Senin, 20 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 8. ELYAS PICAL
----------------------------
Sebenarnya, selain cerita seram Mamak soal burung yang meratap di pohon bungur pekuburan belakang rumah, ada penanda kelahiranku yang lebih cerah meriah. Di tahun aku lahir, Bapak memutuskan membeli televisi hitam-putih 14 inchi. Mereknya ‘National’. 
Saat itu, di kampung hanya itulah satu-satunya televisi. Untuk menyalakannya, Bapak membeli aki mobil, yang cukup kuat membuat televisi menyala belasan jam. Kalau aki-nya mulai kosong, Bapak akan membawanya ke kota kabupaten, di-recharge. Repot memang, tapi mau bilang apa? Teknologi genset listrik baru masuk beberapa tahun kemudian—itupun hanya kuat menerangi beberapa rumah. Jadi jangan tanya di mana PLN, di mana listrik 24 jam, itu baru masuk kampung bertahun-tahun kemudian. 
Televisi mungil itu dengan segera menjadi kemewahan besar di seluruh kampung. Selama ini penduduk kampung hanya punya radio sebesar bantal– jaman itu radio masih besar-besar untuk mendengarkan siaran RRI. Dengan enam baterai ukuran jumbo, antena-nya ditarik penuh, jadilah radio itu sebagai hiburan satu-satunya di malam yang hanya diterangi lampu canting dan dipenuhi dengung suara nyamuk. 
Tere Liye Burlian

Bapak berbaik hati meletakkan televisi itu di depan rumah. Membiarkan orang-orang sekampung berkumpul menyimak keriuhan di dalam tabung ajaib kecil itu. Penduduk kampung tertawa saat menyaksikan adegan lucu. Merinding saat melihat tayangan seram. Atau selalu takjub menatap ternyata dunia ini canggih sekali dilihat dari televisi kecil ini. Kota-kota besar yang sibuk. Pesawat terbang. Kapal-kapal raksasa. Bangunan-bangunan tinggi menjulang. Pria-pria tampan berdasi. Wanita-wanita cantik dengan gaun panjang. Semua itu hebat. Tidak henti-henti mengundang decak kagum. Oleh karena itu bisa dimengerti, selepas acara TVRI selesai pukul 11 malam, obrolan tentang apa yang ditonton bisa bertahan sampai besok di kebun-kebun, di sungai-sungai saat mandi, atau di rumah saat berkumpul. 
Masa-masa itu, meski TVRI satu-satunya stasiun televisi, itu lebih dari cukup. TVRI sedang jaya-jayanya, selain acara reguler yang menarik hati, TVRI juga menyiarkan acara-acara spesial yang super-khusus ditayangkan. Operet lebaran, ‘minggu film-film kolosal’, hingga ‘pekan drama lokal’. Termasuk juga yang tidak kalah menarik, siaran langsung pertandingan tinju. Ini benar-benar membuat penduduk kampung riuh. Setiap kali Elyas Pical bertarung, maka depan rumah mendadak berubah seperti pasar kalangan. Orang tua, anak-anak, laki-laki dan perempuan, dengan berselimut sarung menahan dingin antusias duduk merapat di ruangan terbatas. 
Apalagi saat pertarungan telah dimulai. Seruan-seruan, “Oii!” makian-makian, “Dasar curang! Beraninya mukul perut.” puji-pujian, “Ya! Bagus!!” “Hajar Terus!!” terdengar memenuhi langit-langit depan rumah. Terkadang saking serunya, ada yang tidak sengaja menyikut teman di sebelahnya. Ada yang tidak sengaja memukul pundak orang di depannya, ada yang latah lompat dari duduk menimpa orang di sekitarnya. Membuat rusuh sejenak, seruan-seruan sebal, saling melotot, lantas secara alamiah, kerumunan penonton mengatur ulang kembali posisi masing-masing, meneruskan menyimak pertarungan.
