Rabu, 29 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 18. SURAT DARI KEIKO
---------------------------------------

“Kau mau kemana?” Ayuk Eli bertanya saat aku melangkah ke arah jalan lain, berpisah dari rombongan anak-anak yang baru pulang dari mengaji di rumah panggung Nek Kiba.
“Ke tenda Nakamura.”
“Ke sana lagi?” Ayuk Eli menatap tajam, “Hampir setiap malam kau ke sana, memangnya PR-PR kau sudah dikerjakan?”
Aku mengangguk (bohong). 
“Amelia ikut, Kak.” Amelia tiba-tiba mendekat, angin malam membuat obor di tangannya meliuk pelan.
“Pulang, Amelia. Nanti kau dimarahi Mamak.” Ayuk Eli menarik tangan Amelia.
“Yaaah… Kak Burlian kenapa boleh main ke sana? Tidak pernah dimarahi Mamak.”
“Biarin saja, kata Mamak paling juga Burlian mau dibawa ke Jepang.” Ayuk Eli nyengir. Aku tidak mempedulikan, melangkah menuju lapangan stasiun kereta. 
“Jangan pulang terlalu larut, biar besok kau tidak bangun kesiangan.” Suara teriakan Ayuk Eli terdengar dari belakang. 
Tere Liye : Burlian

Malam ini langit terlihat indah. Dari kampung kami, bintang-bintang memang terlihat lebih terang-gemerlap. Rasi-rasi yang penuh arti, hamparan gagah gugusan bintang galaksi bima sakti, semuanya terlihat menawan di langit yang jernih tanpa tersaput awan. Apalagi langit kampung bersih dari polusi cahaya lampu; hanya kerlip obor, petromaks atau lampu canting yang terlihat dari beranda rumah-rumah panggung. Aku berusaha melindungi obor dari terpaan angin malam yang semakin kencang, bergegas menuju salah-satu tenda oranye.
“Hallo… Konbangwa. Shitsurei shimasu. Selamat malam, permisi.“ Kepalaku menyeruak ke balik pintu tenda. Berkenalan beberapa minggu dengan Nakamura membuatku bisa mengucapkan sepatah-dua patah bahasa Jepang.
Kosong. Tidak ada Nakamura di dalamnya. Melihat ke sekeliling, beberapa insinyur dari Korea-Jepang sedang bermain gitar, tertawa riang entah menyanyikan lagu apa. Setiap tiba di refrain tertentu mereka merentangkan tangan, berdiri. Pura-pura saling memukul bahu. Aku menatap lebih detail, siapa tahu Nakamura sedang duduk bersama mereka. 
“Nakamura-san menunggumu di bukit kampung, Burlian-kun.” Salah seorang dari mereka memberitahu sebelum aku bertanya duluan. Tangannya menunjuk ke depan, “Di sana, kau rihat? Benar, yang ada obornya.”
“Arigatou gozaimasu, Jang Dong-san.” Aku mengangguk, menggaruk rambut yang tidak gatal. Apa pula yang sedang dikerjakan Nakamura di atas bukit malam-malam berangin kencang, melihat pemandangan kampung dari ketinggian? Itu tidak ada seru-serunya kecuali gelap. Aku bergegas membawa obor menuju bukit kampung. 
Awalnya, aku tidak tahu benda apa yang sedang dipegang-pegang Nakamura. Dia asyik sekali mengintip dari tabung panjang yang disanggah tiga tiang besi, sampai tidak tahu kalau aku sudah berdiri lima langkah di depannya. Panjang benda itu sekitar satu meter, dengan diameter sebesar paha orang dewasa. Pasti lumayan berat membawanya ke bukit kampung.
“Ah, Burlian-kun… kau dathang thepat wakthu, ayo mari ke sini.” Nakamura tertawa, menunjukkan tabung panjang di depannya. 
“Ayo berkenalan dengan Tori-tori…”
“Toli-toli?”
