Sabtu, 25 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 14. SENAPAN ANGIN
------------------------------------
Sejak kami tahu apa itu senapan angin, mengerti apa gunanya, maka setiap hari yang ada di kepalaku dan Kak Pukat adalah pertanyaan kapan kami bisa mencobanya secara langsung. Membayangkannya saja sudah seru, apalagi memegang senapan aslinya, itu pasti seru sekali. Jadi saat kami tidak sengaja menemukan senapan tua milik Bapak tergantung berdebu di gudang belakang, tersembunyi dibalik gulungan tikar pandan, kami seperti melihat benda paling hebat, paling sakti yang menunggu ksatria pemberani untuk menggunakannya di jalan yang benar, menumpas segala kejahatan. 
Sial, sebelum kami sempat menyentuh senapan angin itu, Mamak bergegas masuk ke gudang, “Kalian jangan coba-coba… meski hanya memikirkannya.” Desis Mamak galak. Aku dan Kak Pukat menelan ludah, dari sepuluh level ekspresi wajah Mamak, itu level tertingginya. Tidak ada ampun jika kami ketahuan telah melanggar.
Tere Liye Burlian

Maka jadilah kami seperti mengagumi benda dari planet lain atau memuja pesawat asing dari galaksi lain, terpesona tanpa pernah tahu bagaimana cara menggunakannya. 
Aku dan Kak Pukat hanya bisa membayangkan: pertama-tama masukkan butir timahnya, lantas kokang sekuat tenaga tuasnya, genggam pangkal senapan dengan tangan kanan, kemudian telunjuk berada di posisi pelatuk, arahkan dengan tangan kiri, bidik dan “DOR!” tembakkan. Sayangnya, angan-angan dan rasa penasaran itu kalah jauh dengan betapa disiplinnya Mamak ‘menjaga’ kami dari senapan angin tua itu. Mamak seperti sepuluh kali lebih sensitif, entah bagaimana caranya, selalu tahu kalau kami sembunyi-sembunyi mulai mendekati gudang belakang rumah, selalu ada di tempat dan waktu yang tepat.
Padahal bukankah senapan angin itu hal yang biasa saja di kampung kami? Itu yang sering aku sampaikan ke Mamak setiap kali membujuknya agar mengijinkan, dan Mamak menggeleng tegas, TIDAK. Bukankah orang tua atau pemuda dewasa kampung terbiasa ke hutan membawa senapan angin untuk berburu rusa, mengusir babi, atau sekadar jahil menembaki burung? Mamak menggeleng tegas, TIDAK. Bukankah setiap tahun di kota kecamatan diadakan lomba menembak yang diikuti banyak orang? Hadiahnya besar pula. Bagaimana mungkin senapan angin itu akan berbahaya. Mamak melotot kepadaku, TIDAK. 
Aku kembali tertunduk, kecewa.
“Tahun ini, peserta yang mendaftar tiga kali lipat dibanding tahun lalu, Kak.” Mang Unus, adik Mamak yang tinggal di kota kecamatan berkunjung pada suatu malam. Dia ketua panitia perlombaan menembak itu. Berbincang ringan dengan Bapak.
“Tentu saja, hadiah satu ekor sapi dari Camat lebih dari cukup untuk membuat semua orang ikut mendaftar.” Bapak menjawab dengan intonasi tidak peduli, bahkan sedikit sarkas.
“Kami juga tahun ini merubah peraturannya, peserta dibawah usia tujuh belas tahun tidak boleh mendaftar.” 
“Seharusnya sudah sejak sepuluh tahun silam kalian melarang anak-anak ikut lomba itu.” Bapak menyeruput kopi luwaknya. Menghelas nafas perlahan. 
“Kenapa Bapak tidak ikut mendaftar?” Amelia yang ikut duduk di bangku depan rumah menyela. “Nanti Bapak bisa dapat sapi, bukan?” 
“Bapakmu tidak akan pernah ikut.” Mang Unus tertawa, mengacak rambut Amelia.
“Ikut saja, Pak. Amelia ingin punya sapi.” 
“Bapak tidak bisa menembak.” Bapak menjawab pendek.
