Kamis, 23 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 12. SDSB: SEMUA DAPAT SEMUA BUNGKAM - 1
------------------------------------------------------------------------
Salah seorang pemuda yang duduk di bale-bale bambu itu memanjangkan antena hingga maksimal, memutar-mutar tombol pencari gelombang agar siaran terdengar lebih jernih, lantas mengeraskan volume radio kotak berukuran bantal itu. Berempat mereka duduk berselimutkan sarung, saling merapat, memasang telinga baik-baik. 
Malam beranjak larut, tadi hujan lebat baru reda lepas isya. Semua orang sepertinya enggan kemana-mana selain duduk di dalam rumah masing-masing ditemani kopi hangat dan gorengan pisang. Satu-dua bintang mulai mengintip di atas langit.
Tere Liye Burlian

“Wak Lihan bilang dia pasang 7586 sebanyak sepuluh lembar. Sepuluh ribu rupiah. Gila, itu hampir semua uang jualan karet seminggunya.”
“Aku juga pasang banyak.” Pemuda yang lain menimpali.
“Berapa lembar?”
“Eh, dua belas lembar.” Pemuda itu menggaruk rambutnya. 
“Kau juga habiskan semua uangmu?” Tiga temannya menatap tidak percaya.
Bagaimana dia tidak akan melakukannya? Pemuda itu mengangkat bahu. Dengan reputasi Samsurat sebulan terakhir, tebakannya yang hampir selalu jitu, beda tipis sekali dengan angka yang keluar, semua orang tergoda untuk mencoba peruntungan. Siapa tahu kali ini Samsurat benar. Bisa menyesal sampai mati jika hanya menjadi penonton disaat orang lain tertubruk rezeki. Bisik-bisik kehebatan Samsurat memang sudah terdengar hingga ke kota kecamatan. 
Suara relay siaran berita RRI, penyiarnya dengan suara empuk berpamitan ke pendengar setia di seluruh penjuru nusantara. Sampai jumpa lagi esok di berita pagi. 
“Kencangkan lagi suaranya, Pendi.” Seseorang menyuruh.
“Ini sudah paling kencang.” Pendi yang disuruh, bersungut-sungut. “Baterai-nya sudah mau habis. Tidak kuat lagi. Bukankah sudah kubilang tadi siang, pakai radio kau saja kalau mau suaranya lebih bagus.”
“Tidak bisa. Bapakku memakainya di rumah. Mana mungkin aku mengganggu kesenangan dia mendengarkan siaran keroncong.”
“Oi, ini jauh lebih penting dibanding keroncong. Kalau kita menang, Bapak kau bisa pulang ke Jawa sana. Mudik pertama kali sejak jadi romusha jalan kereta.”
“Sstt… kalian bisa diam, tidak? Dengar! Sudah sebentar lagi.” 
Kedua pemuda itu segera membungkam mulut. Benar, selepas jingle pembuka yang khas, dari speaker besar radio terdengar suara berat menyapa. Suara yang mereka sudah hafal, yang setiap minggu membacakan angka-angka keberuntungan itu.
“Selamat malam donatur-donatur yang budiman dari Sabang hingga Merauke, saya harap malam ini kalian semua selalu dalam keadaaan sehat tidak kurang suatu apapun… baiklah, saya tahu kalian sudah tidak sabar menunggu… ya, pertanyaannya selalu sama setiap minggu, siapakah yang beruntung malam ini? Siapakah yang akan jadi OKB, orang kaya baru?” Pembawa acara tertawa. “Baik… pengundian sebentar lagi dilakukan… semua sudah lengkap.. terlihat di atas panggung, beberapa pejabat pemerintah sudah mendekati tabung pengundi… notaris… saksi-saksi.. ya, sudah dimulai..”
Hanya tetesan air hujan dari ujung genteng yang menjadi latar suara radio itu. Mereka berempat sudah konsentrasi penuh mendengarkan, takut benar tertinggal satu kata penting. 
