Jumat, 24 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 13. SDSB: SEMUA DAPAT SEMUA BUNGKAM - 2
-------------------------------------------------------------------------
“Obornya jangan dimainkan, Burlian.” Ayuk Eli berjengit.
“Bukan salahku, Kak Pukat yang menarik-narik sarungku.” Aku mendengus, menunjuk Kak Pukat yang tertawa-tawa di depan. 
Kami pulang mengaji dari rumah Nek Kiba. Berjalan kaki bersama belasan anak-anak lainnya. Dari tadi Kak Pukat jahil menarik-narik sarung, membuat obor bambu yang kupegang hampir terjatuh. Langit terlihat gelap, menutup pemandangan bintang-bintang. Sebenarnya musim penghujan sudah tiba di penghujung, tapi hujan tetap tidak bosan turun setiap malam. 
“Bergegas, Burlian. Nanti kita kehujanan.” Ayuk Eli tetap mengomel.
Iya, ini juga sudah bergegas. Aku mengepit Al-Qur’an erat-erat, melangkah lebih cepat. Lama-lama perangai Ayuk Eli itu persis sekali Mamak. Sedikit-sedikit mengomel. Sedikit-sedikit marah. Semua dikomentari.
Tere Liye Burlian

Tetapi kecepatan langkahku berkurang drastis saat melewati bale-bale bambu kampung. Di sana beberapa orang sedang mengerumuni ‘tokoh sakti’ dalam kisah SDSB ini, siapa lagi kalau bukan Samsurat. 
“Kau mau lihat apa, Burlian?” Ayuk Eli meneriakiku yang justru melangkah ingin tahu apa yang sedang dipercakapakan oleh mereka.
“Dasar nakal. Sudah berapa kali Mamak bilang, kau jangan ganggu orang gila.” Ayuk Eli berseru kencang. 
Aku tidak mendengarkan, melangkah cepat meninggalkan rombongan anak-anak pulang mengaji. Petir menyambar membuat terang sekejap, disusul gemeretuk guntur.
Orang gila? Inilah menariknya urusan ini.
Semua penduduk kampung juga tahu kalau Samsurat kurang waras, setidaknya begitulah dia terlihat. Umurnya sekitar tiga-puluhan, tubuhnya tinggi kurus, rambutnya panjang tidak terawat, hanya memakai baju itu-itu saja. Sejak kecil Samsurat jarang bicara. Menurut cerita Mamak, Samsurat kecil hanya menunjuk mulut tanda dia mau makan, menunjuk pantat tanda dia mau buang air besar. Sisanya diam. Berpuluh tahun berlalu tetap begitu saja. Kerjaannya kalau tidak duduk hening di beranda rumahnya, dia duduk bergabung bersama penduduk lain di bale-bale bambu kampung. Tidak banyak bicara, selain mulutnya berdengung sekali-dua tanpa bisa dimengerti apa yang diucapkannya.
Selama ini tidak ada yang peduli dengan Samsurat. Anak-anak yang pertama kali kenal sering jahil menganggunya, melempari dengan apalah, lantas berlarian kabur. Tetapi lebih banyak warga kampung yang membiarkan Samsurat. Dia tidak berbahaya. Tidak juga berguna diajak bicara. Biarkan saja Samsurat sibuk dengan ritual bertapa dan komat-kamit mantranya, begitu gurau penduduk kampung.
Hanya saja semua ketakjiman Samsurat robek sejak demam SDSB masuk kampung kami. Tidak ada yang tahu persis apa muasalnya. Beberapa bulan lalu saat warga ramai-ramai duduk di bale-bale bambu, tiba-tiba Samsurat menceracau. Mulutnya berdengung, menghentikan percakapan tentang musim durian. Dan diantara ceracau Samsurat, dia menyebut angka. Patah-patah, tidak jelas pula, 5-6-6-9. Tidak ada yang peduli dengan empat angka yang disebutkan Samsurat hingga esok malam. Ketika pengumuman SDSB terdengar dari speaker radio, ternyata keempat angka itu sempurna tepat. Ramailah seluruh kampung.
Samsurat tahu nomor bertuah. 