“Ya, nama benda ini. Nama yang bagus, bukan?” Nakamura mengangkat bahunya, “Aku pernah mengerjakan jaran di kampung yang bernama Tori-tori. Di balai kampung mereka ada meriam besar peninggarlan jaman Oranda. Hebat sekarli meriam tua itu, masih berdentum nyaring ketika digunakan. Nah, semoga teropong ini juga sehebat meriam itu.”
Jadi nama itu berasal dari meriam peninggalan Belanda? Aku nyengir, menahan tawa. 
“A, kirai da? Kau tidak suka? Ah, rupakan soal namanya… Ini therleskop, Burlian-kun. Kau pasti pernah dengar… theropong binthang!” Nakamura dengan bangga memperkenalkan benda itu, “Baru dathang tadi pagi langsung dari Parlembang. Aku pesan ini dari Singapore, akhirnya tiba setelah hampir dua burlan tertahan di bea cukai Tanjyung Priok….rama sekarli aku menunggu benda ini. Ayo, mendekat, jyangan ragu-ragu, pegang saja. Coba khau inthip dari sini…. Come-on, Tori-tori tidak akan menggigitmu.”
Adalah lima belas menit Nakamura mengajariku menggunakan benda itu, memutar-mutar pergelangan zoom dan fokus lensanya, mengarahkan tabungnya berputar ke kanan-kiri, atas-bawah. Itu lima menit yang mengagumkan, tidak peduli kalau obor yang kutancapkan di tanah sudah sejak tadi padam ditiup angin malam yang semakin kencang. Menatap bintang-bintang itu dengan mata telanjang saja sudah mengagumkan, apalagi dengan teleskop hebat Nakamura. Fantastis.
“Itu formasi ‘busur dewa-dewa’, Burlian-kun…. Itu rasi bintang kesayangan Keiko-chan…. Dia setiap kali kuajak mendaki bukit kota Tokyo, mengintip langit jauh dari keramaian cahaya lampu kota, selalu betah berjam-jam hanya untuk melihat formasi bintang itu.” Nakamura tertawa, yang sayangnya aku tidak terlalu memperhatikan kalau tawa itu getir sekali.
Setengah jam berlalu, aku baru tahu kalau ada banyak sekali formasi bintang hebat di atas sana. Menggaruk rambut yang tidak gatal, membayangkan betapa kreatifnya orang jaman dulu, bisa-bisanya memberi setiap rasi bintang itu satu nama hebat. 
Seperti halnya Keiko, aku segera memiliki formasi bintang favorit, apalagi kalau bukan Gemini. Itu cocok benar dengan rasi bintangku. Nakamura tertawa mendengar alasannya.
Waktu berjalan tidak terasa, setelah lelah satu jam memicingkan mata, membungkuk-bungkuk mengintip, aku duduk menjeplak di atas rumput lembab. Dingin. Merapatkan sarung yang sejak pulang dari tempat mengaji Nek Kiba sudah kuselempangkan.
“Khalau saja malam ini fhurnama, itu akan lebih seru raghi, Burlian-kun…” Nakamura ikut duduk di sebelah.
Aku mengangguk setuju.
“Khau tahu, menurut kepercayaan orang Jepang, jika ada dua orang yang memandang bulan fhurnama di saat bersamaan, maka tidak pedulri seberapa jauh kau terpisah dengannya, kau seorah bisa saring merihat wajah satu sama rain.”
Aku kali ini tidak langsung mengangguk, menatap sangsi. Aku menunggu Nakamura tertawa, karena biasanya selepas bicara seperti itu, dia akan tertawa. Walau baru mengenalnya dua bulan terakhir, aku sedikit-banyak tahu tabiat Nakamura, olok-olok ‘kelapa muda bikin cacingan’ saja dia tertawa, apalagi cerita aneh soal purnama itu. Tapi Nakamura tidak tertawa, hanya menatap lamat-lamat ke arah bulan sabit.
