tentang proyek Terusan Panama.
***
Aku ingat sekali cerita Pak Bin hari itu, ingat tiap potongan kalimatnya, ekspresi wajahnya, seingat aku beberapa bulan kemudian, ketika bangun di pagi hari, bergegas ke sungai belakang kampung untuk mandi, menyibak kabut yang masih menggantung di jalanan setapak, embun yang terpercik, dan saat aku gemetar kedinginan oleh air sungai yang masih mengepulkan uap pagi, orang-orang ternyata lebih sibuk membicarakan sesuatu. 
“Kau tidak salah dengar?” Salah seorang menyela. “Iya, aku melihatnya sendiri. Menurut perhitunganku, mereka paling jauh tinggal lima pal lagi dari kampung kita.” Yang satu balik meyakinkan. “Aku juga sudah melihat rombongan Korea itu sewaktu ke kota kabupaten. Luar-biasa.” Yang lain ikut memastikan.
Benarkah? Rombongan itu tinggal lima pal lagi dari kampung? Mereka mendirikan tenda-tenda di sepanjang perjalanan; membawa belasan alat-alat berat raksasa; puluhan truk-truk pembawa batu, pasir serta aspal; ratusan pekerja kasar pria dewasa; dan mereka terus bergerak maju tanpa terhentikan oleh apapun. Bukit-bukit dipotong, lembah-lembah diurug, sungai-sungai dilangkahi. 
Rombongan Korea? Astaga. Walau badanku menggigil oleh dinginnya air, otakku tentu saja tidak ikut kedinginan, dengan cepat ingat percakapan Bapak dan Bakwo Dar beberapa hari lalu. Tinggal lima pal lagi dari kampung? Itu berita besar. Aku bergegas menyelesaikan mandi, meneriaki Kak Pukat yang sedang asyik menyelam di antara kepulan uap sungai. Oi, bergegas, ada kabar hebat.
Memang sudah berbulan-bulan terdengar selentingan kalau akan ada proyek besar yang melewati kampung kami. Orang-orang ramai membicarakannya dalam berbagai kesempatan. Menurut informasi, proyek itu dimulai dari kota provinsi, dan terus bergerak maju ke kota provinsi lainnya. Membelah pulau Sumatera. Proyek itu apalagi kalau bukan: pembangunan jalan lintas pulau. Pejabat pusat di Jakarta telah menunjuk kontraktor dari Korea sebagai pelaksana proyek, dan mereka dibantu insinyur-insinyur teknik sipil, tenaga ahli, serta ratusan pekerja kasar terus bergerak maju. 
Bagi kami, meski skalanya tentu saja berbeda, proyek ini tidak kalah besar dan pentingnya dengan cerita Pak Bin tentang Terusan Panama. Sudah berpuluh-puluh tahun jalan kampung tidak terurus penuh lubang. Jangankan diaspal, saat musim penghujan, justru kerbau bisa berkubang di tengah jalan. Hidup kami lebih banyak susahnya gara-gara jalan yang jangankan mulus, malah lebih sering mematahkan gardan mobil. Membawa hasil bumi ke kota susah, menghabiskan waktu, tenaga dan biaya; sementara harga-harga barang kebutuhan pokok dari kota menjadi mahal. Semua serba tidak efisien. 
Jadi bisa dimengerti, kabar rombongan Korea itu tinggal lima pal lagi, membuat semua orang antusias dan bersemangat, terutama aku.
Aku harus menjadi orang pertama di sekolah yang melihat mereka, aku-lah yang harus bercerita, bukan sebaliknya, hanya tercenung mendengar cerita dari yang lain. Maka selepas lonceng pulang berbunyi, bergegas pulang, melempar tas, berganti seragam, dan tanpa mendengarkan teriakan Mamak yang entah menyuruh apa dari dapur, aku dan Kak Pukat sudah berlari-lari kecil menuju lokasi kerja rombongan Korea itu. Tidak peduli kalau Mamak sedang mengomel panjang di rumah.
Oi! Kabar burung di sungai-sungai, percakapan di stasiun kereta, bisik-bisik di depan rumah Bapak saat nonton televisi, tidak dusta. Bahkan aslinya lebih fantastis. Saat aku dan Kak Pukat tersengal mendaki bukit terakhir, menyeka keringat di dahi, berusaha mengatur nafas, meregangkan kaki yang pegal, lantas berdiri, di depan terhampar pertunjukan besar yang tidak pernah kami lihat sebelumnya. Tenda-tenda oranye berjejer. Ratusan orang bekerja membuat parit dan memindahkan batu koral. Truk-truk cokelat berlalu lalang di antara kepulan debu. Serta tronton-tronton besar yang berderit mendorong tumpukan pasir, meratakan jalan, memuntahkan aspal cair. Ini semua menakjubkan. Seperti melihat orkestra mempesona.
Di antara kerumunan pekerja kasar dan kepulan debu, terselip beberapa orang yang terlihat berbeda, mereka mengenakan topi putih, rompi merah menyala, kacamata hitam dan sepatu bot tinggi. Dari kejauhan mereka sepertinya sibuk berdiskusi, sibuk mengawasi dan sibuk mondar-mandir. Mungkin itulah rombongan Korea itu.
Aku dan Kak Pukat melangkah lebih dekat. 
Debu mengepul semakin tinggi setiap kali ada truk yang menumpahkan muatannya. Teriakan-teriakan dengan aksen aneh terdengar, mungkin itu orang Korea yang sedang bicara, menyuruh pekerjanya lebih cepat. Salah-satu tronton gesit bergerak mendorong tumpukan batu kerikil yang baru ditumpahkan. Aku takjub melihatnya, tidak pernah membayangkan kalau alat sebesar ini bisa terlihat begitu ringan dan lincah melakukan manuver. Rasa ingin tahu yang buncah, membuatku tidak sadar kalau terus melangkah mendekati tronton itu. Sssh, Kak Pukat menarik lenganku, tapi aku tidak mendengarkan, terus maju, melewati pekerja-pekerja kasar yang banjir peluh, tubuh mereka hitam terbakar matahari. 
Jarakku tinggal lima langkah lagi dari tronton itu. 
Ketika aku mendongak takjub, tronton berwarna merah tua itu justru bergerak menujuku. Satu dua batu kerikil mental diterjang benda besar itu, suaranya berderit, dan membuat tanah terasa bergetar. Kak Pukat mencengkeram lenganku, cemas. Dan sebelum aku menyadarinya, pintu operator tronton itu sudah berdebam terbuka. 
Dari dalam, seseorang menyapaku dengan suara berat, “Hallo…”
Eh, aku tergagap, Kak Pukat berusaha menarik tanganku, mengajak segera menyingkir, kami pasti mengganggu kesibukan mereka dan boleh jadi dimarahi atau malah diusir.
“Konnichiwa, Haro seramat siang.” Orang dengan topi putih itu menyapa lagi, melepas kaca mata hitam, wajah oriental-nya terlihat, “Nani wo shiteru no? Apha yang sedang kharlian rakukhan di sini?”
Aku menelan ludah, aksen yang aneh meski aku sepertinya mengerti sebagian kalimatnya.
“Eh.. aku?”
“Ya, kharlian sedang apa?”
“Ka-mi… kami sedang nonton, Pak.” Aku menjawab polos seadanya, meski beberapa detik kemudian mengeluh dalam hati, teringat percakapan yang mirip seperti ini beberapa tahun silam waktu ‘menonton’ orang-orang yang mengebom hutan kampung.
Tetapi, hei, orang korea ini tidak berseru marah mengusir kami, dia malah tertawa lebar, “Menonton? Khau mau choba menonton dari atas sini? Rebih seru, roh!”
Eh? Aku menelan ludah, apa tidak salah dengar?
“Sa, shiouka! Ayo!” ‘Korea’ itu menjulurkan tangannya.
Aku dan Kak Pukat sudah saling sikut berebut naik.
Itu hari pertama aku berkenalan dengan Tuan Nakamura. Ada sedikit kekeliruan kecil memang, orang-orang kampung kami, bahkan mungkin hampir seluruh penduduk kampung yang dilewati rombongan kontraktor ini salah paham. Perusahaan yang membantu pemerintah memperbaiki jalan memang dari Korea, tetapi manajer, insinyur-insinyur teknik sipilnya, rata-rata dari Jepang, merekalah otak teknologinya, termasuk Nakamura.
Umur Nakamura sekitar 45, wajahnya merah-hitam-merah tidak jelas karena terbakar matahari. Pertama-kali melihatnya justru aneh, karena bagian yang terlindung kaca mata tetap terlihat putih sesuai warna asli kulitnya. Walau begitu, tawa riang tidak pernah lepas dari ekspresi wajahnya. Tuan Nakamura bukan manajer, bukan insinyur, apalagi operator alat berat. Dia justru adalah orang paling penting dalam proyek tersebut, dia adalah kepala proyek.
“Ini namanya doozar, Burlian-kun. Bukhan tronston.” Nakamura tertawa. “Kau keriru, tronston itu truk besar untuk mengangkut barang…. Sedangkan doozar Ini gunanya separti yang kau rihat untuk meratakan pasir dan batu.”