“Nomor yang menang malam ini adalah… 7… ya itu angka pertamanya… 
“5… itu angka keduanya… 
“Ayo silahkan buka kertas sumbangan masing-masing… 8… itu angka ketiganya…”
Keempat pemuda di bale-bale bambu itu mendecit. Salah-seorang bahkan sejak angka kedua disebutkan sudah mencengkeram bahu rekannya kencang-kencang. Astaga! Berapa nomor yang Samsurat ceracaukan beberapa hari lalu? 7586. Tidak salah lagi, tiga angka sudah tepat, 758, tinggal satu angka lagi. Jangan-jangan tebakan Samsurat akhirnya tepat.
“Tabung pengundi bola-bolanya masih berputar… masih terus… terus… mulai melambat… melambat… ya, sudah berhenti… dan angka terakhirnya adalah … silahkan buka kertas masing-masing, donatur yang budiman…”
Pendi dan kawan-kawan menahan nafas. 
“… 7… angka terakhirnya 7… nomor yang beruntung minggu ini adalah 7587… selamat kepada para pemenang.. buat yang belum beruntung, jangan berhenti untuk menyumbang. Coba lagi… sampai bersua minggu depan, selamat malam semuanya. ”
Jika kalian bisa melihatnya serempak, maka hampir di setiap beranda, ruang tengah, atau kamar-kamar rumah panggung kampung kami, kalian akan bisa melihat semua orang berbarengan mendesah kecewa, menatap jengkel radio bantal masing-masing. Begitu pula dengan keempat pemuda yang sekarang berseru masygul, menepuk jidat di bale-bale bambu. Salah seorang di antara mereka merobek sepuluh lembar kertas sumbangannya. Yang lain menginjak-injak kertas itu sebal.
“Dasar radio sialan!” 
“Oi, jangan kau lempar radioku. Kalau kau marah, lempar saja radio punya bapak kau.” Si Pendi bergegas menyambar, mengamankan radionya.
***
SDSB. Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah. 
Inilah nama penyakit yang sedang ramai di kampung kami. Awalnya tidak ada yang peduli dengan ‘program sosial’ pemerintah itu, kebanyakan juga tidak tahu. Hingga entah siapa yang memulai, loket penjualan SDSB telah ada di kota kecamatan. Sepertinya tanpa tertahankan, pelan tapi pasti, sejak diluncurkan pemerintah belalai SDSB menjangkau kemana saja, tidak peduli seberapa terpencil sebuah kampung. 
Mulailah orang-orang berkenalan dengan SDSB. Awalnya satu-dua coba-coba pasang. Sesekali dijadikan topik pembicaraan di bale-bale kampung, lapangan, juga di depan rumah Bapak saat menonton siaran televisi ramai-ramai. Beberapa penduduk kampung lainnya tertarik, ikutan mendengar, ingin melihat seperti apa ‘kertas sumbangan’ itu.
“Oi, caranya sederhana saja. Kau tidak perlu lulus SD untuk mengerti.” Seseorang sudah seperti profesor berbaik-hati menjelaskan, “Jadi kalian datang ke loket kota kecamatan, menyebut angka yang hendak kalian pasang, petugas akan menuliskannya di kertas tersebut. Kalian bisa bisa pasang untuk 4 angka, 3 angka, atau untuk 2 angka saja. Setiap lembar berharga sumbangan seribu rupiah. Jika tebakan 4 angka kalian benar, maka hadianya dua juta setengah; jika tebakan 3 angka benar, maka hadiahnya sembilan ratus ribu; nah jika yang benar hanya tebakan 2 angka terakhir, hadiahnya hanya enam puluh ribu.”
“Oi, kenapa kalau pasang 2 angka hadiahnya cuma enam puluh ribu?” Salah seorang menyela, bertanya.
“Kau bodoh sekali. Tentu saja begitu, hadiahnya lebih kecil karena kemungkinan menangnya lebih besar. Beda halnya dengan pasang 4 angka, lebih sulit menebak nomor berapa yang akan keluar.”
Warga kampung mengangguk-angguk. Benar juga.
“Berapa banyak yang bisa kami pasang?”