Sejak saat itu, tidak ada lagi yang mengabaikan Samsurat. Dia berdehem saja langsung semua kepala tertoleh. Dia melangkah turun dari beranda rumah, langsung semua orang berjalan ramai-ramai mengikutinya. Berusaha duduk paling dekat, ramah memberikan makanan dan minuman. Menawarkan memijat-mijat pundaknya. Dan Samsurat seperti tahu apa yang mereka cari, untuk kesekian kalinya tiba-tiba menceracau lagi. Mulutnya berdengung tidak jelas, berkumur-kumur, lantas tiba-tiba mulai menyebut angka.
Warga kampung yang duduk di bale-bale bergegas mencatat, takut benar segera lupa. Lantas besok paginya bergegas pergi ke loket kota kecamatan. Dengan senyum lebar, bertaruh atas mimpi-mimpi hebat. Sudah empat minggu sejak Samsurat pertama kali menceracau menyebut angka. Warga kampung sejauh ini selalu takjub dengan betapa nyaris tebakan yang diberikan Samsurat. Beberapa orang bahkan percaya kalau Samsurat sebenarnya betul seratus persen, merekalah yang salah dengar. Keliru menerjemahkan kumur-kumurnya. Cepat atau lambat hanya soal waktu mereka akan mengerti pertanda Samsurat.
“Kau nanti dimarahi Mamak, Burlian.” Ayuk Eli masih berusaha memperingatkanku.
Aku sudah tidak mendengarkan teriakannya, aku tinggal sepuluh langkah dari kerumunan orang di bale-bale bambu. Di sana, di antara pemuda tanggung kampung yang mengerumuni Samsurat ada si Pendi, anak Lik Lan ikut bergabung, aku hendak bertanya padanya, siapa tahu sudah ada bocoran angka.
“Ayo Amelia.” Ayuk Eli mendengus marah, membalik badannya. Memegang lengan Amelia, bergegas pulang. Kak Pukat sudah sejak petir pertama tadi berlarian pulang lebih dulu.
Aku tinggal tiga langkah dari bale-bale bambu. Kilau petir menyambar sekali lagi membuat terang langit-langit kampung, guntur bergemeletuk membuat nyilu gigi. Aku melangkah ke arah Pendi yang duduk paling pinggir, hendak bertanya, ketika tiba-tiba Samsurat berseru-seru. 
Orang-orang sontak tertoleh kepadanya. Aku juga ikut menoleh.
Samsurat justru mengacungkan telunjuknya persis ke dahiku. Mulutnya berteriak-teriak kencang. Astaga? Jangankan aku, semua orang yang duduk di bale-bale bambu saja terperanjat. Aku mendadak pias, menelan ludah.
“Ghau… khau…” Samsurat mendesis-desis, mulutnya komat-kamit, matanya mendelik. “BEBALIK… KHAU… BEBALIK!” Desisannya nyaring terdengar.
Petir menyambar lagi membuat terang wajah-wajah. Tidak terlalu jelas benar apa desisan itu, tapi aku merasa seluruh tatapan mata sedang terarah padaku, bukan hanya tatapan orang yang duduk di bale-bale, semuanya, termasuk gelegar guntur. Dan Samsurat sekali lagi menunjuk-nunjuk dahiku, sebelum kemudian ‘AAARGGHH….’ Melolong panjang. 
Berlari pulang ke arah rumahnya. Menyisakan misteri besar. 
Seluruh bale-bale bambu terdiam.
***
Maka esok, sepanjang hari orang-orang sibuk menafsirkan kejadian itu. 
“Kau lahir tanggal berapa, Burlian?” Wak Lihan menyapaku saat mandi di sungai.
“Tanggal 21, Wak.” Aku mengusap sabun di ujung mata. Langsung menjawab meski tidak mengerti kemana arah pertanyaan. 
“Bulan apa?”
“Bulan lima, Wak.” Aku menjawab cepat. Konsentrasiku sekarang ada pada dinginnya air sungai, membuat gigi bergemeletukan.
“Wawak kenapa nanya-nanya tanggal lahir Kak Burlian? Mau ngasih hadiah ulang tahun, ya?” Amelia yang mandi di sebelahku bertanya.
Wak Lihan tertawa lebar. Melambaikan tangan, tidak menjawab.
