Minggu, 26 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 15. JANGAN PERNAH BERHENTI PERCAYA – 1
----------------------------------------------------------------------
Tahun ajaran baru tiba. 
Di SD kami, kelas lima selalu krusial. Karena kelas lima akan menentukan seperti apa masa depan kami. Fakta ini tidak berlebihan. Sepuluh tahun terakhir, ketika menginjak kelas lima-lah kebanyakan murid SD kampung kami berguguran berhenti sekolah. Tanyakan saja ke Pak Bin, dia sudah mengajar hampir 25 tahun, tahu persis betapa pentingnya kelas lima itu.
Lazimnya, fisik anak-anak seusia kelas lima sudah cukup besar untuk bekerja di kebun, menyadap karet, menyiangi ilalang, mencari ikan di sungai, dan sebagainya. Bagi kebanyakan orang-tua kampung, sekolah bukan prioritas utama. Mereka sudah cukup senang saat anak-anaknya bisa membaca-menulis. Itu lebih dari cukup. Jadi ketika anak yang bersangkutan sudah bisa bekerja mandiri, berani ke hutan sendirian, buat apa lagi sekolah? Logika yang sederhana dan tidak bisa disalahkan sepenuhnya.
Tere Liye Burlian

Belum lagi, separuh warga kampung hidup miskin. Orang-tua amat mengandalkan anak-anaknya bekerja membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi mereka realistis saja, sekolah cukup seperlunya. Dan kelas lima, menjadi angka psikologis. Buat apa terus sekolah? Setahun berlalu naik kelas enam, setahun berlalu lagi lulus SD, tetapi pada akhirnya tidak akan melanjutkan ke SMP? Boleh jadi karena ijasah sekolahan formal dianggap tidak penting saat itu, lebih banyak lagi karena memang tidak ada biaya sekolahnya. Untuk melanjutkan ke SMP, mereka harus mengirim anak-anaknya ke kota kabupaten, semua itu membutuhkan ongkos tidak sedikit.
Buat anak yang bisa bertahan di kelas lima, maka lazimnya dia lulus SD dan melanjutkan ke SMP kota kabupaten. Kalaupun tidak, orang-tua mereka tetap akan memaksakan anaknya setidaknya untuk lulus SD, punya ijasah satu-satunya dalam hidup mereka. Oleh karena itulah, kelas lima menentukan sekali akan seperti apa masa depan kami. Pertanda jelas apakah kami akan bertahan dua tahun lagi hingga lulus, atau seperti yang lain, menutup buku pelajaran, lantas mengambil pisau, arit atau alat penyadap karet.
Hari pertama tahun ajaran baru, wajah Pak Bin sudah bersungut-sungut. Dari dua puluh murid kelas lima yang ada dalam daftar absensi, delapan tidak menunjukkan batang hidungnya. Tentu saja mereka tidak masuk bukan karena belum pulang dari berlibur, plesir bersama keluarga atau sejenisnya. Tidak ada anak kampung sini yang menikmati kemewahan seperti itu. 
“Can sakit, Pak.” Aku berseru, bergegas mengeluarkan surat Bakwo Dar dari dalam tas, menyerahkannya ke Pak Bin.
Pak Bin tanpa membuka surat itu, memberi tanda ‘sakit’ di buku absensi. Wajahnya masih suram, dengan demikian berkurang satu kecemasannya. Namun angka tujuh tetaplah banyak. Terpaksa atau dipaksa oleh keadaan menjadi alasan terbesar anak didiknya putus sekolah tahun-tahun terakhir.
“Munjib… ada yang tahu Munjib kenapa tidak masuk hari ini?” Pak Bin melepas kaca-mata kusam miliknya, menatap ke seluruh kelas.
Kami saling toleh satu sama lain, mengangkat bahu. Tidak tahu.
“Tadi pagi ada di depan rumahnya, Pak. Tapi sepertinya dia tidak hendak berangkat sekolah. Mana ada orang ke sekolah sambil membawa penyadap karet dan keranjang rotan.” Salah seorang kawan memberikan informasi.
