Senin, 27 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 16. JANGAN PERNAH BERHENTI PERCAYA – 2 
----------------------------------------------------------------------
“Mak, Pak Bin bicara soal apa ke Bapak?” 
Aku bertanya, memecah keheningan malam. Kami berlima sedang duduk melingkar sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ayuk Eli sedang mengurut punggung Mamak. Kak Pukat serius menggambar di bawah kerlip cahaya lampu canting yang didekatkan padanya. Amelia sibuk merangkai karet gelang. 
Tere Liye Burlian

Aku tadi hendak duduk di bangku depan, ikut mendengarkan percakapan Bapak dan Pak Bin, tetapi Mamak menyuruhku masuk. Bilang itu urusan orang dewasa. Aku bersungut-sungut masuk. Lekas bosan membaca buku perpustakaan sekolah. Sudah habis kubaca semua. Ini Si Winnetou malah sudah kubaca tiga kali, sampai hafal ceritanya.
“Paling juga Pak Bin membicarakan kau yang suka ribut di kelas.” Ayuk Eli jahil menyela. Aku menjulurkan lidah padanya, Ayuk Eli melotot sebagai balasan.
Suara jangkrik terdengar dari pekuburan belakang rumah. Angin malam menembus sela-sela papan, membuat dua lampu canting yang ada di ruang tengah bergoyang.
“Bicarakan apa sih, Mak?” Aku bertanya lagi. Penasaran.
Mamak mengangkat bahu. Bilang lewat tatapan mata kalau ia juga tidak tahu. Aku menggaruk ujung hidung sebal. Coba kalau aku tidak dilarang duduk di depan. Pasti tahu apa yang dibicarakan. Aku tahu Pak Bin tidak membicarakan soal Munjib dan tangannya yang terbakar. Sudah lewat sebulan sejak kejadian itu, dan semua sudah kembali normal. 
Siang itu, setelah Munjib lari dari rumahnya, sekolah kami jadi ramai. Bapak Munjib mendatangi ruang guru. Marah-marah. Mengamuk hendak memukul Munjib dan Pak Bin. Mang Dullah, kepala desa, ikut dipanggil ke sekolahan. Juga Bapak dan beberapa orang lainnya. 
Pak Bin benar, meski selama ini dia tidak pernah bisa memberikan pengertian itu kepada Bapak Munjib, tapi dengan Munjib sendiri, dengan suara bergetar bilang bersikukuh ingin terus sekolah di depan yang menghadiri rapat kampung, urusannya menjadi lebih sederhana. 
“Aku tidak mau membayar SPP-nya.” Bapak Munjib berseru ketus.
“Selama ini juga kau tidak pernah membayar SPP anakmu, Jaen.” Bapak juga menjawab ketus. “Aku belum pernah melihat orang-tua sepicik kau. Lihat anakmu, selalu ranking dua, padahal setiap malam dia selalu ikut kau mancing kucur. Lepas sekolah ikut kau ke kebun. Tidak pernah mengeluh, meminta yang macam-macam. Oi, harusnya kau berterima-kasih.”
Bapak Munjib terdiam. Mukanya merah-padam. Tetapi mulutnya terkunci, kehabisan kata keberatan, semua yang dikatakan Bapak benar. Mang Dullah akhirnya menengahi masalah itu, SPP Munjib akan dibayar dengan kas desa. Juga keperluan sekolah lainnya, termasuk mengganti tas, sepatu dan buku-buku yang sudah dibuang Bapak Munjib. “Untuk SPP Munjib, biar uang bandes yang dipakai. Pak Bin juga boleh mengajukan untuk bantuan SPP anak-anak tidak mampu lainnya.” Mang Dullah mengusulkan solusi yang baik.
Pertemuan itu usai satu jam kemudian. Luka bakar Munjib sempat diobati Mantri Kesehatan dari kota kecamatan. Munjib masih takut-takut mengikuti langkah kaki Bapaknya dari belakang. Tetapi urusan itu memang sudah selesai. Bapak Munjib menyebutkan banyak syarat: Munjib boleh terlambat ke sekolah, Munjib tetap ikut membantu ke kebun, Munjib ini, Munjib itu. Semuanya disepakati. “Dia akan merobohkan semua tembok penghalangnya, Pak Syahdan. Tidak usah cemas.” Pak Bin mengangguk, menenangkan Bapak yang keberatan dan hendak mengomeli Bapak Munjib sekali lagi.
