Selasa, 28 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 17. NAKAMURA-SAN
------------------------------------
“Coba kalian lihat peta Amerika.” Pak Bin membentangkan atlas kumal di depan kelas. Tepi-tepinya nampak tanda dimakan rayap, garis-garis lipatannya cokelat terkelupas karena terlalu sering dipakai.
“Bagian atas disebut Amerika Utara, bagian bawah disebut Amerika Selatan. Jika kalian lihat di peta, maka kedua bagian benua ini nampak seperti terputus, seolah-olah kalian bisa begitu saja melintasi bagian tengah benua ini dengan kapal laut. Kenyataannya tidak, jika ada kapal dari sebelah kanan hendak ke kiri, dari barat ke timur, maka kapal itu sempurna harus memutari bagian Amerika Utara dengan jarak lebih dari 12.000 kilometer, dan akan lebih jauh lagi jaraknya jika kapal itu memilih memutari bagian Amerika Serikat. Masalah ini amat menjengkelkan bagi dunia pelayaran. Perjalanan memutar sejauh itu menghabiskan waktu berbulan-bulan dan tidak sedikit biaya. Maka mereka mulai mencari jalan keluar terbaiknya.”
Tere Liye Burlian

Kami berebut ke depan, menatap lebih jelas peta yang dibentangkan Pak Bin.
“Bagian tengah benua Amerika yang terlihat seperti tanah genting ini adalah negara Panama. Walau di peta bagian tanah menjengkelkan ini hanya terlihat setengah senti, lebar aslinya 80 kilometer, tapi itu tetap jauh lebih dekat dibandingkan memutari setengah benua Amerika. Maka tercetuslah ide, kenapa tidak dibuat saja sejenis kanal, parit atau sungai buatan raksasa yang membelah negara Panama agar kapal laut bisa mengambil jalan pintas. 
“Perdebatan panjang tentang ide itu berlangsung ratusan tahun, berabad-abad lamanya, dan ketika Terusan Panama benar-benar dibangun pertama kali untuk menghubungkan Laut Karibia dan Samudera Pasifik, tidak pernah ada sebelumnya yang berani membayangkan pekerjaan besar itu bisa diwujudkan. Itu di luar imajinasi bahkan yang paling liar sekalipun.” Pak Bin menghela nafas sejenak, membiarkan wajah-wajah terpesona kami menggantung di kelas. 
“Menurut catatan, ketika proyek itu dikerjakan antara tahun 1881-1889 saja, lebih dari 20.000 pekerjanya meninggal dunia. Wabah penyakit menular merebak di lokasi, membuat kacau-balau semuanya. Belum lagi keterbatasan teknologi alat berat untuk mengeduk tanah, insinyur yang kesulitan mengatasi tekstur geologi, sengketa lahan dan sebagainya membuat proyek itu terhenti total. Setelah terkatung-katung selama tiga tahun, proyek itu akhirnya bisa diteruskan dengan bantuan negara Amerika Serikat.” 
“Puluhan ribu pekerja kembali dikerahkan siang malam. Ratusan alat berat paling canggih di jamannya didatangkan, ahli-ahli konstruksi, insinyur-insinyur sipil, hingga akhirnya dua belas tahun kemudian terusan sepanjang 80 kilometer itu selesai…. Kalian bayangkan, ratusan ribu orang mengeduk tanah untuk membuat parit raksasa sepanjang 80 kilometer, membutuhkan kesabaran puluhan tahun, melibatkan banyak negara, uang yang tidak sedikit, bahkan mengorbankan ribuan nyawa pekerjanya. Tapi itu tidak sia-sia, sekarang terusan itu setahun dilewati lebih dari 14.000 kapal, ratusan juta ton muatan. Menjadi tanda kebangkitan ekonomi, kesempatan, dan masa depan penduduk di sekitarnya…. Kalian ada yang pernah melihat kapal?” Pak Bin tiba-tiba bertanya.
Pertanyaan retorik, tentu saja seluruh kelas menggeleng polos.
