Rabu, 15 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 2. INI TANAH KAMI
---------------------------------
“BUMMM!!!”
Seluruh kampung terasa bergetar.
“BUMMM!!”
Dentuman itu semakin kencang terdengar.
Sejak tadi pagi, suara itu mengganggu kesibukan di kelas. Bukan hanya sekali, bunyinya setiap satu jam sekali. Membuat tulisan kapur di papan tulis hitam berguguran. Foto presiden dan wakil presiden di dinding bergetar merontokkan debu dan aku sejak tadi menatap lamat-lamat patung garuda yang diapit foto-foto itu, cemas kalau-kalau jatuh berdebam. Burung yang ini meski punya sayap tujuh belas helai bulu tidak bisa terbang, bukan? Jadi bisa hancur berantakan kalau sampai jatuh.
Kata Pak Bin, guru kelas kami, suara itu adalah dinamit yang diledakkan. Sedang ada tim dari kota yang melakukan eksplorasi geologis menyelidiki kandungan minyak di hutan dekat kampung. Mereka membuat lubang-lubang bor, menumpahkan serbuk bahan peledak ke dalam lubang itu, menyertainya dengan dinamit dan sumbu, lantas diledakkan. Kata Pak Bin lagi, tim eksplorasi itu membawa alat-alat pendeteksi minyak yang canggih, dan alat-alat itu bekerja atas getaran bom dari bawah tanah.
Tere Liye Burlian

“Mereka insinyur-insinyur yang hebat. Geologis. Dengan alat-alat itu, mereka bisa tahu apa saja isi perut bumi. Bisa tahu apakah di sana ada emas, perak atau tembaga… Bisa tahu apakah di dalam sana ada minyak bumi, batubara, gas alam.. Bahkan mereka bisa tahu apakah ada sungai-sungai yang mengalir di bawah tanah.”
“Memangnya di dalam tanah ada sungainya, Pak?” Munjib mengangkat tangan, wajahnya terpesona. Kawan kami yang satu ini memang suka sekali bertanya.
“Banyak. Juga ada danau-danau air yang terperangkap.”
“Ada ikannya tidak, Pak?” Munjib bertanya lagi.
Pak Bin menelan ludah, “Tentu saja tidak ada ikannya. Kalau ada, nanti kau malah diajak Bapak kau mancing kucur di bawah tanah segala.”
Seluruh kelas tertawa. Munjib menggaruk kepalanya. Si Munjib ini memang sering telat masuk sekolah, dan alasan dia selalu karena semalaman hingga subuh diajak bapaknya mancing kucur di sungai belakang kampung. 
“Tetapi terlepas soal ikan-ikan, kalian tidak akan pernah bisa membayangkan betapa luar-biasanya isi perut bumi.” Pak Bin melambaikan tangan, menyuruh seisi kelas diam, “Kalian tahu, berapa tebal perut bumi? Lebih dari enam ribu pal, atau sama dengan panjang pulau Sumatera tiga kali bolak-balik. Oi, kalian tahu gunung tertinggi di dunia? Puncak Himalaya hanya delapan pal. Karena itu banyak sekali rahasia alam yang ada di perut bumi. Emas misalnya, tekhnologi tambang dunia hari ini hanya bisa mengeduk emas paling hingga kedalaman ratusan meter saja, bayangkan jika bisa dikeduk belasan pal, puluhan pal, atau ratusan pal. Sungguh tidak akan terhitung berapa kandungan emasnya… Dan geologis-lah yang tahu soal itu. Karena itulah Bapak bilang tadi, mereka adalah insinyur-insinyur yang hebat.”
Kami manggut-manggut sok-mengerti. Separuh dari penjelasan itu sebenarnya terlalu rumit bagi anak-anak kampung, tapi separuhnya aku sudah tahu. Seminggu sebelumnya, saat menemani Bapak ke kebun mengambil cempedak yang sudah masak, aku melewati rombongan eksplorasi itu yang sedang bekerja. Dari jarak tiga puluh meter, setidaknya mereka terlihat bersepuluh. Lima diantaranya memakai rompi terang menyala, helm putih bertuliskan ‘safety first’, dan sepatu bot hitam. Mereka terlihat rapi, klimis dan wangi. Sementara sisanya memakai kaos butut, celana pendek, alas kaki seadanya sedang menjalankan mesin-mesin bor dengan pipa-pipa besar di sekitarnya. Tentu saja sisanya ini terlihat kusut, penuh lumpur dan bau tanah.
