Rabu, 22 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 11. MENUNGGU DURIAN JATUH – 2
“JATUH KAKEKNYAAAA!!” Aku berteriak kencang sekali. Membuat burung-burung yang bercengkerama di pohon sekitar kebun durian mencicit kaget, terbang menjauh. Apalagi Bakwo Dar yang sedang santai melinting rokok daun jagung, terperanjat. Kotak tembakaunya menggelinding jatuh ke bawah dangau.
Aku tertawa bahak. Mengabaikan Bakwo Dar yang mengomel. Barusaja satu buah durian terlepas dari tangkainya. Jatuh berdebam di atas semak pojokan kebun. Segera berdiri menatap sekitar. Menunggu dengan hormon kesenangan memuncak. Ayo, ayo jatuh lagi. 
Dan benar saja, beberapa detik lewat, menyusul jatuh satu buah durian lagi.
“JATUHHH BAPAKNYAAA!!”
Didengar dari suaranya, sepertinya durian yang baru jatuh cukup besar. Jatuh di bantaran sungai. Kali ini Bakwo Dar hanya menatapku nyengir, urung mengomel. Ikut berdiri melongok ke arah jatuhnya buah durian barusan. 
Tere Liye Burlian

Selepas menghabiskan nasi lemang dan ikan pindang spesial ala Bakwo Dar, kami duduk-duduk santai menunggu di atas dangau. Matahari akhirnya persis di atas kepala, membakar tangkai-tangkai buah durian. Apa yang kubilang tadi, hanya soal waktu, buah durian yang sudah matang di pohon itu akan berjatuhan kapan saja. 
Sudah dua jatuh. Aku semakin antusias memperhatikan seluruh kebun. Menatap berputar dengan seksama. Memasang kuping baik-baik. Tanpa sadar mulai memukul-mukul keras tiang dangau. Berbisik, ayo, ayolah jatuh lagi. 
Bakwo Dar tertawa melihat tingkahku, “Nanti dangaunya roboh, Burlian.”
Aku tidak mendengarkan. Tetap memukul tiang dangau keras-keras. Tetap sibuk dengan doa-doa. Pengharapan. 
‘Doa-doa’?
Ya, doa-doa. Di kampung kami sudah menjadi kebiasaan, jika kalian menunggui kebun durian, maka selepas jatuh durian pertama, kalian reflek akan berseru: JATUH KAKEKNYA! Itulah teriakan pengharapan. Doa-doa. Semoga dengan begitu segera menyusul jatuh buah durian berikutnya. Dan jika memang menyusul jatuh buah durian berikutnya, maka sekarang giliran kalian berteriak: JATUH BAPAKNYA! Semoga menyusul buah durian berikut-berikutnya. Dan seterusnya jika memang menyusul lagi jatuh buah durian berikutnya, dilanjutkan berteriak ‘JATUH ANAKNYA!’, ‘JATUH CUCUNYA!’ begitu terus, sampai “JATUH CUCU-CUCU-CUCUNYA!” tidak terhingga.
Bakwo Dar-lah yang mengajari kami kebiasaan ini. Aku tidak tahu apakah itu tradisi kampung sejak puluhan tahun silam, atau hanya karang-karangan Bakwo saja agar menunggui kebun durian jadi lebih menyenangkan. Beberapa tahun silam Bakwo mengajak aku, Kak Pukat dan Ayuk Eli. Dan seharian kami bertiga berebut berteriak paling awal setiap mendengar buah durian jatuh. Teriakan-teriakan itu membuat ramai. Membuat keheningan hutan terbelah oleh tawa riang kami. Apakah buah durian lantas jadi berjatuhan karena diteriaki, tentu saja belum tentu. Tetapi siang ini, teriakan-teriakanku cukup sakti. Lihatlah, dalam hitungan detik, dari arah belakang, kembali terdengar suara buah durian menerabas dedaunan, lantas berdebam ke semak terpangkas di bawahnya.
