Selasa, 21 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 10. MENUNGGU DURIAN JATUH – 1
-------------------------------------------------------
Musim kemarau akhirnya berlalu. 
Ini benar-benar jadi musim kemarau paling panjang, paling terik dan paling menyesakkan. Tetapi syukurlah, saat semua terasa berat untuk dilalui, waktu selalu menjadi obat paling mujarab. Apa yang Wak Yati dulu pernah bilang? “Kau tahu Burlian, dialah yang mengalahkan raja-raja hebat dunia. Menggerus gunung menjadi rata. Membuat daratan jadi lautan. Dialah sang waktu.” 
Aku menatap Wak Yati tidak mengerti satu potong pun kalimatnya. 
Tere Liye Burlian

Wak Yati berbaik hati menjelaskan: “Schat, tidak peduli seberapa berkuasa seorang raja, seberapa luas kerajaannya, ‘waktu’ tetap akan membunuhnya. Tentu saja tidak dalam artian harfiah dibunuh langsung. Lihatlah, Majapahit, Sriwijaya, Persia, Romawi, kau pasti pernah belajar soal kerajaan itu di sekolahan… 
“Juga jutaan tahun umur dunia berlalu, banyak gunung-gunung tinggi yang berubah jadi rata, entah karena itu meletus atau sebab alamiah lain. Jutaan tahun terlewati, juga banyak daratan yang perlahan berubah jadi lautan, dan sebaliknya lautan berubah kembali menjadi daratan. Sang waktulah yang menjadi saksi semua proses itu. Sang waktu yang tidak pernah tua, berhenti atau berubah. Nooit verloren… tidak pernah kalah dari apapun.”
Aku tetap tercenung, tidak mengerti. Wak Yati—kakak tertua Bapak—pernah mengecap bangku sekolah Belanda meski tidak lulus. Terbilang sesepuh kampung yang paling bijak. Semua orang tahu, Wak Yati kalau bicara canggih sekali, ia sering memakai potongan kata Belanda dalam kalimatnya.
“Nah, sang waktu juga yang akan membuat kau mengerti, Burlian. Suatu saat kelak. Sepanjang kau senantiasa memberikannya kesempatan untuk menjalankan perannya. Ah, Bapak, Mamak kau benar. Kau memang berbeda dibanding anak-anak kampung lain. Je bent speciaal. Kau selalu saja banyak-tanya.” Wak Yati tertawa renyah menatap raut wajahku, mengusap lembut rambutku.
Aku hanya bisa mengangguk pura-pura paham.
Setidaknya sekarang aku sedikit mengerti betapa bijaknya kalimat Wak Yati dulu. Kejadian itu sudah tertinggal beberapa bulan di belakang. Kehidupan kampung sudah kembali normal. Sekolah sudah membagi raport untuk kesekian kalinya. Semua anak naik kelas, meski kami tahu, saat tahun ajaran baru, bangku paling belakang tetap tidak akan pernah terisi kembali. Tidak akan pernah ada lagi gigi tonggosnya, rambut ikalnya serta suara kecilnya yang mendecit membaca buku Bahasa Indonesia. Kawan kami itu sudah pergi.
Musim penghujan kali ini berlangsung lebat. Hujan bagai tidak ada habis-habisnya. Seperti ada tangki raksasa di relung awan-awan cokelat. Pagi hujan, siang hujan, sore hujan, malam juga hujan. Tidak bosan-bosan turun. Seluruh kampung basah. Dedaunan, jalanan, lapangan, gerbong kereta, rombongan sapi, ujung-ujung genteng rumah. 
Setiap kami berangkat sekolah atau mengaji, Mamak selalu berteriak, “PAYUNG! Burlian, Pukat! Payungnya dibawa!” Aku dan Kak Pukat bersitatap, mengangguk satu sama lain, pura-pura tidak mendengarkan, agar punya alasan pergi hujan-hujanan. Berlarian melintas di bawah jutaan butir air jatuh. 
Di kampung kami, musim hujan juga berarti musim buah-buahan. 