Aku tidak kenal lima yang rapi-rapi itu, tapi aku kenal sisanya yang kusut-kusut. Mereka adalah tetangga di kampung kami. Kata Bapak, sambil terus menyuruh awas melihat jalanan setapak di tengah hutan, pemuda-pemuda kampung itu dibayar mahal untuk membantu tim eksplorasi, lima kali lipat dari bayaran membantu di kebun seharian. “Kau tahu, Wak Lihan yang punya tanah tempat mereka bekerja tadi, diberikan ganti-rugi dua ratus ribu hanya supaya mereka diijinkan ngebor.”
Aku menelan ludah. Itu jumlah yang banyak sekali. Seharga mesin ketik yang aku dan Kak Pukat damba-dambakan selama ini.
“Mereka nyari minyak ya, Pak?”
Bapak mengangkat bahu, menggeleng malas.
“Mereka ngebor di mana saja, Pak?”
“Banyak, mereka membuat lubang bor di setiap berapa ratus meter, melewati jalur-jalur yang mereka kira ada minyaknya… Kau jangan banyak tanya dulu, Burlian, nanti cempedaknya jatuh.” Bapak berseru lagi, menyuruhku untuk awas dengan jalanan licin. Aku langsung menutup mulut, karena itu artinya Bapak sedang malas ditanya-tanya.
“BUUMM!!”
Suara dentuman terdengar lagi. Membuat pensil yang iseng ku-dirikan di atas meja roboh, lantas jatuh ke bawah meja. Aku bungkuk meraihnya, menggaruk-garuk hidung. Pak Bin di depan masih meneruskan penjelasan. Bilang minyak adalah komoditas yang penting bagi negara, minyak membuat negara kaya-raya. Dengan minyak, bisa membangun gedung-gedung tinggi, jalan-jalan bagus, listrik di mana-mana, fasilitas sekolah berlimpah. Minyak adalah kesejahteraan. Minyak adalah emas hitam.
“Pak, sekolahan insinyur itu gampang atau susah?” Munjib bertanya lagi.
“Gampang! Tapi pertama-tama kau harus berangkat ke sekolah tepat waktu dulu. Sisanya bisa diurus belakangan.” Pak Bin membuat seluruh kelas tertawa lagi. Sementara Munjib yang sejak tadi disindir hanya bisa menggaruk rambut.
Aku mendadak gatal ingin mengacungkan tangan seperti Munjib, tapi urung. Aku teringat wajah muram Bapak beberapa hari lalu di rapat kampung. “Oi! Bagaimana mungkin kalian tidak mengerti? Mereka tidak akan membawa manfaat apapun bagi kita. Lihatlah Prabumulih, di sana ladang minyaknya tidak terhitung, tapi apakah kehidupan kampungnya jadi lebih baik? Jalan-jalan diperbaiki? Kubangan di jalanan justru semakin banyak…. Listrik? Hingga hari ini, detik ini, sejak jaman Belanda minta tanah, jangankan listrik, satu lampu menyalapun tidak ada di sana, hanya lampu canting yang padam ditiup angin kencang. Apalagi di tempat kita yang jauh lebih terpencil, lebih pelosok. Omong-kosong janji mereka itu.” 
Orang-orang berseru ramai menanggapi kalimat Bapak. 
“Ini kampung kita. Hutan ini juga hutan leluhur kita. Kitalah yang harusnya memilikinya. Bukan orang-orang kaya dari kota. Sekarang mereka mencari minyak tanah, besok lusa mereka menebangi hutan untuk dijadikan kebun kelapa sawit, sampai habis seluruh hutan, sampai kita mencari sepotong kayu bakar saja tidak bisa lagi, apalagi berburu rusa-rusa, mengambil rotan, rebung dan sebagainya. Oi, hanya gara-gara uang berbilang dua ratus ribu saja kalian mau mengijinkan mereka mengebom tanah-tanah kita? Picik sekali.”
