Selasa, 07 November 2017

Muhammad Muis : Pertemuan

1. Catatan dari Masa Silam

Di atas tempat tidur ia tergeletak tanpa daya dalam rintih kesakitan yang panjang. Ruang perawatan rumah sakit mendekapnya dalam kesunyian. Namun, dari kejauhan terdengar detak-detak sepatu para dokter, perawat, dan pengunjung yang berlalu lalang di lorong-lorong RS itu. Ketika melihatnya, aku terharu, sedih, dan prihatin. Rasa bersalah serta merta menikam sanubariku.

“Ya Allah.,” desahku dalam hati, “selamatkan dia..”

Ingatanku menerawang jauh. Lebih dari dua puluh tahun berlalu sudah. Begitu cepat rasanya waktu berlalu. Ketika itu aku masih SMA. Kami masih sangat muda dan kadang-kadang juga sedikit “gila”. Bolos, pura-pura lupa atau sengaja tidak membuat PR, dihukum guru karena berbagai hal, hingga-yang paling seru - mulai tertarik pada lawan jenis adalah rentetan contoh “kegilaan” kami. Sejujurnya, kalangan Hawa di sekolahku banyak yang cantik.

Kala itu ada seorang gadis yang terkenal di sekolahku. Selain cantik, ia cerdas dan jadi rebutan. Zakiah namanya. Aku amat menyukainya. Sebaliknya, ia sama sekali tidak memperlihatkan gelagat apa pun padaku! Tidak banyak gadis yang secantik dia.

Keterpesonaanku kepadanya bukan semata-mata pada kecantikannya, tetapi juga pada religiositasnya, keberagamaannya. Pikirku, aku ini terkenal badung, dan jika pacarku badung juga, kiamatlah dunia! Aku mengimpikan pacar yang akan kujadikan istri kelak. Teman-temanku pasti tertawa keras jika mereka tahu rencana itu.

Jarang kulihat gadis muda belia sealim Zakiah. Kendatipun saat itu kota kami hanyalah kota kecil, kawan-kawanku banyak yang bergaya seperti gadis-gadis kota dan mencontoh gaya hidup anak muda kota besar. Misalnya, mereka jarang salat dan senang menonton film di bioskop di kota. Rupa-rupanya pengaruh kuat media massa, terutama televisi dan film, sudah juga terasa pada kota kami.
Zakiah sering membawa mukena ke sekolah. Sering kulihat ia larut dalam doa yang panjang ketika bakda salat Zuhur jika aku kebetulan lewat di samping musala sekolah. Aku malu benar jika melihatnya seperti itu. Wajah itu begitu teduhnya, seteduh telaga, dan mengandung pesona, laksana pesona Cleopatra-si Ratu Mesir tempo dulu. Kedewasaan, pribadi, dan ketakwaannya itu amat memukau kami, terutama diriku.

Ia sering menolak secara halus jika diajak untuk ikut pesta ulang tahun atau menonton film layar tancap. Demikian juga jika ia diajak naik motor ketika akan berangkat atau pulang sekolah. Ia dan kawan-kawannya sering bersepeda ke sekolah. Teman-teman sering mengisengi mereka dengan berkata, “Awas betisnya nanti besar-besar bagai betis tukang becak Jakarta!” Kala itu, Jakarta hanya ada dalam angan kami. Jika mereka sedang bersepeda itulah aku sering menggodanya dari motorku. Ia biasanya hanya tersenyum, sedangkan kawan-kawannyanya bersuit-suit nakal. Tatkala naik motor seperti itu aku serasa seperti seorang Che Guevara-tokoh besar Revolusi Kuba. Aku serasa hebat, apalagi masa itu jarang sekali anak SMA bermotor ke sekolah.