Aku ikut tertawa, sebenarnya sih mentertawakan aksen bahasa Indonesia-nya yang aneh. Semuanya terdengar seperti huruf ‘r’. Setengah jam duduk di ruang kemudi dozer itu, aku segera tahu, kami bisa menjadi teman yang baik. Tuan Nakamura tidak mau dipanggil “Bapak”, dia menyuruhku memanggil nama langsung. 
Nakamura menjelaskan kalau dia sudah hampir lima tahun tinggal di Indonesia. Tiga tahun membuat jalan di pulau Jawa, dua tahun terakhir dipindahkan ke Sumatera.
“Bagaimana? Bahasa Indonesiaku sudah oke, bukhan?”
Aku dan Kak Pukat tertawa.
Nakamura kuliah teknik sipil di salah satu universitas top Jepang. Sejak lulus, sudah dua puluh tahun dia menjadi insinyur jalan raya. Lima belas tahun sebelumnya dia membantu berbagai pembangunan jalan di Thailand, Malaysia dan Kamboja – proyek-proyek bantuan Jepang untuk negara-negara Asia Pasifik. Bicara soal ini, aku jadi ingat dengan negara Amerika Serikat yang membantu Panama mengerjakan proyek terusan itu. 
Nakamura adalah pekerja keras, disiplin dan tegas. Jangan coba-coba melanggar aturan main yang telah disepakati, dia ringan tangan ‘mengusir’ pekerjanya (dengan kata lain dipecat tidak hormat). Tapi dibalik ketegasannya, Nakamura tetap kepala proyek yang manusiawi dan menyenangkan. Misalnya kenapa hari ini dia yang mengemudikan dozer itu, karena istri operator alat berat itu tengah melahirkan di kota kabupaten. Nakamura mengijinkannya cuti, dan karena tidak ada pekerja lain yang bisa menggantikan, sementara target penyelesaian jalan amat ketat, rombongan harus terus bergerak maju, Nakamura ringan tangan mengambil-alih sementara.
Menyenangkan sekali melihat seluruh lokasi proyek dari atas dozer. Nakamura sambil tertawa menjelaskan ini-itu, sengaja mengajak kami berkeliling. Menyaksikan pekerja yang banjir peluh membuat parit, truk-truk yang berlalu lalang menumpahkan kerikil dan pasir, dan alat-alat berat yang terus berseliweran. Semua pemandangan ini seru. Musim kemarau membuat bebu mengepul semakin tinggi, dan matahari terasa lebih terik membakar dari biasanya, tapi orang-orang Korea itu semakin kencang berteriak menyemangati pekerjanya.
“Khau mau cobha pegang kemudhinya, Burlian-kun?”
***
Aku sedang seru sekali bercerita ke Bapak, Ayuk Eli dan Amelia tentang pengalaman tadi saat tiba-tiba Mamak ikut nimbrung dan tanpa ba-bi-bu langsung bertanya, “Buah kelapa yang Mamak suruh panjat tadi siang mana?”
Ceritaku langsung terhenti, gelagapan. 
“Bukannya tadi siang Mamak sudah berteriak menyuruh kau agar panjat kelapa di kebun? MANA KELAPANYA?” Mamak melotot. 
Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal. Baru ingat kalau tadi siang waktu berlarian keluar rumah Mamak memang meneriaki aku agar mengerjakan tugas itu. Ayuk Eli dan Amelia nyengir. Kak Pukat beringsut menjauh, takut ikut dimarahi. Bapak tertawa pelan, “Makanya kau jangan terlalu asyik bermain, Burlian. Sekali-kali dengarkan baik-baik perintah Mamakmu. Ini setiap hari, pulang sekolah langsung lari kemanalah.”
“Mamak tidak mau tahu, besok sore di depan rumah sudah harus tersedia buah kelapa tua. Bakwo Dar butuh tiga puluh butir untuk syukuran rajab. Kau dengar, hah?”
Aku mengangguk, menelan ludah. Aduh, Mamak selalu saja mengganggu kesenanganku bercerita. Sampai mana tadi?
***
Maka sejak hari itu, tidak peduli dengan Mamak yang lebih sering mengomel, aku tetap rajin berkunjung ke lokasi pembangunan jalan. Kecepatan kerja rombongan Korea itu luar biasa, satu bulan berlalu, mereka sudah tiba di gerbang kampung. 
Setiap kali maju sekian pal, Nakamura menyuruh anak-buahnya memindahkan lokasi logistik. Tenda-tenda oranye itu sekarang berada di lapangan stasiun kereta; yang juga menjadi tempat parkir truk, alat-alat berat di malam hari atau saat memerlukan perbaikan.
“Kerapa muda ini enak sekarli, Burlian-kun.” Nakamura mengelap dagu. Saking bersemangatnya, airnya sampai tumpah.
Aku nyengir, duduk jongkok di depan Nakamura. Matahari di atas terik membakar kepala. Pekerja jalan itu sedang istirahat makan siang. Beberapa kembali ke tenda, sisanya makan ransum di lokasi kerja. Tadi Bapak menyuruhku membawakan beberapa kelapa muda untuk Tuan Nakamura, dua diantaranya sudah terbelah habis.
“Seberapha pandhai kau memanjyat, Burlian-kun?”
Aku menyeringai, tidak mengerti maksudnya.
“Yeah, khau sendhiri bukan yang mengambil kerapa ini dari pohonnya?”
Aku mengangguk.
“Itu tinggi sekhali, bukhan? Dari Medan, Padang, hingga Parlembang aku tidak pernah merlihat pohon kerapa berbuah yang rebih rendah dibandhing atap rumah, jadi khau phasti phandai sekali panjyat-panjyat, bukan... Ah, Keiko-chan waktu kechil juga suka panjyat-panjyat apa saja. Remari, tangga-tangga, pagar rumah, pohon sakura, tiang bendera, semuanya.” Nakamura beranjak mengambil buah kelapa yang ketiga.
“Nakamura-san, jangan terlalu banyak—” 
“Doushite? Kenapa?”
“Eh… Bapak pernah bilang… terlalu banyak makan buah kelapa bisa bikin cacingan.” Aku menjawab polos, menyampaikan kecemasan yang terlintas.
Nakamura sontak tergelak, “Babhakmu bohong, Burlian-kun... Apha dia juga pernah bhirang kau hanya boleh makhan bhathang tebu bagian yang atas? Sementhara bagian bawahnya bhuat orang dewasa, bhukan? Atau khalau khau makhan janthung pisang yang direbus, baghian terdalamnya hanya unthuk merekha, karena nanti khalau khau yang makan bhisa bhikin yatim-piatu?”
Aku mengangguk, memasang wajah heran, Nakamura tahu dari mana soal itu.
“Jangan bodoh, Burlian-kun. Itu agar kharlian tidak memakan baghian yang paling enak.” Nakamura terkekeh sambil mengusap dagunya lagi, air kelapa muda kembali berceceran, “Baghaimana mungkhin kerapa seenak ini bhikin cacingan.”
Aku menggaruk rambut yang tidak gatal, itu benar juga.
Nakamura memang teman yang hebat. Dia tidak memperlakukan aku laiknya anak-anak. Kami berteman seolah setaraf saja. Nakamura juga ramah dengan orang-orang kampung. Tidak sungkan menyapa, tidak merasa terganggu saat penduduk ramai menonton di lokasi kerja. Dia hanya memberi tali-tali kuning sebagai batas aman agar kerumunan tidak mengganggu pergerakan dozer, paving, compactor dan truk-truk besar. Pengetahuannya atas tradisi dan kebiasaan penduduk setempat juga mengagumkan. Tatakrama melayu yang dia pahami, cara memperlakukan sesepuh kampung, apalagi soal tabu penduduk lokal. Nakamura jago sekali urusan ini.
Aku tahu dan belajar banyak hal dari Nakamura. Dalam satu percakapan ringan istirahat petang, Nakamura bercerita kalau pekerjaan mereka membangun jalan juga memiliki bahaya, tidak selamanya lancar seperti yang terlihat. Rombongan pekerja mereka pernah diculik ketika bekerja di daerah pedalaman Thailand yang masih banyak pemberontak setempat, di halang-halangi oleh penduduk karena dianggap setan pembawa bala, marabahaya, bahkan pernah diusir dan diancam dengan tombak besar. Mereka kenyang dengan masalah. Beberapa bulan lalu sebelum tiba di kampung kami, Nakamura dipaksa ‘membayar upeti’ untuk membangun jalan di kampung itu. Jika tidak, maka mereka harus mengambil jalur lain, memutari kampung. Logika yang aneh, tapi itu betul terjadi. 
“Khau nanthi marlam serlepas mengaji bisa ke sini, Burlian-kun?” Nakamura melirik jam di pergelangan tangan.
Aku mengangguk cepat. Tentu bisa, dan itu selalu menjadi kesempatan yang hebat untuk mendengar lebih banyak cerita, pengetahuan atau sekadar tertawa membicarakan sesuatu bersamanya.