“Kenapa sih Bapak tidak pernah mau ikut?” Aku ikut dalam percakapan.
“Bapak tidak bisa menembak.” Bapak tetap menjawab pendek.
“Semua orang-tua teman-teman Burlian di kelas ikut lomba menembak itu. Pemuda dewasa di kampung juga rata-rata ikut. Hanya Bapak yang tidak ikut. Burlian selalu diolok-olok soal itu.” Aku mengadu.
“Bapak tidak bisa menembak, Burlian.” Bapak menatapku tajam, menyuruh berhenti bicara. Percakapan jadi sedikit tegang.
Mang Unus tertawa menggeleng-gelengkan kepala, segera berkomentar tentang hal lain, mengganti topik percakapan. Mang Unus beberapa saat kemudian juga menyuruhku dan Amelia masuk ke dalam, udara malam semakin dingin, tidak baik berada di luar selarut ini. Aku dan Amelia yang masih ingin mendengar percakapan melangkah masygul. Suara jangkrik dan serangga malam membuai tidur kami.
Urusan lomba menembak itu ternyata panjang. 
Besok pagi, dan besok-besoknya lagi, entah apa yang ada di kepala Amelia, ia merajuk soal sapi. “AMELIA INGIN PUNYA SAPI!! AMELIA INGIN PUNYA SAPIIII!!” berseru membuat riuh rumah. Karena Amelia anak bungsu, dan sering sakit-sakitan pula, biasanya Bapak memanjakan Amelia. Setahuku Bapak tidak pernah mengomel kalau Amelia merajuk, seluruh permintaannya selalu dipenuhi, tetapi kali ini Bapak menghardiknya, “Kalau kau ingin terus menangis, TERSERAH!! Demi Allah, Bapak TIDAK, dan tidak akan pernah menembak lagi!” membiarkan Amelia mengamuk bergelung-gelung di lantai. Aku dan Kak Pukat berbisik-bisik kecewa, tadinya sudah berharap Bapak mengalah melihat perangai Amelia, berharap Bapak akhirnya menggunakan senapan angin tua di gudang belakang.
Sebulan berlalu, lomba itu berlangsung meriah di kota kecamatan. Bapak jangankan ikut, datang untuk menonton pun tidak tertarik. Pemenangnya peserta dari kota provinsi. Menurut cerita, sang pemenang jago sekali menembak botol-botol kecap yang ditaruh dua puluh meter jauhnya. Empat kali tembakan dalam waktu tiga puluh detik. Hanya meleset sekali, tiga botol kecap itu pecah berhamburan. Mulutku dan Kak Pukat terbuka takjub saat Can –anaknya Bakwo Dar, sepupu kami— bercerita. Bapak memang melarang kami menonton lomba itu, jadi hanya cerita-cerita hebatnya saja yang kami dengar.
“HAH? Kalian belum pernah sekalipun menggunakan senapan angin?” Can bertanya sekali lagi, gantian mulutnya yang terbuka.
Aku dan Kak Pukat mengangguk patah-patah. Kali ini tawa Can meledak, dia memegangi perutnya. Kami hanya diam, menyadari kalau itu termasuk aib besar bagi anak-anak kampung. Sama aibnya jika kalian tidak bisa berenang atau kalian belum disunat diusia dua belas tahun.
Beruntung Can tidak hanya sibuk mentertawakan, setelah puas menatap wajah masam kami, Can merencanakan sesuatu yang hebat. Dia mengajak aku dan Kak Pukat untuk menjajal senapan angin bapaknya, Bakwo Dar. Besok dia akan bawa senapan angin itu ke kebun jagung Bakwo Dar. Di sana ada banyak bengkarung berkeliaran di balik tunggul kayu. Kebun jagung itu juga hanya dua ratus meter dari lubuk sungai, jadi kami bisa menaiki pohon kayu yang roboh ke lubuk, mengintai ikan besar yang berenang di permukaan. Menembaknya.
“Aku pernah dapat ikan sebesar betis di lubuk sungai itu. Menangkapnya bukan dengan menggunakan kail, jala apalagi bubu. Aku menembak kepala ikannya!” Can berkata bangga. 