“Dari tadi hanya kau saja di ruang guru, kemana Kepala Sekolahnya, Bin?” Bapak bertanya saat semua orang melangkah melintasi halaman sekolah, beranjak pulang.
“Biasalah. Mereka masuk Senin dan Rabu, sisanya di kota.”
“Oi, enak sekali jadi mereka. Tidak mengajar, tetap digaji pemerintah. Guru honorer baru itu mana? Sepi sekali ruang guru kalian tadi.” Bapak bertanya lagi.
“Ia hanya masuk hari Jum’at. Sisanya juga di kota.”
“Oi, macam mana pula urusan ini.” Bapak menepuk jidat, “Jadi hanya kau berdua dengan Pak Mail yang setiap hari mengurus enam kelas sekaligus.” 
Pak Bin menyeringai, tidak menjawab.
Suara pintu depan dibuka memutus lamunanku tentang kejadian sebulan lalu itu. Bapak melangkah masuk. Aku langsung berdiri, bertanya, “Pak Bin tadi bicara apa dengan Bapak?”
“Kau selalu saja ingin tahu urusan orang lain, Burlian.” Bapak tertawa.
Membuat wajahku terlipat sebal.

***
Malam berikutnya Pak Bin datang lagi. Bicara lebih lama lagi di bangku depan. Juga malam berikutnya. Malah terlihat membawa map-map, kertas-kertas surat. Aku semakin penasaran ingin tahu. Ada masalah apa lagi dengan sekolah kami? Beruntung, sebelum rasa penasaranku berubah menjadi tindakan anarki –misalnya memasang tape perekam di bawah bangku, Bapak menceritakannya di meja makan malam berikutnya. 
“Dua puluh lima tahun Pak Bin memikirkan sekolah kampung, tidak alfa sekalipun masuk selain karena sakit, kadang tidak menerima honor mengajar, kadang harus mengeluarkan uang sendiri untuk menalangi keperluan murid-muridnya. Dua puluh lima tahun dia memikirkan sekolah, tapi dua puluh lima tahun itu juga tidak ada satupun yang memikirkan nasib Pak Bin.” Bapak mengambil sebutir buah duku di atas meja. 
Aku, Kak Pukat, dan Amelia yang duduk mengelilingi meja mendengarkan. Mamak dan Ayuk Eli membereskan piring-piring.
“Pak Bin awalnya tidak pernah lelah mengirimkan berkas-berkas ke kota kabupaten agar dia diangkat jadi PNS. Mungkin lebih dari tujuh kali, mengikuti test, wawancara, semuanya dia lakukan. Tapi semuanya gagal. Berkasnya selalu ditolak. Oi, padahal dia terhitung lulusan pertama SPG di kota. Bagaimana mungkin dia tidak cukup memadai menjadi seorang guru yang baik. Dedikasinya, kecintaannya dan Pak Bin tidak pernah menuntut apapun dengan menjadi seorang PNS. Hasil kebunnya lebih dari cukup untuk penghidupan. Dia hanya meminta pengakuan kalau pengabdiannya dihargai pemerintah.” Cerita Bapak terhenti sebentar, asyik mengunyah buah duku. Amelia juga ikut-ikutan meraih piring buah duku. Aku menggaruk ujung hidung menatap Bapak tidak sabaran, terus, terus?
Bapak tertawa melihatku, “Sudah selesai ceritanya, Burlian. Itu saja.”
Wajahku terlipat, lantas apa perlunya Pak Bin sering bertamu ke rumah. Sebal menatap Bapak yang menggoda rasa ingin tahuku.
“Bapak kau menyuruh Pak Bin agar sekali lagi mengirim berkas-berkas PNS. Bulan ini ada pengangkatan besar-besaran guru honorer menjadi PNS.” Mamak yang menjawab, ikut duduk di bangku meja makan. Ayuk Eli masih sibuk mencuci piring di luar.
“Ya, itu benar. Bapak yang memintanya agar sekali lagi mencoba.” Bapak melanjutkan cerita, “Sebenarnya sudah sepuluh tahun terakhir Pak Bin berhenti berharap. Umurnya sudah lewat dari syarat calon PNS. Tapi kabar dari kota bilang, pengangkatan tahun ini tidak memiliki batas umur, semua guru honorer memiliki kesempatan yang sama. Jadi Bapak memutuskan ikut membantu Pak Bin. Melengkapi suratnya, mengantar berkas itu ke kota. Ada kenalan Bapak di panitia pengangkatan.”
“Jadi Pak Bin kali ini bisa diangkat PNS, Pak?” Kak Pukat mengeluarkan suara.