“Karlau bhegitu jangan rupa mamphir ke sini, ada sesuatu yang ingin ku perlihatkan. Kau pasti suka.” Nakamura berdiri dari duduk jongkoknya, meletakkan pisau besar di atas meja, “Sa shigoto shiouka, ganbarimasu! Saatnya bekerja lagi, Burlian-kun. Bhilang therima-kasih pada Bhabhakmu. Lain wakthu ingin rasanya aku ikut kau panjyat-panjyat pohon kerapa.”
Aku tertawa, ikut melangkah ke luar tenda oranye.

Senin, 27 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 16. JANGAN PERNAH BERHENTI PERCAYA – 2 
----------------------------------------------------------------------
“Mak, Pak Bin bicara soal apa ke Bapak?” 
Aku bertanya, memecah keheningan malam. Kami berlima sedang duduk melingkar sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ayuk Eli sedang mengurut punggung Mamak. Kak Pukat serius menggambar di bawah kerlip cahaya lampu canting yang didekatkan padanya. Amelia sibuk merangkai karet gelang. 
Tere Liye Burlian

Aku tadi hendak duduk di bangku depan, ikut mendengarkan percakapan Bapak dan Pak Bin, tetapi Mamak menyuruhku masuk. Bilang itu urusan orang dewasa. Aku bersungut-sungut masuk. Lekas bosan membaca buku perpustakaan sekolah. Sudah habis kubaca semua. Ini Si Winnetou malah sudah kubaca tiga kali, sampai hafal ceritanya.
“Paling juga Pak Bin membicarakan kau yang suka ribut di kelas.” Ayuk Eli jahil menyela. Aku menjulurkan lidah padanya, Ayuk Eli melotot sebagai balasan.
Suara jangkrik terdengar dari pekuburan belakang rumah. Angin malam menembus sela-sela papan, membuat dua lampu canting yang ada di ruang tengah bergoyang.
“Bicarakan apa sih, Mak?” Aku bertanya lagi. Penasaran.
Mamak mengangkat bahu. Bilang lewat tatapan mata kalau ia juga tidak tahu. Aku menggaruk ujung hidung sebal. Coba kalau aku tidak dilarang duduk di depan. Pasti tahu apa yang dibicarakan. Aku tahu Pak Bin tidak membicarakan soal Munjib dan tangannya yang terbakar. Sudah lewat sebulan sejak kejadian itu, dan semua sudah kembali normal. 
Siang itu, setelah Munjib lari dari rumahnya, sekolah kami jadi ramai. Bapak Munjib mendatangi ruang guru. Marah-marah. Mengamuk hendak memukul Munjib dan Pak Bin. Mang Dullah, kepala desa, ikut dipanggil ke sekolahan. Juga Bapak dan beberapa orang lainnya. 
Pak Bin benar, meski selama ini dia tidak pernah bisa memberikan pengertian itu kepada Bapak Munjib, tapi dengan Munjib sendiri, dengan suara bergetar bilang bersikukuh ingin terus sekolah di depan yang menghadiri rapat kampung, urusannya menjadi lebih sederhana. 
“Aku tidak mau membayar SPP-nya.” Bapak Munjib berseru ketus.
“Selama ini juga kau tidak pernah membayar SPP anakmu, Jaen.” Bapak juga menjawab ketus. “Aku belum pernah melihat orang-tua sepicik kau. Lihat anakmu, selalu ranking dua, padahal setiap malam dia selalu ikut kau mancing kucur. Lepas sekolah ikut kau ke kebun. Tidak pernah mengeluh, meminta yang macam-macam. Oi, harusnya kau berterima-kasih.”
Bapak Munjib terdiam. Mukanya merah-padam. Tetapi mulutnya terkunci, kehabisan kata keberatan, semua yang dikatakan Bapak benar. Mang Dullah akhirnya menengahi masalah itu, SPP Munjib akan dibayar dengan kas desa. Juga keperluan sekolah lainnya, termasuk mengganti tas, sepatu dan buku-buku yang sudah dibuang Bapak Munjib. “Untuk SPP Munjib, biar uang bandes yang dipakai. Pak Bin juga boleh mengajukan untuk bantuan SPP anak-anak tidak mampu lainnya.” Mang Dullah mengusulkan solusi yang baik.
Pertemuan itu usai satu jam kemudian. Luka bakar Munjib sempat diobati Mantri Kesehatan dari kota kecamatan. Munjib masih takut-takut mengikuti langkah kaki Bapaknya dari belakang. Tetapi urusan itu memang sudah selesai. Bapak Munjib menyebutkan banyak syarat: Munjib boleh terlambat ke sekolah, Munjib tetap ikut membantu ke kebun, Munjib ini, Munjib itu. Semuanya disepakati. “Dia akan merobohkan semua tembok penghalangnya, Pak Syahdan. Tidak usah cemas.” Pak Bin mengangguk, menenangkan Bapak yang keberatan dan hendak mengomeli Bapak Munjib sekali lagi.
“Dari tadi hanya kau saja di ruang guru, kemana Kepala Sekolahnya, Bin?” Bapak bertanya saat semua orang melangkah melintasi halaman sekolah, beranjak pulang.
“Biasalah. Mereka masuk Senin dan Rabu, sisanya di kota.”
“Oi, enak sekali jadi mereka. Tidak mengajar, tetap digaji pemerintah. Guru honorer baru itu mana? Sepi sekali ruang guru kalian tadi.” Bapak bertanya lagi.
“Ia hanya masuk hari Jum’at. Sisanya juga di kota.”
“Oi, macam mana pula urusan ini.” Bapak menepuk jidat, “Jadi hanya kau berdua dengan Pak Mail yang setiap hari mengurus enam kelas sekaligus.” 
Pak Bin menyeringai, tidak menjawab.
Suara pintu depan dibuka memutus lamunanku tentang kejadian sebulan lalu itu. Bapak melangkah masuk. Aku langsung berdiri, bertanya, “Pak Bin tadi bicara apa dengan Bapak?”
“Kau selalu saja ingin tahu urusan orang lain, Burlian.” Bapak tertawa.
Membuat wajahku terlipat sebal.

***
Malam berikutnya Pak Bin datang lagi. Bicara lebih lama lagi di bangku depan. Juga malam berikutnya. Malah terlihat membawa map-map, kertas-kertas surat. Aku semakin penasaran ingin tahu. Ada masalah apa lagi dengan sekolah kami? Beruntung, sebelum rasa penasaranku berubah menjadi tindakan anarki –misalnya memasang tape perekam di bawah bangku, Bapak menceritakannya di meja makan malam berikutnya. 
“Dua puluh lima tahun Pak Bin memikirkan sekolah kampung, tidak alfa sekalipun masuk selain karena sakit, kadang tidak menerima honor mengajar, kadang harus mengeluarkan uang sendiri untuk menalangi keperluan murid-muridnya. Dua puluh lima tahun dia memikirkan sekolah, tapi dua puluh lima tahun itu juga tidak ada satupun yang memikirkan nasib Pak Bin.” Bapak mengambil sebutir buah duku di atas meja. 
Aku, Kak Pukat, dan Amelia yang duduk mengelilingi meja mendengarkan. Mamak dan Ayuk Eli membereskan piring-piring.
“Pak Bin awalnya tidak pernah lelah mengirimkan berkas-berkas ke kota kabupaten agar dia diangkat jadi PNS. Mungkin lebih dari tujuh kali, mengikuti test, wawancara, semuanya dia lakukan. Tapi semuanya gagal. Berkasnya selalu ditolak. Oi, padahal dia terhitung lulusan pertama SPG di kota. Bagaimana mungkin dia tidak cukup memadai menjadi seorang guru yang baik. Dedikasinya, kecintaannya dan Pak Bin tidak pernah menuntut apapun dengan menjadi seorang PNS. Hasil kebunnya lebih dari cukup untuk penghidupan. Dia hanya meminta pengakuan kalau pengabdiannya dihargai pemerintah.” Cerita Bapak terhenti sebentar, asyik mengunyah buah duku. Amelia juga ikut-ikutan meraih piring buah duku. Aku menggaruk ujung hidung menatap Bapak tidak sabaran, terus, terus?
Bapak tertawa melihatku, “Sudah selesai ceritanya, Burlian. Itu saja.”
Wajahku terlipat, lantas apa perlunya Pak Bin sering bertamu ke rumah. Sebal menatap Bapak yang menggoda rasa ingin tahuku.
“Bapak kau menyuruh Pak Bin agar sekali lagi mengirim berkas-berkas PNS. Bulan ini ada pengangkatan besar-besaran guru honorer menjadi PNS.” Mamak yang menjawab, ikut duduk di bangku meja makan. Ayuk Eli masih sibuk mencuci piring di luar.