Aku dan Kak Pukat menelan ludah, terpesona.
***
Kebun jagung Bakwo Dar itu berada di seberang sungai besar kampung. Untuk tiba di kebun itu harus menyeberangi sungai yang lebarnya sekitar dua puluh meter. Kami tidak menggunakan jembatan, perahu atau berenang, kami cukup berjalan kaki menyeberanginya.
Harus dipahami, meski terlihat besar dan lebar, tidak otomatis seluruh bagian sungai dalam. Di bagian tertentu yang mirip seperti delta –batang sungainya membesar, dan membuat endapan pasir dimana-mana— dalam sungai hanya selutut pria dewasa. Di bagian dangkal inilah penduduk kampung pergi berkebun ke seberang sungai. Melintasi hati-hati arus air yang cukup deras. Di bagian lain, kedalaman sungai rata-rata dua-tiga meter; bahkan ada yang hingga belasan meter. Tempat terdalam lazim disebut ‘lubuk sungai’. Permukaan airnya terlihat tenang, cahaya matahari tidak menembus hingga ke dasar, membuat setiap lubuk seperti menyembunyikan misteri di dalamnya.
Meski repot setiap kali hendak ke sana, banyak penduduk yang bertani di daerah delta seberang sungai. Tanahnya amat subur dengan endapan lumpur bercampur humus dari hulu sungai. Dan berbeda dengan kebun kopi atau karet di hutan, penduduk menanami kebun delta sungai dengan tanaman cepat panen seperti jagung, ketimun, kacang tanah atau kacang panjang. Salah-satu kebun yang terlihat subur adalah kebun jagung Bakwo Dar.
Aku, Kak Pukat dan Can merasa laksana serdadu elit saja dengan membawa senapan angin milik Bakwo Dar. Mengendap-endap mengincar bengkarung. Sudah sejak sejam lalu, selepas pulang sekolah, kami asyik berburu. Kata Ayuk Eli di rumah tadi, Mamak ke kebun kopi, sedangkan Bapak lagi menemani Mang Unus mencari rebung di hilir sungai. Aku tersenyum simpul, itu berarti kami bebas bermain hingga maghrib. Biasanya Mang Unus kalau mencari rebung baru pulang setelah hari gelap.
Pertama-kali Can menyerahkan senapan angin itu, aku rasanya seperti sedang memegang pedang dewa-dewa dalam cerita Yunani kuno. Gemetar mencoba memasang peluru, tersengal mengokang senapannya (ternyata keras sekali), membidikkan moncong senapan, dan DOR!! Tembakanku meleset lebih satu meter. Bengkarung itu melesat kabur. Can tertawa, jumawa bilang kalau saja dia yang menembak, bengkarung itu sudah terkapar. 
Aku mengabaikan olok-olok Can, bernafsu mengejar bengkarung itu, rusuh menyambar kotak peluru, ingin mencobanya lagi, tetapi Kak Pukat sudah mencengkeram pangkal senapan, “GILIRANKU!” desisnya. Aku menelan ludah, mengalah, rasanya seperti kehilangan benda paling sakti sedunia saat senapan itu berpindah ke tangan Kak Pukat.
Dan waktu berlalu tidak terasa. Matahari mulai condong ke barat, teriknya berkurang. Setelah menghabiskan belasan peluru, setelah berlari kesana-kemari, tidak seekor bengkarung pun yang berhasil ditembak. Ternyata urusan ini tidak semudah yang aku bayangkan. Rasanya sudah tepat benar bidikan, sudah mantap sekali genggaman tangan, tetap saja hasilnya meleset jauh. Aku mulai gemas. Apalagi, satu jam terakhir, semua binatang itu sepertinya kompak bersembunyi. Bosan berputar-putar di kebun jagung Bakwo Dar, tidak bertemu dengan satu sasaran tembak satupun, Can mengusulkan agar kami ke lubuk sungai, “Kita menembak ikan! Lebih mudah dan lebih besar sasarannya.” Usul yang bagus, kami bergegas ke lokasi perburuan berikutnya.