“Tidak tahu. Semoga saja begitu.” Bapak menggeleng getir, “Sebenarnya urusan ini tidak mudah bagi Pak Bin. Semua orang berebut ingin jadi PNS. Dan bertahun-tahun semua orang juga tahu test pengangkatan guru PNS hanya omong-kosong. Pak Bin tahu benar kalau dia selama ini gagal bukan karena dia tidak cukup layak menjadi guru yang baik.”
“Memangnya gagal karena apa?” 
“Uang, Burlian. Dari pelosok kampung kita hingga ibukota sana, semua tahu itu. Kalau kau punya uang untuk menyuap panitia pengangkatan, maka kau memiliki kesempatan yang lebih besar. Dan itulah yang tidak dimiliki Pak Bin.” Bapak menghela nafas pelan, “Walaupun Bapak yakin, andaikata dia punya uang banyak, tidak sepeser pun dia mau mengeluarkannya untuk menyogok. Pak Bin terlalu jujur. Orang seperti dia selalu saja kalah oleh kemunafikan dan muka serakah banyak orang.”
Mamak berdehem, memberi tanda ke Bapak agar tidak melanjutkan kalimatnya. Aku ber-yaah kecewa, padahal selalu seru melihat Bapak mengomeli seisi dunia. Bapak selalu saja tanpa basa-basi mengeluarkan pendapatnya. 
“Ayo Amelia, Pukat, Eli, semua ke ruang tengah. Belajar…. Kau sudah mengerjakan PR, Burlian?” Mamak menepuk-nepuk ujung meja makam.
Aku mengangguk (bohong).

***
“Oi… Oi…” Aku mengetuk meja guru di depan kelas.
Teman-teman yang tadi sibuk berlarian, saling lempar remasan kertas, atau hanya asyik berbicara di bangku-bangku kayu menoleh ke arahku.
“Hari ini Pak Bin tidak masuk.” Aku berkata nyaring.
Teman-teman seketika malah berseru riang. Kembali saling berkejaran, melempar kertas, meneruskan percakapan, tidak peduli kepadaku.
“Oi… Oi…” Aku kembali berteriak menyuruh mereka diam sebentar.
“Ada apa lagi?” Can yang sedang asyik diseret-seret kawan lain, pura-pura bermain jadi polisi dan penjahat, bertanya.
“Pak Bin berpesan, kita hari ini membaca buku-buku perpustakaan. Jangan ribut di kelas.” Aku menunjuk tumpukan buku di atas meja. 
“Oi, semua buku sudah kubaca berkali-kali. Bosanlah.” Munjib yang menjawab.
Aku menggaruk ujung hidung, mau bagaimana lagi, aku juga sama seperti Munjib sudah berkali-kali membaca buku-buku butut ini. Sudahlah, terserah masing-masing. Aku kembali ke kursi membiarkan teman-teman kembali asyik bermain.
Hari ini Jum’at, semua guru tidak ada yang datang. Kepala sekolah hanya datang sesuai jadwalnya. Pak Mail sakit. Ibu Guru yang baru honorer tiga bulan itu juga tidak hadir. Sama seperti Pak Bin, ia sedang ikut test PNS di kota. Aku menatap kesibukan teman-teman. Can sekarang lagi diikat di salah satu meja. Tiga teman lainnya sibuk ‘menganiaya’ Can, mencoret-coret wajahnya dengan kapur. Tertawa-tawa. 
Melihat keributan seisi kelas, aku baru menyadari, meski Pak Bin repot mengurus enam kelas berbagi dengan Pak Mail, kami tetap bisa belajar. Pak Bin sudah terbiasa mencari trik agar anak-anak tetap sibuk dengan buku pelajaran sementara dia mengurus kelas lain.
Awalnya aku berharap banyak pada Ibu Guru yang baru honorer itu. Percuma, mengajar saja Ibu Guru itu tidak becus. Hanya menyuruh kami mencatat, mencatat dan mencatat apa yang ia tulis di papan. Sampai pegal jari-jari. Lonceng istirahat berbunyi hanya untuk melemaskan jemari. Masuk lagi, maka kami lagi-lagi mencatat, mencatat dan mencatat. Ibu Guru itu tidak peduli dengan kami. Saat aku mengeluh soal itu di rumah, Bapak hanya berkomentar ringan, “Ia honorer di sekolah paling cuma mencari syarat agar diangkat jadi PNS.”