Buah cempedak menebar aroma tidak tertahankan, pohon manggis mempesona dengan juntai buahnya, asyik benar menatapnya dari bawah. Buah duku terlihat montok di pohonnya; buah salak merekah dari dasar hutan; juga rambai, langsat, rambutan, bahkan jengkol dan petai tidak ketinggalan. 
Bicara tentang petai dan jengkol, aku pernah bertengkar dengan Kak Pukat, berdebat apakah petai dan jengkol termasuk buah-buahan atau tidak. Waktu itu kami sedang membantu Mamak memetik buah jengkol, melihat kami lebih asyik ‘berceloteh’, Mamak melerai sambil melotot, “Kalian seperti meributkan apakah ayam dan bebek termasuk burung atau bukan. Besok kalau kalian sudah sekolah tinggi semua, kalian bisa meributkan kenapa telur buaya tidak berjenis kelamin. Sana bergegas panjat pohon jengkolnya. Kita tidak akan pulang sebelum semua jengkol dipanen.”
Dan tentu saja jika bicara musim buah, tidak lengkap jika tidak menyebut pemilik mahkota buah-buahan, raja dari segala buah, apalagi kalau bukan: durian. Kalau yang satu ini tidak ada perdebatan lagi. Durian adalah buah paling eksotis.
Bakwo Dar punya kebun durian. Letaknya jauh di dalam rimba, berkali-kali lebih jauh dibandingkan kebun kopi atau karet penduduk. Tidak mudah mencapai kebun durian itu, harus melalui jalan setapak yang jauh menembus hutan, naik-turun bukit dan menyeberangi sungai-sungai kecil. Apalagi air hujan membuat tanah licin diinjak, licak dijejak dan lintah si penghisap darah melatah di mana-mana. 
“Kau mau ikut ke kebun durian, Burlian?” Bakwo Dar beberapa hari lalu bertanya. Aku dengan cepat mengangguk. Itu selalu seru. Mana mungkin tawaran sepenting itu ditolak. Bakwo tertawa melihat wajahku yang boleh jadi bercahaya karena antusiasnya.
Maka tibalah hari yang dijanjikan, hari Ahad, sekolah libur. Sejak subuh buta aku sudah bersiap-siap. Keranjang dari anyaman rotan, pisau yang ukurannya pas dengan genggaman tanganku, tembakau—nanti dilumerkan dengan air, lantas dibalurkan ke kaki, agar lintah tidak berani hinggap, dan bungkus makanan bekal nanti siang. 
Bakwo Dar muncul setelah rasanya aku lama sekali menunggu, dia berdiri gagah di depan pintu. Siluet tubuhnya terkena cahaya matahari pagi. Kabut masih menggantung, menjadi latar yang sempurna tubuh tinggi besar itu. Bakwo Dar memang penakluk hutan sejati, tubuhnya kekar tidak berbilang. Berbeda dengan Bapak yang lebih banyak mengurus toko kami, dan lebih banyak mengupah tetangga untuk mengurus kebun, Bakwo jauh lebih atletis. Pisau besar menjuntai di pinggang, sepatu bot, topi anyaman rotan dan baju butut. Sengaja pakai baju yang jelek, jadi kalau kotor terkena lumpur, getah atau apalah tidak merasa sayang.
Maka tanpa basa-basi dimulailah perjalanan menembus hutan kampung. 
“Bakwo tidak bawa bekal makan siang?” Aku memecah suara jangkrik yang menghiasi langit-langit hutan.
“Sudah ada di dangau.”
“Oh.” Aku mengangguk. 
“Nanti kira-kira bakal hujan tidak, ya?” Aku berusaha mengimbangi langkah cepat Bakwo. Jalanan lebih licin dari biasanya setelah semalaman hujan. Celaka kalau hujan turun lagi, selain jalan setapak semakin sulit dilewati, juga bisa basah kuyup kehujanan.
Bakwo Dar berhenti sebentar, mendongak ke atas, melihat langit dari sela-sela dedaunan, “Insya Allah cerah.” Berkata mantap.
