Kamis, 16 November 2017

Tere Liye : Burlian

3. MENANAM MASA DEPAN
---------------------------------------
“Kakak kok pulang cepat, sih?”
“Diam. Awas kalau kau lapor, Mamak.” Aku justru melotot, mengancam. 
Amelia yang sedang bermain gundu sendirian di samping rumah terdiam. Menatapku dan Kak Pukat yang bergegas mengganti seragam di rumah.
“Kakak mau kemana?” Amelia kembali bertanya.
“Mencari belalang di kebun.” Kak Pukat yang menjawab.
“Amelia ikut.”
“Tidak boleh.”
“Amelia IKUT!!!”
“Kau main gundu saja sendirian.” Aku tertawa, bersama Kak Pukat sudah berlarian keluar dari pintu pagar. 
Tere Liye Burlian

Semalam, kami sudah matang merencanakan bolos ini, sengaja tidak membawa tas ke sekolah. Saat lonceng istirahat pertama berbunyi, pukul 09.45, Aku dan Kak Pukat menyelipkan buku di balik baju, lantas menyelinap diantara anak-anak yang asyik bermain. Tidak akan ada yang memperhatikan, pelarian kami aman. Di tengah jalan menuju rumah memang sempat gugup saat berpapasan dengan Bakwo Dar –kakak tertua Bapak, tapi aku sebelum ditanya lebih dulu menjelaskan, “Ada rapat guru di sekolah, kami disuruh pulang lebih cepat.” Bakwo Dar hanya mengangguk, tidak mengeluarkan komentar walau sepatah.
Sialnya, meski sudah sembunyi-sembunyi masuk rumah, Amelia yang sedang bermain sendirian melihat kami. Tapi ini bukan masalah besar, tinggal sedikit diancam, ia akan menutup mulut melapor pada Mamak kalau kami pulang lebih cepat. Lagipula, Amelia yang baru lima tahun mana mengerti definisi bolos sekolah. Aku nyengir tipis, kali ini semua beres, semua terkendali, Mamak tidak akan tahu. 
Maka seharian dengan tenang aku dan Kak Pukat berlarian menangkapi belalang di ladang padi tetangga. Membawa kantong plastik, memasukkan satu demi satu hasil buruan ke dalamnya. Seru sekali. Setiap kali melihat belalang terbang melintas, aku dan Kak Pukat langsung lompat mengejar. Membawa ranting besar sebagai pemukul. Jatuh-bangun di antara sela-sela batang padi yang tingginya masih sejengkal, tersangkut tunggul atau potongan kayu melintang, baju kotor oleh tanah, rumput kusut-masai. Lupa waktu, lupa kalau Mamak bisa ngamuk sepanjang malam kalau tahu kami bolos sekolah, lupa semuanya.
Saat matahari mulai tumbang di langit barat, barulah kami bergegas pulang sebelum Mamak tiba lebih dulu di rumah. Sejauh ini aman. Hanya ada Amelia yang duduk di ayunan, tidak banyak bertanya, malah terlihat menatap galak kepada kami. Mungkin Amelia masih sebal karena tadi siang tidak diajak. Ayuk Eli sedang masak di dapur. Bapak, Mamak belum terlihat, mungkin masih dalam perjalanan pulang dari kebun.
Kak Pukat mandi duluan di sungai, sementara aku menumpahkan belalang dari kantong plastik ke dalam kotak anyaman bambu, belasan belalang yang sekarang loncat-loncat berusaha kabur dari dalam kotak. Aku menyeringai melihatnya. Sebenarnya hasil buruan kami hari ini banyak, tapi yang kecil-kecil dilepas kembali. Besok pasti menyenangkan pamer semua belalang ini ke teman-teman sekolah. Belum lagi kalau isi kotak sudah puluhan ekor, bisa dijual di kota kecamatan. Satu kotak penuh seperti ini bisa lima hingga sepuluh ribu, cukup untuk membeli mainan dua pistol air di Pasar Kalangan.
Makan malam berjalan tenang. Mamak tidak banyak bertanya soal sekolah, ia lebih banyak bercakap dengan Bapak soal kebutuhan pupuk urea untuk kebun kopi. Amelia sibuk dengan udang sungai sebesar lengan di piringnya, ber-hah kepedasan. Tidak ada tanda-tanda kalau ia mau lapor soal kami pulang sekolah lebih cepat. 
Selepas makan, duduk-duduk di ruang tengah, aku dan Kak Pukat saling lirik, masih cemas kalau tiba-tiba Mamak bertanya soal PR, pelajaran, dan apa saja yang kami lakukan di sekolah. Aman. Hingga kami beranjak tidur, tidak ada satu pun pertanda kalau Mamak tahu kami bolos hari ini. 