Letak lubuk itu dua ratus meter dari kebun jagung. Dengan tepi berbentuk tebing cadas setinggi dua meter. Persis di atas lubuk itu ada pohon tumbang ke arah aliran sungai, sudah lama tumbangnya, daunnya sudah luruh, hanya menyisakan bagian dahan-dahan besarnya saja. Pohon itu panjangnya tidak kurang lima belas meter, dengan batang sebesar tiga pelukan laki-laki dewasa. Saking besarnya, pohon itu tidak terbawa hanyut meski sungai sudah berkali-kali terkena banjir bandang. Ujung-ujung pohon terbenam di dalam lubuk, batangnya melintang dari tebing cadas sungai, sementara pangkalnya masih menyisakan akar yang tercerabut dari dalam tanah. Seperti jembatan di seperempat lebar sungai.
Lokasi pohon tumbang ini seharusnya jadi tempat favorit buat penduduk kampung untuk menebar jala atau memancing, karena ikan suka sekali berada di sekitar pohon tumbang yang terbenam di air. Itu tempat ikan kawin dan bertelur. Sayangnya, lubuk dekat kebun jagung Bakwo Dar itu termasuk ‘lubuk larangan’. Tidak banyak warga kampung yang berani mencari ikan di lubuk itu, hanya orang-orang keras kepala (seperti kami), yang cuma tertawa mendengar peringatan, bebal tidak mendengarkan nasehat orang tua tetap nekad ke sana. 
Batang kayu tumbang itu lebih dari cukup untuk dijadikan titian jalan. Malah dua orang bisa berjalan bersisian di batang utamanya. Aku, Kak Pukat dan Can sekarang sudah merangkak perlahan di salah satu dahan yang paling masuk ke dalam sungai. Mengintip permukaan air, dan dengan mudah segera bisa melihat beberapa ikan besar yang asyik berenang. Aku menyeringai, kebetulan senapang angin ada dalam dekapanku. Giliranku menembakkannya. 
Aku sudah cukup terlatih mengokangnya, berusaha tidak membuat batang kayu bergetar agar ikan-ikan itu tidak berenang kabur oleh gerakan kami. Menyeringai antusias, sambil badan tetap tengkurap di atas batang kayu, aku hati-hati membidik ikan yang paling besar dan paling mencolok. Masih terlalu jauh, ikan itu agak tersembunyi di balik dahan yang terendam air, aku bagai seorang serdadu, merangkak perlahan lebih dekat ke permukaan air, jarakku dengan ikan itu tinggal satu meter. Ikan itu tetap berenang santai, tidak menyadari kalau ada moncong bedil terarah sempurna padanya. Bengkarung sialan tadi, bisa didekati dua meter saja sudah bagus. Selalu lari medengar bunyi langkah kaki kami, apalagi berisik suara getas daun mati terinjak.
Can dan Kak Pukat yang tiarap di sebelahku ikut menahan nafas. Jarak moncong senapan dengan ikan itu sudah dekat sekali, paling hanya setengah meter. Aku menggigit bibir, sekarang atau tidak sama sekali, menarik pelatuknya dengan cepat, DOR!!
Suara tembakan merobek keheningan lubuk. Ikan itu menggelepar seketika. Bukan main. Membuat permukaan lubuk yang tenang misterius menjadi bergelombang. Aku bergegas bangkit dari tiarap, menyerahkan senapan angin agar dipegang oleh Can, lantas tidak sabaran menuruni dahan kayu, berusaha menangkap ikan besar yang tertembak kepalanya. Can tertawa melihat ukuran ikan yang masih menggelepar di permukaan lubuk itu, berseru menyebalkan tentang hanya kalah sejari dengan ikan yang dulu pernah ditembaknya. Aku tidak berniat mendebat Can, kepalaku dipenuhi kesenangan untuk segera menyambar ikan itu.
Ini akan jadi menu makan malam istimewa di rumah. Bapak pasti akan berubah pikiran soal larangan menembak, ceramahnya beberapa waktu lalu yang bilang senapan angin itu berbahaya, lebih banyak untuk gagah-gagahan keliru. Mamak juga pasti akan mulai mengijinkan kami menggunakan senapan angin. Lihatlah, ikan ini saking besarnya cukup untuk di makan ber-enam, dan aku menangkapnya tanpa jala, pancing apalagi bubu. Cukup ditembak saja. Aku nyengir, tangkas menuruni dahan kayu. Sudah dekat sekali, tangan kiriku berpegangan erat dengan salah satu dahan pohon tumbang, sementara tangan kananku siap menyambar ikan itu.