“Dari mana Bakwo tahu akan cerah?”
“Oi, bukankah semalam sudah habis airnya di langit. Lihat saja, tidak ada lagi yang tersisa di atas sana.” Bakwo melambaikan tangannya, tertawa. 
Aku nyengir. Meski terkesan bergurau, aku sepenuhnya percaya atas perhitungan Bakwo Dar. Orang-orang tua kampung kami punya perhitungan sendiri dengan kebiasaan alam. Dengan pengalaman berpuluh-puluh tahun, biasanya itu jarang meleset. Bapak pernah bilang, kalau Bakwo bisa menebak ibu hamil akan melahirkan bayi perempuan atau laki-laki hanya dengan melihat air muka si ibu hamil beberapa minggu sebelum kelahiran. “Sejak Eli, Pukat, kau dan Amelia, Bakwo kau itu selalu benar menebak Mamak kau akan melahirkan anak perempuan atau laki-laki.” 
Jadi hujan tidak akan turun siang ini. Aku melangkah lebih ringan.
Kebun durian milik Bakwo Dar sebenarnya lebih tepat disebut ‘hutan durian’. Ada sekitar dua puluh batang durian di sana, tumbuh menyatu dengan hutan. Setiap kali musim durian tiba, Bakwo baru akan membersihkan ‘kebun’ itu dari semak belukar, menebang pohon-pohon kecil yang tumbuh liar. Mendirikan dangau tempat bermalam, menyiapkan tungku untuk memasak selama menunggui durian jatuh. Selepas masa panen yang biasanya hanya 1-2 bulan, kebun itu kembali ditinggalkan begitu saja. Semak belukar akan tumbuh lagi, pohon-pohon bertunas dari balik tunggul, kembali menjadi hutan.
Setelah dua jam perjalanan tanpa-henti naik-turun bukit, kami akhirnya tiba di tujuan. Aku menyeka keringat. Tersengal. Tadi tidak terhitung jatuh terpeleset, sampai memutuskan untuk melepas sandal jepit yang licin terkena kubangan tanah. Aku meletakkan keranjang rotan di bawah dangau. Mengeluarkan bungkusan bekal makan siang yang disiapkan Mamak. Sementara Bakwo Dar santai menghidupkan api unggun, berusaha mengusir nyamuk yang berdenging buas dengan kepulan asap. Sekarang pukul delapan pagi. Kabut mulai menipis, cahaya matahari yang menerpa dangau terasa hangat menyenangkan.
Di kampung kami, durian tidak pernah di panen dengan memetik buahnya. Itu tidak baik. Cara panen durian yang paling sempurna adalah dengan menunggu buahnya jatuh sendiri dari pohon. Tidak praktis memang, tapi di sanalah seninya. Seharian menunggu, kalau sedang sial, boleh jadi tidak ada satu pun durian yang jatuh; sebaliknya kalau sedang beruntung, keranjang rotan yang disiapkan tidak mencukupi, perlu bolak-balik membawanya pulang.
Asap dari daun basah yang dibakar mengepul tinggi, aku sedikit terbatuk, menghindar. Kalau asapnya setebal ini, jangankan nyamuk, manusia pun enggan berada dekat-dekat dangau. Aku menyeringai menatap Bakwo Dar yang tetap duduk santai membelah papan kayu. Tidak terganggu oleh kepungan asap. 
Dia ternyata menyiapkan papan nama, beranjak mengambil arang hitam, lantas menulisi potongan kayu itu dengan huruf besar-besar: “Welcome”. Aku tertawa melihatnya, Bakwo sepertinya terlalu sering menonton film barat di televisi. “Kau pasang di gerbang masuk kebun. Bakwo mau ambil bubu ikan.” Aku mengangguk, menurut. Meraih paku dan martil yang ada di dekat tiang, sisa peralatan waktu mendirikan dangau ini. 