“Ya, itu benar. Bapak yang memintanya agar sekali lagi mencoba.” Bapak melanjutkan cerita, “Sebenarnya sudah sepuluh tahun terakhir Pak Bin berhenti berharap. Umurnya sudah lewat dari syarat calon PNS. Tapi kabar dari kota bilang, pengangkatan tahun ini tidak memiliki batas umur, semua guru honorer memiliki kesempatan yang sama. Jadi Bapak memutuskan ikut membantu Pak Bin. Melengkapi suratnya, mengantar berkas itu ke kota. Ada kenalan Bapak di panitia pengangkatan.”
“Jadi Pak Bin kali ini bisa diangkat PNS, Pak?” Kak Pukat mengeluarkan suara.
“Tidak tahu. Semoga saja begitu.” Bapak menggeleng getir, “Sebenarnya urusan ini tidak mudah bagi Pak Bin. Semua orang berebut ingin jadi PNS. Dan bertahun-tahun semua orang juga tahu test pengangkatan guru PNS hanya omong-kosong. Pak Bin tahu benar kalau dia selama ini gagal bukan karena dia tidak cukup layak menjadi guru yang baik.”
“Memangnya gagal karena apa?” 
“Uang, Burlian. Dari pelosok kampung kita hingga ibukota sana, semua tahu itu. Kalau kau punya uang untuk menyuap panitia pengangkatan, maka kau memiliki kesempatan yang lebih besar. Dan itulah yang tidak dimiliki Pak Bin.” Bapak menghela nafas pelan, “Walaupun Bapak yakin, andaikata dia punya uang banyak, tidak sepeser pun dia mau mengeluarkannya untuk menyogok. Pak Bin terlalu jujur. Orang seperti dia selalu saja kalah oleh kemunafikan dan muka serakah banyak orang.”
Mamak berdehem, memberi tanda ke Bapak agar tidak melanjutkan kalimatnya. Aku ber-yaah kecewa, padahal selalu seru melihat Bapak mengomeli seisi dunia. Bapak selalu saja tanpa basa-basi mengeluarkan pendapatnya. 
“Ayo Amelia, Pukat, Eli, semua ke ruang tengah. Belajar…. Kau sudah mengerjakan PR, Burlian?” Mamak menepuk-nepuk ujung meja makam.
Aku mengangguk (bohong).

***
“Oi… Oi…” Aku mengetuk meja guru di depan kelas.
Teman-teman yang tadi sibuk berlarian, saling lempar remasan kertas, atau hanya asyik berbicara di bangku-bangku kayu menoleh ke arahku.
“Hari ini Pak Bin tidak masuk.” Aku berkata nyaring.
Teman-teman seketika malah berseru riang. Kembali saling berkejaran, melempar kertas, meneruskan percakapan, tidak peduli kepadaku.
“Oi… Oi…” Aku kembali berteriak menyuruh mereka diam sebentar.
“Ada apa lagi?” Can yang sedang asyik diseret-seret kawan lain, pura-pura bermain jadi polisi dan penjahat, bertanya.
“Pak Bin berpesan, kita hari ini membaca buku-buku perpustakaan. Jangan ribut di kelas.” Aku menunjuk tumpukan buku di atas meja. 
“Oi, semua buku sudah kubaca berkali-kali. Bosanlah.” Munjib yang menjawab.
Aku menggaruk ujung hidung, mau bagaimana lagi, aku juga sama seperti Munjib sudah berkali-kali membaca buku-buku butut ini. Sudahlah, terserah masing-masing. Aku kembali ke kursi membiarkan teman-teman kembali asyik bermain.
Hari ini Jum’at, semua guru tidak ada yang datang. Kepala sekolah hanya datang sesuai jadwalnya. Pak Mail sakit. Ibu Guru yang baru honorer tiga bulan itu juga tidak hadir. Sama seperti Pak Bin, ia sedang ikut test PNS di kota. Aku menatap kesibukan teman-teman. Can sekarang lagi diikat di salah satu meja. Tiga teman lainnya sibuk ‘menganiaya’ Can, mencoret-coret wajahnya dengan kapur. Tertawa-tawa. 
Melihat keributan seisi kelas, aku baru menyadari, meski Pak Bin repot mengurus enam kelas berbagi dengan Pak Mail, kami tetap bisa belajar. Pak Bin sudah terbiasa mencari trik agar anak-anak tetap sibuk dengan buku pelajaran sementara dia mengurus kelas lain.
Awalnya aku berharap banyak pada Ibu Guru yang baru honorer itu. Percuma, mengajar saja Ibu Guru itu tidak becus. Hanya menyuruh kami mencatat, mencatat dan mencatat apa yang ia tulis di papan. Sampai pegal jari-jari. Lonceng istirahat berbunyi hanya untuk melemaskan jemari. Masuk lagi, maka kami lagi-lagi mencatat, mencatat dan mencatat. Ibu Guru itu tidak peduli dengan kami. Saat aku mengeluh soal itu di rumah, Bapak hanya berkomentar ringan, “Ia honorer di sekolah paling cuma mencari syarat agar diangkat jadi PNS.”
Aku mengusap dahi yang berpeluh, menatap Can yang sekarang ditutup mukanya, lantas teman-teman pura-pura memukuli perutnya. Tertawa. Mereka pasti meniru film koboi yang seminggu terakhir sering diputar TVRI di televisi kecil Bapak.

***
“Bagaimana testnya, Pak?” Aku semangat bertanya.
Pak Bin tertawa, “Lancar.”
“Kalau begitu, Pak Bin bisa segera diangkat jadi PNS?”
“Insya Allah.”
Itu persis sehari kemudian, saat Pak Bin masuk lagi. Wajahnya cerah, semangatnya sedang baik-baiknya. Sepanjang hari kelas dipenuhi oleh tawa. Pak Bin mengajar dengan baik. Antusias, tulus dan seperti biasanya, pandai sekali bercerita.
“Sudah ada pengumumannya, Pak?” Aku semangat bertanya lagi.
“Belum, Burlian.” Pak Bin masih terseyum lebar.
Itu percakapan seminggu kemudian. Kami sudah hampir ulangan umum cawu pertama. Anak-anak sibuk belajar mempersiapkan diri. Terutama Munjib yang sempat tiga minggu tidak sekolah gara-gara dilarang Bapaknya dulu.
“Sudah ada pengumumannya, Pak?” Aku semangat bertanya lagi.
“Belum, Burlian.” Kali ini suara Pak Bin terdengar pelan. Wajahnya masygul.
Aku ikut menghelas nafas. Tertunduk. Itu sebulan kemudian, hari terakhir ulangan umum Catur Wulan pertama. Malamnya aku tahu kenapa Pak Bin menjawab masygul. Bapak bercerita, ada yang mendatangi Pak Bin meminta sejumlah uang kalau dia ingin diluluskan. Berapa banyak? Lima juta. Bahkan Mamak yang ikut mendengar cerita ber-istigfar.
“Sudah ada pengumumannya, Pak?” Aku semangat bertanya lagi.
Pak Bin hanya menggeleng. Mukanya suram.
Aku tertunduk. Itu dua bulan kemudian, kami sudah masuk lagi setelah libur seminggu. Aku belum pernah melihat ekspresi muka Pak Bin sekusam itu. Aku melangkah melintasi halaman sekolah dengan rasa sedih. Mengabaikan matahari terik yang membakar kepala. Suara burung elang terdengar di atas kanopi hutan. Bapak menghela nafas saat aku menceritakan percakapan tadi siang dengan Pak Bin. 
“Kau bantu saja dengan doa, Burlian.” Mamak mengusap rambutku.
“Ya Allah, semoga Engkau sayang kepada Pak Bin seperti dia selalu menyayangi kami.” Amelia yang duluan bersuara, takjim mengangkat kedua belah telapak tangannya. 

***
Pagi itu Pak Bin tidak masuk.
Kami celingukan mencari ke ruang guru. Hanya Pak Mail di sana, bergegas hendak ke kelas tiga. Menyuruh kami menunggu saja di dalam kelas, jangan ribut, nanti dia masuk.
Kemana Pak Bin? Apakah dia sakit? Pak Mail yang masuk ke kelas setengah jam setelah memberikan tugas di kelas empat menjawab tidak tahu. Tidak ada pesan sudah sampai di bab berapa pelajaran kelas kami yang biasanya dikirimkan Pak Bin kalau dia berhalangan masuk.
Esoknya Pak Bin juga tidak masuk. Aku mulai terganggu. Apalagi salah satu teman yang rumahnya bersebelahan dengan Pak Bin bilang kalau tadi pagi dia melihat Pak Bin berangkat ke kebun. Astaga? Sejak kapan Pak Bin memilih ke kebun daripada datang ke sekolah. 
Malamnya Bapak bilang kalau pengangkatan PNS itu sudah diumumkan. Pak Bin untuk ke sekian kalinya tidak masuk dalam daftar itu.
“Dunia memang sudah rusak. Pejabat-pejabat sana tidak ada bedanya dengan anjing kurapan.” Bapak mengomel tidak mempedulikan Mamak yang ber-hsss menyuruhnya berhenti memaki sembarangan, “Bagaimana mungkin pengabdian 25 tahun Pak Bin kalah dengan guru honorer yang baru tiga bulan mengajar, itu pun datang semau-maunya, tidak becus mengajar. Lihat, Ibu Guru honorer kalian yang baru itu namanya ada dalam daftar pengumuman. Lulus. Hanya karena dia masih saudara dekat pejabat kota.”