“Lebih bodoh lagi pertanyaan kau. Bebas, oi, sejak kapan menyumbang dibatasi?” Warga kampung yang duduk di depan rumah Bapak tertawa, mengabaikan siaran televisi. “Terserah kalianlah mau pasang berapa. Semakin banyak kalian pasang, maka kemungkinan menang semakin tinggi. Nah, kalian tinggal menghidupkan radio setiap Rabu malam pukul 9, menunggu pengumuman dari Jakarta angka berapa yang menang. Sekali nomor kalian yang disebut, besoknya kalian bisa menebus hadiah itu di kota kabupaten. Hebat bukan? Menyumbang seribu dapat dua juta setengah? Kalian bisa beli kerbau seekor.”
Orang-orang tertawa lagi, mengangguk, berebut melihat kertas ‘si profesor’ yang sudah ditulisi angka-angka. Meraba ujung-ujungnya, mengamati setiap bagiannya; ber-oh takjub, karena kertas sakti berhadiah seharga seekor kerbau ternyata biasa-biasa saja. Di pojok kiri atasnya hanya tertulis: Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah.
***
“Oh schat, het gokken. Itu judi, Burlian.” Wak Yati berkata mantap, duduk menatap kampung dari beranda atas rumah panggungnya.
“Mau dibilang apapun, alasan apapun, sumbangan, bantuan sosial, apa saja namanya, itu tetap judi. Dan sejak Wawak tinggal di sini, penyakit yang paling susah diperbaiki dari penduduk kampung adalah tabiat berjudi. Kalau kau hanya suka mabuk-mabukan, mencuri, suka berkelahi itu bisa diobati, bisa dihentikan perangai buruknya. Kalau judi jangan ditanya. Kau boleh jadi sudah tobat selama bertahun-tahun, sudah berhenti lama sekali, tapi saat ada kesempatan untuk melakukannya lagi, maka dengan cepat kau tergoda. Kembali ke tabiat buruk itu.”
Aku mengangguk-angguk sok-mengerti. 
Tadi aku disuruh Mamak mengantar makanan ke Wawak, enggan bergegas pulang, jadilah duduk-duduk di beranda rumah panggungnya. Menemaninya ngobrol. Sebenarnya, selama ini setiap kali berbincang dengan Wak Yati, paling hanya separuh kalimatnya yang aku mengerti. Aku suka saja bicara dengannya. Kata Bapak, sayangnya Wak Yati perempuan, jadi Nenek dulu melarang ia pergi merantau ke kota, kalau tidak, boleh jadi kami punya Wawak yang menjadi pejabat tinggi di sana. Meski bergurau, aku percaya kalimat Bapak. Mendengar Wak Yati bicara selalu seru, ia selalu terdengar bijak dan bisa menjelaskan banyak hal.
“Kau tahu, mijn lieve, yang jahat dari berjudi bukan soal kehilangan uang taruhannya. Proses judi itu sendirilah yang jahat. Judi seolah memberikan jalan pintas bagi warga kampung, angan-angan indah. Seolah-olah jika kau beli selembar SDSB seribu rupiah, besok kau otomatis dapat dua setengah juta. Hidup mendadak berubah lebih baik. Mana ada warga kampung yang lulus Sekolah Rakyat pun tidak, bisa bertahan atas godaan seperti itu. Dan saat mereka mulai tenggelam dalam mimpi-mimpi tersebut, daya rusak judi lebih jahat lagi. Mereka malas bekerja, memaksa menjual perabotan rumah sebagai modal, mencuri, bertengkar, semuanya dilakukan demi selembar kertas.” Wak Yati menghela nafas pelan, mengambil kotak sirih di atas meja. Gigi-gigi Wak Yati walau berwarna kuning belum ada yang tanggal. Untuk perempuan tua berusia tujuh puluh lima, fisik Wak Yati masih baik sekali.
“Kau pasti pernah mendengar cerita menggelikan tentang tabiat buruk judi, bukan?”
Aku mengangguk cepat, teringat dua pemuda yang dulu bertaruh dua kali saat menonton pertandingan tinju Elyas Pical di depan rumah.