Aku tidak peduli, segera menyelam ke dalam air yang beruap seolah ada batangan es di dalamnya. Dengan mata telanjang, bebatuan dasar sungai yang warna-warni terlihat, dua ekor ikan berenang berani di sekitar betis, menggoda untuk ditangkap. Dingin, aku bergegas menyelesaikan mandi.
“Kau lahir tanggal berapa, Burlian?” Salah seorang tetangga juga menyapaku saat pulang. Membuatku langkahku terhenti. Amelia berdiri di belakangku.
“Tanggal 21.” Aku menjawab pendek, menggaruk ujung hidung, kenapa pula hari ini banyak orang yang bertanya tanggal lahirku.
“Bulan apa?”
“Lima.” 
“Terima-kasih, anak pintar.” Tetangga kami itu mengacak rambutku, lantas melangkah ke arah pemandian sungai.
Oi? Aku menatap tidak mengerti. Amelia mendorong pantatku agar bergegas. Berseru bilang nanti terlambat sekolah. Aku sambil menggaruk ujung hidung melanjutkan langkah melewati jalan setapak yang menghubungkan sungai dan kampung. Embun terpercik ke ujung-ujung jari kaki. Kabut putih masih membungkus pucuk-pucuk hutan. Cahaya matahari lembut membasuh rerumputan. Entahlah kenapa semua orang bertanya. 
Setidaknya semua orang jadi tahu tanggal lahirku.
***
“Kau lahir tanggal berapa, Burlian?” Munjib menjawil tasku. 
Aku yang bergegas melintasi halaman sekolah hendak pulang, menoleh. Bukan hanya wajah Munjib yang antusias mendekat. Juga Can dan beberapa kawan sekelas lainnya.
“Kenapa pula kau tanya-tanya?” Aku bertanya balik. Perutku lapar, ingin cepat membuka tudung meja makan. Membayangkan Mamak memasak udang sungai besar. Jadi sedikit sebal tertahan, apalagi menatap wajah-wajah ingin tahu mereka.
“Bapakku yang menyuruh.” Munjib mengangkat bahu. Can dan kawan sekelas lainnya serempak ikut mengangguk.
“Bapak kalian? Buat apa?” Aku teringat kejadian tadi pagi di sungai.
“Kau tidak tahu?” Munjib bertanya balik.
Aku menggeleng.
“Seluruh kampung bilang kalau nomor bertuah yang keluar nanti malam adalah tanggal dan bulan kau lahir. Kata orang-orang, itulah maksud Samsurat saat berteriak menunjuk-nunjuk kau tadi malam…. Jadi kau lahir tanggal berapa, Kawan.”
Aku seketika terdiam, menelan ludah.
***
Wak Yati benar, urusan ini bahkan bisa lebih menggelikan dibandingkan cerita olok-olok anak Pak Haji itu. Semalam, aku hampir terkencing di celana saking takutnya melihat Samsurat tiba-tiba berteriak dan menunjuk dahiku, ternyata semua orang menafsirkan sebaliknya. Terus-terang saja, kakiku masih bergetar sendiri saat tiba di depan rumah. Belum lagi Mamak seperti sudah menunggu kepulanganku, mendelik mengkonfirmasi apakah aku barusaja ikut duduk dekat-dekat Samsurat. Ayuk Eli menatap puas dari ruang tengah.
“Berapa kali Mamak bilang, kau jangan seperti penduduk kampung yang memperlakukan Samsurat kurang-ajar. Lihatlah kelakuan mereka sekarang, ramai menunggu meminta nomor bertuah. Sudah lebih gila dibandingkan Samsurat.” Mamak mengomel.
Aku diam, meletakkan Al Quran di rak buku. Duduk meluruskan kaki. Tadi seram sekali. Seperti menatap hantu, matanya mendelik, mulutnya berkumur-kumur. Di luar rintik hujan mulai membasuh jalanan. Irama butiran air satu per-satu menimpa atap rumah terdengar menyenangkan.
“Sudah sejak awal aku tidak suka loket itu dibuka di kampung. Semua jadi ikut-ikutan taruhan. Menggunakan uang beras buat beli SDSB. Uang jual getah karet habis percuma. Tabungan keluarga dipakai. Belanja penting ditunda.” Suara Mamak yang mengeluh pada Bapak di dapur terdengar hingga kamar. “Harusnya Si Dullah segera bertindak. Apa pula kerja kepala desa sekarang. Tutup saja loket itu. Biarkan saja kalau ada yang mau bertaruh terpaksa pergi jauh ke kota kecamatan. Kalau begini, warga kampung yang tidak mengerti pun jadi ikut-ikutan. Belum lagi aku dengar, anak-anak kampung saja sudah banyak yang ikut membeli SDSB.”