Malam semakin larut. Suara jangkrik ditingkahi serangga lain terdengar mengisi senyap. Lampu canting kerlap-kerlip terkena angin dari sela-sela papan. Mamak menemani Bapak menyeduh kopi di dapur. Kami berempat sudah menguap. Aku beranjak mengambil posisi, menarik selimut kumal menutupi kepala, tidur dengan ekspresi wajah nyaman. 
Kalau begitu, besok-lusa bisa diulangi lagi.
***
Pagi-pagi sekali Ayuk Eli membangunkanku dan Kak Pukat. 
Aku menggeliat, sedikit menggerutu karena mimpi seru mengejar belalang raksasa terputus. Padahal hebat sekali mengejar-ngejarnya mengelilingi kampung. Ajaib, dalam mimpi barusan, aku bahkan bisa terbang. Menggeliat, turun dari ranjang. Bukankah ini baru pukul setengah lima pagi? Di luar masih terlalu gelap untuk bersiap-siap sekolah.
“Kalian ikut Mamak ke kebun hari ini!” Suara Mamak terdengar dari dapur.
Aku menggaruk kuping, takut salah dengar. Ikut ke kebun? Berarti kami tidak sekolah? Sejak kapan Mamak mengijinkan kami tidak sekolah. Bukankah selama ini, kami terlihat malas berangkat saja Mamak sudah melotot, mengancam akan menjewer kuping?
“Hari ini kalian membantu Mamak mengambil kayu bakar.”
“Sungguhan?” Mataku lekas membesar antusias, meski rasa kantuk masih menyergap. Sepanjang bisa bolos dari sekolah, diajak Mamak membantu apa saja tidak masalah.
Mamak mengangguk, menyuruh bergegas sarapan.
Jalanan masih gelap saat aku dan Kak Pukat berjalan di belakang punggung Mamak. Ini jam berangkat normal ke kebun bagi penduduk kampung. Bahkan yang kebunnya jauh, mereka berangkat lebih dini lagi. Pagi-pagi sekali menyadap karet. Katanya, jika sudah terlalu terik, pohon karet lebih sedikit mengeluarkan getah. Rumus yang sama meski berbeda konteks juga berlaku untuk kebun kopi. Pagi hari masih menyenangkan, kalau sudah siang, semut yang bersarang di batang-batang kopi lebih ganas dari biasanya.
Aku bersiul riang di sepanjang jalan setapak. Menyahuti riuh burung nektar menyambut pagi. Suara lenguh simpai terdengar ramai di kejauhan. Tetes embun di ujung dedaunan segar mengenai wajah dan rambut. Ini tentu saja lebih asyik dibandingkan jalan ke sekolahan.
Setiba di kebun, Mamak menyuruh kami mengumpulkan batang-batang pohon mati yang roboh, menyuruh memotongnya dengan ukuran lima-enam jengkal, memasukkannya ke dalam keranjang rotan. Cepat saja melakukan itu, dalam hitungan menit sudah penuh. Aku dan Kak Pukat mantap menyampirkan tali keranjang di kepala, meletakkan posisi keranjang rotan di punggung, hoop! Berdiri. Saatnya pulang.
“Isinya kurang banyak.” Mamak tiba-tiba menghentikan langkah kaki. Menyuruh kami menurunkan kembali keranjang masing-masing. Mamak mengambil lagi potongan kayu bakar, mengisi sela-sela yang masih renggang, menumpuknya lebih dari bibir keranjang. Sekarang keranjang kami menjulang penuh sesak. 
Aku dan Kak Pukat menelan ludah.
“Kau kuat mengangkat sebanyak ini, Burlian?”
Aku mengangguk ragu-ragu. Kembali menyampirkan tali keranjang ke kepala, meletakkan keranjang di punggung, hoop! Berdiri. Badanku sedikit oleng sebentar. Kak Pukat membantu memegangi menyeimbangkan posisi. Berat. Tapi karena dengan begini aku tidak perlu masuk sekolah, jadi senang-senang saja. Ini jauh lebih seru dibandingkan harus duduk rapi di kelas, menatap papan tulis hitam, mendengarkan Pak Bin berceloteh. Anggap saja ini harga yang harus kutebus karena tidak perlu sekolah.