“Bapak pernah melihatnya. Tapi itu kecil saja dan hanya sekali. Bayangkan 14.000 kapal yang setiap tahun lewat di terusan itu, artinya setiap hari hampir 40 kapal, atau setiap jam ada minimal tiga kapal yang lewat. Dab jangan lupa, setiap kali melewati kanal, kapal itu telah menghemat 10.000 kilometer jika harus memutar benua. Benar-benar penghematan waktu, tenaga dan biaya yang luar biasa, bukan?”
Kami mengangguk-angguk, seperti bisa membayangkan di depan mata kapal-kapal itu, benua Amerika, dan betapa agungnya proyek terusan itu. Ah, pelajaran sejarah memang selalu menyenangkan. Sebenarnya, pelajaran apa saja yang diajarkan Pak Bin selalu menyenangkan sepanjang Pak Bin mengajarkannya dengan bercerita. Berbeda dengan Matematika, itu menyebalkan, karena kami disuruh maju bergantian mengerjakan soal, dan Pak Bin tidak segan menyuruh kami berdiri di depan kelas sebagai tontonan jika tidak bisa mengerjakannya.
Lonceng pulang berbunyi nyaring, memutus kesenangan tentang proyek Terusan Panama.
***
Aku ingat sekali cerita Pak Bin hari itu, ingat tiap potongan kalimatnya, ekspresi wajahnya, seingat aku beberapa bulan kemudian, ketika bangun di pagi hari, bergegas ke sungai belakang kampung untuk mandi, menyibak kabut yang masih menggantung di jalanan setapak, embun yang terpercik, dan saat aku gemetar kedinginan oleh air sungai yang masih mengepulkan uap pagi, orang-orang ternyata lebih sibuk membicarakan sesuatu. 
“Kau tidak salah dengar?” Salah seorang menyela. “Iya, aku melihatnya sendiri. Menurut perhitunganku, mereka paling jauh tinggal lima pal lagi dari kampung kita.” Yang satu balik meyakinkan. “Aku juga sudah melihat rombongan Korea itu sewaktu ke kota kabupaten. Luar-biasa.” Yang lain ikut memastikan.
Benarkah? Rombongan itu tinggal lima pal lagi dari kampung? Mereka mendirikan tenda-tenda di sepanjang perjalanan; membawa belasan alat-alat berat raksasa; puluhan truk-truk pembawa batu, pasir serta aspal; ratusan pekerja kasar pria dewasa; dan mereka terus bergerak maju tanpa terhentikan oleh apapun. Bukit-bukit dipotong, lembah-lembah diurug, sungai-sungai dilangkahi. 
Rombongan Korea? Astaga. Walau badanku menggigil oleh dinginnya air, otakku tentu saja tidak ikut kedinginan, dengan cepat ingat percakapan Bapak dan Bakwo Dar beberapa hari lalu. Tinggal lima pal lagi dari kampung? Itu berita besar. Aku bergegas menyelesaikan mandi, meneriaki Kak Pukat yang sedang asyik menyelam di antara kepulan uap sungai. Oi, bergegas, ada kabar hebat.
Memang sudah berbulan-bulan terdengar selentingan kalau akan ada proyek besar yang melewati kampung kami. Orang-orang ramai membicarakannya dalam berbagai kesempatan. Menurut informasi, proyek itu dimulai dari kota provinsi, dan terus bergerak maju ke kota provinsi lainnya. Membelah pulau Sumatera. Proyek itu apalagi kalau bukan: pembangunan jalan lintas pulau. Pejabat pusat di Jakarta telah menunjuk kontraktor dari Korea sebagai pelaksana proyek, dan mereka dibantu insinyur-insinyur teknik sipil, tenaga ahli, serta ratusan pekerja kasar terus bergerak maju. 