Setiap kali habis bertanding, cerita pertarungan hebat Elyas Pical bertahan berminggu-minggu di seluruh sudut kampung. Semua orang berebut memberikan komentar, tidak mau kalah dengan komentator di televisi. Meniru-niru gaya hook dan jab Pical, wajah-wajah polos yang sok-tahu bergaya.
Televisi hitam putih mungil itu memberikan warna tersendiri sejak diletakkan Bapak di depan rumah. Sayangnya, diantara banyak kesenangan, tetap saja ada yang menyalahgunakan kebaikan Bapak. Seperti malam itu, saat siaran tinju Elyas Pical untuk yang kesekian kalinya. Aku yang terpaksa duduk terhimpit di dekat kursi rotan karena kehabisan posisi enak untuk menonton, menyeringai menatap dua orang pemuda yang sibuk bicara sesuatu, berbisik-bisik saat pertandingan akan dimulai. 
“Kita taruhan seribuan.” Salah seorang mendesis pelan.
“Oi, kau pengecut sekali. Kalau tidak lima ribuan, aku tidak mau.” Yang satunya balas mendesis, menggertak.
“Baik lima ribuan. Aku yang pegang si Pical.” Temannya tidak mau kalah.
“Tidak bisa! Aku yang pegang si Pical.”
“Tidak bisa! Aku sudah duluan, kau pegang lawannya!”
Ngotot satu sama lain. Berbantah-bantahan. Aku menyikut Ahmad yang duduk persis di sebelahku. Ahmad mengangkat bahu, menatap selintas dua pemuda itu, tidak peduli, kembali asyik menyaksikan persiapan pertandingan di televisi.
“Baik, lima ribuan, kau pegang si Pical, aku pegang musuhnya.” Kedua orang setelah beberapa detik saling melotot akhirnya bersepakat. Mengeluarkan lembaran uang butut dari balik sarung masing-masing. Sementara seruan-seruan semakin ramai terdengar. Gambar wajah Elyas Pical yang masuk ring sedang di close-up. Orang-orang bertepuk-tangan.
Lonceng tanda pertandingan terdengar. Elyas Pical dengan wajah tanpa ekspresi buas segera menyerang. Pukulan-pukulannya terlepas mantap dan gerakan kakinya gesit meliuk-liuk menghindari sergapan lawan. Maka malam yang dingin di musim kemarau segera terasa hangat. Angin bukit yang menusuk tulang terlupakan, berganti kesenangan dari tabung ajaib televisi. Hingga ronde ke-10, setelah berkali-kali penduduk kampung ber-ooh, berseru cemas, Elyas Pical dengan muka lebam, sisa-sisa tenaga, akhirnya berhasil meng-KO lawannya. Sekali lagi, Elyas Pical berhasil mempertahankan sabuk emasnya. 
Semua orang di depan rumah Bapak bertepuk tangan, yang boleh jadi bersamaan dengan tepuk-tangan berjuta penduduk Indonesia lainnya yang juga sedang menonton siaran langsung itu. Berdiri, bersorak girang menyambut kemenangan Elyas Pical. Apalagi pemuda tetangga yang tadi taruhan lima ribu pegang si Pical. 
Terlihat lebar sekali tawanya.
****
Cerita ini belum selesai. 
Besok malamnya, entah kenapa, tidak seperti pertandingan Elyas Pical sebelumnya, TVRI ternyata berbaik-hati menyiarkan ulang pertarungan itu. Depan rumah yang awalnya sepi, kembali dipenuhi tetangga yang dari teriakan-teriakan tahu kalau ada siaran ulang tinju. Bergegas berkumpul ingin menonton kembali.
Aku lagi-lagi duduk terhimpit di tempat biasa, bersebelahan dengan Ahmad.
“Kita taruhan lagi. Kau berani?” Dua pemuda semalam itu ternyata duduk di tempat yang sama. Dan astaga… namanya juga di kampung nun jauh di pedalaman hutan, terkadang jahiliyah (kebodohan) itu tidak masuk akal dan memang berlipat-lipat. 