Hujan di luar menderas. 
Aku menarik selimut, beranjak tidur. Berusaha melupakan kejadian barusan. Melupakan ingatan akan ekspresi wajah Samsurat yang berlari ke rumahnya. Aku kenal sekali ekspresi wajah itu; karena itu sama persis dengan wajahku. Ketakutan. 
“Kau jangan pernah coba-coba mendekati loket itu, Burlian.” Wajah Mamak nongol dari balik pintu kamar. Berseru kencang. 
Aku berjengit kaget.
***
Jadi itu maksudnya? 
Pikiranku sekarang tidak pada piring yang berisi udang sungai. Tidak seperti biasanya, kali ini aku mengabaikan menu spesial makan siang. Aku sedang sibuk berpikir mencari jalan keluar masalah pelik. Pertanda Samsurat. Bisik-bisik semua orang. Dan yang lebih penting lagi, kalau semua orang sibuk memasang berlembar-lembar angka bertuah itu, bagaimana mungkin aku tidak ikutan? Bukan soal takut ketahuan Mamak. Dua minggu terakhir Mamak tidak tahu kalau aku pergi ke loket itu. Masalahnya aku tidak punya uang untuk membeli walau selembar kertas SDSB. Terlepas dari akan jitu atau tidak tafsiran pertanda Samsurat, nomor itu sudah bertuah bagiku. Itu tanggal dan bulan kelahiranku.
“Kau sudah makannya?” Ayuk Eli menatapku yang hanya memainkan sendok. Dan sebelum aku sempat menjawab, ia mengambil piringku. Memberesi meja makan. Aku mendelik, hendak berseru jangan diambil dulu, tetapi segera menutup mulut urung berkomentar apapun, ada hal lain yang lebih penting. Beranjak meninggalkan dapur.
Saat bermain bola di lapangan bekas pabrik karet, Can dan Munjib menunjukkan kertas taruhan masing-masing. Dua kertas itu bertuliskan besar-besar angka: 2105. Tanggal dan bulan kelahiranku. Mereka berdua tersenyum yakin, lantas bertanya apakah aku sudah pasang atau belum. Aku mengangguk (bohong) sudah. 
Aku bermain bola tidak bersemangat. 
Memperhatikan awan-awan kelabu berarak di langit, sepertinya akan hujan lagi malam ini. Burung layang-layang terbang melenguh. Melakukan gerakan menari memanggil hujan. Pukul empat sore, itu berarti satu jam lagi sebelum loket ditutup. Menghela nafas panjang. Baiklah, aku bergegas meninggalkan lapangan begitu saja. Pulang. Membiarkan Munjib dan Can yang berteriak-teriak protes soal permainan bola jadi tidak imbang.
Aku menggaruk rambut yang tidak gatal. Kembali menatap langit yang mulai mendung, atap-atap seng rumah penduduk, rombongan kerbau yang tidur-tiduran di jalan kampung. Menghela nafas. Jadi itu maksudnya. Kalau begitu, semua orang telah keliru menerjemahkan maksud Samsurat. 
Sore itu aku memutuskan melakukan sesuatu. Melupakan kalau beberapa minggu lalu, Wak Yati pernah berkata, niet proberen, jangan sekali-kali bahkan hanya untuk memikirkannya, karena sekali saja sensasi seru itu merasuki, kau bisa nekad melanggar pantangan besar.
***
Dan aku bukan hanya melanggar satu pantangan Mamak, tapi dua.
“Demi Allah, Burlian… Mamak tidak ridha… Mamak tidak akan pernah ridha.” Wajah Mamak menggelembung, di tangannya tergenggam dua lembar kertas SDSB.
Aku meringkuk gentar, duduk terdesak di pojok kamar depan. Lihatlah, Mamak tidak berteriak kencang seperti biasanya, ia hanya menatapku tajam, berkata pelan. Meski pelan, kalimat itu diucapkan dengan intonasi bertenaga. Bahkan Ayuk Eli yang melaporkan ikut tertunduk, tidak tega melihat.