Orang-orang semakin ramai. Wajah Wak Lihan yang duduk di antara penduduk terlihat memerah, mungkin tersinggung atau boleh jadi marah besar dengan Bapak. Aku menguap, tidak terlalu mengerti apa yang sedang dipertengkarkan, menyelinap masuk lewat pintu depan, beranjak tidur di sebelah Amelia dan Ayuk Eli yang sudah tertidur dengan gaya anehnya, bergelung saling berpelukan.
“BUUMM!!”
Suara dentuman itu kembali menyadarkanku dari lamunan.
“Terakhir, Bapak pesankan, kalian jangan dekat-dekat mereka yang sedang bekerja. Bahaya! Itu bukan tempat bermain, nanti kalian terkena dinamit... Dengarkan Bapak, jangan sekali-kali bermain di sekitar mereka! ITU LARANGAN!” 
Aku tidak terlalu mendengarkan suara Pak Bin lagi—apalagi peringatannya, lonceng sekolah berdentang di sela dentuman tadi, dan kami bergegas menyiapkan tas. Pulang.
“Kata Bapakku, lubang-lubang itu dalamnya melebihi sumur. Dinamitnya sebesar paha, diikat lima-lima. Sumbu dinamitnya panjang seperti tali jemuran.” Munjib menyikut anak-anak yang berebut keluar dari kelas. Semangat menjelaskan.
“Memangnya Bapak kau pernah ke hutan? Bukannya kerjanya setiap hari hanya ke sungai mencari ikan?” Yang lain menimpali, tidak percaya.
“Kemarin… Bapakku kemarin sempat menonton mereka bekerja.”
“Kau ikut lihat mereka?” Yang lain masih sangsi.
“Aku tidak diajak. Aku justru baru mau lihat sore ini.”
“Bukankah Pak Bin tadi bilang kita dilarang dekat-dekat mereka?” Salah seorang anak perempuan mengingatkan.
“Itu cuma bisa-bisanya Pak Bin saja. Tidak ada yang melarang. Kata Bapakku, dia malah diijinkan membantu memasang dinamit.” Munjib berkata mantap. Seperti yakin benar apa yang dikatakannya, padahal seluruh kampung tahu, Bapak Munjib itu kalau sedang duduk di bale-bale bambu suka sekali ‘berlebihan’ bercerita. 
Aku tidak terlalu memperhatikan percakapan Munjib dan teman kelas lainnya sepanjang halaman sekolahan. Aku sudah berlarian pulang, mencari Kak Pukat yang menunggu di pagar sekolah. Setiba di rumah, membuka kudung di atas meja, menyeringai tipis melihat bakul nasi hanya dengan piring sayur terong tanpa lauk apapun. Kami makan siang cepat-cepat, melepas seragam, shalat dzuhur, kemudian berdua keluar ke halaman.
Rumah sepi, Amelia entah main di mana. Ayuk Eli di ruang tengah sedang menyetrika. Mamak dan Bapak pasti di kebun, menyiangi rumput dan ilalang, baru pulang menjelang petang. Tidak akan ada yang bertanya kemana kami pergi bermain, maka aku dan Kak Pukat melangkah mantap menuju gerbang jalan setapak hutan rimba.
Kampung kami terletak di kaki bukit barisan. Jika kalian jahil memanjat pohon bungur rakasasa di pekuburan belakang rumah—tempat burung pertanda kematian sering melenguh nyaring itu, lantas menatap ke arah barisan bukit, maka sejauh mata memandang hanya hamparan hijau yang terlihat. Di sanalah sumber kehidupan penduduk kampung. Kebun-kebun kopi tumbuh subur, karet, lada, tanaman padi tadah hujan, berselang-seling dengan hutan. Di sanalah mata pencaharian kami, sungai dengan ikan-ikan besar di dalamnya, hutan dengan rusa-rusa liar, dan berbagai obat-obatan alam. Sejauh ini kami tidak tahu kalau isi perut hutan juga dipenuhi sumber kehidupan, boleh jadi di dalamnya berlimpah minyak dan emas.