“Berapa? Seribuan?”
“Pegecut. Lima ribuan!”
“Baik, tapi aku pegang si Pical.”
“Tidak bisa. Aku yang pegang si Pical.”
“Tidak bisa. Aku yang duluan, kau pegang musuhnya!”
Bertengkar sebentar. Saling melotot ngotot.
“Baiklah, kau pegang Pical, aku pegang lawannya.”
Aku sungguh ‘takjub’ mendengar percakapan itu. Dua pemuda tetangga kami ini bagaimana mungkin tidak tahu kalau ini hanya siaran ulang? Jadi hasilnya pastilah sama dengan kemarin malam. Tetapi lihatlah, mereka serius sekali taruhan lagi, sama-sama yakin dengan pilihan masing-masing, sama-sama semangat menyoraki jagoannya. Padahal tentu saja urusan ini gampang ditebak, yang pegang si Pical pasti menang kembali.
Aku menyikut bahu Ahmad, memasang tanda wajah paling bodoh sedunia. Ahmad hanya mengangkat bahu, melihat dua pemuda itu selintas, tidak peduli, kembali asyik menyimak gaya Pical melepaskan jab-jab mautnya, sambil berseru-seru: “AYO HAJAR PICAL!! HAJAR TERUS!!”
Aku menggaruk rambut yang tidak gatal. Ahmad juga aneh, jelas-jelas Pical pasti menang KO di ronde ke-10, kenapa pula seperti baru pertama kali menontonnya? Tapi memang begitu tabiat penonton televisi. Besok-besok, saat ada serial drama Korea, mereka juga sama. Sudah tahu jalan ceritanya, sudah tahu bagian yang sedih dan tegang, tetap saja menonton berkali-kali, berkali-kali, sama penasaran seperti belum menonton. Kacau.

BAB 9. AHMAD, SI RINGKIH YANG HITAM – 4
---------------------------------------------------------------
Bulan-bulan ini, televisi Bapak menjadi idola kampung. 
Beberapa minggu setelah pertarungan tinju Elyas Pical yang terakhir, kembali ada siaran super-spesial TVRI, dengan durasi yang lebih lama, lebih seru, dan lebih mantap. Apalagi kalau bukan: ‘Piala Dunia’—waktu itu tuan rumahnya Argentina. Siaran langsung sepakbola selama sebulan itu juga membuat Ahmad yang dikenal jago bermain bola semakin mendapatkan popularitas minggu-minggu terakhir.
Demam Piala Dunia mewabah di mana-mana. Pak Camat memutuskan mengadakan lomba sepak bola usia SD antar kampung di kota kecamatan. Mang Dullah, kepala kampung tidak mau kalah, demi menyukseskan perlombaan itu, di kampung diadakan lomba serupa sebagai seleksi untuk mengikuti lomba di kota kecamatan. Ada sekitar delapan tim yang ikut, aku dan Ahmad membentuk tim sendiri, beranggotakan enam orang yang rajin bermain bola di lapangan bekas pabrik karet.
“Nanti malam Argentina lawan siapa?” Ahmad bertanya.
“Lawan Paraguay.” Aku menjawab pendek. Berusaha memasang kaos kaki tebal. 
Tepi lapangan stasiun kereta ramai oleh penduduk kampung yang ingin menonton. Pukul lima sore, sebagian besar warga sudah kembali dari kebun masing-masing, apalagi ada tontonan final lomba bola, mereka pulang lebih cepat. 
“Kau bisa nonton nanti malam?” Aku balik bertanya.
Ahmad menggeleng. Wajahnya terlipat. “Lagi banyak cucian tetangga. Setrikanya rusak satu, jadi Ibu tidak bisa ikut menyetrika. Aku harus menyelesaikan setrikaan hingga larut malam. Belum lagi lepas shubuh langsung membantu Ibu di dapur menyiapkan jualan.”