“JATUHH ANAKNYAAA!!” Aku sudah berteriak kencang-kencang, takut keduluan. Seolah di sana ada Kak Pukat atau Ayuk Eli yang akan berteriak lebih cepat.
Bakwo Dar menepuk jidatnya, tertawa melihatku. 
Ayo, ayolah jatuh satu lagi. Aku terus berbisik penuh pengharapan. Dan benar saja, entah karena doaku siang ini memang sedang makbul atau memang buah durian itu sudah saatnya jatuh, belum beberapa detik membatin, terdengar suara getas tangkai berikutnya, lantas suara berdebam menghantam belukar. Yang satu ini jatuh dekat sekali dari dangau.
“JATUHH CUCUNYAA!!” Aku dan Bakwo Dar berteriak hampir bersamaan.
***
Bakwo mengambil pisau besarnya, tangkas menuruni tangga dangau. Aku bergegas ikut, membawa keranjang rotan di punggung. Saatnya mengambil durian-durian yang jatuh. Ini prosedur normal, jika setengah jam berlalu tidak ada lagi buah durian yang jatuh, maka saatnya berkeliling kebun. 
“Kalian tidak mau kepala kalian tertimpa buah durian, bukan?” Itu omel Bakwo Dar waktu pertama kali kami ikut. Saat itu kami saling sikut hendak mengambil durian yang baru saja jatuh. Bakwo Dar benar, tidak ada yang tahu kapan dan di mana durian-durian itu jatuh. Bala sebaiknya dihindari.
Buah-buah itu meski jatuh dari ketinggian belasan meter, tetap utuh, tidak pecah. Itulah gunanya semak belukar yang dipangkas di bawah pohon. Buah-buah berduri itu tertahan lebih dulu sebelum berdebam menghantam tanah. Bakwo Dar menyibak dedaunan dan belukar, mengeluarkan sebuah durian besar. Aku bergegas mendekat, membantu memasukkannya ke dalam keranjang. Ada lima durian yang jatuh barusan. Empat durian pertama gampang saja menemukannya, tapi yang kelima, yang jatuh dekat sungai agak susah dicari. Bakwo Dar harus menebas semak yang menyerupai ilalang agar dapat melihat buah itu. Menyuruhku jongkok mengambilnya. Dengan keranjang rotan terisi separuh, kami kembali ke dangau.
Duduk santai menunggu putaran berikutnya. 
Sambil menunggu, Bakwo Dar mengeluarkan pisau kecil dari pinggang, mengambil salah-satu durian, berusaha membuka kulitnya. Aroma buah durian menusuk hidung saat kulit berdurinya terbuka. Bakwo Dar sambil menyeringai tipis menyodorkan durian yang sudah terbelah. Aku tentu saja tidak menolaknya. 
“Kelas berapa kau sekarang, Burlian?”
“Khe-laz em-phat.” Aku yang sedang mengunyah menjawab pendek.
“Ahiya, kau sekelas dengan Can.” Bakwo Dar mengangguk.
Aku ikut mengangguk, menjilati ujung jemari.
“Tadi pagi Can bersikeras ingin ikut, tapi Mamak-nya menyuruh menemani ke kebun kopi. Membantu membersihkan rumput dan ilalang. Anak itu kalau tidak dipaksa ke kebun, kerjanya setiap hari bermain saja.” Bakwo Dar meletakkan pisau kecilnya.
Aku nyengir, merasa ikut tersindir, karena kalau Can pergi bermain itu biasanya bersama aku dan Kak Pukat. Meraih pisau kecil milik Bakwo Dar, ingin merekahkah ruas durian yang belum terbuka. Durian dari kebun ini selalu enak. Daging isinya tebal-tebal, berwarna kemerah-merahan, rasanya gurih manis, dan bijinya kecil saja. Kata Bakwo, itu durian bangkok. Bibitnya diperoleh dari keluarga China yang pernah tinggal di kota kecamatan. 