“Wawak punya satu…. Kisah ini pertama kali diceritakan Nenek kau, tapi Wawak yakin, hingga cucu-cucu kau kelak, olok-olok ini tetap akan sering diceritakan orang tua kepada anak-anaknya agar mereka mengerti betapa menggelikannya urusan judi.” Wak Yati sudah tertawa kecil lebih dulu sebelum bercerita.
“Jadi ada seorang pemuda, anak Haji, ulama yang paling disegani di masanya. Keluarga mereka amat terhormat. Sayangnya, anak Haji itu suka sekali sembunyi-sembunyi menyabung ayam. Hingga suatu hari, salah-seorang bujang Haji melihatnya. Bergegaslah bujang itu lari-lari kecil pulang untuk melapor. ‘Tuan Guru, Tuan Guru… celaka urusan.’ Tersengal si bujang melapor. ‘Celaka apanya, Malih?’ Haji itu bertanya. ‘Anak Tuan Guru… aku melihatnya menyabung ayam di kota.’ Terkejutlah Haji itu, ‘Astagfirullah. Astagfirullah.’ Ber-istigfar berkali-kali. ‘Sungguh anak tidak tahu berbudi, mau ditaruh kemana mukaku.’ Haji itu mengurut dadanya yang sesak. ‘Tapi… tapi…’ si Bujang terbata-bata menyela. ‘Tapi apa, Malih?’ Haji itu cemas bertanya lagi. ‘Tapi anak Tuan Guru menang.’ si Bujang memberitahu. ‘Alhamdulillah.’ Haji itu seketika tersenyum lebar.” 
Aku tertawa gelak memegangi perut mendengar cerita Wak Yati. Astaga, benarkah cerita anak Pak Haji ini?
“Tentu saja itu olok-olok, Burlian.” Wak Yati menatapku lamat-lamat. “Hanya olok-olok… tapi kau harus ingat kata-kata Wawak.. NIET PROBEREN… jangan sekali-kali kau mencoba berjudi. Sekali kau melakukannya, maka tabiat buruk itu seperti stempel yang dicap dijidat kau. Tidak akan pernah hilang, tidak akan pernah bisa sembuh. Esok-lusa saat mendapatkan kesempatan lagi, kau tidak akan tahan godaannya, dan ketika itu terjadi, boleh jadi tabiat kau bisa lebih menggelikan dibandingkan olok-olok anak Haji itu.”
***
Sumpah, aku mendengarkan baik-baik petuah Wak Yati, tetapi kalau menaatinya itu urusan yang berbeda. Lagipula urusan ini juga bukan semata-mata salahku. Seminggu berlalu, penjualan kupon SDSB itu justru dibuka di kampung kami. Wak Lihan tega menyewakan bagian bawah rumah panggungnya untuk dijadikan loket SDSB. Maka warga kampung tidak perlu lagi jauh-jauh ke kota kecamatan untuk membeli kertas sumbangan berhadiah itu.
“Oi! Hampir saja… aku sudah pasang lima lembar nomor 3798 seperti yang diceracaukan Samsurat beberapa hari lalu. Sudah bermimpi bisa punya rumah baru, ternyata yang keluar 3789. Dasar bedebah!” Salah seorang dari kerumunan laki-laki dewasa yang duduk menonton pertandingan bola di stasiun kereta memulai pembicaraan.
“Kau masih beruntung. Aku bahkan menghabiskan uang hasil jualan getah karetku. Aku pasang semua, 4 angka, 3 angka dan 2 angka. Meleset semua. Sialan sekali Samsurat memberi nomor selalu kalau tidak salah di angka terakhirnya, salah di angka ketiganya. Habis semua uangku. Istriku marah-marah. Uang rokokku disita untuk membeli beras. Tidak bisa merokok aku sekarang. Tidak punya uang.”
“Kau linting sajalah kertas SDSB-nya, dijadikan rokok. Beres bukan?” Yang lain menimpali, membuat pinggir lapangan ramai oleh tawa.