“Kau tahu, Burlian-kun… setiap purnama tiba, Keiko-chan selalu bersemangat berteriak-teriak memanggil kami sekeluarga. Berlarian menaiki tangga menuju roteng, membuka tutup roteng, rantas berdiri di atap rumah, membawa therleskop mini-nya…. Andaikata maram ini fhurnama, Keiko-chan pastirah sedang bersama therleskopnya. rihat, aku juga sekarang punya therleskop, maka aku pasti bisa menatap wajah Keiko-chan dengan kepang rambutnya. Menatap wajah manisnya… tidak pedurli sebarapa jauh kami terpisah.”
Untuk pertama-kalinya aku merasa Nakamura kehilangan seluruh keriangan yang dia miliki. Menguap bersama dinginnya malam dan bulan menyabit tertutup awan. Untuk pertama-kalinya aku merasa intonasi suara Nakamura terasa ganjil, seperti suara Mamak yang sedang cemas memikirkan kami.
“Kapan Nakamura terakhir kali bertemu Keiko?” Aku bertanya pelan.
Nakamura menghela nafas, terdiam sebentar, “Dua tahun sirlam.”
Aku menelan ludah. Itu berarti sudah dua kali lebaran puasa. Tidak terbayang Keiko ber-lebaran tanpa orang-tuanya, Mamak lupa membelikan baju baru saja sudah menyesakkan, apalagi kalau Mamak tidak ada di rumah malam takbiran. Aku mengangguk-angguk sok-ikut bersimpati, lupa kalau di Jepang sana tidak ada yang ber-lebaran puasa.
“Kau dan Keiko-chan sepantaran, Burlian-kun. Parling hanya berbeda usia hitungan burlan… dia sama beraninya seperti kau, mudah bergaul dengan orang asing sekarlipun, cerdas, pandai bicara bahkan dengan orang yang jauh rebih tua dari karlian… Keiko-chan suka panjyat-panjyat, meski aku tidak tahu apakah dia sepintar kau memanjyat pohon kerapa… dan tentu saja yang pasti kalian sama-sama nakal, Keiko-chan suka sekarli menganggap ringan nasehat Mama-nya.” Nakamura tertawa kecil, menyeka sudut mata.
“Saat aku pulang cuti selama tiga minggu dua tahun lalu, dia sebenarnya senang sekarli. Dia tidak henti mengajakku berkerliring kota. Kami menaiki kereta, berjalan di trotoar, dia semangat menunjukkan bagian-bagian kota yang berubah sejak terakhir karli aku pulang… Kami duduk di bawah guguran bunga sakura untuk makan siang, lantas malamnya duduk di korlam air mancur kota untuk melihat bintang-bintang… dia senang sekali…” Nakamura semakin sering menyeka mata, membuat aku sungkan melirik ke sebelah, hanya bisa tertunduk. 
“Tapi semakin dekat hari kepurlanganku kembarli ke Jakarta, Keiko-chan berubah menjadi pendiam. Ia enggan menegur, marlas kerluar kamar, dan seperti menghindari bertemu denganku… Gadis kecil itu seperti ingin bilang sesuatu. Ingin menunjukkan kalau dia tidak mau Papanya pergi… Waktu hari keberangkatan, Keiko-chan menangis.. dia menangis, Burlian-kun. Untuk anak kecil yang serarlu tertawa riang, merlihatnya menangis sungguh menusuk perasaan. Apalagi itu adalah puteri cantikku… Kanojo wa kirei na musume da…” Suara Nakamura terhenti sebentar, “Keiko-chan birlang, Papa tidak boleh pergi! Papa tidak borleh kembali ke Jakarta! Dia tidak mau berpisah walau semenit denganku…”
Suara burung hantu terdengar dari kejauhan, mengisi senyap sejenak.
“Aku memerluknya, menjerlaskan banyak harl… sia-sia, Keiko-chan justru berteriak marah di bandara… dia membanting hadiah riontin perpisahan yang kuberikan… berlari meninggalkanku sambil berteriak, ‘Papa jahat! Papa hidoi! Papa tidak sayang Keiko! Papa lebih sayang orang lain’…. Watashino koto wo ki ni shinaide….” Nakamura sekarang benar-benar terhenti, suaranya tercekat, dia mendongak mencegah aku melihatnya menangis.