Selalu ada banyak kesenangan yang bisa dilakukan di kebun durian. Aku melewati bekas semak-belukar yang dipangkas beberapa minggu lalu, menatap pohon-pohon besar yang berbaris mengitari kebun, melangkah ke ‘gerbang’ kebun. Mencari tunggul kayu tinggi yang masih berdiri kokoh, lantas memasang papan selamat datang itu. Menyeringai sebentar menatapnya. Kemudian kembali ke dangau dengan memutar melewati jalan setapak yang berbeda, mulai memeriksa setiap jengkal semak, siapa tahu ada durian yang jatuh semalam. Berkeliling perlahan di kebun yang luasnya paling sekitar seperempat hektar. Menyibak belukar. 
Hingga ke sungai kecil yang menjadi batas kebun, sepertinya tidak ada durian yang jatuh, aku menghela nafas sedikit kecewa, beranjak berbalik arah ke dangau. Tiba di sana saat Bakwo Dar tengah menumpahkan bubu bambu, dua ekor ikan seukuran telapak tangan bergelinjang. Aku berseru senang.
Sungai yang membatasi bagian bawah kebun itu tipikal sungai hutan. Sungainya kecil saja, lebarnya paling dua meter dan dalamnya rata-rata satu meter. Air sungainya mengalir jernih di balik tumpukan daun jatuh. Bubu rotan itu diletakkan beberapa hari lalu, dan selalu saja ada ikan yang terperangkap.
“Menu makan siang kita.” Bakwo tertawa lebar. 
Tidak ada alat masak di dangau. Bersama Bubu itu, Bakwo Dar juga membawa dua ruas batang bambu yang ditebang langsung dari rumpunnya di dekat sungai. Untuk petani semahir dia, yang bertahun-tahun hidup bersisian dengan alam, semua bisa digunakan untuk memasak. 
Aku memperhatikan Bakwo Dar yang terampil memasukkan beras ke dalam ruas bambu, mengisinya dengan air sesuai ukuran, meletakkan potongan ruas bambu itu berdiri di atas perapian. Urusan Menanak nasi selesai. Sekarang tinggal menyiapkan menu utamanya. 
“Anak lelaki kampung harus bisa memasak. Tidak sekarang, maka suatu saat keterampilan ini pasti berguna, Burlian.” Bakwo tangkas mengiris biji-bijian dan daun liar yang dipetik di sekitar kebun. Memotong ikan itu menjadi dua, membersihkan perutnya, lantas bersama bumbu sebelumnya, potongan ikan dimasukkan ke dalam ruas batang bambu berikutnya, diberi air seadanya, diletakkan berdiri di perapian. 
“Dan kau tahu satu rahasia kecil, Burlian? Wanita cantik selalu suka dengan lelaki yang pintar memasak.” Bakwo Dar terkekeh sambil meniup perapian agar nyala apinya membesar. Aku mengangguk mengiyakan, meski tidak mengerti benar apa hubungannya memasak dengan wanita cantik.
“Kau tahu masakan paling enak itu seperti apa, Burlian?”
Aku menggeleng. 
“Masakan paling enak adalah masakan yang saat kau mengunyahnya, kau mengeluarkan air-mata… kau menangis terharu saat memakannya.” Bakwo memperbaiki posisi ruas bambu.
“Aku belum pernah makan sampai menangis.” Menggaruk rambut, “Seringnya aku justru dipaksa Mamak makan sampai menangis.”
Bakwo Dar terkekeh lagi. “Itu berarti kau belum pernah merasakan masakan spesial itu.”
“Bakwo pernah merasakannya?” Aku jahil balik bertanya.
Kekehan Bakwo Dar terhenti. Menghela nafas pelan. Menatapku lamat-lamat, “Ya, Bakwo pernah merasakannya. Puluhan tahun silam, saat aku dan Bapak kau masih seumuran kalian. Jaman Soekarno, masa-masa revolusi. Hidup waktu itu benar-benar susah.” 
Aku menyeringai semangat ingin tahu. Terus? Terus?
“Lupakan saja.” Bakwo Dar menggelengkan kepala, enggan bercerita, “Itu hanya cerita tentang semangkok nasi putih biasa. Tidak ada lezat-lezatnya. Hanya karena waktu itu semua serba sulit, urusan makan nasi putih saja bisa membuat terharu. Seperti sedang menghabiskan hidangan makan malam Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya Belanda saja.”