Bagi kami, meski skalanya tentu saja berbeda, proyek ini tidak kalah besar dan pentingnya dengan cerita Pak Bin tentang Terusan Panama. Sudah berpuluh-puluh tahun jalan kampung tidak terurus penuh lubang. Jangankan diaspal, saat musim penghujan, justru kerbau bisa berkubang di tengah jalan. Hidup kami lebih banyak susahnya gara-gara jalan yang jangankan mulus, malah lebih sering mematahkan gardan mobil. Membawa hasil bumi ke kota susah, menghabiskan waktu, tenaga dan biaya; sementara harga-harga barang kebutuhan pokok dari kota menjadi mahal. Semua serba tidak efisien. 
Jadi bisa dimengerti, kabar rombongan Korea itu tinggal lima pal lagi, membuat semua orang antusias dan bersemangat, terutama aku.
Aku harus menjadi orang pertama di sekolah yang melihat mereka, aku-lah yang harus bercerita, bukan sebaliknya, hanya tercenung mendengar cerita dari yang lain. Maka selepas lonceng pulang berbunyi, bergegas pulang, melempar tas, berganti seragam, dan tanpa mendengarkan teriakan Mamak yang entah menyuruh apa dari dapur, aku dan Kak Pukat sudah berlari-lari kecil menuju lokasi kerja rombongan Korea itu. Tidak peduli kalau Mamak sedang mengomel panjang di rumah.
Oi! Kabar burung di sungai-sungai, percakapan di stasiun kereta, bisik-bisik di depan rumah Bapak saat nonton televisi, tidak dusta. Bahkan aslinya lebih fantastis. Saat aku dan Kak Pukat tersengal mendaki bukit terakhir, menyeka keringat di dahi, berusaha mengatur nafas, meregangkan kaki yang pegal, lantas berdiri, di depan terhampar pertunjukan besar yang tidak pernah kami lihat sebelumnya. Tenda-tenda oranye berjejer. Ratusan orang bekerja membuat parit dan memindahkan batu koral. Truk-truk cokelat berlalu lalang di antara kepulan debu. Serta tronton-tronton besar yang berderit mendorong tumpukan pasir, meratakan jalan, memuntahkan aspal cair. Ini semua menakjubkan. Seperti melihat orkestra mempesona.
Di antara kerumunan pekerja kasar dan kepulan debu, terselip beberapa orang yang terlihat berbeda, mereka mengenakan topi putih, rompi merah menyala, kacamata hitam dan sepatu bot tinggi. Dari kejauhan mereka sepertinya sibuk berdiskusi, sibuk mengawasi dan sibuk mondar-mandir. Mungkin itulah rombongan Korea itu.
Aku dan Kak Pukat melangkah lebih dekat. 
Debu mengepul semakin tinggi setiap kali ada truk yang menumpahkan muatannya. Teriakan-teriakan dengan aksen aneh terdengar, mungkin itu orang Korea yang sedang bicara, menyuruh pekerjanya lebih cepat. Salah-satu tronton gesit bergerak mendorong tumpukan batu kerikil yang baru ditumpahkan. Aku takjub melihatnya, tidak pernah membayangkan kalau alat sebesar ini bisa terlihat begitu ringan dan lincah melakukan manuver. Rasa ingin tahu yang buncah, membuatku tidak sadar kalau terus melangkah mendekati tronton itu. Sssh, Kak Pukat menarik lenganku, tapi aku tidak mendengarkan, terus maju, melewati pekerja-pekerja kasar yang banjir peluh, tubuh mereka hitam terbakar matahari. 
Jarakku tinggal lima langkah lagi dari tronton itu. 
Ketika aku mendongak takjub, tronton berwarna merah tua itu justru bergerak menujuku. Satu dua batu kerikil mental diterjang benda besar itu, suaranya berderit, dan membuat tanah terasa bergetar. Kak Pukat mencengkeram lenganku, cemas. Dan sebelum aku menyadarinya, pintu operator tronton itu sudah berdebam terbuka. 
Dari dalam, seseorang menyapaku dengan suara berat, “Hallo…”
Eh, aku tergagap, Kak Pukat berusaha menarik tanganku, mengajak segera menyingkir, kami pasti mengganggu kesibukan mereka dan boleh jadi dimarahi atau malah diusir.