“Itu hari terburuk bagiku, Burlian-kun… tapi aku tidak bisa membatarlkannya. Bukan semata-mata karena aku terikat kontrak pekerjaan, tapi rebih karena semua yang kukerjakan ini akan menjadi contoh baginya karlau berbuat baik bagi orang lain, bermanfaat bagi orang banyak, jauh rebih berharga dibandingkan apapun… Membangun jarlan-jarlan ini… ini semua bukan sekadar menumpahkan batu dan asparu, bukan sekada-r membuat parito dan zembatan. Ini semua tentang masa-depan orang-orang yang dirlewati proyek jalran… Tapi Keiko-chan masih terlalu kecil untuk mengerti. Ia berlari pergi… Ia membenci Papanya. Kanojou wa otousan no koto wo nikunde iru… kanojou…”
Angin malam membuat teropong bintang berderit. 
“Sejak Keiko-chan masih bayi, saat itu aku masih bertugas di Kamboja, aku serlaru rajin mengiriminya surat. Mamanya yang membacakan… Saat dia sekora-h, bisa menulis kanji, tulisan pertama yang dibuatnya adarlah barlasan surat untukku. Dan sejak itu kami setiap bulan berkirim surat… aku bertanya kabar sekorlahnya, dia bertanya tentang tempat-tempat yang aku lewati… Durlu dia rajin sekarli membarlas surat-surat itu. Tidak pernah terlambat.”
“Dua tahun terakhir, sejak keributan di bandara, Keiko-chan tidak pernah lagi membarlas surat-suratku, Mamanya yang membarlas… mengabarkan karlau Keiko-chan ikut kontes Masquerade di televisi, bercerita Keiko-chan menjadi pengibar bendera di sekorlah, bilang tangan Keiko-chan patah saat terjatuh di taman… tentu saja aku tetap tahu kabar Keiko-chan dari surat-surat itu, tapi semuanya akan berbeda jika itu diturlis oleh ia sendiri. Sungguh akan berbeda… Dan yang rebih menyedihkan, hingga hari ini aku tidak tahu seberapa benci ia padaku… ah, karlau kau sempat bertemu dengannya, karlian akan jadi teman baik, Burlian-kun… dua monstar nakal yang terlalu percaya diri. Karlian cocok benar.” Nakamura tertawa kecil di tengah suara seraknya.
Aku menggaruk rambut bingung mau berkomentar apa.
“Mou osoi ne… Sudah malam…” Nakamura melirik pergelangan tangannya setelah kami terdiam agak lama, “Mari kuantar pulang, nanti Mamak kau marah-marah karau kau pulang sendirian selarut ini. Ayo, Burlian-kun.”
Aku menggangguk. Oi, itulah yang membuat Mamak tidak bisa marah kalau aku mampir ke tenda Nakamura selepas mengaji dari Nek Kiba. Nakamura selalu mengantarku pulang, dan di depan rumah, saat Mamak melotot membukakan pintu, bersiap mengomel, Nakamura juga selalu lebih dulu bilang, “Mamak, aku belum pernah bertemu anak sesopan dan sepandai Burlian-kun…. Anda pastirah mendidik dia dengan baik.” 
Bagaimana Mamak akan mengomeliku?

***
Dua bulan berlalu, percakapan malam itu selalu terngiang di telingaku. Meski selama dua bulan itu, tenda-tenda oranye itu sudah dipindahkan dua kali. Rombongan Koera itu perlahan meninggalkan kampung kami, terus maju belasan pal berikutnya, ke lokasi baru yang tidak mudah aku capai dengan jalan kaki. 
Maka kebiasaanku mengunjungi tenda Nakamura selepas sekolah atau sepulang mengaji terputus. Mereka sudah terlampau jauh. 
Jalan di depan kampung kami sudah mulus. Aroma aspalnya masih tercium di minggu-minggu pertama, orang-orang jadi senang berkumpul di tepi jalan, duduk jongkok, pindah dari bale-bale bambu, meski beberapa minggu kemudian kebiasaan aneh itu berhenti, karena mereka sering diteriaki “Kampungan!” oleh mobil atau truk yang melintas.