Amelia hanya menunduk sedih. Aku tahu, Amelia juga dekat dengan Pak Bin. Urusan ini pasti ikut menganggunya.
Besok, sempurna tiga hari berturut-turut Pak Bin tidak masuk. Situasi kelas mulai terasa ganjil. Teman sekelas yang meski senang-senang saja Pak Bin tidak datang, lama-lama bosan bermain sendiri. Can mulai protes ke Pak Mail yang menggantikan. Pak Mail tidak bisa menjawab kapan Pak Bin masuk kembali, “Boleh jadi dia berhenti mengajar.” Kalimat Pak Mail membuat aku tersentak kaget. Seluruh kelas terdiam. Itu tidak boleh terjadi.
Itu benar-benar tidak boleh terjadi.
Maka sorenya, aku mengajak Munjib pergi ke rumah panggung Pak Bin.
Mengetuk pintu rumahnya. Tidak ada yang menjawab.
“Pak Bin masih di kebun, Burlian.” Tetangga sebelah memberitahu. 
Aku mengangguk bilang terimakasih. Tidak masalah, kami memutuskan menunggu hingga dia pulang. Tidak peduli meski harus kemalaman.
Pukul setengah enam, Pak Bin dan istrinya baru terlihat membuka pintu pagar rumah. Melihat kami yang duduk di beranda, dia memaksakan diri tersenyum.
“Ayo masuk, Burlian, Munjib.” Istri Pak Bin membukakan pintu.
Pak Bin tidak mengganti pakaian kotornya saat menemui kami di ruang tengah. Istrinya mengantar gelas minuman.
“Bagaimana sekolah kalian?” Pak Bin bertanya kaku.
“Kabar buruk. Bapak sudah tahu itu.” Munjib yang menjawab, dengan suara serak.
Pak Bin terdiam. Mengusap wajahnya. Dia tahu sekali kenapa kami datang ke rumahnya. Tahu sekali maksud tatapan mata Munjib yang sekarang berkaca-kaca. Semua penduduk kampung tahu soal ini. Pak Bin, yang sudah 25 tahun mengabdi sekali lagi gagal test PNS. Sementara sudah hampir belasan guru honorer lainnya di kampung kami silih berganti datang dan pergi menjadi PNS. Ditempatkan pula di SD kota kabupaten.
“Bapak pikir… Bapak tidak akan lagi bisa mengajar kalian.” Pak Bin berkata pelan setelah beberapa saat hanya senyap. “Maafkan, Bapak…”
Aku mengusap mata yang ikut basah. Hidungku kedat. Munjib sejak tadi sudah emosional sekali menunjukkan keberatannya. Menunjukkan perasaannya. Andaikata kami punya kuasa dalam urusan ini, ingin sekali kami mengangkat Pak Bin menjadi PNS hingga sepuluh kali. Karena dia berhak atas itu semua. Kecintaannya. Ketulusannya. 
“Bapak bohong….” Munjib di tengah isaknya berkata lantang.
Pak Bin mengangkat kepalanya.
“BAPAK BOHONG! Semua yang dulu bapak katakan pada Munjib bohong… jangan pernah menyerah… jangan pernah berhenti percaya… itu bohong! Munjib benci!” 
Dan sebelum Pak Bin sempat mengeluarkan sepotong kata, sebelum aku sempat menyikut bahu Munjib agar dia tutup mulut ‘menuduh’ Pak Bin sedemikian kasarnya, Munjib sudah berlarian ke luar rumah. Langkah kakinya membuat lantai papan berderak. Anak tangga berbunyi keras. Munjib berlari kencang, seperti hendak menjauhi rumah Pak Bin secepat yang dia bisa.
Istri Pak Bin menyeka matanya yang berair.
Aku menelan ludah.
Pak Bin sudah tertunduk dalam-dalam, tersengal menahan sesak di dada. Dia jangankan mengeluarkan suara untuk mencegah Munjib berlarian, untuk membantah kalimat Munjib pun dia tidak kuasa. Munjib telah menusuk pertahanannya paling dalam.

***
Esok hari, Pak Bin kembali mengajar. 
Kelas sempat hening beberapa menit saat Pak Bin hanya berdiri di depan tanpa kata-kata. Lantas tersenyum lebar sekali kepada Munjib. Mengusap ujung matanya yang basah. Dan Munjib sudah berlarian ke depan kelas loncat memeluknya. Erat sekali. Juga diikuti Can, teman-teman yang lain, dan tentu saja aku.
Bagi kami, PNS atau tidak, Pak Bin adalah guru kami. Catat itu.

Minggu, 26 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 15. JANGAN PERNAH BERHENTI PERCAYA – 1
----------------------------------------------------------------------
Tahun ajaran baru tiba. 
Di SD kami, kelas lima selalu krusial. Karena kelas lima akan menentukan seperti apa masa depan kami. Fakta ini tidak berlebihan. Sepuluh tahun terakhir, ketika menginjak kelas lima-lah kebanyakan murid SD kampung kami berguguran berhenti sekolah. Tanyakan saja ke Pak Bin, dia sudah mengajar hampir 25 tahun, tahu persis betapa pentingnya kelas lima itu.
Lazimnya, fisik anak-anak seusia kelas lima sudah cukup besar untuk bekerja di kebun, menyadap karet, menyiangi ilalang, mencari ikan di sungai, dan sebagainya. Bagi kebanyakan orang-tua kampung, sekolah bukan prioritas utama. Mereka sudah cukup senang saat anak-anaknya bisa membaca-menulis. Itu lebih dari cukup. Jadi ketika anak yang bersangkutan sudah bisa bekerja mandiri, berani ke hutan sendirian, buat apa lagi sekolah? Logika yang sederhana dan tidak bisa disalahkan sepenuhnya.
Tere Liye Burlian

Belum lagi, separuh warga kampung hidup miskin. Orang-tua amat mengandalkan anak-anaknya bekerja membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi mereka realistis saja, sekolah cukup seperlunya. Dan kelas lima, menjadi angka psikologis. Buat apa terus sekolah? Setahun berlalu naik kelas enam, setahun berlalu lagi lulus SD, tetapi pada akhirnya tidak akan melanjutkan ke SMP? Boleh jadi karena ijasah sekolahan formal dianggap tidak penting saat itu, lebih banyak lagi karena memang tidak ada biaya sekolahnya. Untuk melanjutkan ke SMP, mereka harus mengirim anak-anaknya ke kota kabupaten, semua itu membutuhkan ongkos tidak sedikit.
Buat anak yang bisa bertahan di kelas lima, maka lazimnya dia lulus SD dan melanjutkan ke SMP kota kabupaten. Kalaupun tidak, orang-tua mereka tetap akan memaksakan anaknya setidaknya untuk lulus SD, punya ijasah satu-satunya dalam hidup mereka. Oleh karena itulah, kelas lima menentukan sekali akan seperti apa masa depan kami. Pertanda jelas apakah kami akan bertahan dua tahun lagi hingga lulus, atau seperti yang lain, menutup buku pelajaran, lantas mengambil pisau, arit atau alat penyadap karet.
Hari pertama tahun ajaran baru, wajah Pak Bin sudah bersungut-sungut. Dari dua puluh murid kelas lima yang ada dalam daftar absensi, delapan tidak menunjukkan batang hidungnya. Tentu saja mereka tidak masuk bukan karena belum pulang dari berlibur, plesir bersama keluarga atau sejenisnya. Tidak ada anak kampung sini yang menikmati kemewahan seperti itu. 
“Can sakit, Pak.” Aku berseru, bergegas mengeluarkan surat Bakwo Dar dari dalam tas, menyerahkannya ke Pak Bin.
Pak Bin tanpa membuka surat itu, memberi tanda ‘sakit’ di buku absensi. Wajahnya masih suram, dengan demikian berkurang satu kecemasannya. Namun angka tujuh tetaplah banyak. Terpaksa atau dipaksa oleh keadaan menjadi alasan terbesar anak didiknya putus sekolah tahun-tahun terakhir.
“Munjib… ada yang tahu Munjib kenapa tidak masuk hari ini?” Pak Bin melepas kaca-mata kusam miliknya, menatap ke seluruh kelas.
Kami saling toleh satu sama lain, mengangkat bahu. Tidak tahu.
“Tadi pagi ada di depan rumahnya, Pak. Tapi sepertinya dia tidak hendak berangkat sekolah. Mana ada orang ke sekolah sambil membawa penyadap karet dan keranjang rotan.” Salah seorang kawan memberikan informasi.
“Kau sempat menegurnya?”
“Iya, Pak. Tapi dia hanya menunduk tidak menjawab.”
Pak Bin terdiam sebentar, memainkan kaca-mata. Meraih buku besarnya, entah menulis apa, menghela nafas panjang sebelum akhirnya berseru soal pelajaran hari ini.
