Jumat, 17 November 2017

Tere Liye : Burlian

4. TAHANAN STASIUN KERETA
“Whoooong!!” 
Suara ‘klakson’ kereta terdengar menggelegar dari kejauhan. Aku dan Kak Pukat seperti beruang yang tersadar dari hibernasi tidur panjang, langsung loncat dari bermalas-malasan di kursi bambu depan rumah. Saling sikut berusaha berlari lebih dulu. 
“Whooongg!!”
Kereta itu menderu semakin dekat. Nafasnya seperti biasa tersengal mendaki bukit menuruni lembah, tubuh bajanya berdebu diterpa musim kemarau, cahaya matahari membuat berkilauan gerbong-gerbongnya. Kereta dengan gerbong bertuliskan huruf besar-besar: PERTAMINA. Kami antusias berlari mendekati rel kereta. Lantas mendekam dibalik serumpun belukar. Menunggu kereta itu lewat di depan hidung kami.
Tere Liye Burlian

Tanah bergetar saat delapan atau sembilan iringan gerbong itu lewat. Lokomotifnya berwarna merah tua, gagah sekali melihatnya. Di belakangnya, tanki-tanki minyak besar ukuran 37.000 liter berlalu tidak kalah mempesona. Kalau ditimbang, pasti berat sekali gerbong-gerbong kereta ini, dan kabar baiknya, dalam urusan kami siang ini, semakin berat gerbong kereta yang lewat maka semakin bagus.
Kampung kami memang dilewati jalur kereta. Bukan kereta-kereta penumpang seperti di Jawa, di sini kebanyakan kereta barang untuk mengangkut minyak tanah, solar, bensin; gerbong terbuka yang disesaki karet gulungan; atau barang-barang komoditas alam lainnya. Jadwal kereta penumpang ada, tapi tidak banyak, hanya 1-2 kali per hari, dan kebanyakan penduduk malas menumpang, karena jalur rel kereta tidak melewati seluruh kampung-kampung.
Sejak tadi pagi aku dan Kak Pukat tidak sabar menunggu kereta lewat. Kami sedang mengerjakan sebuah proyek penting: ‘membuat pisau’. Hampir seluruh laki-laki dewasa di kampung punya pisau sendiri, maka sudah saatnya kami juga punya pisau sendiri. Bapak di rumah punya pisau kecil yang indah sekali. Sering digunakan untuk memotong tali pancing, memperbaiki jala, mengukir hiasan kayu dan pekerjaan kecil lainnya. Kami ingin membuat pisau seelok kepunyaan Bapak.
Sejak kemarin sore aku dan Kak Pukat sibuk mencari paku besar yang mungkin tergeletak di sudut-sudut rumah, di pagar-pagar kawat, di gudang, di mana saja. Akhirnya dari bawa tumpukan kayu bakar, menemukan dua paku yang cocok dengan besar pisau yang akan kami buat. Paku-paku itu diletakkan di atas rel kereta, diikat dengan tali rafia agar tidak terjatuh saat batangan rel bergetar oleh lokomotif kereta yang mulai mendekat.
Tentu saja, semakin berat jenis kereta yang lewat, hasilnya akan semakin bagus. Kereta PERTAMINA seperti ini, sembilan gerbong pula, pasti akan membuat paku-paku itu menjadi pipih seketika saat dilindas roda-roda bajanya. 
“Whooonggg!” 
Kereta meraung melewati kami, tersengal terus mendaki bukit, berkelok-kelok ratusan kilometer hingga tiba di tujuannya. Aku dan Kak Pukat sudah antusias lompat keluar dari balik belukar, bergegas tidak sabaran hendak mengambil paku yang telah dilindas kereta, tersenyum lebar membayangkan akan elok sekali bentuk pisau yang kami buat nanti.
Tapi malang tidak dapat ditolak, baru saja mau meraih paku yang sudah pipih tersebut, memeriksa ujung-ujungnya, hendak saling sombong satu sama lain, dua tangan besar tiba-tiba mencengkeram kerah baju kami. Aku mengaduh, Kak Pukat malah jatuh terpeleset. Genggaman itu bukannya mengendor mendengar kami berseru kesakitan, malah semakin kencang. 
“IKUT KAMI KE STASIUN KERETA!” Terdengar suara mendengus galak.