Aku tahu, untuk mengirimkan satu surat ke Jepang di masa itu membutuhkan waktu hampir satu bulan, panjang sekali perjalanannya melewati lautan. Dengan balasannya (asumsi surat itu dibalas), maka membutuhkan sebulan lagi. Aku sedikit banyak bisa membayangkan cerita Nakamura malam itu, tentu menyedihkan baginya, ternyata dua bulan menunggu itu sia-sia, pengharapan untuk yang kesekian kalinya itu berakhir kecewa, yang hadir hanya surat istrinya, tidak ada surat Keiko di dalam amplop berstempel huruf kanji itu. 
Semua ini terlihat tidak adil bagi Nakamura. Dia menjadi ‘orang tua’ yang hebat bagi anak-anak di setiap jengkal jalan yang dilewati rombongannya, menjadi orang yang dihormati dan disegani penduduk kampung, mendapatkan rasa sayang dari orang-orang yang bahkan tidak dikenalnya, tidak sewarna kulit, apalagi se-bahasa. Tapi itu semua justru tidak ia dapatkan dari anak satu-satunya. Maka aku memutuskan melakukan sesuatu.
Sesuatu yang membuat Nakamura tergopoh-gopoh dua bulan persis setelah pembicaraan sambil mengintip bintang itu. Dia datang menumpang truk pasir proyek, menyapa Bapak yang sedang memperbaiki bubu di beranda, menegur Mamak yang menjemur jamur tiram di halaman. Dan Nakamura berseru-seru tidak sabaran memanggilku. Hanya dalam hitungan detik, dengan mata berkaca-kaca dia menunjukkan amplop cokelat besar itu.
“Burlian-kun… kau rihat.. oh, kau harus rihat.” 
Ayuk Eli yang lagi menyetrika di dalam ikut mendekat.
“Ini surat Keiko-chan.. ya Tuhan… ini surat Keiko-chan.. kau baca, Burlian-kun… Kau baca.” Lembar surat yang satu, dua, bahkan belasan itu berjatuhan dari tangan bergetar Nakamura. 
Ayuk Eli menunduk, mengambil salah-satunya. Tertegun. Mana bisa dia membaca huruf kanji itu. Tapi aku tahu, meski aku juga tidak bisa membacanya, surat itu pastilah amat spesial bagi Nakamura. Setelah dua tahun, setelah sekian lama menunggu, akhirnya ada surat dari Keiko. Tidak hanya satu-dua lembar, melainkan sembilan belas lembar, dan di beberapa kertasnya, terlihat bercak-bercak air memudarkan tinta. 
Mungkin itu air mata Keiko saat menuliskannya.
“Dear Papa, Anata ga inakute watashi wa samishii, totemo samishii… Keiko rindu sekali… teramat rindu.. tidak bisa Keiko katakan seberapa besar perasaan rindu itu… setiap purnama, Keiko selalu berdiri di atap rumah, melihat bulan dengan teleskop hadiah ulang tahun Papa, berharap bisa melihat wajah Papa yang selalu tersenyum meski senakal apapun Keiko… 
“Pa, kalau saja Keiko bisa terbang, maka Keiko akan terbang ke tempat Papa saat ini juga… terbang mengajak Papa mengelilingi dunia, dan bilang ke semua anak yang ada di seluruh dunia, inilah Papa Keiko.. orang paling hebat yang Keiko kenal.. orang yang paling Keiko banggakan.” 
Nakamura berhenti sebentar membaca surat itu, berusaha mendongak. 
“Sungguh maafkan Keiko yang selama ini egois, tidak mau mengerti. Maafkan Keiko yang berlari meninggalkan Papa di bandara. Maafkan Keiko yang tidak pernah membalas surat-surat Papa, sungguh maafkan… Keiko ingin terus, terus dan terus menulis surat yang panjang untuk Papa, mengganti surat-surat sebelumnya yang tidak terbalas… Tapi Mama sudah tiga kali menyuruh Keiko tidur… Papa tahu, sekarang sudah pukul 02.15 di Tokyo, langit malam terlihat cerah dari jendela kamar Keiko. Sekarang sedang musim salju. Dingin sekali rasanya di luar, tapi di sini, dengan bertemankan surat dari Papa, Keiko akan selalu merasa hangat. Peluk cium Keiko untuk Papa. Peluk cium Keiko 1000x.”