“Konnichiwa, Haro seramat siang.” Orang dengan topi putih itu menyapa lagi, melepas kaca mata hitam, wajah oriental-nya terlihat, “Nani wo shiteru no? Apha yang sedang kharlian rakukhan di sini?”
Aku menelan ludah, aksen yang aneh meski aku sepertinya mengerti sebagian kalimatnya.
“Eh.. aku?”
“Ya, kharlian sedang apa?”
“Ka-mi… kami sedang nonton, Pak.” Aku menjawab polos seadanya, meski beberapa detik kemudian mengeluh dalam hati, teringat percakapan yang mirip seperti ini beberapa tahun silam waktu ‘menonton’ orang-orang yang mengebom hutan kampung.
Tetapi, hei, orang korea ini tidak berseru marah mengusir kami, dia malah tertawa lebar, “Menonton? Khau mau choba menonton dari atas sini? Rebih seru, roh!”
Eh? Aku menelan ludah, apa tidak salah dengar?
“Sa, shiouka! Ayo!” ‘Korea’ itu menjulurkan tangannya.
Aku dan Kak Pukat sudah saling sikut berebut naik.
Itu hari pertama aku berkenalan dengan Tuan Nakamura. Ada sedikit kekeliruan kecil memang, orang-orang kampung kami, bahkan mungkin hampir seluruh penduduk kampung yang dilewati rombongan kontraktor ini salah paham. Perusahaan yang membantu pemerintah memperbaiki jalan memang dari Korea, tetapi manajer, insinyur-insinyur teknik sipilnya, rata-rata dari Jepang, merekalah otak teknologinya, termasuk Nakamura.
Umur Nakamura sekitar 45, wajahnya merah-hitam-merah tidak jelas karena terbakar matahari. Pertama-kali melihatnya justru aneh, karena bagian yang terlindung kaca mata tetap terlihat putih sesuai warna asli kulitnya. Walau begitu, tawa riang tidak pernah lepas dari ekspresi wajahnya. Tuan Nakamura bukan manajer, bukan insinyur, apalagi operator alat berat. Dia justru adalah orang paling penting dalam proyek tersebut, dia adalah kepala proyek.
“Ini namanya doozar, Burlian-kun. Bukhan tronston.” Nakamura tertawa. “Kau keriru, tronston itu truk besar untuk mengangkut barang…. Sedangkan doozar Ini gunanya separti yang kau rihat untuk meratakan pasir dan batu.”
Aku ikut tertawa, sebenarnya sih mentertawakan aksen bahasa Indonesia-nya yang aneh. Semuanya terdengar seperti huruf ‘r’. Setengah jam duduk di ruang kemudi dozer itu, aku segera tahu, kami bisa menjadi teman yang baik. Tuan Nakamura tidak mau dipanggil “Bapak”, dia menyuruhku memanggil nama langsung. 
Nakamura menjelaskan kalau dia sudah hampir lima tahun tinggal di Indonesia. Tiga tahun membuat jalan di pulau Jawa, dua tahun terakhir dipindahkan ke Sumatera.
“Bagaimana? Bahasa Indonesiaku sudah oke, bukhan?”
Aku dan Kak Pukat tertawa.
Nakamura kuliah teknik sipil di salah satu universitas top Jepang. Sejak lulus, sudah dua puluh tahun dia menjadi insinyur jalan raya. Lima belas tahun sebelumnya dia membantu berbagai pembangunan jalan di Thailand, Malaysia dan Kamboja – proyek-proyek bantuan Jepang untuk negara-negara Asia Pasifik. Bicara soal ini, aku jadi ingat dengan negara Amerika Serikat yang membantu Panama mengerjakan proyek terusan itu. 
Nakamura adalah pekerja keras, disiplin dan tegas. Jangan coba-coba melanggar aturan main yang telah disepakati, dia ringan tangan ‘mengusir’ pekerjanya (dengan kata lain dipecat tidak hormat). Tapi dibalik ketegasannya, Nakamura tetap kepala proyek yang manusiawi dan menyenangkan. Misalnya kenapa hari ini dia yang mengemudikan dozer itu, karena istri operator alat berat itu tengah melahirkan di kota kabupaten. Nakamura mengijinkannya cuti, dan karena tidak ada pekerja lain yang bisa menggantikan, sementara target penyelesaian jalan amat ketat, rombongan harus terus bergerak maju, Nakamura ringan tangan mengambil-alih sementara.