Can masih berkomentar tentang ayo segera ambil ikannya, biar kita tahu seberapa kecil dibandingkan yang pernah dia tembak dulu. Kak Pukat jongkok berusaha membantu memegang lengan tangan kiriku.
Saat itu, kami benar-benar lupa kalau di tengah begitu banyak pantangan, larangan, atau tabu tentang hutan, sungai yang disampaikan tetua kampung, satu-dua memang benar adanya. Kami abai kalau di antara sekian banyak nasehat-nasehat itu, satu-dua boleh jadi memang tidak boleh dilanggar meski sejengkal, apalagi sehasta. Dan kami barusaja melanggar pantangan terbesar, menangkap ikan di ‘lubuk larangan’. Bergurau seperti tidak ada bahayanya. Bertingkah seperti semua akan baik-baik saja. Lihatlah, kami bahkan tertawa-tawa penuh percaya diri di atas pohon tumbang.
Tanganku terjulur, mengayun hendak menyambar ikan itu.
Lima senti lagi dari ikan. Permukaan lubuk sudah kembali tenang. 
Dua senti lagi dari ikan. Suara burung berkicau menyenangkan.
Satu senti. Hanya sepersekian detik lagi….
Saat itulah dari dalam air, melesat dengan kecepatan tinggi, moncong seekor buaya besar. Astaga! Itu sungguh seekor buaya. Gerakannya menggetarkan hati, lubuk sungai seperti bergolak saat buaya itu muncul menerkam, CPYAARRR!! Buaya itu menelan bulat-bulat ikan yang hendak kuambil. Moncongnya tertutup kembali dalam hitungan detik dengan suara keras, gerakan ekornya membuat permukaan lubuk meletup keras. Can yang berdiri di belakangku tersedak kaget, Kak Pukat berteriak ngeri, sementara aku… Dalam hitungan sepersekian detik, wajahku yang pias, jantungku berdetak kencang, tidak sadar apa yang telah terjadi. 
Apa itu tadi? Hanya satu senti saja jaraknya, hanya karena aku tiba-tiba reflek menarik tanganku, kalau tidak sudah terpotong hingga ke siku.
Kak Pukat berteriak parau, “LARI!!! LARIII BURLIAN!!”
Can yang posisinya berdiri di batang, dengan cepat rusuh berbalik-arah, limbung meniti batang kayu kembali ke cadas sungai, tidak peduli kalau senapan di tangannya terjatuh ke lubuk, berdebam jatuh tenggelam. Tidak peduli.
Teriakan Kak Pukat membuatku tersadar dari kekagetan luar biasa. Aku bergegas membalik badan, berusaha sekuat tenaga kabur dari dahan kayu itu, jantungku berdegup semakin cepat, lihatlah, buaya itu setelah menelan bulat-bulat ikan tadi, kembali meluncur deras dari dalam sungai, moncongnya terarah persis ke tubuhku yang berusaha menaiki dahan kayu, mengincar makan siang berikutnya.
“KRAKKK!” Dahan kayu itu berderak terkena terkaman mulut buaya. Hancur berkeping-keping. Lagi-lagi reflek menyelamatkan kakiku, hanya sepersekian detik, hampir saja betisku yang remuk.
“LARI!!! LARII BURLIAN!!” Kak Pukat menarik tanganku, memaksa bergerak lebih cepat. Buaya itu memuntahkan potongan kayu dari rahangnya, melenguh marah karena terkamannya gagal, berbalik ke dalam sungai, mengambil ancang-ancang serbuan berikutnya. Suara ekornya yang berputar membuat lubuk sungai kembali bergolak. 
Aku ketar-ketir berusaha meniti batang kayu secepat yang kaki bisa. Celaka, saat setengah jalan menuju cadas sungai, kakiku justru terpeleset. Beruntung Kak Pukat berhasil menyambar tangan kananku, mencegah tubuhku jatuh ke air sungai, tetapi kaki kiriku tetap terperosok di celah-celah dahan. Menghambat proses penyelamatan diri beberapa detik.