“Kau sempat menegurnya?”
“Iya, Pak. Tapi dia hanya menunduk tidak menjawab.”
Pak Bin terdiam sebentar, memainkan kaca-mata. Meraih buku besarnya, entah menulis apa, menghela nafas panjang sebelum akhirnya berseru soal pelajaran hari ini.
Harusnya Pak Bin membiasakan diri atas situasi ini, menerimanya sebagai realitas bagian dari pekerjaannya. “Pak Bin itu guru yang baik, Burlian.” Begitu kata Mamak suatu hari, “Dua puluh lima tahun dia mengajar…. Itu periode yang panjang bagi guru manapun. Semua anak-anak di kampung kita pasti pernah diajar Pak Bin. Dan dia tidak pernah berhenti bermimpi kalian menjadi seseorang suatu hari nanti. Tidak hanya menjadi petani, tukang sadap karet, mencari ikan di sungai atau hanya mencari rotan di hutan.” 
Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Mamak. 
“Asal kau tahu saja, Pak Bin selalu rajin bertanya ke Mamak dan juga Ibu-Ibu lain soal apakah kalian belajar lagi di rumah, apakah kalian mengerjakan PR atau tidak, apakah kalian hanya bermain-main saja. Dan sebaliknya Pak Bin tidak pernah lalai memberitahu kemajuan kalian di kelas. Termasuk memberitahu kalau kalian suka bolos…. Sudah seharusnya kalian berterimakasih banyak kepadanya. Minimal dengan tidak nakal dan membantah.” 
Aku hanya nyengir mendengar kalimat Mamak. 
Kami memang tidak pernah tahu betapa besarnya mimpi Pak Bin. Yang lebih kami ketahui dia sering menghukum berdiri di depan kelas. Kami juga tidak tahu kalau setiap tahun Pak Bin tidak kenal menyerah membujuk orang-tua yang anak-anaknya putus sekolah agar bertahan. “Ayolah, satu tahun lagi tidak akan terasa, dan tiba-tiba sudah kelas enam… tiba-tiba sudah lulus SD.” Pak Bin mendatangi satu per-satu rumah anak yang putus sekolah. Membujuk orang-tuanya, membujuk anaknya. Terlepas dari keterbatasan banyak hal, Pak Bin selalu mencari cara agar anak-anak didiknya terus datang ke kelasnya dengan semangat.
SD kampung kami memang tidak memiliki banyak kelebihan. 
Bangunan seadanya. Peralatan mengajar yang usang dan rusak. Peta kusam yang itu-itu saja. Penggaris panjang yang patah. Papan tulis penuh baret. Buku-buku terbatas. Dan jangan tanya soal guru. Guru-gurunya kurang sekali, hanya tiga orang, itu pun termasuk kepala sekolah. Bayangkan bagaimana repotnya Pak Bin saat dia harus mengurus tiga kelas sekaligus—saat guru yang lain kebetulan ada keperluan. Mondar-mandir dari satu kelas ke kelas lain, berusaha mendiamkan murid yang senang-senang saja guru tidak datang.
Dua puluh lima tahun Pak Bin terus mengajar, dua puluh lima tahun dia bertahan. Yang mengagumkan, Pak Bin sama sekali bukan guru PNS. Pak Bin hanya guru honorer. 
Di sekolah kami guru honorer tidak dibayar sepeser pun oleh pemerintah. Guru honorer dibayar dari sumbangan murid, yang kebanyakan juga menunggak, atau membayarnya dengan mengirimi Pak Bin beras, pisang dan hasil kebun lainnya. Kalau hanya menggantungkan hidup dari honor mengajar, Pak Bin tidak akan kuasa menafkahi tiga anaknya. Dia seperti penduduk kampung lain, berkebun selepas jam mengajar. 