Gerakan tanganku merekahkan durian terhenti sejenak. Aku menatap pisau kecil itu. Sepertinya aku mengenali pisau ini.
“Bagus bukan? Itu hadiah.” Bakwo Dar menjelaskan sebelum aku bertanya, “Persis seperti pisau kepunyaan Bapak kau di rumah. Hadiah dari Lik Lan tiga tahun lalu.”
Aku mendengus pelan. Pantas saja aku mengenalinya. Oi, gara-gara pisau seperti inilah aku dan Kak Pukat beberapa tahun lalu pernah dikurung semalaman oleh Lik Lan di ruangan stasiun keretanya.
“Lulus dari SD kampung kau akan sekolah di mana, Burlian?” Bakwo Dar bertanya.
Pertanyaan Bakwo Dar mengusir ingatan paku baja yang diletakkan di atas rel kereta api dulu. Aku menggeleng, tidak tahu. Mungkin seperti anak-anak kampung lainnya, melanjutkan sekolah di SMP kota kabupaten. 
“Sekolah itu penting… dan akan selalu penting, Burlian.” Bakwo Dar menyandarkan punggung di tiang dangau. “Kau tahu apa penyesalan terbesar Bapak kau?”
Keasyikanku membuka kulit durian seketika terhenti. Apa yang Bakwo cakap? Penyesalan terbesar Bapak? Itu akan jadi cerita yang menarik. Selama ini, selain karena menemukan hal-hal seru, alasan kenapa aku selalu suka pergi bersama Bakwo Dar karena berkesempatan untuk mendengarkan ‘cerita-cerita’ darinya. Cerita tentang masa kecil Bakwo Dar, masa kecil Bapak, bahkan masa lalu seluruh kampung kami. 
Aku segera menyingkirkan buah durian. Menatap Bakwo Dar, memasang ekspresi wajah, teruskan! Teruskan!
Bakwo Dar tertawa, melambaikan tangannya, “Lupakan saja. Sebaiknya kau kembali menunggu durian berjatuhan. Bersiap berteriak-teriak sana. Nanti kau kalah cepat.”
Aku menghembuskan nafas kecewa. 
Tadi juga Bakwo Dar urung cerita soal makanan paling lezat yang membuatnya menangis. Yang ini tidak boleh batal. Apalagi judulnya sudah penting sekali, penyesalan terbesar Bapak. Cerita seperti ini tidak akan pernah kami dengar dari Bapak langsung. Kalau tentang makanan tadi, itu lebih mudah mencari tahunya, tinggal bertanya ke Mamak. Tidak adil. Harusnya Bakwo Dar tidak terlanjur menyebutkan kalimat itu jika enggan bercerita. Kalau sudah begini sama saja menyiksaku penasaran ingin tahu.
“Seperti yang kau tahu, Burlian, hanya aku dan bapak kau anak laki-laki dari sebelas bersaudara di keluarga Nenek kau.” Syukurlah, Bakwo Dar setelah puas melihat tampang terlipatku, terkekeh pelan, akhirnya bercerita. “Kami tumbuh bersama, berbagi banyak hal. Bukan hanya tempat tidur atau pakaian yang saling pinjam, tapi juga termasuk berbagi masa-masa sulit.”
Aku memperbaiki posisi duduk. Takjim mendengarkan.
“Sejak kecil Bapak kau sudah enggan sekolah. Tapi itu bukan salah Bapak kau juga. Jaman itu, justru anak-anak yang selalu semangat berangkat ke sekolah yang terlihat aneh. Aku juga malas dipaksa berjalan kaki belasan pal hanya untuk mendengar guru mengajarkan hal-hal yang tidak penting. Membaca buku yang itu-itu saja. Atau setiap hari mencatat kalimat yang lebih banyak tidak kumengerti. Karena itu, wajar saja jika kami berdua hampir tiap hari diteriaki Nenek kau, dikejar-kejar dengan sapu ijuk, dipaksa masuk sekolah. Tapi semuanya sia-sia. Kami hanya bertahan hingga kelas tiga Sekolah Rakyat. Setelah pandai membaca dan berhitung, maka rasanya selesai sudah semua pengetahuan yang harus kami pelajari.”