Harusnya Pak Bin membiasakan diri atas situasi ini, menerimanya sebagai realitas bagian dari pekerjaannya. “Pak Bin itu guru yang baik, Burlian.” Begitu kata Mamak suatu hari, “Dua puluh lima tahun dia mengajar…. Itu periode yang panjang bagi guru manapun. Semua anak-anak di kampung kita pasti pernah diajar Pak Bin. Dan dia tidak pernah berhenti bermimpi kalian menjadi seseorang suatu hari nanti. Tidak hanya menjadi petani, tukang sadap karet, mencari ikan di sungai atau hanya mencari rotan di hutan.” 
Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Mamak. 
“Asal kau tahu saja, Pak Bin selalu rajin bertanya ke Mamak dan juga Ibu-Ibu lain soal apakah kalian belajar lagi di rumah, apakah kalian mengerjakan PR atau tidak, apakah kalian hanya bermain-main saja. Dan sebaliknya Pak Bin tidak pernah lalai memberitahu kemajuan kalian di kelas. Termasuk memberitahu kalau kalian suka bolos…. Sudah seharusnya kalian berterimakasih banyak kepadanya. Minimal dengan tidak nakal dan membantah.” 
Aku hanya nyengir mendengar kalimat Mamak. 
Kami memang tidak pernah tahu betapa besarnya mimpi Pak Bin. Yang lebih kami ketahui dia sering menghukum berdiri di depan kelas. Kami juga tidak tahu kalau setiap tahun Pak Bin tidak kenal menyerah membujuk orang-tua yang anak-anaknya putus sekolah agar bertahan. “Ayolah, satu tahun lagi tidak akan terasa, dan tiba-tiba sudah kelas enam… tiba-tiba sudah lulus SD.” Pak Bin mendatangi satu per-satu rumah anak yang putus sekolah. Membujuk orang-tuanya, membujuk anaknya. Terlepas dari keterbatasan banyak hal, Pak Bin selalu mencari cara agar anak-anak didiknya terus datang ke kelasnya dengan semangat.
SD kampung kami memang tidak memiliki banyak kelebihan. 
Bangunan seadanya. Peralatan mengajar yang usang dan rusak. Peta kusam yang itu-itu saja. Penggaris panjang yang patah. Papan tulis penuh baret. Buku-buku terbatas. Dan jangan tanya soal guru. Guru-gurunya kurang sekali, hanya tiga orang, itu pun termasuk kepala sekolah. Bayangkan bagaimana repotnya Pak Bin saat dia harus mengurus tiga kelas sekaligus—saat guru yang lain kebetulan ada keperluan. Mondar-mandir dari satu kelas ke kelas lain, berusaha mendiamkan murid yang senang-senang saja guru tidak datang.
Dua puluh lima tahun Pak Bin terus mengajar, dua puluh lima tahun dia bertahan. Yang mengagumkan, Pak Bin sama sekali bukan guru PNS. Pak Bin hanya guru honorer. 
Di sekolah kami guru honorer tidak dibayar sepeser pun oleh pemerintah. Guru honorer dibayar dari sumbangan murid, yang kebanyakan juga menunggak, atau membayarnya dengan mengirimi Pak Bin beras, pisang dan hasil kebun lainnya. Kalau hanya menggantungkan hidup dari honor mengajar, Pak Bin tidak akan kuasa menafkahi tiga anaknya. Dia seperti penduduk kampung lain, berkebun selepas jam mengajar. 
Tahun ajaran baru ini agak lumayan, sekolah kami kedatangan guru honorer baru dari kota. Ibu gurunya masih muda, paling juga baru dua puluhan. Dulu-dulunya memang sering ada guru honorer baru, tetapi tidak setahan banting Pak Bin. Biasanya hanya bertahan setengah tahun, berhenti, karena tidak kuat menghadapi nakalnya anak-anak dengan honor yang kadang telat dibayar. Setidaknya meski sebentar, kedatangan guru honorer bisa membantu beban Pak Bin mengurus tiga kelas sekaligus.
“Burlian, sebentar.” Pak Bin menegurku yang bergegas hendak pulang. Bel sekolah sudah berdentang, Mamak tadi pagi menyuruhku segera pulang, biar bisa membantunya mengelupas buah jengkol.
“Eh, ya Pak?” 
“Kau nanti pukul lima sore bisa ke rumah Bapak?”
Aku mengangguk—meski tidak tahu buat apa.
“Kau jangan sampai terlambat.” 
Aku mengangguk lagi, kemudian berlarian pulang.
***
Langit petang terlihat menyenangkan. Merah sepanjang mata memandang. Gumpalan awan putih terlihat memerah, pucuk-pucuk hutan kampung terlihat memerah, juga atap seng rumah-rumah panggung. Angin lembah bertiup lembut, memainkan ujung rambut. Dari arah lapangan stasiun kereta terdengar teriakan seru, anak-anak sedang ramai bermain bola. Selepas membantu Mamak, aku awalnya ingin ikut bermain bola. Tetapi teringat janji tadi siang, berlarian ke rumah Pak Bin.
“Katanya kalau murid di SD kurang dari sepuluh, sekolah akan ditutup, Pak?” 
“Kata siapa?” Pak Bin tertawa. “Kau jangan mendramatisir cerita, Burlian.”
“Katanya di kampung lain begitu, Pak. Kurang dari sepuluh, sekolahnya ditutup.” Aku berusaha mensejajari langkah Pak Bin yang panjang-panjang.
“Itu berlebihan… Bagi siapa saja yang mengaku mencintai mengajar, jangankan sepuluh atau sembilan, tinggal satu murid pun sekolahan tetap terus.”
Aku mengangguk, benar juga.
Kami tiba di rumah Munjib persis saat yang dicari-cari juga tiba dari kebun karet bersama bapaknya. Wajah Munjib kotor berdebu, meletakkan keranjang rotan yang berisi getah karet. Bau karet menusuk hidung. Pak Bin tersenyum menyapa. Bapak Munjib hanya batuk kecil, menyuruh naik ke rumah panggung. Sementara Munjib yang melihat Pak Bin beringsut salah-tingkah ikut menaiki tangga.
“Bagaimana kebun karetnya, Pak Jaen? Masih banyak getahnya?” Pak Bin memulai percakapan, senyum arif tidak lepas dari wajahnya.
“Lumayanlah dibanding musim penghujan lalu. Tapi kebun karet itu memang sudah terlalu tua. Disadap hingga satu keliling pohonnya pun semangkok batok kelapa tetap tidak penuh. Padahal sudah tiga hari ditampung getahnya.”
“Oi, kalau dipaksa begitu, nanti rusak pohonnya?”
“Mau bagaimana lagi. Kalau tidak disadap sekeliling pohonnya, seminggu tak dapat sepuluh kilo getah karet. Kau tahu sendirilah, dengan harga karet sekarang turun, itu tidak cukup untuk membeli beras.”
Pak Bin ikut menghela nafas bersimpati. Aku yang duduk di sebelah Pak Bin diam saja, memperhatikan percakapan. Munjib datang dari arah pintu dapur, membawa gelas air minum. Ibu Munjib sudah lama meninggal. Mereka tujuh bersaudara, semuanya laki-laki. Munjib anak paling kecil. Ke enam kakak Munjib rata-rata tidak tinggal di kampung kami. Menikah, pindah ke kampung-kampung lain. Di rumah panggung mereka, masih ada dua kakak Munjib seumuran pemuda tanggung yang ikut tinggal. 
“Kau tidak sekolah hari ini, Munjib?” Pak Bin memulai bagian terpenting percakapan. Menatap Munjib yang berdiri hendak membawa masuk nampan gelas.
“Buat apalah sekolah, Bin.” Bapak Munjib yang menjawab, dengan intonasi sedikit ketus.
Pak Bin tersenyum, diam sebentar, dia berpengalaman sekali urusan ini, “Dengan sekolah Munjib akan punya masa depan yang lebih baik, Pak Jaen. Dia punya ijasah, bisa—”
“Oi, enam kakak-kakaknya Munjib punya ijasah SD, kau semua yang mengajar mereka. Lihatlah, enam-enamnya sekarang hanya jadi petani. Kau juga lihat, banyak pemuda kampung yang lulus SD kerjaannya hanya duduk-duduk saja di bale-bale bambu, paling bagus mereka tidak mabuk-mabukan atau mencuri seperti anak kampung lain. Tidak ada gunanya ijasah itu. Kau tidak akan ditanya ijasah kalau hanya menjadi petani.”
Pak Bin menelan ludah, lagi-lagi diam sebentar, membiarkan angin lembah berhembus melewati beranda depan rumah panggung itu. Membiarkan percakapan itu mengalir apa-adanya hingga menjelang maghrib. Tanpa kesimpulan.
“Setidaknya kita tahu Munjib masih ingin sekolah.” Pak Bin tersenyum lega.
“Bagaimana Pak Bin tahu? Bukankah Munjib tidak sepatah pun ikut bicara tadi?” Aku melangkah lebih cepat, mengikuti gerak kaki Pak Bin.