Tahun ajaran baru ini agak lumayan, sekolah kami kedatangan guru honorer baru dari kota. Ibu gurunya masih muda, paling juga baru dua puluhan. Dulu-dulunya memang sering ada guru honorer baru, tetapi tidak setahan banting Pak Bin. Biasanya hanya bertahan setengah tahun, berhenti, karena tidak kuat menghadapi nakalnya anak-anak dengan honor yang kadang telat dibayar. Setidaknya meski sebentar, kedatangan guru honorer bisa membantu beban Pak Bin mengurus tiga kelas sekaligus.
“Burlian, sebentar.” Pak Bin menegurku yang bergegas hendak pulang. Bel sekolah sudah berdentang, Mamak tadi pagi menyuruhku segera pulang, biar bisa membantunya mengelupas buah jengkol.
“Eh, ya Pak?” 
“Kau nanti pukul lima sore bisa ke rumah Bapak?”
Aku mengangguk—meski tidak tahu buat apa.
“Kau jangan sampai terlambat.” 
Aku mengangguk lagi, kemudian berlarian pulang.
***
Langit petang terlihat menyenangkan. Merah sepanjang mata memandang. Gumpalan awan putih terlihat memerah, pucuk-pucuk hutan kampung terlihat memerah, juga atap seng rumah-rumah panggung. Angin lembah bertiup lembut, memainkan ujung rambut. Dari arah lapangan stasiun kereta terdengar teriakan seru, anak-anak sedang ramai bermain bola. Selepas membantu Mamak, aku awalnya ingin ikut bermain bola. Tetapi teringat janji tadi siang, berlarian ke rumah Pak Bin.
“Katanya kalau murid di SD kurang dari sepuluh, sekolah akan ditutup, Pak?” 
“Kata siapa?” Pak Bin tertawa. “Kau jangan mendramatisir cerita, Burlian.”
“Katanya di kampung lain begitu, Pak. Kurang dari sepuluh, sekolahnya ditutup.” Aku berusaha mensejajari langkah Pak Bin yang panjang-panjang.
“Itu berlebihan… Bagi siapa saja yang mengaku mencintai mengajar, jangankan sepuluh atau sembilan, tinggal satu murid pun sekolahan tetap terus.”
Aku mengangguk, benar juga.
Kami tiba di rumah Munjib persis saat yang dicari-cari juga tiba dari kebun karet bersama bapaknya. Wajah Munjib kotor berdebu, meletakkan keranjang rotan yang berisi getah karet. Bau karet menusuk hidung. Pak Bin tersenyum menyapa. Bapak Munjib hanya batuk kecil, menyuruh naik ke rumah panggung. Sementara Munjib yang melihat Pak Bin beringsut salah-tingkah ikut menaiki tangga.
“Bagaimana kebun karetnya, Pak Jaen? Masih banyak getahnya?” Pak Bin memulai percakapan, senyum arif tidak lepas dari wajahnya.
“Lumayanlah dibanding musim penghujan lalu. Tapi kebun karet itu memang sudah terlalu tua. Disadap hingga satu keliling pohonnya pun semangkok batok kelapa tetap tidak penuh. Padahal sudah tiga hari ditampung getahnya.”
“Oi, kalau dipaksa begitu, nanti rusak pohonnya?”
“Mau bagaimana lagi. Kalau tidak disadap sekeliling pohonnya, seminggu tak dapat sepuluh kilo getah karet. Kau tahu sendirilah, dengan harga karet sekarang turun, itu tidak cukup untuk membeli beras.”
Pak Bin ikut menghela nafas bersimpati. Aku yang duduk di sebelah Pak Bin diam saja, memperhatikan percakapan. Munjib datang dari arah pintu dapur, membawa gelas air minum. Ibu Munjib sudah lama meninggal. Mereka tujuh bersaudara, semuanya laki-laki. Munjib anak paling kecil. Ke enam kakak Munjib rata-rata tidak tinggal di kampung kami. Menikah, pindah ke kampung-kampung lain. Di rumah panggung mereka, masih ada dua kakak Munjib seumuran pemuda tanggung yang ikut tinggal. 