Aku menggaruk rambut, teringat kalau aku dan Kak Pukat juga hampir setiap hari diteriaki Mamak agar bergegas bangun, bergegas mandi, bergegas berangkat sekolah.
“Usia kami enam belas saat memutuskan merantau ke kota provinsi. Waktu itu, kebanyakan pemuda kampung, jika tidak menikah di usia dini, berkebun sebagai petani, maka sisanya akan mencoba peruntungan dengan merantau. Pilihan kedua itulah yang aku dan Bapak kau lakukan. Berbekal buntalan kain kumal, sedikit uang dari Nenek kau, kami mengokohkan niat berangkat. Kakek kau sudah meninggal enam tahun saat kami meninggalkan kampung.”
“Aku ingat sekali hari keberangkatan itu, kami menumpang kereta. Masa-masa itu kereta api masih menggunakan batubara, asap cerobongnya mengepul sepanjang perjalanan, dan percikan api dari pembakaran batubara bisa membuat baju berlubang-lubang. Setiba di kota provinsi, aku tertawa melihat kemeja Bapak kau yang penuh dengan lubang-lubang hitam kecil. Dia keras kepala memaksa melihat lokomotif kereta, jadilah seperti itu.” Bakwo Dar tertawa sejenak, mengusap rambutnya yang beruban.
“Kami melakukan apa saja untuk bertahan hidup di kota. Dan aku agak menyesal pernah mentertawakan kemeja Bapak kau, karena setelah berbulan-bulan menganggur, pekerjaan pertama kami justru menjadi petugas tungku lokomotif kereta api. 
“Kami Sekolah Rakyat pun tidak lulus, tidak punya ijasah, jadi mau dibilang apa? Lagipula gaji petugas tungku tidak buruk-buruk amat, maka aku mengiyakan tawaran itu. Kami bertugas menjaga agar tungku tetap membara, memastikan ketel air terus mengeluarkan uap, dan menumpahkan batu bara tambahan. Kami duduk di ruangan yang sempit dan panas sepanjang perjalanan.” 
Aku menyeringai, teringat cara kerja setrikaan besi Ayuk Eli di rumah.
“Meski tersiksa, kabar baiknya pekerjaan itu membuat kami bisa selalu pulang, bukan? Setiap kali kereta melintas di depan kampung, aku dan Bapak kau meminta masinisnya berhenti lima-sepuluh menit. Hanya untuk mampir bertemu Nenek kau. Sampai masinisnya bosan dan marah-marah. Sampai penumpangnya hafal kalau di stasiun Padang, kereta akan berhenti lebih lama.” Bakwo Dar tertawa.
“Adalah tiga tahun kami bertugas di lokomotif itu. Saat aku mulai merasa ruang sempit itu laksana ruang kantor luas berpendingin, saat Nenek kau omong-besar bilang ke tetangga kalau anak-anaknya sebentar lagi diangkat menjadi kepala stasiun kota, semuanya mendadak berubah. Teknologi kereta baru tiba, tenaga diesel. Dan kereta-kereta uap itu segera apkir, termasuk petugasnya. Yang dibutuhkan sekarang adalah teknisi, insinyur. Sementara kami hanya pekerja kasar. Kami tidak lagi dibutuhkan. Kami kembali menganggur di kota provinsi.” Bakwo Dar menyeka peluh di dahi. Matahari meski sudah bergesar ke arah barat, tetap bersinar terik. Udara semakin gerah, pertanda nanti malam akan turun hujan lebat lagi.