Aroma ikan pindang yang menguar dari ruas batang bambu menghentikan percakapan. Aku urung bertanya lebih detail, perutku mendadak keroncongan. Bakwo kembali memperbaiki posisi ruas batang bambu di perapian, mencegahnya terbakar hingga ke dalam.
Matahari di atas sana beranjak tinggi, terik membakar kanopi hutan. Walau cahayanya tidak mampu menembus dasar hutan, itu lebih dari cukup untuk membuat tangkai durian mulai layu. Semalam setelah diguyur hujan lebat, kemudian sekarang terkena cahaya matahari, maka akan lebih cepat lagi tangkai buahnya terlepas. Hanya menunggu waktu saja, saat matahari terik-teriknya di atas kepala, buah-buah itu akan berjatuhan.
“Kau mau makan sekarang, Burlian?” Bakwo Dar bertanya sambil hati-hati membelah ruas batang bambu yang terbakar menghitam —bagian dalamnya tetap segar.
Aku tertawa, bunyi perutku sudah cukup menjadi jawaban. 
Bakwo hati-hati menumpahkan ‘nasi lemang’ itu di atas daun lebar. Membelah ruas batang bambu berikutnya, menuangkan pindang ikan di atas mangkok batok kelapa. Uapnya mengepul tipis. Potongan merah, kuning bumbunya bercampur warna daging ikan segar.
Bukan main, liurku merekah di sudut-sudut bibir.
“Silahkan dinikmati, Meneer.”
Aku tertawa, segera merengkuh hidangan lezat itu.
Suara jangkrik memenuhi langit-langit kebun. Terdengar berirama.
“Esok lusa, boleh jadi kau akan melihat dunia yang hebat di luar sana, Burlian… Oi, Bakwo yakin suatu saat kau pasti memiliki kesempatan untuk melihat dunia, mengunjungi tempat-tempat yang terkenal, bertemu dengan banyak orang, mencicipi makanan lezat di mana-mana. Tapi…” Bakwo Dar terdiam sejenak, dia tersenyum menatapku.
Aku yang sibuk makan mengangkat kepala, ber-hah kepedasan, pindang ikan ini entah menggunakan bumbu apa, beda sekali dengan pindang buatan Mamak, rasanya tajam di mulut, membuat keringat mengucur deras. Sialnya, meski rasanya pedas tidak terkira, mulut tetap tidak mau berhenti mengunyah sebelum habis dagingnya menyisakan tulang.
“Esok lusa, ketika kesempatan membawa kau pergi jauh dari kampung ini, Burlian… menjadi orang yang hebat di luar sana, maka jangan pernah melupakan asal kau.... Setidaknya ingatlah, kau pernah menikmati nasi lemang dan pindang ikan buatan Bakwo. Lezat sekali, bukan? Lihat, kau sampai menangis memakannya. Ini hari bersejarah, Burlian. Kita harus merayakannya. Akhirnya kau merasakan makanan paling enak sedunia.”
Aku ikut tertawa. 
Itu benar, mataku berair saking pedasnya pindang buatan Bakwo Dar.
1). schat: sayangku, anakku (Belanda); je bent speciaal: kau spesial; nooit verloren: tidak pernah kalah
2). dangau: pondok kayu di kebun 
2). bubu ikan: terbuat dari anyaman bilah bambu, ukuran dan bentuknya sebesar bantal guling. Depannya ditutup batok kelapa, ekornya terdapat lubang pintu yang mengecil seperti kerucut ke arah dalam tabung. Bubu diletakkan di sungai dengan pintu jebakan menghadap ke hilir. Ikan-ikan yang berenang ke hulu, tidak sengaja masuk ke dalam tabung bambu itu. Sekali terjebak, maka ikan-ikan itu tidak bisa keluar lagi, karena bentuk lubangnya yang mengerucut ke dalam.

0 komentar:

Posting Komentar