Aku menelan ludah menatap wajah suram Ahmad. Setrikaan maksud Ahmad itu adalah ‘setrika arang’. Kalian masukkan bara arang ke dalam setrika besi, mengipasinya agar baranya menyala merah. Ketika besi bagian bawahnya sudah panas, setrika itu siap digunakan. Kalian harus telaten memakai setrika model lama ini. Setiap kali baranya mau mati, harus dikipasi lagi. Kalau baranya habis, harus diisi lagi, begitu terus hingga seluruh pakaian selesai disetrika. Ada dua setrika seperti itu di rumah yang sering digunakan Ayuk Eli. 
Aku tahu, Ahmad amat mengidolakan Maradona—begitu juga hampir seluruh penduduk kampung. Setiap kali tim Argentina main, maka dia memaksakan diri untuk menonton, itu wajib hukumnya. Berangkat paling cepat, duduk paling depan, dan terlihat paling semangat bersorak. Tetapi malam ini nampaknya dia harus mengalah dengan situasi. 
Panitia meniup peluit. Pertandingan final akan segera dimulai, menyuruh kami segera berkumpul di tengah lapangan. Penonton yang memadati pinggir lapangan stasiun kereta mulai bersorak antusias. Bertepuk-tangan.
“AYO AHMAD!!” Beberapa penonton berteriak, “HIDUP AHMAD!!”
Aku berdiri, menepuk pundaknya. “Kalau kau tidak bisa menonton yang kali ini, Kawan, biar besok aku ceritakan pertandingannya. Bila perlu besok kugambarkan di papan tulis saat istirahat sekolah. Sekarang mari kita hajar lawan! Dengar, penonton sudah memanggil-manggil nama kau macam memanggil-manggil Maradona saja.”
Ahmad tertawa, tonggos giginya terlihat, rambut ikalnya bergerak-gerak ditiup angin senja. Dia melangkah mantap ke tengah lapangan.
Peluit panjang tanda final lomba bola tingkat kampung dibunyikan. Dua kali 20 menit, jeda istirahat lima menit. Waktu yang lebih dari cukup untuk menggunduli lawan 6-0. Lima gol dibuat Ahmad, yang untuk kesekian kalinya tampil seperti menari di lapangan. Membuat orang ramai bersorak-sorak setiap kali dia menyentuh bola, memukul tabung-tabung bambu setiap kali Ahmad membuat gol, dan tidak segan-segan mengangkat tubuh mungilnya selepas pertandingan. Kami berhak mewakili kampung Padang ke kota kecamatan.
Ahmad, hitam keling badannya, ikal rambutnya, tonggos giginya, benar-benar memiliki bakat sepak-bola luar-biasa. Aku menyeringai senang melihatnya berbaur dengan teman-teman lain. Tertawa-tawa menikmati hasil pertandingan. Teringat Bapak dalam sebuah kesempatan pernah bilang di bale-bale bambu: “Bayangkan… kalian bayangkan sepuluh tahun yang akan datang, mimpi itu boleh jadi hasilnya menakjubkan…. Anak itu akan menjadi kebanggaan kita. Semua orang akan membicarakannya. Anak itu sungguh akan membuat malu Bapak-nya yang tidak tahu diri pergi begitu saja meninggalkannya.”
Ahmad, si ringkih yang tidak pernah populer di kelas satu dulu, yang terbiasa diolok-olok satu sekolahan, hari itu, sore itu, tidak ada lagi yang menghinanya. Tidak ada lagi yang bertanya di mana Bapaknya. Ahmad mendadak menjadi idola kampung kami.
Tapi sayang seribu kali sayang, kisah ini berakhir menyedihkan.
***
Argentina seperti yang diduga, melaju cepat menuju final Piala Dunia.
Tim kami seperti yang diduga, juga melaju cepat menuju final Piala Kecamatan.