“Butuh dua tahun hingga kami mendapatkan pekerjaan kedua, dan selama dua tahun itu pula kami malu pulang kampung. Bagaimana tidak? Setiap pulang, tetangga sebelah rumah menyapa kami, ‘Selamat pagi, Pak Kepala Stasiun’. ‘Mau kemana, Pak Kepala Staisun’. Bahkan bapak Lik Lan yang waktu itu jadi kepala stasiun kampung ikut tertunduk-tunduk setiap melihat aku dan bapak kau…. Syukurlah saat kami mulai putus-asa, mulai jengkel dengan situasi, pembangunan Bandara Talang Betutu dimulai. Proyek itu butuh ribuan pekerja kasar. Ke sanalah aku dan Bapak kau pergi mendaftar. Menjadi kuli bangunan.”
“Jujur saja, pekerjaan itu jauh lebih berat dibandingkan menjadi petani. Dan sialnya, gajinya tidak otomatis lebih banyak. Tapi kami tidak punya pilihan…. Jam kerja dimulai saat sirene dibunyikan, dan baru berhenti setelah sirene dibunyikan lagi. Jadwal makan diatur. Jadwal istirahat ditentukan. Tidur dibarak-barak seadanya. Bersesakan empat orang setiap kamar…. Di barak itulah, Bapak kau mulai menyadari kalau sekolah penting sekali. 
“Setiap enam bulan, pimpinan proyek bandara memberikan kesempatan kepada tenaga kasarnya yang memiliki ijasah untuk ikut seleksi menjadi mandor. Dan kau tahu Burlian, kebetulan dua teman kami yang satu kamar di barak memiliki ijasah SR. Satu per-satu mereka naik pangkat, sementara aku dan Bapak kau tetap menjadi kuli kasar. Diperintah. Diteriaki. Dimaki. Dua mandor baru itu seperti lupa kalau pernah tidur seperti sarden dalam kamar sempit bersama kami.”
“Aku tahu, setiap kali selesai bekerja, badan basah kuyup oleh peluh, seluruh persendian terasa pegal dan lelah, lantas melintas di bangsal bagus tempat mandor, insinyur, serta pejabat proyek, Bapak kau hanya mendesah pelan. Bapak kau hanya tertunduk, ingat betapa susahnya dia dulu disuruh Nenek kau pergi sekolah. Ingat betapa bebalnya dia disuruh sekolah. Tapi mau dibilang apa? Semua sudah tertinggal belasan tahun silam. Itu penyesalan pertamanya.” Bakwo Dar menghelas nafas. Terdiam sebentar, memperbaiki posisi duduk. 
Suara burung terdengar berceloteh di pohon durian dekat dangau.
“Bandara itu selesai dalam waktu tiga tahun, dan jauh-jauh hari sebelum uji-coba penerbangan pertama dilakukan, barak-barak itu sudah dirobohkan, ribuan pekerja diberhentikan, termasuk aku dan Bapak kau. Kami tidak dibutuhkan lagi, kecuali beberapa orang saja untuk penyelesaian akhir.”
“Aku dan bapak kau kembali serabutan. Pindah dari satu proyek ke proyek bangunan lainnya. Sedikit keterampilan yang kami punya selain bertani adalah mengaduk semen dan memasang batu-bata. Sedikit kelebihan yang kami miliki selain terbiasa di hutan adalah terbiasa duduk di ruang sempit panas atau tidur di barak sesak. Sayangnya, tidak banyak pekerjaan yang tertarik dengan keterampilan dan kelebihan yang kami miliki itu selain jadi kuli. Maka itulah pekerjaan kami. Kuli bangunan.” 