“TARIK BURLIAN!! AYO TARIK!!” Kak Pukat berseru-seru panik. 
Buaya itu sudah kembali ke permukaan lubuk. 
Melihat kami yang jauh dari jangkauan moncongnya, ia beranjak naik ke atas pohon tumbang. Batang kayu bergetar saat kaki-kakinya yang perkasa mencengkeram batang kayu, buaya besar itu bergerak maju dengan cepat. Matanya menatap buas, mulutnya terbuka besar, memperlihatkan gigi-giginya yang tajam mengerikan. 
Aku panik, melakukan apa saja agar kaki kiriku segera terlepas. Sialnya, justru semakin kencang ditarik, semakin dalam kakiku terperosok. Aku terjepit tidak bisa bergerak.
“TOLOOONG!!! TOLOOONG!!” Kak Pukat berteriak parau, wajahnya tidak kalah pucat melihatku kakiku yang semakin terjepit. Can di cadas sungai sudah berlari entah kemana, mungkin memanggil Bakwo Dar di kebun jagung. Nafasku tersengal jerih, ya Allah, sudah tidak akan sempat lagi. Sungguh tidak akan ada yang sempat menyelamatkanku.
Jarak buaya itu tinggal tiga meter, jarak kebun jagung Bakwo lebih dari dua ratus meter. Sementara di sekitar lubuk itu tidak terlihat seorang pun yang bisa membantu. Siapa yang bisa bergerak secepat itu menyelamatkanku.
“TARIK BURLIAN… AYO TARIK!!” Kak Pukat memaksakan usaha terakhirnya, matanya sudah berlinang air mata, menangis karena ketakutan sekaligus menangis karena mencemaskan aku yang hanya tinggal menunggu waktu. 
Jarak buaya itu tinggal dua meter lagi.
“AYOO BURLIAN… TARIKK!! JANGAN MENYERAH!! KAKAK MOHON!!” Kak Pukat tetap bertahan di samping, kalap berusaha melepas betisku yang terperosok. Tangannya berusaha mematahkan dahan-dahan. Gemetar.
Aku sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi, aku seperti bisa mencium nafas amis moncong buaya itu, mengerikan sekali baunya, seperti tubuhku sudah hancur dalam kunyahannya. 
Jarak buaya itu tinggal satu meter. Merangkak mengerikan.
Aku mulai kehilangan kesadaran karena rasa takut. 
“AYOOO BURLIAN… KAKAK MOHON!” 
Ya Allah, aku gentar sekali. Mataku berkunang-kunang. 
Saat itulah, ketika seolah tidak ada lagi harapan, saat Kak Pukat terduduk tak kuat lagi menarik tubuhku, saat mulut buaya terbuka lebar siap menerkamku. Saat hanya tinggal hitungan detik tubuhku akan dirobek-robek.
“DORR!!”
Mata sebelah kiri buaya itu berhamburan.
Siapapun di seberang sana. Siapapun yang berdiri di cadas sungai seberang sana, yang jaraknya lebih dari empat puluh meter, pastilah dengan mudah memenangkan piala-piala menembak di kota kabupaten sekalipun. Gesit sekali memasukkan peluru berikutnya, dalam hitungan sepersekian detik mengokang senapan, mengarahkannya kembali.
“DORR!!”
Sekarang mata sebelah kanan buaya yang berhamburan.
Buaya itu melenguh panjang, terlihat marah sekali. Ekornya memukul keras dahan batang kayu, berderak. Batang kayu itu retak. Darah berceceran di atas permukaan lubuk. Buaya itu meraung, berbalik arah hendak mencari siapa yang telah mengganggu makan siangnya. 
“DOR!!!”
Sebagai jawaban, tembakan ketiga kembali menghantam kepala buaya.