Nakamura melipat lembaran terakhir surat itu. Terdiam.
Bapak, Mamak saling pandang. Sejak tadi tidak mengerti benar apa muasal dan maksud Nakamura tiba-tiba datang dengan wajah terharu. Ayuk Eli menyeka mata, meski dia sering mengolok-olok aku (soal Nakamura ini), tapi mendengar surat itu dibacakan, membuatnya ikut terharu. Aku hanya menggaruk ujung hidung yang tidak gatal.
“Arigatou, Burlian-kun.” Nakamura memeluk kepalaku.
Lantas Nakamura menatap Mamak penuh pernghargaan. “Mamak, meski aku terlah berkali-kali birlang setiap mengantar Burlian-kun pulang, tapi kari ini, ijinkan aku mengurlanginya lagi untuk kesekian kalinya… Mamak, aku belum pernah bertemu anak sebaik-hati Burlian-kun. Dia berbeda, sungguh spesyaru…. Anda pastirah selama ini telah mendidik Burlian-kun dengan baik.”
Yeah, meski aku tahu persis, kalimat sakti endorser Nakamura itu paling hanya bertahan beberapa hari membuat Mamak selalu tersenyum melihatku. Setidaknya siang itu aku bisa tersenyum jumawa ke arah Ayuk Eli. 
Seminggu kemudian, teriakan Mamak yang menyuruh, memarahi dan mengomeliku kembali terdengar, “BURLIAAN!!”

***
Akulah yang membuat Keiko akhirnya mengirimkan surat. 
Sehari setelah percakapan di bukit kampung itu, aku memutuskan mengirimkan surat ke Keiko di Tokyo sana. Jang Dong, salah satu insinyur Korea di tenda-tenda oranye itu berbaik-hati memberikan alamat rumah Nakamura. Dan aku mengirimkan surat itu lewat kantor pos kota kecamatan. Keiko bingung menerima surat berbahasa Indonesia itu. Mamanya memutuskan mengontak kedutaan Indonesia di Jepang, yang kemudian membantu menterjemahkannya.
Aku tidak bilang banyak di surat itu. Hanya menulis: 
“Dear Keiko, saat kau membaca surat ini, kau pasti sama sekali tidak punya ide siapa yang telah mengirimkan surat ini, tapi ajaib, aku mengenalmu dengan sangat baik, bahkan aku tahu kalau kau suka memanjat pohon sakura di depan rumahmu sambil membawa kucing kesayangan…. 
Surat ini datang dari jarak puluhan ribu kilometer dari tempatmu sekarang…. Di sini, di kampungku yang kalau malam tidak berlampu selain obor bambu dan cahaya kunang-kunang. Di sini, di kampungku yang tidak gemerlap dan tidak indah selain tebaran jutaan bintang (yang salah-satunya pastilah kau kenal sekali: rasi busur dewa-dewa). Di sini, di kampungku yang tidak terlihat di peta-peta, jauh dari mana-mana, di tempat yang tidak penting dan tidak mudah dibayangkan banyak orang… 
Tetapi ada seseorang yang datang menjadi pahlawan bagi kami. Seseorang yang selalu memanggilku Burlian-kun, Burlian-kun (jujur saja aku selalu hendak tertawa saat dipanggil begitu). Orang itu selalu bercerita tentang kau, tentang permata paling indah miliknya, tentang orang yang paling disayanginya. Orang itu menjadi dewa penyelamat kampung kami, juga ribuan kampung-kampung lainnya di pelosok hutan, karena dia memberikan ‘jalan’ bagi kami… Jalan baik dalam artian sesungguhnya, atau dalam artian memberikan jalan bagi kesempatan masa depan kami yang lebih baik.