Suatu kali Zakiah pernah bertanya banyak tentang aku kepada seorang teman akrabku. Aku kaget mendengar cerita itu. Hari itu ia benar-benar ingin tahu banyak tentangku. Itu mungkin karena surat-surat cintaku kepadanya yang tidak pernah berbalas. Salah satu pertanyaannya yang kuingat hingga kini adalah, “Apakah ia rajin salat?”
Teman karibku itu tidak menjawab. Ia tersenyum kecut dan serba salah hendak menjawab apa.
“Aku belum pernah melihat ia salat zuhur sekalipun di sekolah.,” ujar Zakiah.

“Mungkin di rumah,” jawab temanku, datar.
Zakiah hanya tersenyum, lalu menyambung, “Mudah-mudahan saja ia salat di rumah.”
Sejak itu aku mencoba untuk mendirikan salat secara disiplin. Aku pun jadi malu bertemu Zakiah; malu mencandai dan menggodanya jika kebetulan berpapasan. Kelas kami yang berbeda-ia di kelas budaya dan aku fisika-dan letak kelas yang jauh menguntungkanku. Kuakui selama ini salatku banyak yang bolong. Yang sering kulakukan hanya magrib. Yang kerap lagi adalah asal ada masalah, aku salat dan sebaliknya. Ah, begitulah yang sering kita lakukan, bukan? Mulanya sukar sekali untuk salat lima waktu. Lama-kelamaan-dengan perjuangan keras-aku bisa juga salat lima waktu sehari semalam.

Orang tuaku senang sekali melihat perubahan drastisku itu. Bahkan, ayahku sampai bertanya kepada ibuku, apakah aku diberikan ibuku air kembang tujuh rupa atau diapakan. Ibuku hanya tersenyum. Tiada lagi laporan tentang aku yang sering kebut-kebutan. Konon, Zakiah senang dan gembira juga walaupun ia tidak berkomentar apa-apa, selain tersenyum manis. Kawan-kawanku senang juga kendatipun sering mencandaiku.
“Sebentar lagi kawan kita ini akan jadi ustaz,” kelakar mereka.
“Kiai malah,” sambung yang lain.
“Bisa melamar jadi ketua Majelis Ulama Indonesia, di Jakarta” imbuh yang lain lagi.
Lalu, kami pun tertawa berderai. Diam-diam, perubahanku itu pelan-pelan juga diikuti oleh beberapa kawanku yang semula badung itu.

Semua itu terjadi menjelang kami ujian akhir SMA. Hari-hari indah, penuh warna, canda-tawa, dan nostalgia dalam merajut cita-cita serta cinta sebentar lagi akan berakhir. Tidak lama lagi sekolah tercinta yang penuh kenangan itu akan kami tinggalkan.

Hari ujian akhir itu pun tiba juga. Kami pun dinyatakan lulus. Aku memutuskan untuk berkuliah ke Bandung. Zakiah bertolak ke Jakarta, ikut kakaknya. Kabarnya, ia ingin berkuliah juga pada program D-3. Itu pun belum pasti. Biaya masalahnya. Kakaknya di Jakarta pun hanya buruh pabrik. Ayahnya sudah tiada dan tidak memungkinkannya untuk berkuliah S-1. Kemudian, setahun belajar di Bandung, aku mendapat beasiswa untuk belajar ke Eropa. Sejak itu, aku tak pernah mendengar berita lagi tentangnya. Namun, di atas semua itu, gadis itu kukenal dengan baik tanggal lahir, ciri fisik, bahkan suaranya.

Bertahun-tahun berlalu sudah. Aku seolah-olah kehilangan informasi tentangnya. Sudah kucari ke mana-mana berita tentangnya, tetapi tetap nihil. Ia seolah ditelan bumi. Aku tidak tahu, mungkin inilah sihir cinta pertama, yang membuat orang tersedot ke dalam pesonanya, atau menjadi hamba cinta. Pesonanya telah menjeratku untuk bertamasya dalam imajinasi cinta, walaupun cintaku ketika itu bertepuk sebelah tangan. Cinta pertama tidak pernah berakhir, kata orang. Itu bisa jadi benar. Aku tidak tahu, tetapi aku telah merasakannya dan ada di bawah pengaruh sihirnya, sihir cinta, di bawah bayang-bayangnya.