“Kau tidak sekolah hari ini, Munjib?” Pak Bin memulai bagian terpenting percakapan. Menatap Munjib yang berdiri hendak membawa masuk nampan gelas.
“Buat apalah sekolah, Bin.” Bapak Munjib yang menjawab, dengan intonasi sedikit ketus.
Pak Bin tersenyum, diam sebentar, dia berpengalaman sekali urusan ini, “Dengan sekolah Munjib akan punya masa depan yang lebih baik, Pak Jaen. Dia punya ijasah, bisa—”
“Oi, enam kakak-kakaknya Munjib punya ijasah SD, kau semua yang mengajar mereka. Lihatlah, enam-enamnya sekarang hanya jadi petani. Kau juga lihat, banyak pemuda kampung yang lulus SD kerjaannya hanya duduk-duduk saja di bale-bale bambu, paling bagus mereka tidak mabuk-mabukan atau mencuri seperti anak kampung lain. Tidak ada gunanya ijasah itu. Kau tidak akan ditanya ijasah kalau hanya menjadi petani.”
Pak Bin menelan ludah, lagi-lagi diam sebentar, membiarkan angin lembah berhembus melewati beranda depan rumah panggung itu. Membiarkan percakapan itu mengalir apa-adanya hingga menjelang maghrib. Tanpa kesimpulan.
“Setidaknya kita tahu Munjib masih ingin sekolah.” Pak Bin tersenyum lega.
“Bagaimana Pak Bin tahu? Bukankah Munjib tidak sepatah pun ikut bicara tadi?” Aku melangkah lebih cepat, mengikuti gerak kaki Pak Bin.
“Justru karena itulah Bapak tahu. Kau perhatikan wajahnya, dia sungkan bertemu kau, Burlian. Dia malu. Ekspresi wajahnya memperlihatkan itu.” 
Aku menggaruk rambut. Setahuku Munjib tadi hanya menunduk. Serba-salah, hendak membawa masuk nampan gelas, atau ikut duduk mendengarkan pembicaraan. Jadilah dia hampir satu jam berdiri mematung. Mana pula aku bisa lihat ‘wajah malu’ si Munjib. Adzan maghrib sebentar lagi terdengar, kerumunan di lapangan stasiun kereta sudah bubar. Lampu-lampu canting mulai dinyalakan di rumah-rumah. Seekor elang melenguh dari atas kanopi hutan. Langit yang tadi terlihat merah nampak gelap.
“Kau tahu kenapa aku mengajakmu ke rumah Munjib, Burlian?” Pak Bin menyentuh bahuku saat tiba di depan pagar rumah.
Aku mengangkat bahu. Tidak tahu.
“Karena kau akan penting sekali dalam urusan ini. Kita dalam ‘misi rahasia’. Mengajak Munjib agar kembali sekolah. Besok-lusa, setiap ada kesempatan, kau harus membujuknya agar mau kembali. Aku akan mengurus Bapaknya, memberikan banyak penjelasan. Tidak akan mudah, karena hingga kapanpun dengan segala keterbatasan keluarga mereka, Bapak Munjib tidak akan peduli soal pentingnya sekolah. Tapi urusan akan lebih gampang jika Munjib sendiri yang bersikukuh kembali sekolah. Kau mengerti?”
Aku mengangguk. Mantap.
“Nah, titip salam buat Mamak, Bapak kau.” Pak Bin menepuk bahuku sekali lagi, lantas berbalik arah, kembali ke rumahnya.
Aku melintasi halaman, di depan rumah Ayuk Eli yang membereskan karung-karung jengkol menegurku, “Dari mana kau maghrib-maghrib baru pulang?” 
“Misi rahasia.” Aku menjawab pendek. Terus melangkah masuk.
***
“BUUM!” Suara tubuh menghantam air terdengar kencang.
“BUUM!!” Menyusul yang kedua.
“BUUM!!!” Tiga anak-anak lain serempak loncat.