Aku mengusap dahi yang berpeluh, menatap Can yang sekarang ditutup mukanya, lantas teman-teman pura-pura memukuli perutnya. Tertawa. Mereka pasti meniru film koboi yang seminggu terakhir sering diputar TVRI di televisi kecil Bapak.

***
“Bagaimana testnya, Pak?” Aku semangat bertanya.
Pak Bin tertawa, “Lancar.”
“Kalau begitu, Pak Bin bisa segera diangkat jadi PNS?”
“Insya Allah.”
Itu persis sehari kemudian, saat Pak Bin masuk lagi. Wajahnya cerah, semangatnya sedang baik-baiknya. Sepanjang hari kelas dipenuhi oleh tawa. Pak Bin mengajar dengan baik. Antusias, tulus dan seperti biasanya, pandai sekali bercerita.
“Sudah ada pengumumannya, Pak?” Aku semangat bertanya lagi.
“Belum, Burlian.” Pak Bin masih terseyum lebar.
Itu percakapan seminggu kemudian. Kami sudah hampir ulangan umum cawu pertama. Anak-anak sibuk belajar mempersiapkan diri. Terutama Munjib yang sempat tiga minggu tidak sekolah gara-gara dilarang Bapaknya dulu.
“Sudah ada pengumumannya, Pak?” Aku semangat bertanya lagi.
“Belum, Burlian.” Kali ini suara Pak Bin terdengar pelan. Wajahnya masygul.
Aku ikut menghelas nafas. Tertunduk. Itu sebulan kemudian, hari terakhir ulangan umum Catur Wulan pertama. Malamnya aku tahu kenapa Pak Bin menjawab masygul. Bapak bercerita, ada yang mendatangi Pak Bin meminta sejumlah uang kalau dia ingin diluluskan. Berapa banyak? Lima juta. Bahkan Mamak yang ikut mendengar cerita ber-istigfar.
“Sudah ada pengumumannya, Pak?” Aku semangat bertanya lagi.
Pak Bin hanya menggeleng. Mukanya suram.
Aku tertunduk. Itu dua bulan kemudian, kami sudah masuk lagi setelah libur seminggu. Aku belum pernah melihat ekspresi muka Pak Bin sekusam itu. Aku melangkah melintasi halaman sekolah dengan rasa sedih. Mengabaikan matahari terik yang membakar kepala. Suara burung elang terdengar di atas kanopi hutan. Bapak menghela nafas saat aku menceritakan percakapan tadi siang dengan Pak Bin. 
“Kau bantu saja dengan doa, Burlian.” Mamak mengusap rambutku.
“Ya Allah, semoga Engkau sayang kepada Pak Bin seperti dia selalu menyayangi kami.” Amelia yang duluan bersuara, takjim mengangkat kedua belah telapak tangannya. 

***
Pagi itu Pak Bin tidak masuk.
Kami celingukan mencari ke ruang guru. Hanya Pak Mail di sana, bergegas hendak ke kelas tiga. Menyuruh kami menunggu saja di dalam kelas, jangan ribut, nanti dia masuk.
Kemana Pak Bin? Apakah dia sakit? Pak Mail yang masuk ke kelas setengah jam setelah memberikan tugas di kelas empat menjawab tidak tahu. Tidak ada pesan sudah sampai di bab berapa pelajaran kelas kami yang biasanya dikirimkan Pak Bin kalau dia berhalangan masuk.
Esoknya Pak Bin juga tidak masuk. Aku mulai terganggu. Apalagi salah satu teman yang rumahnya bersebelahan dengan Pak Bin bilang kalau tadi pagi dia melihat Pak Bin berangkat ke kebun. Astaga? Sejak kapan Pak Bin memilih ke kebun daripada datang ke sekolah. 
Malamnya Bapak bilang kalau pengangkatan PNS itu sudah diumumkan. Pak Bin untuk ke sekian kalinya tidak masuk dalam daftar itu.
“Dunia memang sudah rusak. Pejabat-pejabat sana tidak ada bedanya dengan anjing kurapan.” Bapak mengomel tidak mempedulikan Mamak yang ber-hsss menyuruhnya berhenti memaki sembarangan, “Bagaimana mungkin pengabdian 25 tahun Pak Bin kalah dengan guru honorer yang baru tiga bulan mengajar, itu pun datang semau-maunya, tidak becus mengajar. Lihat, Ibu Guru honorer kalian yang baru itu namanya ada dalam daftar pengumuman. Lulus. Hanya karena dia masih saudara dekat pejabat kota.”
Amelia hanya menunduk sedih. Aku tahu, Amelia juga dekat dengan Pak Bin. Urusan ini pasti ikut menganggunya.