Dan bagian paling seru diperdebatkan bukan soal berapa jumlah uang yang hilang minggu lalu, bukan pula ekspresi kecewa betapa tipisnya perbedaan nomor itu, yang ramai dibicarakan adalah Rabu ini akan pasang nomor berapa. Wak Yati benar, judi itu merusak bukan soal uangnya yang hilang sia-sia, tapi karena proses judi itu sendiri. Mengikat buhul tangan siapa saja, dan sekali terjebak, maka susah sekali untuk berhenti. Angan-angan indah itu mengalahkan fakta sudah berapa banyak kerusakan yang diperbuat.
“Apa kata Samsurat?” Seseorang memulai lagi.
“Belum ada. Dia masih diam, enggan bicara. Padahal sudah hari Selasa, dia belum juga memberikan nomor tebakan.”
“Oi, bahaya ini, kalau besok dia tetap tidak menyebut sembarang angka, kita akan pasang apa? Ada banyak sekali kemungkinannya.” Yang lain berseru menggelengkan kepala. Diikuti oleh suara keluh yang lain.
“Kalian tahu, aku semalam mimpi ganjil sekali. Aku mimpi menangkap seekor ikan, dan anehnya di badan ikan itu seperti tertulis angka-angka—“ Salah-satu pemuda di antara mereka menyela, bercerita.
“Oi, kalau kau yang mimpi tidak ada gunanya.” Seseorang segera memotong.
“Benar! Minggu lalu keempat-empat angka yang kau pasang tidak ada yang cocok satu pun. Kami tidak akan percaya.” Kerumunan itu ramai oleh tawa merendahkan.
“Kalau begini, harus ada yang bisa membujuk Samsurat menebak nomornya. Malam ini, kita datangi dia di bale-bale. Kita harus bujuk dia.” Cetus pemuda yang duduk paling pojok, menghentikan suara tawa. Yang lain mengangguk-angguk setuju.
Aku yang kebetulan duduk jongkok di dekat kerumunan itu mendesah kecewa. Tadinya kupikir mereka sudah punya bocoran nomor tebakan dari Samsurat. 
Sejak loket itu dibuka di bawah rumah panggung Wak Lihan, aku sembunyi-sembunyi ikut memasang angka. Awalnya hanya coba-coba, ingin tahu seperti apa rasanya. Dua minggu lewat, sensasi ikut-ikutan itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang menarik. Perasaan tegang bercampur seru. Tegang karena takut ketahuan Mamak, seru karena setiap pagi-pagi Kamis tidak sabar mendengar kabar nomor berapa yang keluar dari bisik-bisik warga kampung. Aku tidak berani mendengarkan siaran langsungnya di rumah. 
Anak kampung lain juga ikut-ikutan memasang nomor SDSB. Aku pernah bertemu Munjib dan Can yang sembunyi-sembunyi masuk ke loket. Bersitatap tahu sama tahu. Lantas tanpa banyak bicara bergegas mengeluarkan uang, menyebut angka keberuntungan masing-masing. Balik kanan, pulang ke rumah masing-masing. 
Loket SDSB di bawah rumah panggung Wak Lihan mulai buka sejak Rabu pagi. Sepanjang hari penduduk kampung bisa memasang nomor di sana. Loket itu baru sore hari. Persis pukul lima sore, petugasnya akan bergegas ke kota kecamatan, melaporkan berapa banyak kertas yang terjual dan nomor apa saja yang dipasang. Lantas petugas kota kecamatan secara berantai melaporkannya ke kota kabupaten. 
Meski pembelian kertas SDSB hanya dilayani Rabu, hampir setiap hari ada saja tetangga yang duduk-duduk di loket itu. Sibuk berbincang tentang nomor bertuah, tentang mimpi yang boleh jadi isyarat angka-angka. Mencari petunjuk dari kejadian ganjil. Dan setiap Rabu, semakin sore orang yang duduk-duduk di sana semakin ramai, tidak peduli gerimis membasuh kampung. Mereka menunggu malam, menunggu siaran radio.
Kampung kami benar-benar punya kesibukan baru.

0 komentar:

Posting Komentar