Menyenangkan sekali melihat seluruh lokasi proyek dari atas dozer. Nakamura sambil tertawa menjelaskan ini-itu, sengaja mengajak kami berkeliling. Menyaksikan pekerja yang banjir peluh membuat parit, truk-truk yang berlalu lalang menumpahkan kerikil dan pasir, dan alat-alat berat yang terus berseliweran. Semua pemandangan ini seru. Musim kemarau membuat bebu mengepul semakin tinggi, dan matahari terasa lebih terik membakar dari biasanya, tapi orang-orang Korea itu semakin kencang berteriak menyemangati pekerjanya.
“Khau mau cobha pegang kemudhinya, Burlian-kun?”
***
Aku sedang seru sekali bercerita ke Bapak, Ayuk Eli dan Amelia tentang pengalaman tadi saat tiba-tiba Mamak ikut nimbrung dan tanpa ba-bi-bu langsung bertanya, “Buah kelapa yang Mamak suruh panjat tadi siang mana?”
Ceritaku langsung terhenti, gelagapan. 
“Bukannya tadi siang Mamak sudah berteriak menyuruh kau agar panjat kelapa di kebun? MANA KELAPANYA?” Mamak melotot. 
Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal. Baru ingat kalau tadi siang waktu berlarian keluar rumah Mamak memang meneriaki aku agar mengerjakan tugas itu. Ayuk Eli dan Amelia nyengir. Kak Pukat beringsut menjauh, takut ikut dimarahi. Bapak tertawa pelan, “Makanya kau jangan terlalu asyik bermain, Burlian. Sekali-kali dengarkan baik-baik perintah Mamakmu. Ini setiap hari, pulang sekolah langsung lari kemanalah.”
“Mamak tidak mau tahu, besok sore di depan rumah sudah harus tersedia buah kelapa tua. Bakwo Dar butuh tiga puluh butir untuk syukuran rajab. Kau dengar, hah?”
Aku mengangguk, menelan ludah. Aduh, Mamak selalu saja mengganggu kesenanganku bercerita. Sampai mana tadi?
***
Maka sejak hari itu, tidak peduli dengan Mamak yang lebih sering mengomel, aku tetap rajin berkunjung ke lokasi pembangunan jalan. Kecepatan kerja rombongan Korea itu luar biasa, satu bulan berlalu, mereka sudah tiba di gerbang kampung. 
Setiap kali maju sekian pal, Nakamura menyuruh anak-buahnya memindahkan lokasi logistik. Tenda-tenda oranye itu sekarang berada di lapangan stasiun kereta; yang juga menjadi tempat parkir truk, alat-alat berat di malam hari atau saat memerlukan perbaikan.
“Kerapa muda ini enak sekarli, Burlian-kun.” Nakamura mengelap dagu. Saking bersemangatnya, airnya sampai tumpah.
Aku nyengir, duduk jongkok di depan Nakamura. Matahari di atas terik membakar kepala. Pekerja jalan itu sedang istirahat makan siang. Beberapa kembali ke tenda, sisanya makan ransum di lokasi kerja. Tadi Bapak menyuruhku membawakan beberapa kelapa muda untuk Tuan Nakamura, dua diantaranya sudah terbelah habis.
“Seberapha pandhai kau memanjyat, Burlian-kun?”
Aku menyeringai, tidak mengerti maksudnya.
“Yeah, khau sendhiri bukan yang mengambil kerapa ini dari pohonnya?”
Aku mengangguk.