Kini aku telah kembali ke tanah air dan bekerja di Jakarta. Sejujurnya, berpuluh tahun ini aku masih sering berdoa agar kelak Tuhan mempertemukan aku kembali dengan Zakiah. Aku begitu yakin, Ia mendengar doaku, tetapi hanya entah kapan Ia akan mengabulkannya.

Rasanya malu mengaku bahwa aku bahkan belum menikah pada usiaku yang sudah kepala empat dengan gelar doktor alumni Jerman yang kupunya. Menurut orang kampungku, aku ini “bujang lapuk”. Namun, bagiku - orang kampung yang tinggal di Jakarta dan belasan tahun hidup, berkuliah, dan bekerja di metropolitan Jerman, lalu kini menjadi eksekutif puncak perusahaan besar-hal seperti itu tidak masalah. Mojang Priangan ketika dulu aku belajar di Bandung, bahkan bule-bule cantik di Jerman, ternyata tidak mampu menawan hatiku. Kuakui seluruh jiwaku, bahkan di dalam relungnya yang terdalam, Zakiah telah mengisi semuanya. Bayangnya telah menyitanya, kecantikannya telah merampasnya, serta senyum dan takwanya telah menguasainya. Aku laksana seorang sufi: yang telah terbakar dalam Zakiah: Aku dalam Zakiah, Zakiah dalam aku. Kerinduan nan tak terperi itu bagai mendidih, menggelegak, bahkan sering membuatku menitikkan air mata, Dalam tahajudku dalam kekudusan dan rasa dingin yang menusuk di Aachen dan Frankfurt, Jerman, dulu sering aku melantunkan doa suci untuknya, melagukan kasidah cinta, menembangkan kidung-kidung kasih akan dia.
“Tuhan pertemukan aku dengannya. Zakiah, di manakah engkau berada..”
Air mata itu adalah saksi bahwa Zakiah adalah segalanya. Bahwa malaikat juga mungkin mengamininya.

2. Prahara Senja

Senja merambat turun di seputar Cakung, Jakarta Timur. Di ufuk senja mulai memerah, lambat-lambat gelap mulai jatuh. Lampu-lampu jalan dinyalakan. Sorot lampu-lampu kendaraan pun mulai menampakkan cahayanya. Aku mengendarai Pajero Sport-ku dalam kecepatan tinggi, melaju seperti kesetanan. Seperti ada kekuatan mahagaib membuatku terpaku mengejar waktu untuk suatu keperluan di Bekasi. Hari Minggu memungkinkan orang berlari kencang, tidak seperti pada hari-hari kerja, yang macetnya nauzubillah minzalik.

Peristiwa itu terjadi sangat cepat. Rem mobilku berderit nyaring. Namun, semua sudah terlambat: sebuah sepeda motor dan perempuan pengendaranya telah telanjur terjungkal jatuh setelah tersenggol bumper kiri mobilku. Ternyata, mobilku telah menabrak sepeda motor di simpang Cakung, dekat kawasan KBN Cakung. Aku kaget setengah mati. Motor Yamaha Mio merah itu terpental jatuh cukup jauh. Pengendaranya, perempuan berjilbab jingga, terpelanting jatuh berdebum dan merintih kesakitan. Kemudian, kulihat ia jatuh pingsan. Aku memberhentikan mobilku serta merta.

Aku berlari bergegas menghampirinya. Orang-orang berhamburan menuju tempat kecelakaan itu. Sebagian mengangkat dan mengamankan motor itu. Aku membopong perempuan itu ke mobilku dibantu dua tiga orang. Seorang perempuan tua dan seorang bapak kuajak serta ke mobilku. Suara ramai orang seakan tidak kudengar lagi. Pikiranku seakan larut dalam kalut yang mendalam.
Kubuka secepat kilat dompet perempuan itu guna memastikan identitas dan alamatnya. Ponselnya masih utuh di saku celana panjangnya.