“Justru karena itulah Bapak tahu. Kau perhatikan wajahnya, dia sungkan bertemu kau, Burlian. Dia malu. Ekspresi wajahnya memperlihatkan itu.” 
Aku menggaruk rambut. Setahuku Munjib tadi hanya menunduk. Serba-salah, hendak membawa masuk nampan gelas, atau ikut duduk mendengarkan pembicaraan. Jadilah dia hampir satu jam berdiri mematung. Mana pula aku bisa lihat ‘wajah malu’ si Munjib. Adzan maghrib sebentar lagi terdengar, kerumunan di lapangan stasiun kereta sudah bubar. Lampu-lampu canting mulai dinyalakan di rumah-rumah. Seekor elang melenguh dari atas kanopi hutan. Langit yang tadi terlihat merah nampak gelap.
“Kau tahu kenapa aku mengajakmu ke rumah Munjib, Burlian?” Pak Bin menyentuh bahuku saat tiba di depan pagar rumah.
Aku mengangkat bahu. Tidak tahu.
“Karena kau akan penting sekali dalam urusan ini. Kita dalam ‘misi rahasia’. Mengajak Munjib agar kembali sekolah. Besok-lusa, setiap ada kesempatan, kau harus membujuknya agar mau kembali. Aku akan mengurus Bapaknya, memberikan banyak penjelasan. Tidak akan mudah, karena hingga kapanpun dengan segala keterbatasan keluarga mereka, Bapak Munjib tidak akan peduli soal pentingnya sekolah. Tapi urusan akan lebih gampang jika Munjib sendiri yang bersikukuh kembali sekolah. Kau mengerti?”
Aku mengangguk. Mantap.
“Nah, titip salam buat Mamak, Bapak kau.” Pak Bin menepuk bahuku sekali lagi, lantas berbalik arah, kembali ke rumahnya.
Aku melintasi halaman, di depan rumah Ayuk Eli yang membereskan karung-karung jengkol menegurku, “Dari mana kau maghrib-maghrib baru pulang?” 
“Misi rahasia.” Aku menjawab pendek. Terus melangkah masuk.
***
“BUUM!” Suara tubuh menghantam air terdengar kencang.
“BUUM!!” Menyusul yang kedua.
“BUUM!!!” Tiga anak-anak lain serempak loncat.
Tubuh-tubuh liat menghitam itu meluncur ke dalam sungai, gelembung udara berarak ke atas, anak-anak itu saling menjulurkan lidah di dalam air sungai yang bening, saling mengacungkan jari, lantas setelah hampir kehabisan nafas, mengayuh kaki dan tangan, berenang ke permukaan air. Tertawa-tawa.
“Kau lihat gayaku tadi! Itu baru ‘gaya batu’.” Munjib berseru.
“Batu apanya? Kaki kau tidak semuanya bergelung.” Aku tidak terima. “Kalau gayaku tadi itu baru sempurna gaya batu.” 
Berdebat sebentar, tidak mau mengalah, akhirnya sepakat, diulangi lagi. Maka aku, Can, Munjib dan dua kawan lain berenang ke pinggir sungai, menaiki tebing cadasnya. Bersiap mengambil posisi, ancang-ancang, berlarian, dan BUM!! Suara tubuh kami menghantam air sungai terdengar lagi. Tinggi cadas itu adalah dua meter, kedalaman air di bawahnya juga sekitar dua meter. Itu tempat favorit kami mandi sore sekaligus bermain air. Lompat dari cadasnya. Sepelemparan batu jaraknya dari pemandian penduduk biasa.
Lagi-lagi kami bertengkar. Lupa bagaimanalah kami akan tahu lompatan siapa yang paling bagus, jika saat melompat kami lebih sibuk mengurus diri sendiri, tidak ada yang walau sebentar mau memperhatikan kawan lain saat melompat. Akhirnya mandi sore itu ditutup dengan bermain bola di atas permukaan air sungai. Berkejar-kejaran, meliuk-liuk menyelam di dalam sungai memperebutkan bola plastik. Tertawa. Melupakan urusan lompat ‘gaya batu’ yang tidak jelas siapa pemenangnya.
“Kalau kita tadi mandi di Laut Mati, main bolanya pasti lebih seru, karena kita tidak perlu repot berenang mengambang di permukaan airnya. Kita tidak akan tenggelam di sana.” Aku gaya dan yakin sekali mengucapkan kalimat itu, seolah baru kemarin sore habis berenang dari Laut Mati itu.
“Oi, mana ada air yang kau tidak tenggelam di dalamnya.” Munjib langsung memotong dari belakang, mengibaskan rambutnya yang masih basah. Kami berjalan beriringan, pulang melewati jalan setapak menuju kampung.
“Ada. Seperti yang kubilang, Laut Mati namanya.” Aku mengangkat bahu, berkata dengan intonasi seolah bilang, ‘kau saja yang tidak tahu’.
“Tidak ada. Aku belum pernah mendengarnya.” Munjib bersikeras.
“Memang ada, Munjib.” Tidak seperti pertengkaran melompat ‘gaya batu’ tadi, kali ini salah seorang kawan ada yang menengahi.
“Heh? Bagaimana mungkin kau tidak tenggelam di air? Kau lebih berat dibanding massa jenis air.” Munjib menelan ludah, mulai ragu-ragu dengan kalimatnya sendiri.
“Di Laut Mati kadar garamnya lebih tinggi, Kawan. Sehingga kita bisa mengambang tanpa perlu mengayuh kaki dan tangan. Itu kata Pak Bin tadi pagi di kelas. Pelajaran IPA. Aku tidak tahu juga ada apa dengan garam-garam itu sehingga membuat kau mengambang, yang pastilah asin rasanya.” Can menjelaskan, tertawa. 
Munjib langsung terdiam.
Seekor burung pipit melintas di atas kepala kami, mencicit riang. Pulang menuju sangkar. Matahari sebentar lagi terbenam. Sudah lewat dua minggu sejak tahun ajaran baru dimulai. Sudah dua minggu pula delapan teman kami tidak masuk sekolah, termasuk Munjib. Pak Bin menunaikan janjinya, dia tidak mengenal lelah mengajak bicara orang-tua mereka. Tidak sakit hati meski menerima banyak kalimat kasar. Tetap tersenyum walau diabaikan. Menggunakan segala cara untuk memberikan penjelasan. Aku tahu itu semua dari cerita Mamak, karena belakangan ini Pak Bin sering bertamu ke rumah. 
Maka sudah seharusnya aku melaksanakan giliranku. Membujuk Munjib. Percakapan soal Laut Mati tadi disengaja. Sesuai pesan Pak Bin, aku harus sering-sering mengajak Munjib bicara tentang sekolahan. Dengan begitu dia akan merasa ‘berbeda’ dengan anak-anak yang lain. Tidak justru menganggap kondisinya baik-baik saja, lantas terbiasa dengan fakta kalau dia tidak sekolah lagi.
“Tadi pagi Pak Bin juga bilang banyak hal… Bilang apa ya, Burlian.” Salah seorang kawan yang semangat ikut percakapan lupa apa yang hendak dikatakannya, menyeringai.
“Pak Bin bilang sekolah bukan hanya tempat belajar menulis dan membaca. Sekolah juga tempat belajar banyak hal….” Aku mengulang kalimat Pak Bin dengan sempurna, “Dengan sekolah akan banyak kesempatan yang datang… masa-depan yang lebih baik… kesenangan, keriangan… Jangan pernah berhenti percaya tentang itu.”
Munjib hanya diam saja. Tertunduk.
***
Aku semangat mengeluarkan buku-buku dari dalam kardus. Ujung-ujung kardusnya sudah dimakan rayap, jadi tidak terlalu kaget saat menemukan banyak buku yang sudah tidak berbentuk. Rayap-rayapnya berlarian saat aku membongkar tumpukan terakhir.
“Dibuang saja, Burlian. Sudah tidak bisa dibaca lagi.” Pak Bin menggelengkan kepala. Mengambil kardus terakhir dari balik lemari.
Aku menatap sedih buku-buku itu. Tetapi Pak Bin benar, mau dikata apalagi, sudah terlalu rusak. Tanah lembek sarang rayapnya menempel di sana-sini, lubang-lubang besar menganga. Aku memasukkannya satu-persatu ke dalam tong sampah. Sambil selintas membaca judul-judulnya. Buku-buku rusak ini terlihat menarik dan seru sekali.
Petang ini Pak Bin tidak memintaku menemaninya ke rumah orang tua murid yang berhenti sekolah. Dia memintaku membantu membongkar gudang sekolah. Bangunan sekolah kami sudah lama sekali tanpa sentuhan perbaikan. Lihatlah isi gudang sempit di sebelah ruang guru. Globe, bola-bola dunia yang terkelupas. Raket bulu-tangkis yang tidak ada lagi senarnya. Patung Garuda patah. Foto-foto wakil presiden lama –kalau foto presidennya tetap yang itu-itu saja. Tumpukan kertas menguning. Dan yang aku tidak tahu, hei, ternyata ada tiga kardus buku-buku cerita di gudang ini.