Kau sudah seharusnya bangga, Keiko. Karena Papa-mu adalah orang hebat. Aku ingin sekali mengatakan ini berkali-kali, berkali-kali, berkali-kali secara langsung kepadamu, tapi sayangnya Mamak pasti tidak mengijinkanku pergi jauh. Terus-terang saja, melihat kapalpun aku belum pernah, jadi mana mungkin aku bisa ke Jepang…. Ah iya, kau tahu berapa jumlah kapal yang melewati Terusan Panama setiap hari? Aku tahu…” 
Dan seterusnya… dan seterusnya…

***
Waktu melesat tanpa terasa. Musim kemarau hampir terlewati.
Terakhir kali aku bertemu Nakamura saat jalan yang dibangunnya sudah lebih dari empat puluh kilometer dari kampung kami. Dia yang barusaja pulang dari rapat rutin enam bulanan di kota provinsi singgah menjemputku, mengajakku bermalam, melihat lokasi kerja terbarunya. Nakamura berjanji, besok pagi-pagi aku akan diantar pulang oleh salah-satu insinyurnya, lagipula besok tanggal merah, sekolah libur. Mamak mengangguk, tidak keberatan.
Nakamura malam-malam mengajakku duduk tempat paling tinggi di sekitar lokasi kerja barunya. Menyuruhku menggunakan teropong bintang melihat kelokan jalan dari kejauhan. Di setiap beberapa puluh meter jalan itu sudah diberikan obor bambu, jadi amat menakjubkan melihatnya. Barisan obor-obor itu laksana naga api yang berkelok, kerlap-kerlip.
Ada banyak yang kami bicarakan sambil tertawa malam itu, kebanyakan bergurau tentang tabu, pantangan atau cerita aneh kampung-kampung yang pernah dilewati Nakamura. “Kau tahu, Burlian-kun. Bapak, Mamak kau pastilah pernah birlang, jangan makan sambir tidur, nanti kotoran yang kau kerluarkan jadi panjyang.” Aku sudah tertawa duluan, benar, Mamak pernah bilang itu. “Itu bohong, Burlian-kun. Itu cara mereka agar besok-rusa tidak perlu repot mencuci seprai tempat tidur yang terkena makanan tumpah.” 
Malam berlalu menyenangkan. Nakamura juga membacakan surat kedua yang barusaja diterimanya dari Keiko. Bilang kalau Keiko ingin sekali berkenalan denganku. Aku manggut-manggut mendengarnya. 
Tapi malam itu, di bawah selungkup taburan juta bintang, bulan yang menyabit, ada sebuah kalimat yang tidak akan pernah aku lupakan dari Nakamaru.
“Kemanakah jalan-jalan ini akan berujung?” Aku bertanya sambil tertegun menyaksikan kelokan api naga itu yang jauh memanjang.
Nakamura terdiam sebentar. Mengelus rambutku, “Jalan ini tidak pernah berujung, Burlian-kun… tidak pernah… jalan-jalan ini akan terus mengalir merewati lembah-lembah basah, lereng-lereng gunung terjal, kota-kota ramai, desa-desa eksotis nan indah, tempat-tempat yang memberikan pengetahuan, tempat-tempat yang menjanjikan masa depan… lantas jalan ini akan terusss.. terus menuju perlabuhan-perlabuhan, bandara-bandara… dan dari sana kau bahkan bisa pergi rebih jauh lagi, menemukan sambungan jalan berikutnya… mengelilingi dunia… merlihat seluruh dunia, masa depan anak-anak kampung, masa depan bangsa karlia. Masa depan kau yang penuh kesempatan, Burlian-kun.”
Aku menelan ludah. Menatap wajah Nakamura yang tersenyum. Mendongak menatap langit… malam itu, aku seperti bisa melihat kalimat Nakamura barusan terlukis di antara gemerlap bintang. Aku akhirnya tahu, jalan di depan rumah tidak pernah memiliki ujung.
“Masa depan kau yang penuh kesempatan.” Itu hebat sekali. 
Setiap kali aku mengingat percakapan itu, bulu kudukku selalu merinding. Itulah masa depan kami. Anak-anak kampung.

0 komentar:

Posting Komentar