Tadi sore aku memutuskan mencuri uang simpanan Mamak di kaleng biskuit. Tak banyak, hanya dua ribu. Cukup untuk membeli dua lembar kupon itu. Lantas bergegas ke loket SDSB di bawah rumah panggung Wak Lihan. Memasang empat angka yang kuyakini pasti menang. Beberapa tetangga yang duduk-duduk di bangku berseru-seru saat melihatku, “Oi, ini dia pemilik angka bertuah. 2105. Kau tidak pasang seratus lembar, bukan? Nanti bangkrut bandarnya.” Mereka tertawa.
Petugas loket tidak banyak cakap menuliskan nomor. Merobek kuponnya, menyerahkan padaku. Petugas itu harus bergegas, sudah hampir pukul lima sore. Loket ditutup, dia dengan menaiki sepeda motor harus segera ke kota kecamatan melaporkan uang sumbangan dan angka yang dipasang oleh penduduk kampung kami minggu ini.
Aku juga bergegas pulang ke rumah. Sudah hampir maghrib. Sebelum menyambar handuk pergi mandi ke sungai, aku menyembunyikan dua lembar kertas itu hati-hati di balik tumpukan baju. Tersenyum lebar. Tidak akan ada yang tahu. Mamak juga tidak akan menyadari kalau uang dalam kaleng biskuit itu sudah berkurang dua lembar. Tidak setiap hari Mamak menghitungnya. 
Tetapi aku keliru. Ba’da maghrib, saat Ayuk Eli membawa setrikaan pakaian ke lemari, saat menyusun ulang tumpukan baju, ia tidak sengaja menemukan dua lembar kertas terkutuk itu. Ayuk Eli melaporkannya ke Mamak. Dan hanya menunggu waktu saja, saat makan malam bersama, Mamak menunjukkan kertas itu di depan jidatku. Menatap tajam sekali. Aku patah-patah menjelaskan. Membantah tidak tahu apa-apa, bilang kertas itu mungkin datang begitu saja. Percuma, Mamak investigator yang tangguh. Ia bukan hanya membuatku mengaku telah membeli nomor SDSB selama dua minggu terakhir, Mamak juga bisa membuatku buka mulut kalau sudah mencuri uang dalam kaleng biskuit.
Dua pantangan besar di keluarga kami. Mencuri. Berjudi.
“Kau ikut Mamak sekarang juga! BERGEGAS!!” 
Aku terlonjak dari duduk. Berdiri. 
“Si Dullah tidak akan pernah bisa menghentikan loket judi itu. Bagaimana dia akan bisa, dia juga ikut memasang nomor. Aku sudah sejak minggu-minggu lalu keberatan. Dan, kau, apa saja yang kau lakukan? Juga ikut berdiam diri saja macam siamang tanpa bertindak apapun. Penduduk kampung ini amat menghargai kau. Mereka akan mendengarkan apa yang kau katakan.” Mamak menatap Bapak yang sejak tadi hanya menghela nafas.
“Ayo, Burlian.” Mamak menyambar tanganku. “Eli, kau suruh penjaga Masjid memukul bedug. Malam ini, kalau bapak-bapak kampung ini tutup mata soal ini, biar kita saja yang mengurusnya. Loket itu harus ditutup.”
Lima menit melintas amat cepat. Kegaduhan besar segara terjadi. Suara bedug bertalu-talu yang dipukul membuat kesibukan di rumah-rumah panggung terhenti. Adzan Isya sudah selesai sejak satu jam lalu, jadi ini bukan panggilan shalat. Berarti ada yang meninggal? Siapa? Ganjil sekali, kalau pertanda ada yang meninggal, iramanya tidak seperti ini. Orang-orang turun dari rumah. Bisik-bisik menjalar. ‘Mamak Nung mengajak kita menyerbu loket sialan itu.’ Salah seorang ibu-ibu berkata dengan nafas tersengal.