Maradona bermain begitu menakjubkan di Piala Dunia. Ahmad bermain tidak kalah mempesona di Piala Kecamatan. Kampung kami mendadak ramai oleh percakapan bola, bola dan bola. Se-kalimat bicara tentang menonton final Piala Dunia besok malam. Dua kalimat lebih ramai lagi bicara tentang menonton final Piala Kecamatan besok sore. Sejak seminggu sebelumnya, penduduk kampung berbondong-bondong jalan kaki ke kota kecamatan untuk menonton lomba bola itu. Akan spesial sekali, jika keesokan harinya menonton tim kampung menang di Piala Kecamatan, malamnya menonton Argentina menang di Piala Dunia.
Dua hari terakhir, menjelang pertandingan final, sekolah juga ikut terlibat mengurus tim. Pak Bin dengan semangat meminjam truk tua milik tauke karet untuk mengantar kami ke kota kecamatan, jadi tidak perlu jalan kaki lagi. Pak Bin juga semangat menjadi pelatih amatiran. Bersemangat menerangkan tentang strategi bertahan, menyerang dan sebagainya. Menyuruh kami latihan di lapangan sekolah selepas lonceng pulang berbunyi.
Sore itu, sehari menjelang final, kami berlatih di lapangan sekolah seperti biasanya. Pak Bin membagikan kaos baru. “Ini sumbangan Kepala Desa buat kalian. Biar besok saat final kalian seragam bertandingnya. Bagaimana? Hebat, bukan?” Kami tertawa melihat Ahmad yang kaosnya kebesaran hingga selutut. Pak Bin menyuruhnya memasukkan ujung kaos bernomor 10 itu ke dalam celana. 
Latihan yang menyenangkan, Pak Bin memanggil anak-anak lain untuk menjadi lawan kami, bahkan jahil sengaja membuatnya enam lawan sepuluh. “Biar kalian lebih kuat, kalian sore ini melawan tim yang lebih banyak.” Kami tidak banyak bicara, menurut saja. 
Aku ingat sekali kejadian sore itu, semua detailnya, semua potongannya, sempurna terekam di kepala seperti jepretan kamera. Kejadian yang tidak akan pernah bisa kulupakan hingga kapanpun. Senja terkelam dan amat menyakitkan di masa-masa kecilku.
Pertandingan berlangsung seru-serunya, kami bersemangat menendang bola kesana kemari, tertawa melihat Ahmad menipu dua, tiga, hingga empat pemain lawan. Ketika salah seorang tidak sengaja menendang bola keluar dari lapangan, bola itu jatuh di semak-semak liar yang tumbuh dekat parit sekolah. Tergeletak seperti memanggil-manggil untuk diambil.
Karena kebetulan posisi kami yang paling dekat dengan parit, aku dan Ahmad serempak berlarian untuk mengambil bola itu. Tiba bersamaan. Bola itu sepertinya jatuh di dalam lekukan tanah. Aku hendak membungkuk mengambilnya ketika Ahmad berkata pelan, “Biar, biar aku saja yang ambil, Kawan.”
Dan aku mengurungkan diri, membiarkan Ahmad yang berdiri di sebelahku mengambil bola itu. Saat itulah semua terjadi begitu cepat. Laksana kilat yang menyambar, berkelebat mengambil takdir bakat hebat Ahmad. Semua cerita selesai. 
Ahmad tiba-tiba mengaduh lemah. Bola terjatuh dari jemarinya, menggelinding di atas lapangan. Dia mengibaskan tangan kanannya, lantas jatuh terduduk. Aku segera duduk mendekat, dengan wajah bingung bertanya, “Ada apa? Ada apa?”
Ahmad menjulurkan belakang telapak tangannya yang berdarah. Ada gigitan kecil di sana. Sebelum aku sempat menyadari apa yang terjadi, dalam hitungan detik, saat aku mengira itu hanya luka kecil terkena duri semak belukar, atau terkena beling apalah, tiba-tiba Ahmad ambruk. Tubuh hitam kelingnya menggelepar-gelepar di atas rumput seperti ayam yang baru saja disembelih. Aku berteriak parau minta tolong. Pak Bin dan teman-teman yang berada di lapangan tidak perlu diteriaki dua kali berlarian mendekat. Penduduk kampung yang menonton terloncat dari duduknya.