Besok, sempurna tiga hari berturut-turut Pak Bin tidak masuk. Situasi kelas mulai terasa ganjil. Teman sekelas yang meski senang-senang saja Pak Bin tidak datang, lama-lama bosan bermain sendiri. Can mulai protes ke Pak Mail yang menggantikan. Pak Mail tidak bisa menjawab kapan Pak Bin masuk kembali, “Boleh jadi dia berhenti mengajar.” Kalimat Pak Mail membuat aku tersentak kaget. Seluruh kelas terdiam. Itu tidak boleh terjadi.
Itu benar-benar tidak boleh terjadi.
Maka sorenya, aku mengajak Munjib pergi ke rumah panggung Pak Bin.
Mengetuk pintu rumahnya. Tidak ada yang menjawab.
“Pak Bin masih di kebun, Burlian.” Tetangga sebelah memberitahu. 
Aku mengangguk bilang terimakasih. Tidak masalah, kami memutuskan menunggu hingga dia pulang. Tidak peduli meski harus kemalaman.
Pukul setengah enam, Pak Bin dan istrinya baru terlihat membuka pintu pagar rumah. Melihat kami yang duduk di beranda, dia memaksakan diri tersenyum.
“Ayo masuk, Burlian, Munjib.” Istri Pak Bin membukakan pintu.
Pak Bin tidak mengganti pakaian kotornya saat menemui kami di ruang tengah. Istrinya mengantar gelas minuman.
“Bagaimana sekolah kalian?” Pak Bin bertanya kaku.
“Kabar buruk. Bapak sudah tahu itu.” Munjib yang menjawab, dengan suara serak.
Pak Bin terdiam. Mengusap wajahnya. Dia tahu sekali kenapa kami datang ke rumahnya. Tahu sekali maksud tatapan mata Munjib yang sekarang berkaca-kaca. Semua penduduk kampung tahu soal ini. Pak Bin, yang sudah 25 tahun mengabdi sekali lagi gagal test PNS. Sementara sudah hampir belasan guru honorer lainnya di kampung kami silih berganti datang dan pergi menjadi PNS. Ditempatkan pula di SD kota kabupaten.
“Bapak pikir… Bapak tidak akan lagi bisa mengajar kalian.” Pak Bin berkata pelan setelah beberapa saat hanya senyap. “Maafkan, Bapak…”
Aku mengusap mata yang ikut basah. Hidungku kedat. Munjib sejak tadi sudah emosional sekali menunjukkan keberatannya. Menunjukkan perasaannya. Andaikata kami punya kuasa dalam urusan ini, ingin sekali kami mengangkat Pak Bin menjadi PNS hingga sepuluh kali. Karena dia berhak atas itu semua. Kecintaannya. Ketulusannya. 
“Bapak bohong….” Munjib di tengah isaknya berkata lantang.
Pak Bin mengangkat kepalanya.
“BAPAK BOHONG! Semua yang dulu bapak katakan pada Munjib bohong… jangan pernah menyerah… jangan pernah berhenti percaya… itu bohong! Munjib benci!” 
Dan sebelum Pak Bin sempat mengeluarkan sepotong kata, sebelum aku sempat menyikut bahu Munjib agar dia tutup mulut ‘menuduh’ Pak Bin sedemikian kasarnya, Munjib sudah berlarian ke luar rumah. Langkah kakinya membuat lantai papan berderak. Anak tangga berbunyi keras. Munjib berlari kencang, seperti hendak menjauhi rumah Pak Bin secepat yang dia bisa.
Istri Pak Bin menyeka matanya yang berair.
Aku menelan ludah.
Pak Bin sudah tertunduk dalam-dalam, tersengal menahan sesak di dada. Dia jangankan mengeluarkan suara untuk mencegah Munjib berlarian, untuk membantah kalimat Munjib pun dia tidak kuasa. Munjib telah menusuk pertahanannya paling dalam.

***
Esok hari, Pak Bin kembali mengajar. 
Kelas sempat hening beberapa menit saat Pak Bin hanya berdiri di depan tanpa kata-kata. Lantas tersenyum lebar sekali kepada Munjib. Mengusap ujung matanya yang basah. Dan Munjib sudah berlarian ke depan kelas loncat memeluknya. Erat sekali. Juga diikuti Can, teman-teman yang lain, dan tentu saja aku.
Bagi kami, PNS atau tidak, Pak Bin adalah guru kami. Catat itu.

0 komentar:

Posting Komentar