‘Apa?’ yang lain bertanya memastikan. ‘Mamak Nung mengajak kita semua menyerbu loket SDSB di rumah Wak Lihan… tadi kulihat sudah berkumpul banyak ibu-ibu di sana.’ Maka kemarahan yang sudah berminggu-minggu terpendam itu tumpah sudah. Hanya dengan pakaian seadanya, kain terbebat, lupa membawa tudung rambut, ibu-ibu melangkah cepat menuju loket SDSB. Sudah lama mereka jengkel dengan situasi ini. Akhirnya mereka punya kesempatan emas. Tidak ada ibu-ibu yang lebih galak, lebih berani selain Mamak Nung.
Loket itu ramai. Beberapa lelaki dewasa dan remaja tanggung yang duduk-duduk menunggu pengumuman angka bertuah serba-salah saat Mamak datang dan tanpa tedeng aling-aling langsung memaksa petugas menutup loket itu. Dalam hitungan detik, selepas suara bedug, belasan ibu-ibu ikut bergabung. Membuat situasi berat sebelah. Petugas loket dan pendukung setianya terdesak.
“Kau tutup malam ini juga! Kau tutup sekarang dan untuk selamanya.” Mamak mendesis menatap petugas yang sudah mendecit ketakutan.
“Nung… Oi, dengarkan dulu. Apa salahnya dengan loket ini? Kau tidak pantas memarahi petugas itu. Dia hanya melaksanakan tugas dari kota.”
“Tutup mulut kau, Lihan.” Mamak mendelik, “Kau dibayar berapa untuk mengijinkan mereka membuka loket di bawah rumah bobrokmu ini? Seratus ribu per-bulan? Dua ratus ribu? Picik sekali kau. Hanya demi uang serendah itu kau tega merusak seluruh kampung.”
Ibu-ibu berseru menyetujui kalimat Mamak.
“Kau lihat ini!” Mamak menunjukkan kertas SDSB-ku. “Burlian! Anakku yang baru sepuluh tahun juga ikut-ikutan berjudi. Mengerti apa mereka soal omong-kosong sumbangan berhadiah kalian? Mengerti apa mereka soal program pemerintah?”
“Munjib juga ikutan, Mak.” Ibu Munjib berseru.
“Anakku Can juga.” Istri Bakwo Dar mengiyakan.
Wak Lihan yang berusaha menengahi mulai kehabisan kata di keroyok banyak ibu-ibu. Wajahnya merah padam, kalimat Mamak sepertinya telah membuatnya tersinggung. 
Lima belas menit berlalu, situasi tidak imbang itu mulai berubah. Pihak loket SDSB mendapatkan ‘pasukan bantuan’. Mang Dullah, kepala kampung, tiba bersama dengan warga kampung lain. Mencoba menengahi pertengkaran. 
“Kalau begitu… bagaimana kalau kita buat peraturan anak-anak dilarang membeli kupon SDSB… itu bisa dilakukan, bukan?” Mang Dullah mencoba tersenyum arif. Petugas loket yang pias mengangguk cepat. Patah-patah menjawab, “Sa-ya… sa-ya tidak akan lagi menjual ke anak-anak, Bu. Sumpah.”
“Omong-kosong! Masalahnya bukan hanya anak-anak.”
“Betul, Mak! Sudah dua minggu ini uang untuk beli beras habis dipakai suamiku. Itu orangnya. Hei, bukankah sudah kubilang kau tidak boleh lagi duduk-duduk di loket ini.” Salah seorang ibu berusia muda berteriak tidak kalah galaknya. Dan suaminya yang dihardik, entah karena malu, entah karena takut pada istrinya, dengan wajah gembung bergegas kabur dari kerumunan.
Dengan situasi yang semakin tegang, tidak ada seorang pun yang menyungging tawa melihat kejadian lucu itu. Suami ibu-ibu muda itu jatuh-bangun lari terbirit-birit.
“Ini program pemerintah, Mak…. Aku tidak bisa menutupnya begitu saja.” Mang Dullah mengusap dahi. Dia sejak tadi berusaha hati-hati sekali bicara kepada Mamak. Karena kalau dirunut garis keturunan, Mamak masih terhitung bibi dekatnya. 
“Apa susahnya kau tutup? Kau suruh pergi? Oi, semakin lama ucapan kau semakin tidak bisa dimengerti, Dullah.” Mamak melotot.