Tubuh-tubuh liat menghitam itu meluncur ke dalam sungai, gelembung udara berarak ke atas, anak-anak itu saling menjulurkan lidah di dalam air sungai yang bening, saling mengacungkan jari, lantas setelah hampir kehabisan nafas, mengayuh kaki dan tangan, berenang ke permukaan air. Tertawa-tawa.
“Kau lihat gayaku tadi! Itu baru ‘gaya batu’.” Munjib berseru.
“Batu apanya? Kaki kau tidak semuanya bergelung.” Aku tidak terima. “Kalau gayaku tadi itu baru sempurna gaya batu.” 
Berdebat sebentar, tidak mau mengalah, akhirnya sepakat, diulangi lagi. Maka aku, Can, Munjib dan dua kawan lain berenang ke pinggir sungai, menaiki tebing cadasnya. Bersiap mengambil posisi, ancang-ancang, berlarian, dan BUM!! Suara tubuh kami menghantam air sungai terdengar lagi. Tinggi cadas itu adalah dua meter, kedalaman air di bawahnya juga sekitar dua meter. Itu tempat favorit kami mandi sore sekaligus bermain air. Lompat dari cadasnya. Sepelemparan batu jaraknya dari pemandian penduduk biasa.
Lagi-lagi kami bertengkar. Lupa bagaimanalah kami akan tahu lompatan siapa yang paling bagus, jika saat melompat kami lebih sibuk mengurus diri sendiri, tidak ada yang walau sebentar mau memperhatikan kawan lain saat melompat. Akhirnya mandi sore itu ditutup dengan bermain bola di atas permukaan air sungai. Berkejar-kejaran, meliuk-liuk menyelam di dalam sungai memperebutkan bola plastik. Tertawa. Melupakan urusan lompat ‘gaya batu’ yang tidak jelas siapa pemenangnya.
“Kalau kita tadi mandi di Laut Mati, main bolanya pasti lebih seru, karena kita tidak perlu repot berenang mengambang di permukaan airnya. Kita tidak akan tenggelam di sana.” Aku gaya dan yakin sekali mengucapkan kalimat itu, seolah baru kemarin sore habis berenang dari Laut Mati itu.
“Oi, mana ada air yang kau tidak tenggelam di dalamnya.” Munjib langsung memotong dari belakang, mengibaskan rambutnya yang masih basah. Kami berjalan beriringan, pulang melewati jalan setapak menuju kampung.
“Ada. Seperti yang kubilang, Laut Mati namanya.” Aku mengangkat bahu, berkata dengan intonasi seolah bilang, ‘kau saja yang tidak tahu’.
“Tidak ada. Aku belum pernah mendengarnya.” Munjib bersikeras.
“Memang ada, Munjib.” Tidak seperti pertengkaran melompat ‘gaya batu’ tadi, kali ini salah seorang kawan ada yang menengahi.
“Heh? Bagaimana mungkin kau tidak tenggelam di air? Kau lebih berat dibanding massa jenis air.” Munjib menelan ludah, mulai ragu-ragu dengan kalimatnya sendiri.
“Di Laut Mati kadar garamnya lebih tinggi, Kawan. Sehingga kita bisa mengambang tanpa perlu mengayuh kaki dan tangan. Itu kata Pak Bin tadi pagi di kelas. Pelajaran IPA. Aku tidak tahu juga ada apa dengan garam-garam itu sehingga membuat kau mengambang, yang pastilah asin rasanya.” Can menjelaskan, tertawa. 
Munjib langsung terdiam.
Seekor burung pipit melintas di atas kepala kami, mencicit riang. Pulang menuju sangkar. Matahari sebentar lagi terbenam. Sudah lewat dua minggu sejak tahun ajaran baru dimulai. Sudah dua minggu pula delapan teman kami tidak masuk sekolah, termasuk Munjib. Pak Bin menunaikan janjinya, dia tidak mengenal lelah mengajak bicara orang-tua mereka. Tidak sakit hati meski menerima banyak kalimat kasar. Tetap tersenyum walau diabaikan. Menggunakan segala cara untuk memberikan penjelasan. Aku tahu itu semua dari cerita Mamak, karena belakangan ini Pak Bin sering bertamu ke rumah. 