Ya Allah, aku amat terkejut, terperanjat bukan main. Dadaku berdegup keras.
“Zakiah..,” ujarku lemah.
Lututku gemetar. Lidahku kelu. Kepalaku seperti berdenyut, seperti gelap. Aku terhenyak bertelekan pintu mobilku.
“Ada apa, Pak? Ada apa, Pak?” tanya orang-orang.
Aku diam. Aku serasa lemas, serasa pucat pasi.
“Ada apa, Pak,” tanya mereka lagi.
“Tidak apa-apa,” jawabku singkat, “kepalaku agak pusing.”
“Cepat, Pak, kita ke rumah sakit,” terdengar suara ibu di mobilku mengajakku.
Seperti tersihir, aku segera melarikan mobilku ke RS.
“Tuhan...,” kataku dalam hati, lirih.

Kularikan mobilku ke RS secepat kilat. Di sana segera kutelepon keluarganya. Putri semata wayangnya, kelas 8 SMP, menjawabku dari rumah kontrakannya di Bekasi. Menurutnya, ibunya bekerja di sebuah perusahan di wilayah KBN Cakung. Hari ini, Minggu, ia lembur. Ayahnya telah meninggal tiga tahun yang lalu sehingga Zakiah harus mencari nafkah untuk membesarkan dan menyekolahkan buah hatinya. Aku terharu mendengar cerita itu. Hatiku luluh. Air mataku titik.
Kemudian, segera kukebut mobilku, kucari alamat Zaki. Kujemput gadis kecil yang malang itu. Kubawa ia ke RS. Di sepanjang jalan, air matanya tumpah ruah, sesunggukan. Aku menahan sesak di dada, yang serasa pecah. Malam itu aku menginap di rumah sakit.

3. Kasidah Cinta

Kudekap gadis kecil itu. Ia menatap ibundanya dan memegang tangannya. Air matanya pelahan mengalir di pipi putih bersihnya. Perempuan bermata lembut dan berkulit putih mulus di atas tempat tidur itu belum lama siuman. Zakiah membuka matanya, pelahan. Ia kelihatan sangat lemah dengan penuh perban pada beberapa anggota tubuhnya. Mata teduh itu, telaga yang tenang itu, sorot yang kudamba dan kurindu berpuluh tahun itu.. Ingin aku menyelam dalam telaga itu. Pesonanya masih jua memukauku. Pesona itu sedemikian indah, seperti indahnya sebuah puisi.

“Tuhan, terima kasih aku masih bisa menikmatinya, hari ini..,” hatiku berkata lirih.
“Aisyah,” katanya, “di mana Mama, Nak?”
“Di rumah sakit, Ma,” jawab Aisyah, gadis kecil itu.
Zakiah masih ingin berkata-kata, tetapi putrinya melarangnya dengan halus. Serta merta sorot teduh matanya beralih kepadaku.
“Kau . kau . benarkah kau .?”
Aku mengangguk.
“Zaki.,” kataku, serak, memanggil nama panggilannya saat kami di SMA.
Aku jadi tidak kuasa menahan air mataku. Perasaan sedih, bersalah, gembira, dan lain-lain berkecamuk gemuruh di dadaku.
Kristal bening air matanya pun jatuh luruh pelahan, lalu menjadi deras, kian deras.
“Lama sekali kita tak bertemu.,” ujarnya.

Kugenggam erat-erat tangan itu, seakan aku tidak mau melepaskannya lagi, seakan ingin selalu berada di sisinya. Di luar, senja hampir genap dan malam pelahan mulai merambat turun.

Jakarta-Aceh, Agustus 2017
* Muhammad Muis adalah bahasawan dan Kepala Balai Bahasa Aceh; pencinta dan penikmat sastra.

Sumber : Serambi Indonesia, Minggu 10/09/2017

0 komentar:

Posting Komentar