Aku dan Kak Pukat langsung lemas saat tahu yang menangkap kami adalah dua petugas stasiun kereta api. Wajah mereka galak, dan tanpa ba-bi-bu segera menyeret kami ke stasiun. Melewati beberapa rumah, melewati jalan tengah kampung, jadi tontonan. Mukaku dan Kak Pukat memerah, meski tidak diborgol, ini benar-benar memalukan. Apa nanti yang dibilang Mamak kalau ia tahu? Apa nanti yang dikata Bapak?
Dua petugas itu menyuruh kami duduk di pojok ruangan kepala stasiun, membentak kami agar meringkuk tidak bergerak seperti pesakitan. Aku dan Kak Pukat hanya bisa tertunduk. Selain menurut apa lagi yang bisa kami lakukan? Kami sudah tertangkap basah. Tidak ada pembelaan. Dua paku pipih, sebagai bukti kejahatan, tergeletak di atas meja kerja kepala stasiun. Posisi kami hanya menunggu hukuman. 
Lima belas menit berlalu, tidak ada yang menemui kami di ruangan itu. Aku dan Kak Pukat bersitatap sambil nyengir, takut-takut memperhatikan sekitar.
“Kalian putranya Pak Syahdan, bukan?” Akhirnya ada suara yang menegur. Aku mengangkat kepala, Lik Lan (sebenarnya dipanggil Pak Lik Lan, mengacu pada idiom Jawa ‘bapak cilik’, tapi anak-anak kampung terbiasa menyingkatnya menjadi Lik Lan saja) melangkah masuk, kepala stasiun, umurnya sekitar empat puluhan, wajahnya menyenangkan, langsung tertawa saat melihat aku dan Kak Pukat masih duduk meringkuk.
Kami mengangguk. Menghela nafas, sedikit lega. Dibandingkan dua petugas galak tadi, setidaknya kami kenal dengan Lik Lan. Bapak juga teman baik Lik Lan, sering ngobrol di balai kampung saat ada urusan kampung. 
Lik Lan seperti halnya petugas stasiun kereta lainnya adalah pendatang, dari Jawa, tapi mereka generasi ketiga yang tinggal di kampung kami, jadi sudah lebih dari cukup untuk dibilang penduduk asli kampung. Kakek-nenek mereka dulu dibawa Belanda dan Jepang sebagai pekerja kasar yang membuat jalur kereta; Ayah-ibu mereka yang lahir setelah jaman penjajahan bekerja sebagai karyawan PJKA; dan mereka melanjutkan tradisi panjang pengabdian itu. Lik Lan yang lahir dan besar di kampung, bahkan fasih sekali berbahasa Melayu.
“Ayo, ambil kursi, duduk di sini!” Lik Lan melambaikan tangan menyuruh kami.
Aku dan Kak Pukat menurut, beringsut duduk. 
“Bukankah sudah berkali-kali guru di sekolah kalian memperingatkan kalau meletakkan paku, kepingan tutup botol, atau apa saja di rel bisa membahayakan kereta yang lewat. Bisa membuat gerbong kereta anjlok, terguling. Bukankah kalian sudah tahu itu?”
Kami diam tertunduk. Tentu saja kami tahu. Maksudnya tahu kalau itu dilarang. Tapi soal membahayakan kereta, aku tidak pernah percaya kalimat itu. Bagaimana mungkin? Gerbong kereta yang besar sekali bisa tergelincir hanya gara-gara paku kecil yang diletakkan di atas rel? Kalau yang diletakkan drum atau pipa besi besar baru lain soal. Setahuku, anak-anak kampung juga sering melakukan apa yang kami kerjakan tadi. Mungkin bedanya, mereka tidak sesial seperti kami, tertangkap basah.
“Pisau yang bagus. Ini paku baja asli.” Lik Lan mengambil dua paku pipih itu. Mengamat-amatinya, “Tapi masih butuh dua-tiga kali lagi dilindas kereta seberat tanki-tanki minyak PERTAMINA untuk membuatnya sempurna. Kalau hanya dilindas kereta karet atau kereta penumpang, tidak akan sempurna bentuknya.”
Aku bergumam dalam hati, bagaimana mau tiga kali, baru sekali saja sudah tertangkap tangan. Kak Pukat di sebelahku menggaruk rambut, berpikiran sama.
“Baiklah.” Lik Lan berdiri, setelah sekian lama hanya memainkan dua paku itu, “Saya akan biarkan kalian pergi kalau Pak Syahdan sudah datang menjemput kemari. Katanya, Bapak kalian masih di kebun, jadi kalian harus menunggu…. Kalian boleh duduk-duduk di kursi, tiduran di lantai, membaca buku-buku di lemari, melakukan apa saja, tetapi maafkan saya, sebelum Bapak kalian menjemput, kalian tidak boleh keluar dari ruangan ini. Mengerti?”