Maka sudah seharusnya aku melaksanakan giliranku. Membujuk Munjib. Percakapan soal Laut Mati tadi disengaja. Sesuai pesan Pak Bin, aku harus sering-sering mengajak Munjib bicara tentang sekolahan. Dengan begitu dia akan merasa ‘berbeda’ dengan anak-anak yang lain. Tidak justru menganggap kondisinya baik-baik saja, lantas terbiasa dengan fakta kalau dia tidak sekolah lagi.
“Tadi pagi Pak Bin juga bilang banyak hal… Bilang apa ya, Burlian.” Salah seorang kawan yang semangat ikut percakapan lupa apa yang hendak dikatakannya, menyeringai.
“Pak Bin bilang sekolah bukan hanya tempat belajar menulis dan membaca. Sekolah juga tempat belajar banyak hal….” Aku mengulang kalimat Pak Bin dengan sempurna, “Dengan sekolah akan banyak kesempatan yang datang… masa-depan yang lebih baik… kesenangan, keriangan… Jangan pernah berhenti percaya tentang itu.”
Munjib hanya diam saja. Tertunduk.
***
Aku semangat mengeluarkan buku-buku dari dalam kardus. Ujung-ujung kardusnya sudah dimakan rayap, jadi tidak terlalu kaget saat menemukan banyak buku yang sudah tidak berbentuk. Rayap-rayapnya berlarian saat aku membongkar tumpukan terakhir.
“Dibuang saja, Burlian. Sudah tidak bisa dibaca lagi.” Pak Bin menggelengkan kepala. Mengambil kardus terakhir dari balik lemari.
Aku menatap sedih buku-buku itu. Tetapi Pak Bin benar, mau dikata apalagi, sudah terlalu rusak. Tanah lembek sarang rayapnya menempel di sana-sini, lubang-lubang besar menganga. Aku memasukkannya satu-persatu ke dalam tong sampah. Sambil selintas membaca judul-judulnya. Buku-buku rusak ini terlihat menarik dan seru sekali.
Petang ini Pak Bin tidak memintaku menemaninya ke rumah orang tua murid yang berhenti sekolah. Dia memintaku membantu membongkar gudang sekolah. Bangunan sekolah kami sudah lama sekali tanpa sentuhan perbaikan. Lihatlah isi gudang sempit di sebelah ruang guru. Globe, bola-bola dunia yang terkelupas. Raket bulu-tangkis yang tidak ada lagi senarnya. Patung Garuda patah. Foto-foto wakil presiden lama –kalau foto presidennya tetap yang itu-itu saja. Tumpukan kertas menguning. Dan yang aku tidak tahu, hei, ternyata ada tiga kardus buku-buku cerita di gudang ini.
“Kita tidak punya ruangan perpustakaan, Burlian. Setiap kali paket buku perpustakaan datang dari kota, hanya dimasukkan ke dalam kardus-kardus ini. Sudah lama sekali buku-buku ini. Dulu sempat Bapak pajang di meja guru agar murid-murid bisa pinjam atau baca, tapi tidak bertahan lama, kepala sekolah baru waktu itu tidak suka ruangan guru dipenuhi oleh murid yang membaca. Mengganggu. Jadi dimasukkan kembali ke dalam gudang, terlupakan hingga sekarang.” Pak Bin menepuk-nepuk ujung salah-satu buku.
Kami hanya berhasil menyelamatkan seperenam buku-buku itu. Tidak banyak, hanya sekitar tiga puluh buku. Tapi meski sedikit, aku tertawa riang melihat tumpukan buku-buku tersisa. Tidak mempedulikan bau kertas menusuk hidung karena disimpan terlalu lama.
“Burlian boleh pinjam yang ini, Pak?” Menimang-nimang salah-satu buku berjudul ‘Winnetou, Ketua Suku Apache’.