Aku dan Kak Pukat beriringan mengikuti langkah kaki Mamak di depan, kembali ke rumah. Cahaya matahari menerabas sela-sela dedaunan, kabut masih menggantung, suara burung semakin riuh, aku mulai tersengal menuruni bukit dengan beban seberat ini, apalagi Mamak di depan tanpa banyak bicara berjalan dengan kecepatan tinggi. Beruntung masih musim kemarau, jadi jalanan setapak di dalam hutan kering, akan berbeda sekali jika musim penghujan. Susah melewati jalan tanah yang licin, licak oleh tanah liat. 
Setengah jam berlalu, aku menghembuskan nafas lega tiba di depan rumah. Meletakkan keranjang rotan di halaman, menumpahkan isinya. Mamak menyuruh kami menyusun kayu bakar itu di tempat biasanya. Kami menurut, setidaknya setelah semua kayu bakar ini tersusun rapi kami bisa bebas bermain (dan tidak perlu sekolah, sudah pukul 9 lewat, sudah hampir lonceng istirahat pertama). Jadi bisa bebas berburu belalang lagi.
“Ayo, bergegas!” Mamak berseru, sudah berdiri menunggu.
Aku dan Kak Pukat saling tatap, baru saja kami menyusun potongan kayu bakar terakhir, sudah disuruh bergegas? Ke mana? Bukankah sudah selesai menemani Mamak mengambil kayu bakarnya. 
“Kalian jangan melamun seperti simpai. Ayo bergegas!” Mamak melotot, “Bawa kembali keranjang rotan kalian. Masih banyak kayu bakar yang harus diambil.”
Aku dan Kak Pukat benar-benar tidak punya ide, atau sama sekali tidak tahu kalau semua ini bukan kesenangan seperti yang kami sangkakan awalnya. Ini justru hukuman. Dan sama seperti saat kami bolos sekolah, Mamak benar-benar merencanakan hukuman ini dengan matang sejak semalam.
Ekspresi wajah Mamak dingin, ia tidak mengomel seperti biasanya, hanya menatap tajam, berseru pendek, dan tidak ada ampun mengisi keranjang kami banyak-banyak. Tanpa istirahat semenit pun selepas kayu bakar itu disusun lagi, Mamak sudah berseru galak, “BERGEGAS!!” Berjalan cepat-cepat di jalanan setapak hutan. 
Ini yang keempat kali aku dan Kak Pukat tersengal naik-turun bukit, dengan baju mulai kotor oleh debu, wajah cemong, keranjang rotan yang disesaki potongan kayu bakar. Tadi aku sempat jatuh karena tidak hati-hati melangkah, sandalku tersangkut tunggul, keranjang itu jatuh, tumpah, sakit sekali saat kakiku terkena salah satu potongan kayu bakar. Mamak hanya melotot, berdiri tanpa kata satupun, menungguiku memasukkan kembali kayu bakar ke dalam keranjang. Lantas berjalan cepat-cepat lagi, aku terpincang-pincang menyusulnya.
Sudah pukul satu siang. Perutku mulai berbunyi. Aku sudah berharap benar Mamak akan memberikan kami jeda istirahat untuk makan siang dan shalat zuhur, tapi aku takut untuk menanyakannya. Kak Pukat juga sejak tadi sudah berhenti berbisik-bisik. Menyisakan suara serangga di sepanjang jalan setapak. Kami mulai mengerti aturan mainnya, ini jelas bukan kesenangan seperti yang kami duga awalnya, ini justru hukuman karena kami bolos sekolah, dan sebagai pihak yang dihukum, protes hanya akan membuat sanksi jadi lebih berat.
Pukul dua siang, Mamak akhirnya memberikan bungkusan daun pisang. Isinya nasi putih tanpa lauk, tanpa sayur. Hanya itu menu makan siang kami. Itupun harus dihabiskan dengan cepat di sela-sela mengumpulkan kayu bakar. Baru mulai makan, Mamak sudah berteriak, “Oi, kalian kalau mencari belalang semangat sekali sampai lupa sekolah! Kenapa sekarang buat makan saja lambat macam baru selesai lebaran tahun depan?” 
Aku dan Kak Pukat terdiam menelan ludah, perlahan menyeka keringat yang sudah seperti butiran kopi, mengalir besar-besar di leher, wajah, semua bagian badan, membuat kuyup pakaian. Mengunyah gumpalan nasi dengan seluruh perasaan tertekan. 
“Kenapa kau Burlian? Tersedak, hah? Kakek nenek moyang kau jadi petani lebih susah hidupnya dibanding kalian. Sering keracunan karena makan umbi gadung. Tidak ada nasih putih mengepul. Kau masih enak berbaju kain. Mereka dulu hanya bercelana blacu dan lembaran karet. Tak apalah tidak sekolah, kalau kalian memang lebih suka jadi petani. Terserah kalianlah mau jadi apa besok lusa!”