Perdebatan dan negosiasi masih berjalan alot saat dari radio bantal yang dipasang di meja loket mulai menyiarkan secara langsung undian angka bertuah dari Jakarta. Pendi, yang paling dekat dengan radio itu berusaha membesarkan volume, merapatkan kuping ke meja. Keributan ini membuat dia kesulitan mendengar siaran.
“…5…, itu angka pertamanya.”
Pendi memukul jidatnya. Dengan seluruh penduduk kampung memasang nomor bertuah 2105, keliru sudah. Angka pertama saja sudah salah total. 
“Kalau kau tidak mau menutup loket ini, kami bongkar paksa SEKARANG! KAU DENGAR!” Mamak mengancam. Ibu-ibu yang lain berseru-seru setuju.
“Nung, janganlah… astaga.. apa kita tidak bisa bicara baik-baik.” Wak Lihan yang paling berkepentingan dengan bagian bawah rumah panggungnya segera bersuara.
“…0…, itu angka keduanya.”
“Kalian tidak akan pernah mau mendengarkan kami. Coba ingat, sudah sejak kapan aku mengajak kalian bicara baik-baik. Sudah berapa kali setiap bertemu di sungai, di balai kampung, di mana saja, akau bilang kepada kau. Tutup segera loket terkutuk ini.” 
“…1…, itu angka ketiganya.”
Jantung Pendi berdegup kencang. Astaga? Seluruh kampung memasang 2105. Jangan-jangan maksud Samsurat sebaliknya. 502, tinggal satu angka lagi.
“Baik… baik, Mak. Bagaimana kalau kita bicarakan ini besok di rapat kampung. Kita undang seluruh warga. Kita putuskan bersama-sama. Jangan sekarang, sudah malam. Mamak lihat sendiri, langit mendung, sebentar lagi hujan deras. Kasihan anak-anak.”
“OI!!, Kalau kau kasihan dengan anak-anak, kau akan segera menutup loket ini, Dullah. Percuma saja kau pernah SMA di kota kabupaten, menyimpul soal sederhana itu saja kau tak becus.” Mamak berseru galak, sepertinya marah Mamak sudah diubun-ubun.
“…2…, itu angka terakhirnya… selamat… malam ini angka bertuah kita adalah 5012… sampai ketemu—“ Siaran di radio menyelesaikan seluruh angka.
“OIIII… ANGKA SAMSURAT TERBALIK!!” Pendi berseru kencang sekali, menepuk-nepuk meja loket. Menggeleng-geleng kepala seperti tidak percaya.
Teriakan Pendi membuat pertengkaran terhenti sebentar. Semua wajah tertoleh.
“Berapa nomor yang keluar?” Mang Dullah, dengan polosnya reflek bertanya.
“5012, Mang… terbalik.. seluruh kampung terbalik.”
Seruan-seruan kecewa keluar dari mulut lelaki dewasa dan remaja tanggung yang duduk merapat sejak keributan terdengar. Mang Dullah juga berseru pelan.
“Kau lihat sendiri, Dullah. Omong-kosong angka-angka itu… omong-kosong angka dari Samsurat. Sudah berapa minggu uang kalian habis percuma. Kalian sudah lebih gila dibandingkan dia.” Mamak mendengus, menunjukkan kertas SDSB-ku, hendak merobeknya. 
Aku reflek loncat. “Jangan, Mak. Jangan dirobek.”
Terlambat, Mamak sudah merobeknya berkali-kali.
“Burlian menang, Mak! Burlian MENANG!!” Aku bergegas menyambar potongan kertas yang berjatuhan. 
Petir menyambar sekali lagi, membuat terang seluruh kampung. Menerangi wajah-wajah yang kecewa. Menerangi wajah-wajah yang marah. Dan menerangi wajahku yang entah seperti apa melukiskannya. 
Aku tahu maksud Samsurat, aku mengerti apa desisannya malam itu. Dia menyuruhku membeli nomor itu secara terbalik. Yang aku belum tahu adalah, apa maksud ekspresi wajah terbelalak dan kenapa dia ketakutan bergegas berlari pulang. 
Suara guntur terdengar bergemeletuk membuat nyilu gigi. Jemariku bergetar menyusun potongan kertas-kertas itu. Lihatlah, di dua lembar itu tertulis rapi: 5012.