Pak Bin mengangguk. “Memang itu tujuannya buku-buku ini dikeluarkan.”
“Boleh Burlian bawa pulang sekaligus lima.” 
Pak Bin tertawa, “Kalau kau pinjam semua, nanti teman-teman kau tidak bisa baca. Satu-satu saja dulu.”
Aku menggaruk ujung hidung, ikut tertawa. 
“Nah, kau mau membantu Bapak lagi, Burlian?”
Aku mengangguk. Tentu saja.
“Kau bawa lima buku ini buat teman-teman kelasmu yang dua minggu terakhir berhenti sekolah. Kau pinjamkan kepada mereka. Semoga dengan begitu mereka tetap merasa memiliki kedekatan dengan sekolah. Memiliki benda yang menjadi simbol bahwa mereka tetap murid sekolahan ini.” Pak Bin berkata pelan, menatap lamat-lamat stempel menguning ‘Departemen Pendidikan & Kebudayaan’ di salah satu sampul buku.
Aku menelan ludah. Teringat misi rahasia kami selama ini. Bertanya cemas, “Kalau mereka tetap tidak masuk juga bagaimana, Pak?”
“Kita tunggu sampai satu bulan. Ah, terus-terang, satu saja dari mereka bersedia kembali sekolah sudah membuat Bapak senang. Sepuluh tahun terakhir bahkan tidak ada satu pun anak kelas lima yang berhenti sekolah kembali ke kelas. Bapak sudah berusaha melakukan apa saja untuk membujuk orang-tua mereka. Menawarkan jalan keluar kalau mereka memang tidak punya biaya untuk sekolah, tidak perlu membayar SPP…. Sia-sia. Semua urusan ini kembali ke anak-anak itu, jika mereka mempunyai keinginan yang kuat, mereka akan kembali tidak peduli seberapa besar keterbatasan yang mereka miliki… sepanjang mereka tidak pernah berhenti percaya…”
Aku terdiam, entah mau berkomentar apa. Mengambil lima buku itu. Teringat sesuatu, “Kurang satu, Pak. Kawan-kawan itu berjumlah enam. Bukan lima.”
“Kau benar. Memang kurang satu. Sebentar.” Pak Bin berdiri, melangkah mendekati mejanya, mengambil buku ke-6. “Ini untuk Munjib. Satu-satunya buku yang ada di lemari rumah Bapak. Ini buku spesial. Aku beli di kota waktu masih sekolah SPG. Aku tahu mungkin buku ini terlalu berat baginya, tapi dia selalu suka cerita seperti ini. Kau berikan kepada Munjib.”
Aku menerima buku ke-6 itu. Membaca judulnya: ‘Monte Cristo’.
“Burlian bisa pinjam yang ini kalau sudah dibaca Munjib, Pak?”
Pak Bin tertawa. Mengangguk.
***
Trik kecil Pak Bin sebenarnya jenius. Dengan mengirimkan buku-buku itu ke teman-teman yang berhenti sekolah, maka setiap kali mereka membaca, atau hanya melihat buku itu tergeletak di rumah masing-masing, mereka akan ingat sekolahan. Apakah itu efektif membuat mereka kembali masuk? Pak Bin sendiri tidak berharap banyak.
Seminggu berlalu sejak aku menyerahkan buku-buku itu, tiga diantaranya dikembalikan. Pak Bin menghela nafas panjang saat orang-tua dan anak yang bersangkutan membawa buku itu ke ruang guru. Bilang semuanya terserah anak mereka, amat menghargai kegigihan pak Bin. Sayangnya, ketiga kawan kami itu memang sudah tidak mau lagi sekolah. Tidak bisa dipaksa. Kasus selesai buat mereka.