Debu berterbangan dibawa angin senja. Matahari tumbang di ufuk barat. Kanopi hutan terlihat jingga. Langit terlihat jingga. Semenit berlalu badan Ahmad mulai pelan-pelan berhenti menggelinjang, tapi sekarang giliran kulit hitamnya yang dengan cepat layu membiru, dan dari mulutnya keluar busa putih, menggelegak laksana isi perutnya sedang terbakar. Dua menit lewat, seluruh tubuh Ahmad mulai terasa dingin.
Ya Allah, aku gemetar menyentuh wajahnya. Berseru-seru memanggil namanya. Ya Allah, tidak peduli dengan kerumunan, aku panik memeluk tubuh Ahmad, berteriak menyuruhnya segera bangun kembali. Menyuruhnya segera melanjutkan pertandingan. Lihat Kawan, semua orang datang hanya untuk menonton kau beraksi. Semua orang bersorak-sorak setiap kali kau menyentuh bola. Semua orang bertepuk-tangan setiap kali kau mencetak gol. Bangun Ahmad, aku mohon. Tidakkah kau ingin memenangkan Piala Kecamatan besok sore? Tidakkah kau ingin menonton Argentina memenangkan Piala Dunia besok malam?
Sia-sia. Air-mata tidak akan pernah bisa mengembalikan yang pergi.
Sore itu, Ahmad, Maradona kecil kampung kami tidak terselamatkan. Penduduk rusuh berusaha memanggil mantri kesehatan di kota kecamatan, rusuh memanggil dukun kampung, sibuk mencari mobil untuk membawa Ahmad secepat mungkin ke puskesmas terdekat, sibuk memanggil siapa saja yang bisa menolong. Tetapi semuanya sudah terlambat. 
Ahmad meninggal tiga menit setelah tangannya digigit ular berbisa yang bersembunyi di balik cekungan tanah. Sore itu juga penduduk yang marah berhasil menangkap ular belang-belang kuning itu. Merajamnya dengan segala benda hingga tidak berbentuk lagi, tapi lagi-lagi percuma, itu tidak akan mengembalikan Ahmad yang sudah pergi selamanya. Tidak akan bisa mengembalikan kawan kami yang rendah hati, rajin membantu Ibunya dan pandai sekali bermain bola. 
Esok sorenya, kami tidak kuasa bertanding di final Piala Kecamatan. Kami datang ke sana, tapi tidak kuasa memasuki lapangan. Rombongan penduduk dari kampung tertunduk, spanduk-spanduk yang sudah disiapkan dilipat, yel-yel yang sudah direncanakan urung dikumandangkan. Semua beranjak pulang. Kami kalah WO.
Esok malamnya, meski tetap ramai yang menonton, langit-langit depan rumah Bapak sepi oleh teriakan. Selepas Argentina memastikan kemenangannya di piala dunia itu, saat Maradona dengan bangga mengangkat pialanya tinggi-tinggi, salah seorang penduduk kampung justru menangis terisak, “Dia… dia suka sekali teriak, HAJAR! AYO HAJAR TERUS!!” sambil menunjuk tempat biasanya Ahmad menonton. Maka hanya soal waktu, saat yang lain juga ikut menyeka hidung yang tiba-tiba terasa kedat. 
Membuat senyap seluruh ruangan. 
Aku? Di kamar, Mamak memelukku erat-erat. 
Aku yang sejak sore menangis… yang saat itu tetap saja menangis meski sudah tertidur. Aku sungguh menangis dalam tidur. Ya Allah, Ahmad telah meminjamkan kehidupannya kepadaku dengan berkata: “Biar, biar aku saja yang ambil, Kawan.”

0 komentar:

Posting Komentar