“Itu tinggi sekhali, bukhan? Dari Medan, Padang, hingga Parlembang aku tidak pernah merlihat pohon kerapa berbuah yang rebih rendah dibandhing atap rumah, jadi khau phasti phandai sekali panjyat-panjyat, bukan... Ah, Keiko-chan waktu kechil juga suka panjyat-panjyat apa saja. Remari, tangga-tangga, pagar rumah, pohon sakura, tiang bendera, semuanya.” Nakamura beranjak mengambil buah kelapa yang ketiga.
“Nakamura-san, jangan terlalu banyak—” 
“Doushite? Kenapa?”
“Eh… Bapak pernah bilang… terlalu banyak makan buah kelapa bisa bikin cacingan.” Aku menjawab polos, menyampaikan kecemasan yang terlintas.
Nakamura sontak tergelak, “Babhakmu bohong, Burlian-kun... Apha dia juga pernah bhirang kau hanya boleh makhan bhathang tebu bagian yang atas? Sementhara bagian bawahnya bhuat orang dewasa, bhukan? Atau khalau khau makhan janthung pisang yang direbus, baghian terdalamnya hanya unthuk merekha, karena nanti khalau khau yang makan bhisa bhikin yatim-piatu?”
Aku mengangguk, memasang wajah heran, Nakamura tahu dari mana soal itu.
“Jangan bodoh, Burlian-kun. Itu agar kharlian tidak memakan baghian yang paling enak.” Nakamura terkekeh sambil mengusap dagunya lagi, air kelapa muda kembali berceceran, “Baghaimana mungkhin kerapa seenak ini bhikin cacingan.”
Aku menggaruk rambut yang tidak gatal, itu benar juga.
Nakamura memang teman yang hebat. Dia tidak memperlakukan aku laiknya anak-anak. Kami berteman seolah setaraf saja. Nakamura juga ramah dengan orang-orang kampung. Tidak sungkan menyapa, tidak merasa terganggu saat penduduk ramai menonton di lokasi kerja. Dia hanya memberi tali-tali kuning sebagai batas aman agar kerumunan tidak mengganggu pergerakan dozer, paving, compactor dan truk-truk besar. Pengetahuannya atas tradisi dan kebiasaan penduduk setempat juga mengagumkan. Tatakrama melayu yang dia pahami, cara memperlakukan sesepuh kampung, apalagi soal tabu penduduk lokal. Nakamura jago sekali urusan ini.
Aku tahu dan belajar banyak hal dari Nakamura. Dalam satu percakapan ringan istirahat petang, Nakamura bercerita kalau pekerjaan mereka membangun jalan juga memiliki bahaya, tidak selamanya lancar seperti yang terlihat. Rombongan pekerja mereka pernah diculik ketika bekerja di daerah pedalaman Thailand yang masih banyak pemberontak setempat, di halang-halangi oleh penduduk karena dianggap setan pembawa bala, marabahaya, bahkan pernah diusir dan diancam dengan tombak besar. Mereka kenyang dengan masalah. Beberapa bulan lalu sebelum tiba di kampung kami, Nakamura dipaksa ‘membayar upeti’ untuk membangun jalan di kampung itu. Jika tidak, maka mereka harus mengambil jalur lain, memutari kampung. Logika yang aneh, tapi itu betul terjadi. 
“Khau nanthi marlam serlepas mengaji bisa ke sini, Burlian-kun?” Nakamura melirik jam di pergelangan tangan.
Aku mengangguk cepat. Tentu bisa, dan itu selalu menjadi kesempatan yang hebat untuk mendengar lebih banyak cerita, pengetahuan atau sekadar tertawa membicarakan sesuatu bersamanya.
“Karlau bhegitu jangan rupa mamphir ke sini, ada sesuatu yang ingin ku perlihatkan. Kau pasti suka.” Nakamura berdiri dari duduk jongkoknya, meletakkan pisau besar di atas meja, “Sa shigoto shiouka, ganbarimasu! Saatnya bekerja lagi, Burlian-kun. Bhilang therima-kasih pada Bhabhakmu. Lain wakthu ingin rasanya aku ikut kau panjyat-panjyat pohon kerapa.”
Aku tertawa, ikut melangkah ke luar tenda oranye.

0 komentar:

Posting Komentar