Ada banyak jalur jalan setapak di dalam rimba, dibuat penduduk kampung untuk ke kebun masing-masing, jalur yang aku dan Kak Pukat lewati sekarang. Tadi pagi, seperti anak-anak kampung lain yang penasaran, aku dan Kak Pukat sepakat untuk melihat dari jarak dekat si Pengebom hutan. Ingin tahu mereka mengerjakan apa saja. Nampaknya bakal seru melihat dinamit itu meledak dari jarak dekat. 
Aku terengah-engah mendaki bukit, Kak Pukat menyeka dahinya yang berpeluh. Matahari di atas kanopi hutan terik membakar. Ini semestinya perjalanan mudah, kami terbiasa melewati jalur ini, nafas kami tersengal karena bergegas berlari-lari kecil. Anak-anak penduduk kampung secara alamiah memiliki daya tahan sendiri di lingkungan mereka dibesarkan.
“BUUMMM!!!”
Dari jarak yang tinggal beberapa ratus meter lagi, suara dentuman itu terdengar hebat sekali. Burung-burung berterbangan. Jangkrik dan serangga hutan lainnya mendadak terdiam—meski setelah beberapa detik kemudian berisik lagi. Aku dan Kak Pukat saling bersitatap sebentar, tertawa, lantas berlari lebih cepat menuju arah dentuman. Tidak sabar ingin melihat langsung.
Kepulan mesiu masih tercium pekat saat kami mendekat. Orang-orang dengan rompi terang menyala itu sibuk memperhatikan alat-alat deteksi canggih mereka. Seseorang dari mereka berseru-seru memerintahkan pekerja kasar di sekitarnya agar terus bekerja. Yang lain bercakap-cakap serius, mencatat-catat sesuatu, mengukur-ukur sesuatu dengan benda di tangannya. Aku dan Kak Pukat melangkah lebih dekat, menggaruk-garuk rambut yang tidak gatal. Semua pemandangan ini hebat sekali. Kertas yang dicoret-coret. Peta yang terlihat aneh. Orang-orang yang terlihat pintar.
“HEI!! APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?” Seseorang tiba-tiba menghardik.
“Ergh?” Aku yang sudah tinggal tiga langkah dari mereka terperanjat.
“Bukankah sudah kubilang agar jangan ada lagi anak kecil yang berada di sekitar sini?” Orang itu berseru marah, meneriaki teman-temannya yang berompi menyala.
“Kami sudah bilang ke sekolahan dan kepala desa agar anak-anak itu dilarang bermain di sini, bos.” Seseorang sambil melepas helm putihnya berusaha menjelaskan. 
“Ini ada lagi monyet pengganggu!” 
Teman-temannya mengangkat bahu. Tidak tahu-menahu.
“MAU APA KALIAN DI SINI?” Orang itu membalik badannya, membentak.
“Ergh.. Mau nonton—“ Aku menjawab seadanya, apa yang terlintas di kepala.
“NONTON? MEMANGNYA INI BIOSKOP?” Orang itu menyergah cepat.
Aku serba-salah menjawab, tampang orang yang menghardik galak sekali. Kak Pukat berpikir dan berhitung cepat, dia segera menarik lenganku, mengajak menjauh. 
Aku menelan ludah, yaaah, kan hanya ingin lihat, ingin nonton, sungguh tidak akan mengganggu, teganya dilarang. Melangkah masygul mengikuti Kak Pukat. Padahal sudah capai berlari-lari sejauh tiga kilometer, sudah diniatkan benar, hasilnya diusir begitu saja. Belum juga lima belas detik melihat mereka bekerja.
Aku kecewa sekali, melewati jalanan setapak dengan kesal. 
“Hei! A-pa yang ka-li-an la-ku-kan di-si-ni?” Kak Pukat mengolok-olokku, berusaha menirukan orang galak itu sepanjang perjalanan pulang. 
Aku semakin kesal. Meski Bapak tidak pernah menjelaskan kenapa ‘kebenciannya’ muncul setiap kali melihat rombongan itu, siang itu, detik itu, aku tiba-tiba seperti tahu alasan Bapak. Ya, Bapak benar, memangnya ini tanah kakek-nenek mereka? Memangnya tanah ini mereka yang punya? Bah! Ini tanah kami. Hutan kami. 
“I-ni a-da la-gi mo-nyet peng-gang-gu!” Kak Pukat tertawa. 