Aku meringis, mengunyah gumpalan nasi dengan mata berkaca-kaca.
Matahari tumbang di ufuk barat, senja datang menjelang, ini yang kesepuluh kalinya kami bolak-balik ke kebun. Kakiku mulai gemetaran setiap menuruni bukit. Berusaha sekuat tenaga mengendalikan keseimbangan badan agar tidak jatuh. 
Kak Pukat sekarang menatapku saja enggan. Tadi dia mendesis marah, bilang ini semua salahku, bilang adalah ideku yang mengajaknya berburu belalang. Aku menelan ludah, hendak melempar Kak Pukat dengan kayu bakar. Enak saja, kalau itu memang ideku kenapa dia mau ikut kemarin? Tetapi Mamak sudah mendengus galak, matanya melotot. Kami tertunduk satu sama lain, bergegas memasukkan kayu bakar ke keranjang rotan.
Rit kesebelas aku berusaha mati-matian menahan tangis karena tidak kuat lagi. Aku kembali terjatuh, betisku lebam terkena kayu bakar. Seluruh badanku terasa ditusuk jarum. Dan yang paling menyakitkan, Mamak hanya melihat selintas, tidak peduli, melanjutkan langkah tanpa mengurangi kecepatan. 
Saat semua harapan itu hampir hilang, karena meski adzan maghrib sudah terdengar pun Mamak tetap tidak menghentikan hukuman, saat aku mulai pasrah menerimanya, berpikir ini semua baru berakhir jika kami pingsan. Saat kunang-kunang mulai keluar menghias malam, terbang mengintip kami iba dari semak-belukar, suara burung hantu terdengar dari kejauhan, Mamak akhirnya bilang, “Cukup. Kayu bakarnya sudah banyak.”
Kami langsung terduduk. Melepaskan keranjang dari punggung. Legaaa sekali. Menatap tumpukan kayu yang menjulang di samping rumah. Kayu-kayu bakar ini lebih dari cukup untuk masak selama tiga bulan. Amelia dan Ayuk Eli menatap kami lamat-lamat dari depan pintu. Tidak banyak komentar. Bapak hanya tersenyum tipis.
***
“Burlian, bangun…” Ayuk Eli menggerakgerakkan bahuku.
Aku menggeliat, sedikit sebal dibangunkan. Lagi-lagi Ayuk Eli menganggu. Bukankah seperti barusaja aku menghempaskan tubuh di ranjang, kenapa sudah dibangunkan. 
“Sudah lewat jam enam, Burlian.” Ayuk Eli seperti mengerti ekspresi wajahku, menjawab.
Astaga? Berarti nyenyak sekali tidurku. 
Semalam, lepas mandi dan makan aku dan Kak Pukat langsung tertidur. Lelah, bahkan untuk mulai menginterogasi Amelia, mencari tahu apakah dia yang melaporkan kami bolos sekolah dua hari lalu. Juga terlampau lelah meski hanya untuk berteriak marah saat aku tahu kotak anyaman bambu itu sudah terbuka lebar, seluruh belalangnya sudah terbang kabur.
Ayuk Eli menyeringai jahat, menarik selimutku. Aku menguap, beranjak dari tidur, hendak duduk, tapi seketika mengaduh. Seluruh badanku terasa sakit semua, sendi-sendinya seperti berontak marah saat digerakkan. Aku mengernyit menahan nyilu seluruh tubuh. 
“Kata Mamak, kau disuruh ikut ke kebun lagi hari ini.” Ayuk Eli mendesis.
Aku tergagap. Apa? Mengabaikan seluruh rasa sakit di tubuh aku lompat dari ranjang, bergegas menyambar handuk. Tidak mau. Hari ini aku sekolah saja, juga besok-besoknya, lusa-lusanya. Tidak mau. Kalau begini urusannya, jelas lebih enak sekolah dibandingkan dihukum seharian Mamak. Bahkan Bapak yang sedang berdiri di belakang Ayuk Eli, tertawa gelak melihat raut mukaku.
***
“Badan kau masih sakit?” Bapak bertanya.
Aku mengangguk, masih tapi tidak terlalu lagi. Tiga hari sejak hukuman, sore ini aku ikut Bapak melihat kebun kami di kampung lain. Kebun yang satu ini juga ditanami kopi, tapi sudah tidak produktif. Semak belukar tumbuh di setiap jengkal tanahnya, batang kopi tidak terawat, satu-dua malah meranggas mati. Sepertinya Bapak memang sengaja mengabaikan kebun ini tahun-tahun terakhir.