“Kau tahu hal yang paling menyakitkan dari hanya sekadar menjadi pekerja kasar? Yaitu ketika tidak ada yang menghargai apa yang telah kau kerjakan. Bapak kau di masa mudanya sangat sensitif dan mudah sekali marah. Apalagi dia mulai frustasi dengan mimpi-mimpinya saat pertama kali memutuskan merantau. Saat pertama kali kami menaiki kereta batu bara itu, saat usianya enam belas tahun, sepanjang perjalanan dia tidak pernah berhenti berceloteh soal dia akan melakukan hal yang hebat, melihat dunia, berkenalan dengan banyak orang, mendapatkan kekayaan, lantas pulang membuat bangga Nenek kau. Tapi hampir sepuluh tahun merantau, semuanya jauh api dari panggang.”
“Setelah bertahun-tahun hanya jadi kuli, terbetik kabar ada kesempatan pekerjaan yang lebih baik. Aku dan Bapak kau dengan semangat datang. Tertawa lebar saat tahu itu gedung yang pernah kami kerjakan beberapa tahun sebelumnya. Dengan antusias Bapak kau ikut mendaftar. Soal percaya diri, Bapak kau memang luar-biasa. Tidak peduli meski tampilan kami jauh dari layak memasuki gedung yang sudah terlihat hebat itu, dia memaksa masuk. Hasilnya mudah ditebak, kami diusir. Bapak kau berseru-seru marah, bilang dialah yang mengaduk semen pondasi gedung itu, menyusun batu bata di dindingnya. Percuma, tidak ada yang peduli. Siapa yang akan ingat dengan bekas pekerja kasar? Malam-malam sejak kejadian itu, aku pikir Bapak kau berpikir banyak hal tentang kehidupan.” 
“Kami sempat melintas melihat bandara yang sudah beroperasi, menatap pesawat yang datang mendarat dan terbang pergi. Aku bisa melihat wajah Bapak kau yang terlipat. Aku tahu dia amat menginginkan memasuki bandara itu, menyentuh pesawat yang ada, membayangkan seperti apa rasanya menaikinya. Melihat dunia dari ketinggian. Sayangnya, itu tidak bisa dilakukan…. Usia kami dua puluh lima saat aku mengutarakan ide kenapa tidak kembali ke kampung saja. Menjadi petani yang baik. Memiliki kehidupan yang lebih cocok. Bapak kau sontak melotot marah. Bilang dia tidak akan pulang, tidak akan pernah menyerah.” 
“Kau tahu, Burlian, soal keras-kepala Bapak kau juaranya. Tentu saja jangan bandingkan dengan Bapak kau yang saat ini jauh lebih bijak dan mengerti banyak hal tentang hidup. Dulu dia susah sekali diajak bicara. Keras kepala…. Karena keras-kepala itulah dua tahun kemudian kami terdampar di Plaju. Masa-masa itu banyak pengeboran dan kilang minyak dibangun di sana. Lagi-lagi dengan modal keras-kepala itu, aku dan Bapak kau ikut bekerja sebagai buruh kasar di kilang-kilang minyak.”
“Kehidupan di perusahaan minyak memperlihatkan batas yang jelas antara kau yang pekerja kasar dengan orang lain yang memiliki keahlian. Mulai dari seragam, gaji, hingga perlakuan yang diterima. Kabar baiknya, bapak kau tidak mau menyerah. Dia semangat secara otodidak mempelajari banyak hal. Dia rajin bertanya dan mencatat di kepala pengetahuan-pengetahuan baru. Dia ingin membuktikan meski sekolah rakyat pun tidak tamat, dia bisa melakukan banyak hal. Aku pikir usahanya mulai berhasil. Beberapa insinyur terkesan padanya. Beberapa bulan berlalu, Bapak kau berhasil diangkat menjadi mandor pertama yang tidak memiliki ijasah sekolahan. Aku tidak bisa melupakan wajahnya yang sumringah ketika suatu malam dia memperlihatkan topi putih, rompi menyala dan sepatu bot hitam mengkilat sebagai seragam mandor. Bergaya mondar-mandir di kamar sewaan kami.” 
Bakwo Dar terdiam sebentar. Tertawa mengenang masa-masa itu.