Aku dan Kak Pukat mengangguk. 
“Dua paku pipih ini, dengan berat hati, terpaksa saya sita.” Lik Lan sambil bersenandung, memasukkan paku-paku itu ke dalam saku celananya, melangkah keluar ruangan, mengunci pintu dari luar. 
Aku dan Kak Pukat menghela nafas lega. Ternyata hanya disita paku-pakunya, kami pikir tadi bakal diserahkan ke kantor polisi atau dikurung di penjara. Aku menyeka keringat di dahi. Kak Pukat menghela nafas lebih panjang. Bersitatap satu sama lain. Tertawa. Kak Pukat menghempaskan tubuh di kursi, meluruskan kaki. Aku mengamati ruangan kepala stasiun itu. Belum pernah kami masuk ruangan ini, setidaknya dengan ditangkap dua petugas Lik Lan, kami jadi tahu bentuk ruang kerja kepala stasiun kereta.
Senja hari tiba, harusnya Bapak sudah kembali dari kebun, dan itu berarti Bapak sudah bisa menjemput kami di stasiun kereta sejak tadi. Tapi hanya lengang yang tersisa. 
Malam hari datang, stasiun kereta mulai gelap, petugasnya sudah pulang ke rumah, dan mereka mana mau walau sekadar menghidupkan lampu canting buat menerangi kami. Aku dan Kak Pukat saling pandang, mengeluh, harusnya Bapak sudah datang menjemput, kenapa belum datang juga? Mulai tidak nyaman berada di ruangan Lik Lan, apalagi nyamuk sejak sore tadi berdenging menyerbu kami. 
Pukul delapan malam, yang datang malah Ayuk Eli dan Amelia yang masih memakai kerudung dan menjepit Al Qur’an di lengan. Ayuk Eli dan Amelia sepertinya baru pulang dari mengaji di rumah Nek Kiba. Mereka mengintip dari jendela pintu ruangan stasiun yang terkunci kokoh, mengetuk-ngetuknya. Aku dan Kak Pukat terlonjak dari kesibukan memukul-mukul mengusir nyamuk, bergegas mendekati pintu, berharap itu Bapak.
“Mana Bapak?” Aku bertanya kecewa.
“Bapak bilang, kalian urus sendiri masalah kalian!”
Astaga. Hanya itu saja pesan dari Ayuk Eli, lantas dia bersama Amelia pergi, meninggalkan kami yang belum makan, belum mandi, gelap, tersiksa pula oleh puluhan nyamuk. Aku menelan ludah. Kalau begini urusannya, Bapak pasti marah besar saat tahu kami tertangkap basah memasang paku di rel kereta. 
Dan malam berlalu seperti merangkak. 
Untuk dua pesakitan seperti kami, yang awalnya penuh harap akan dijemput, lantas putus asa menerima kabar buruk tidak dipedulikan, hanya soal waktu untuk kemudian malah jadi jengkel dan marah-marah. Maka jadilah sebelum akhirnya jatuh tertidur aku dan Kak Pukat bertengkar. Saling menyalahkan. “Ini ide kamu meletakkan paku di rel kereta itu.” “Kalau ini ideku, kenapa kamu maunya ikut-ikutan?” Saling mendengus. “Dasar bodoh, harusnya kau tidak pasang pakunya di sana!” “Baiklah jenius, lantas ditaruh di mana? Jauh di tengah hutan sana?”
Bintang-gemintang yang selalu terlihat jelas di langit kampung kami terlihat indah menghiasai malam. Salah-satu bintang yang paling terang, seperti tertawa mengintip dari bingkai jendela ruangan kepala stasiun. Aku dan Kak Pukat setelah diam-diaman, bersikukuh tidak mau menegur satu sama lain, akhirnya jatuh tertidur, pasrah dengan nyamuk yang berpesta pora menggigit dari atas bawah kiri kanan depan belakang. 
Hukuman itu baru berakhir esok hari. 
Lepas shubuh, Mamak yang akhirnya datang menjemput kami, dan Lik Lan sambil tertawa membuka kunci pintu ruangannya, mengijinkan kami pulang. Wajah Mamak gembung sepanjang perjalanan, melihat kami dengan tatapan sebal. Aku dan Kak Pukat hanya bisa tertunduk.
Urusan meletakkan sebatang paku di rel kereta itu ternyata celaka sekali. Nasib.

0 komentar:

Posting Komentar