Aku sudah tidak mendengarkan, wajahku gembung karena sebal. Di kepalaku sekarang langsung tertanam pemahaman ekstrem. Aku tahu kalau terlalu cepat menilai dan tidak adil terhadap rombongan tadi, tapi itu bukan salahku berprasangka buruk terhadap mereka. Apa hak mereka mengusir kami menonton? Malah tega dibilang monyet segala. Enak saja. Harusnya dengan tingkah pongah dan tidak sopan mereka, kamilah yang mengusir mereka. 
“Me-mang-nya i-ni bi-os-kop? ADUH!!” Kak Pukat yang terlalu asyik bergurau, tidak memperhatikan jalan, jatuh berdebam tersangkut tunggul. Aku nyengir lebar melanjutkan langkah kaki, syukurin, malas membantu Kak Pukat yang mengomel membersihkan debu tanah dari pantatnya. 
Tiga pal lewat, suara serangga terdengar berisik menjelang pintu gerbang hutan, bernyanyi seperti orkestra tanpa konduktor, atau macam keramaian di pasar malam. Aroma ‘kayu manis’ yang banyak tumbuh di pinggir kampung menyergap hidung bercampur dengan bau belukar yang habis ditebas, aku mendongak, wangi seperti ini selalu bisa membuat runsing kepala sedikit berkurang. Aromaterapi. 
“Kalian dari mana?”
Aku hampir menabrak Munjib yang bergegas masuk ke gerbang hutan, bersama beberapa teman sekelas lainnya.
“Eh, dari atas.” Aku menunjuk bukit. “Kau sendiri mau kemana?”
“Mau nonton yang nge-bom hutan.” Munjib menyeringai semangat.
Aku jadi teringat sesuatu, bukankah Munjib tadi siang yang bilang kalau Bapaknya sempat menonton mereka membuat lubang-lubang, bahkan bilang kalau Bapaknya diijinkan membantu memasang dinamit. Pastilah Munjib tidak tahu kalau Bapaknya seperti biasa cuma membual. 
Otak jahilku langsung bekerja.
“Menonton? Wah, kalau begitu kau harus bergegas, Kawan. Mereka tadi sempat membagibagikan kotak makanan.”
“Sungguh?”
“Yeah, ada tiket-tiket seperti di bioskop. Cepat sebelum kau kehabisan!”
Munjib bersama teman-temannya sudah berebut melesat.
*** 
Bertahun-tahun sejak kejadian itu, rombongan insinyur tersebut tidak terdengar kabarnya lagi. Mereka tidak pernah kembali. Hasil eksplorasi geologis itu kabarnya sia-sia. Bapak dalam suatu kesempatan pernah bilang, “Memang tidak pernah ada minyak di hutan kampung kita. Jaman penjajahan dulu, orang Belanda sudah pernah memeriksanya. Hasilnya nihil… Mereka saja yang bebal, tidak mau melihat data orang-orang Belanda itu.” 
Dan aku mengangguk mantap. Tanpa perlu alasan lagi, aku setuju sepenuhnya dengan separuh terakhir kalimat Bapak. Lupa kalau boleh jadi, ‘kebencian’ Bapak berasal dari kesimpulan pemikiran yang matang atas pengalamannya, berbeda denganku yang hanya berasal dari urusan dibilang ‘monyet’. 
Bah, kalian pasti benci dibilang monyet.
1). Pal: satuan jarak dari bahasa Belanda, paal; pemerintahan kolonial Belanda mewariskan konversi pal berbeda-beda. Di Jawa 1 pal setara dengan 1.507 meter, sedangkan di kampung kami (Sumatera) setara 1.852 meter. Perbedaan ukuran ini menarik, karena menurut pakar sejarah itu terkait praktik permainan jual-beli tanah perkebunan teh, tebu, dan sebagainya jaman dulu.
2). Mancing kucur: tidak beda dengan mancing biasa di sungai. Hanya saja dilakukan malam hari dengan umpan yang berbau amat menyengat agar menarik minat ikan. Jika kalian memegang umpan itu, baunya tidak akan hilang dua hari dua malam meski sudah dicuci berkali-kali.

0 komentar:

Posting Komentar