Keributan bubar dengan sendirinya saat butir air hujan pertama menyentuh atap seng. Berkelontang, itu hujan besar. Benar saja, dalam hitungan detik, menyusul jutaan larik butir air lainnya. Orang-orang bergegas mencari tempat berlindung. Sebagian besar berlarian pulang. Termasuk Mamak, setelah bersepakat dengan Mang Dullah kalau besok malam akan diadakan rapat kampung membahas soal ini, Mamak bergegas menarik tanganku dan Ayuk Eli pulang. 
Oi, hilang sudah kesempatan menang besar itu. Aku laksana kehilangan seluruh tenaga mengikuti langkah kaki Mamak. Oi, aku membiarkan bilur air hujan membasahi hatiku, membuatnya basah sekuyup baju dan rambutku. Ternyata semua ini berakhir sesuai ekspresi wajah Samsurat saat melihatku.
***
“Het gokken Burlian, judi itu selalu menyakitkan…” Wak Yati menatapku lembut beberapa hari kemudian, “Bahkan jika kau menang sekalipun. Itu tetap menyakitkan. Oh, mijn lieve, kau masih terlalu kecil untuk mengerti kebijakan hidup. Tapi setidaknya semoga kejadian malam itu membuat kau merasakannya secara langsung. Niet proberen.”
Bisik-bisik tentang aku menang tetapi tidak bisa mengambil hadiahnya karena kertasnya dirobek Mamak menjadi bahan pembicaraan berhari-hari di seluruh kampung. Mamak hanya melambaikan tangan saat Amelia mengkonfirmasi apa itu benar. “Lebih baik begitu. Mamak tidak akan pernah mengijinkan uang haram itu ada di rumah kita.”
Aku hanya diam. Menutup mulut.
Esok lusa, rapat kampung tetap tidak kuasa menutup loket SDSB. Perdebatan berakhir sia-sia. Mang Dullah memutuskan vooting. Suara ibu-ibu tetap kalah banyak dibandingkan yang hadir. “Volksregering. Omong-kosong. Tidak ada demokrasi untuk orang-orang bodoh.” Itu komentar Wak Yati marah-marah setelah keputusan diambil. Mang Dullah, serta lelaki dewasa kampung lainnya juga terdiam. Membungkam mulut dengan wajah menunduk. 
Loket itu tetap dibuka. Tetap banyak warga yang duduk-duduk di sana. Setiap Rabu sore rajin berkumpul, asyik mendengarkan siaran langsung dari radio bantal. Samsurat tidak pernah lagi menceracau. Dia kembali ke kebiasaan lama. Hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Percuma juga Pendi menarik-narik tanganku agar bersitatap muka dengan Samsurat. Dia hanya menatapku kosong, seperti tidak mengenali.
Bertahun-tahun berlalu, loket itu baru benar-benar tutup saat demonstrasi besar-besaran di banyak kota terjadi. Penolakan atas program sosial pemerintah itu pecah dimana-mana. Kabarnya, ribuan mahasiswa dan pemuda progresif di Jakarta menutup arus jalan, memblokade kantor pemerintahan. Dan akhirnya, pejabat pemerintahan pusat tidak punya pilihan selain menutup sumbangan berhadiah itu. 
Melihat berita itu di televisi, Wak Yati hanya berkomentar ringan, “Schat, kau tahu kenapa seorang pemimpin yang adil doanya makbul berkali-kali lipat?” 
Aku menggeleng, 
“Karena seorang pemimpin memegang baik-buruk nasib orang-orang yang dipimpinnya. Satu kata ‘Ya’ untuk misalnya program segelas susu gratis bagi anak-anak di seluruh pelosok negeri, maka itu bisa berharga seribu tangga-tangga ke langit. Tetapi sebaliknya, satu kaya ‘Ya’ untuk katakanlah program SDSB itu, maka itu segera memangkas berjuta pal jaraknya dia dari panasnya api neraka jahanam. Panasnya sudah terasa dekat sekali, meski dia belum mati.”
Aku menggaruk rambut. Tidak mengerti. 
Ah, Wak Yati selalu saja berfilosofi.
1). mijn lieve, schat: sayangku, anakku (Belanda); het gokken: berjudi; niet proberen: jangan pernah coba; volksregering: demokrasi, keputusan dari suara terbanyak.

0 komentar:

Posting Komentar