“Kita tidak punya ruangan perpustakaan, Burlian. Setiap kali paket buku perpustakaan datang dari kota, hanya dimasukkan ke dalam kardus-kardus ini. Sudah lama sekali buku-buku ini. Dulu sempat Bapak pajang di meja guru agar murid-murid bisa pinjam atau baca, tapi tidak bertahan lama, kepala sekolah baru waktu itu tidak suka ruangan guru dipenuhi oleh murid yang membaca. Mengganggu. Jadi dimasukkan kembali ke dalam gudang, terlupakan hingga sekarang.” Pak Bin menepuk-nepuk ujung salah-satu buku.
Kami hanya berhasil menyelamatkan seperenam buku-buku itu. Tidak banyak, hanya sekitar tiga puluh buku. Tapi meski sedikit, aku tertawa riang melihat tumpukan buku-buku tersisa. Tidak mempedulikan bau kertas menusuk hidung karena disimpan terlalu lama.
“Burlian boleh pinjam yang ini, Pak?” Menimang-nimang salah-satu buku berjudul ‘Winnetou, Ketua Suku Apache’.
Pak Bin mengangguk. “Memang itu tujuannya buku-buku ini dikeluarkan.”
“Boleh Burlian bawa pulang sekaligus lima.” 
Pak Bin tertawa, “Kalau kau pinjam semua, nanti teman-teman kau tidak bisa baca. Satu-satu saja dulu.”
Aku menggaruk ujung hidung, ikut tertawa. 
“Nah, kau mau membantu Bapak lagi, Burlian?”
Aku mengangguk. Tentu saja.
“Kau bawa lima buku ini buat teman-teman kelasmu yang dua minggu terakhir berhenti sekolah. Kau pinjamkan kepada mereka. Semoga dengan begitu mereka tetap merasa memiliki kedekatan dengan sekolah. Memiliki benda yang menjadi simbol bahwa mereka tetap murid sekolahan ini.” Pak Bin berkata pelan, menatap lamat-lamat stempel menguning ‘Departemen Pendidikan & Kebudayaan’ di salah satu sampul buku.
Aku menelan ludah. Teringat misi rahasia kami selama ini. Bertanya cemas, “Kalau mereka tetap tidak masuk juga bagaimana, Pak?”
“Kita tunggu sampai satu bulan. Ah, terus-terang, satu saja dari mereka bersedia kembali sekolah sudah membuat Bapak senang. Sepuluh tahun terakhir bahkan tidak ada satu pun anak kelas lima yang berhenti sekolah kembali ke kelas. Bapak sudah berusaha melakukan apa saja untuk membujuk orang-tua mereka. Menawarkan jalan keluar kalau mereka memang tidak punya biaya untuk sekolah, tidak perlu membayar SPP…. Sia-sia. Semua urusan ini kembali ke anak-anak itu, jika mereka mempunyai keinginan yang kuat, mereka akan kembali tidak peduli seberapa besar keterbatasan yang mereka miliki… sepanjang mereka tidak pernah berhenti percaya…”
Aku terdiam, entah mau berkomentar apa. Mengambil lima buku itu. Teringat sesuatu, “Kurang satu, Pak. Kawan-kawan itu berjumlah enam. Bukan lima.”
“Kau benar. Memang kurang satu. Sebentar.” Pak Bin berdiri, melangkah mendekati mejanya, mengambil buku ke-6. “Ini untuk Munjib. Satu-satunya buku yang ada di lemari rumah Bapak. Ini buku spesial. Aku beli di kota waktu masih sekolah SPG. Aku tahu mungkin buku ini terlalu berat baginya, tapi dia selalu suka cerita seperti ini. Kau berikan kepada Munjib.”
Aku menerima buku ke-6 itu. Membaca judulnya: ‘Monte Cristo’.
“Burlian bisa pinjam yang ini kalau sudah dibaca Munjib, Pak?”
Pak Bin tertawa. Mengangguk.
***
Trik kecil Pak Bin sebenarnya jenius. Dengan mengirimkan buku-buku itu ke teman-teman yang berhenti sekolah, maka setiap kali mereka membaca, atau hanya melihat buku itu tergeletak di rumah masing-masing, mereka akan ingat sekolahan. Apakah itu efektif membuat mereka kembali masuk? Pak Bin sendiri tidak berharap banyak.
Seminggu berlalu sejak aku menyerahkan buku-buku itu, tiga diantaranya dikembalikan. Pak Bin menghela nafas panjang saat orang-tua dan anak yang bersangkutan membawa buku itu ke ruang guru. Bilang semuanya terserah anak mereka, amat menghargai kegigihan pak Bin. Sayangnya, ketiga kawan kami itu memang sudah tidak mau lagi sekolah. Tidak bisa dipaksa. Kasus selesai buat mereka.
Dua hari kemudian dua buku berikutnya kembali. Juga sama dengan yang sebelumnya, meski ragu-ragu, meski tidak jelas alasannya, dua kawan kami berikutnya sepertinya berat hati sekali untuk meneruskan sekolah. Mungkin sudah senang ikut ke kebun atau mencari ikan tidak perlu mendengarkan celoteh guru lagi. Aku yang kebetulan ikut melihat buku-buku itu kembali, hanya bisa teringat kalau dulu bersama Kak Pukat pernah dihukum Mamak seharian gara-gara bolos sekolah. Teringat nasehat Bapak dulu, sekolah laksana menanam pohon sengon.
Aku mendesah resah. Satu buku lagi belum kembali. 
Monte-Cristo yang dipegang Munjib.
Pagi itu, saat kami sedang mengerjakan soal Matematika yang membuat pusing kepala, saat angka-angka di papan tulis membuat mata berputar-putar, saat dua teman kami sudah jadi korban di-setrap Pak Bin karena gagal menyelesaikan soal itu, tiba-tiba di bawah bingkai pintu, Munjib sudah berdiri sambil menahan tangis. Tangan kirinya memegang buku yang terbakar. Halaman depan buku itu hangus menghitam.
Kami serempak menoleh kepadanya. Lupa soal rumus jajaran genjang.
“Munjib mau sekolah, Pak! Munjib mau sekolah.” Munjib menangis menyerbu masuk kelas. Air-mata akhirnya menetas ke tegel berlubang kelas kami.
“Apa yang terjadi, Munjib?” Pak Bin meletakkan kapur.
“Munjib mau sekolah, Pak. Sungguh.”
Seluruh kelas terdiam. Apalagi aku, menatap sedih saat menyadari buku ‘Monte Cristo’ itu tinggal separuhnya. Padahal aku ingin sekali membacanya setelah giliran Munjib.
Cerita ini agak rumit memang. Sambil terisak, Munjib menceritakan semuanya. Seminggu terakhir, dia sembunyi-sembunyi membaca buku itu. Di setiap kesempatan kalau Bapaknya tidak melihatnya, tidak disuruh ke kebun, atau mengerjakan sesuatu, Munjib takut-takut membuka buku itu. Bapaknya benar-benar melarang dia kembali ke sekolahan. Mengancam kalau sekali saja Munjib bertemu dengan Pak Bin atau siapa saja untuk membicarakan soal itu maka dia akan dipukuli. Tas sekolah, sepatu dan buku-buku Munjib dibuang ke tong sampah. Dibakar.
Sial bagi Munjib, tadi pagi Bapaknya menemukan buku itu di bawah tempat tidurnya. Mengamuklah Bapak Munjib. Memukul pantatnya dengan bilah rotan. Dan yang lebih serius lagi, melemparkan buku itu ke dalam tumpukan kayu bakar untuk menanak nasi. Munjib tidak tahan lagi, dia berteriak-teriak melawan, bilang dia mau sekolah. Bapak Munjib yang berusaha meringkus tangannya kalah cepat, Munjib sudah kalap mengambil buku itu diantara nyala api. Lantas berlarian ke sekolah.
Gemetar Munjib memperlihatkan tangan kanannya yang terbakar. Terlihat sekali dia terisak menahan rasa sakit. Kami terdiam mendengarkan seluruh cerita.
“Munjib… Munjib mau sekolah, Pak… sungguh mau… tapi Munjib takut Bapak di rumah. Munjib takut dipukuli… Munjib takut diusir dari rumah… tolong Munjib, Pak.” Kawan yang suka sekali telat masuk gara-gara semalaman ikut Bapaknya mancing kucur, mencengkeram kemeja Pak Bin. Suaranya bergetar ke seluruh langit-langit kelas.
Pak Bin mengusap matanya, tersenyum lebar, lantas memeluk kepala Munjib. “Kau akan sekolah, Nak… tidak akan ada tembok yang bisa menghalangi… menghentikan… kau akan merobohkan semua penghalang. Kau akan tetap sekolah, Munjib… sepanjang kau meyakininya. Sepanjang kau tidak pernah berhenti percaya.”
Kalimat bertenaga Pak Bin membuat seisi kelas terdiam.