“Sekolah itu seperti menanam pohon, Burlian.” Bapak tersenyum.
Aku diam, tidak berkomentar. Tidak terlalu mengerti apa maksud Bapak.
Bapak mendekati sebatang pohon, menebasnya dengan pisau besar. Lantas memotong-motongnya menjadi enam-tujuh bagian sama besar. 
“Kau tahu ini pohon apa, Burlian?” Bapak menunjuk potongan-potongan kayu yang tergeletak.
“Pohon Sengon.” Aku menjawab pendek. Tentu saja anak-anak kampung secara alamiah tahu banyak tentang nama tumbuhan. Yang aku tidak tahu buat apa Bapak memotong-motong kayu hidup, bukankah kayu bakar selalu diambil dari batang kayu mati.
“Kau benar, ini pohon sengon.” Bapak mengangguk, “Nah, sekarang kau tancapkan kayu-kayu ini di sekitar kebun.” 
Aku menurut saja, dengan cepat melaksanakan tugas sederhana itu.
“Bapak sengaja mengajakmu, karena hari ini kita memang akan menanam pohon sengon. Ini kebun milikmu, Burlian. Dan besok-lusa pohon-pohon sengon ini juga akan jadi milikmu…. Kau lihat, Bapak sengaja tidak mengurus kebun ini lagi, membiarkan semak-belukar tumbuh, karena dua puluh tahun lagi, di sela-sela semak belukar, akan tumbuh menjulang tinggi puluhan sengon raksasa. Dua puluh tahun lagi, saat kau sudah besar, saat kau mungkin tertarik membangun rumah di kampung kita, pohon-pohon ini siap dipergunakan.”
Aku menatap Bapak terpesona, mulai mengerti.
“Begitu pula sekolah, Burlian. Sama seperti menanam pohon… Pohon masa depanmu. Semakin banyak kau tanam, semakin baik kau pelihara, maka pohonnya akan semakin tinggi menjulang. Dia akan menentukan hasil apa yang akan kau petik di masa depan, menentukan seberapa baik kau akan menghadapi kehidupan. Kau tidak mau seperti Bapak, bukan? Tidak sekolah, tidak berpendidikan, tidak punya pohon raksasa yang dari pucuknya kau bisa melihat betapa luas dunia. Menjadi seseorang yang bermanfaat untuk orang banyak. Kau akan memiliki kesempatan itu, Burlian, karena kau berbeda. Sejak lahir kau memang sudah spesial.”
Bapak tersenyum, lembut menyentuh lenganku. Aku menelan ludah. 
“Ayo, tanam sebanyak yang kau mau! Kita tidak akan pulang sebelum seluruh kebun dipenuhi pohon sengon.” Bapak tertawa, menyerahkan pisau besar ke tanganku.
Aku mantap menggenggam pisau itu. Mengerti benar penjelasan Bapak. Semangat mulai memotong bibit-bibit pohon sengon. Iya, aku akan menanamnya sebanyak mungkin, bukan soal masa depan yang lebih baik, apalagi soal analogi Bapak bahwa sekolah laksana menanam pohon. Aku akan menanamnya karena dua puluh tahun lagi saat pohon-pohon ini sudah besar, maka pasti mahal sekali harganya. Itu uang yang tidak sedikit, jelas lebih banyak dibanding menjual belalang ratusan kotak ke kota kecamatan. 
Aku menyeringai senang, membayangkan uang-uang itu.
1). Pasar Kalangan; pasar mingguan; pedagang dari kota membawa baju, kain, kuali, dandang, gelas, piring dan alat-alat rumah lainnya, rokok, gula, sabun, dan sebagainya. Menggelar dagangan di kota kecamatan setiap minggu, biasanya persis sehari setelah penduduk kampung menjual getah karet ke tengkulak yang datang. Setiap ‘pasar kalangan’ digelar, maka besar-kecil, wanita-lelaki, berbondong-bondong datang. Itulah satu-satunya akses pasar selain pergi sendiri ke kota kabupaten.
2). Pohon Sengon; pohon berharga seperti halnya jati atau pohon trembesi. Ditanam dari tunas-tunasnya, atau dari batang sengon yang dikorbankan menjadi belasan potong bibit. Karena alasan kokoh, tahan lama dan mudah dibentuk, rumah-rumah di kampung kami rata-rata menggunakan papan dari kayu sengon.

0 komentar:

Posting Komentar