Siapapun di seberang sana, jelas bukan lawan setanding bagi buaya malang itu. Tiga tembakan dalam waktu lima belas detik. Dan bersiap menyusul peluru-peluru berikutnya, jika dia tidak segera melarikan diri. Setelah berhitung dengan posisinya, setelah putus-asa tidak tahu dimana musuh yang telah menembak kepalanya, buaya itu melenguh untuk terakhir kalinya, beringsut menjatuhkan tubuhnya dari batang pohon tumbang ke sungai. Berdebam. Lantas menghilang bersama jejak darah yang menggurat garis merah sepanjang lubuk.
Aku sudah tidak ingat apa-apa lagi. Pingsan.
***
Esok-lusa, bertahun-tahun berlalu, aku dan Kak Pukat tidak pernah lagi membicarakan kejadian itu, tidak pernah menyinggungnya. Tersimpan rapat dalam memori kenangan. 
Hanya sekali kami membicarakannya, malamnya, saat aku sudah siuman, di kelilingi oleh Ayuk Eli, Amelia, Kak Pukat, Mang Unus, Bakwo Dar, Wak Yati, Can, dan beberapa saudara dekat yang berkumpul di rumah setelah mendengar kejadian mengerikan itu. Mang Unus berbaik hati menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di lubuk larangan.
Bapak, ya, Bapak-lah yang menembak buaya itu dari seberang sungai. Dengan kecepatan tinggi melepas tiga tembakan tanpa meleset satu senti-pun. Mang Unus tertawa suram, “Kenapa? Kalian tidak tahu? Sayangnya, kalian memang tidak pernah tahu… belasan tahun silam, tidak ada yang mengalahkan Bapak kalian soal urusan menembak di seluruh kabupaten. Dia saja yang selalu bilang ke kalian tidak bisa menembak.”
Aku terdiam, tertunduk berusaha mengerti penjelasan Mang Unus.
“Mamang dan Bapak kau sedang mencari rebung liar di sisi sungai satunya saat kami mendengar teriakan minta tolong. Bapak kalian bergegas ke pinggir sungai dan begitu terkejut saat melihat di seberang sana, di atas pohon tumbang, ada seekor buaya bersiap menerkam Burlian.” Mang Unus menjelaskan sambil mengusap dahinya, “Dia tanpa banyak cakap lagi, menyambar cepat senapan yang kubawa. Dan itulah yang kemudian terjadi.”
“Andaikata Bapak kalian telat satu detik saja… andaikata senapan anginnya macet.. andaikata tembakannya meleset.. entahlah apa yang akan terjadi berikutnya.” Mang Unus menghela nafas panjang, terdiam, lantas menatap lamat-lamat aku dan Kak Pukat bergantian, “Kalian nakal sekali, Burlian, Pukat… Kalian sungguh nakal.”
Lampu canting di atas meja terlihat kerlap-kerlip tertimpa angin malam. Ini penghujung musim hujan, malam selalu terasa gerah. Kami semua terdiam.
“Bapak sekarang di mana, Mak? Dari tadi maghrib kok tidak terlihat di rumah?” Amelia yang lagi-lagi pilek menyela senyap. Bertanya.
“Bapak kalian baik-baik saja. Bapak kalian hanya butuh dibiarkan sendirian dulu.” Bakwo Dar yang menjawab, “Kalian tahu sendiri, Bapak kalian pernah bersumpah demi Allah tidak akan pernah menembak lagi. Dengan kejadian tadi siang, Bapak kalian butuh dibiarkan sendiri, mungkin dia sedang memikirkan banyak hal.”
Dan kami terdiam lagi. Bertahun-tahun berlalu, aku dan Kak Pukat tidak pernah lagi membicarakan kejadian itu. Tersimpan rapat dalam memori kenangan. Termasuk melupakan pertanyaan, kenapa Bapak pernah bersumpah tidak akan pernah menembak lagi. Biarlah itu tidak pernah terjawab hingga kapan pun, karena dengan melihat sendiri betapa tangkasnya Bapak melepas tiga tembakan dalam lima belas detik tanpa meleset satu senti pun, boleh jadi penjelasannya akan mengerikan.
1) Bengkarung: biawak kecil seukuran jempol kaki, panjang sejengkal. Suka bersembunyi dibalik tunggul, tumpukan daun, lubang tanah dan sebagainya.

0 komentar:

Posting Komentar