Dua hari kemudian dua buku berikutnya kembali. Juga sama dengan yang sebelumnya, meski ragu-ragu, meski tidak jelas alasannya, dua kawan kami berikutnya sepertinya berat hati sekali untuk meneruskan sekolah. Mungkin sudah senang ikut ke kebun atau mencari ikan tidak perlu mendengarkan celoteh guru lagi. Aku yang kebetulan ikut melihat buku-buku itu kembali, hanya bisa teringat kalau dulu bersama Kak Pukat pernah dihukum Mamak seharian gara-gara bolos sekolah. Teringat nasehat Bapak dulu, sekolah laksana menanam pohon sengon.
Aku mendesah resah. Satu buku lagi belum kembali. 
Monte-Cristo yang dipegang Munjib.
Pagi itu, saat kami sedang mengerjakan soal Matematika yang membuat pusing kepala, saat angka-angka di papan tulis membuat mata berputar-putar, saat dua teman kami sudah jadi korban di-setrap Pak Bin karena gagal menyelesaikan soal itu, tiba-tiba di bawah bingkai pintu, Munjib sudah berdiri sambil menahan tangis. Tangan kirinya memegang buku yang terbakar. Halaman depan buku itu hangus menghitam.
Kami serempak menoleh kepadanya. Lupa soal rumus jajaran genjang.
“Munjib mau sekolah, Pak! Munjib mau sekolah.” Munjib menangis menyerbu masuk kelas. Air-mata akhirnya menetas ke tegel berlubang kelas kami.
“Apa yang terjadi, Munjib?” Pak Bin meletakkan kapur.
“Munjib mau sekolah, Pak. Sungguh.”
Seluruh kelas terdiam. Apalagi aku, menatap sedih saat menyadari buku ‘Monte Cristo’ itu tinggal separuhnya. Padahal aku ingin sekali membacanya setelah giliran Munjib.
Cerita ini agak rumit memang. Sambil terisak, Munjib menceritakan semuanya. Seminggu terakhir, dia sembunyi-sembunyi membaca buku itu. Di setiap kesempatan kalau Bapaknya tidak melihatnya, tidak disuruh ke kebun, atau mengerjakan sesuatu, Munjib takut-takut membuka buku itu. Bapaknya benar-benar melarang dia kembali ke sekolahan. Mengancam kalau sekali saja Munjib bertemu dengan Pak Bin atau siapa saja untuk membicarakan soal itu maka dia akan dipukuli. Tas sekolah, sepatu dan buku-buku Munjib dibuang ke tong sampah. Dibakar.
Sial bagi Munjib, tadi pagi Bapaknya menemukan buku itu di bawah tempat tidurnya. Mengamuklah Bapak Munjib. Memukul pantatnya dengan bilah rotan. Dan yang lebih serius lagi, melemparkan buku itu ke dalam tumpukan kayu bakar untuk menanak nasi. Munjib tidak tahan lagi, dia berteriak-teriak melawan, bilang dia mau sekolah. Bapak Munjib yang berusaha meringkus tangannya kalah cepat, Munjib sudah kalap mengambil buku itu diantara nyala api. Lantas berlarian ke sekolah.
Gemetar Munjib memperlihatkan tangan kanannya yang terbakar. Terlihat sekali dia terisak menahan rasa sakit. Kami terdiam mendengarkan seluruh cerita.
“Munjib… Munjib mau sekolah, Pak… sungguh mau… tapi Munjib takut Bapak di rumah. Munjib takut dipukuli… Munjib takut diusir dari rumah… tolong Munjib, Pak.” Kawan yang suka sekali telat masuk gara-gara semalaman ikut Bapaknya mancing kucur, mencengkeram kemeja Pak Bin. Suaranya bergetar ke seluruh langit-langit kelas.
Pak Bin mengusap matanya, tersenyum lebar, lantas memeluk kepala Munjib. “Kau akan sekolah, Nak… tidak akan ada tembok yang bisa menghalangi… menghentikan… kau akan merobohkan semua penghalang. Kau akan tetap sekolah, Munjib… sepanjang kau meyakininya. Sepanjang kau tidak pernah berhenti percaya.”
Kalimat bertenaga Pak Bin membuat seisi kelas terdiam.

0 komentar:

Posting Komentar