Angin lembah bertiup kencang. Terdengar suara keresek dedaunan, itu sepertinya durian hendak jatuh. Biasanya aku akan reflek berteriak “JATUH KAKEKNYAA!” secepat mungkin, tetapi kali ini aku justru sedang mengingat kembali kalau beberapa tahun lalu juga pernah melihat seragam mandor. Si pengebom hutan. Orang yang memanggilku ‘monyet pengganggu’.
“Sejak hari itu, sepertinya hidup mulai berpihak pada Bapak kau, Burlian.” Bakwo Dar tertawa getir melanjutkan, “Dia diberikan banyak fasilitas. Bangsal yang lebih baik, ransum makanan yang mewah dan gaji yang lebih tinggi. Aku ikut senang. Apalagi mendengar celoteh Bapak kau yang bilang tentang esok-lusa boleh jadi dia diangkat jadi manajer kilang. Bertugas di seberang pulau. Melihat dunia. Dia tertawa riang membayangkan hal itu.”
“Ah, kabar baik boleh jadi memang tidak pernah berpihak kepada orang-orang yang tidak memiliki ijasah sekolah. Terjadilah kebakaran hebat di salah-satu kilang. Bukan wilayah kerja Bapak kau, dan jelas bukan tanggung-jawab Bapak kau, tapi dampaknya menjalar kemana-mana. Induk perusahaan minyak di Amerika memutuskan untuk menerapkan apalah nama binatang itu, ‘prosedur keselamatan kerja’ kalau tidak salah. Maka aturan baru diterapkan. Semua prosedur dirubah. Semua mandor ke atas harus memiliki sertifikat keselamatan kerja.”
“Bapak kau hanya punya dua pilihan, menunjukkan ijasah sebagai syarat sertifikasi atau diturunkan posisinya. Bapak kau yang masih muda, masih tinggi emosinya, tidak memilih salah-satunya, dia justru memilih pilihan ketiga: berhenti. Melipat seluruh mimpi-mimpinya esok-lusa berkesempatan dipromosikan lagi, esok lusa siapa tahu ditugaskan di tempat-tempat lain, negara-negara lain. Bapak kau marah-marah sepanjang hari. Menyalahkan masa lalunya. Hanya gara-gara ijasah SR itu, semuanya tamat. Itu penyesalan keduanya.”
Aku seperti halnya Bakwo Dar ikut menghela nafas. Teringat bagaimana ekspresi ‘benci’ Bapak dulu setiap kali melewati lokasi kerja si Pengebom hutan kampung itu.
“Sejak berhenti dari kilang, Bapak kau berubah jadi pendiam. Aku mulai cemas apa dia baik-baik saja. Belum lagi dari kampung terbetik kabar kalau Nenek kau mulai sakit-sakitan. Umur kami waktu itu menjelang tiga puluh. Dengan semua kejadian, kami seperti berada di persimpangan, antara terus tinggal di kota dengan kehidupan seadanya, menjadi pekerja kasar hingga badan layu karena usia; atau mengalah kembali pulang ke kampung. Menjadi petani. Mengurus kebun warisan Nenek kau. Menutup buku mimpi-mimpi saat pertama kali menaiki kereta batu bara…. Setelah sekian lama merenung, Bapak kau memilih jalan kedua, keras kepala untuk kesekian kalinya. Menolak pulang.”
“Entah darimana dia mendapatkan informasi itu, beberapa bulan kemudian, kami sudah mendaftar menjadi calon pelaut di pelabuhan Boom Baru. Ada kapal besar yang datang membutuhkan pelaut muda berani, dan saat melihat kapal itu gagah bersandar di dermaga, wajah Bapak kau kembali bercahaya. Berbisik kepadaku dengan suara bergetar, ‘Kak Dar, dengan kapal ini aku bersumpah akan menyinggahi banyak kota, melihat seluruh dunia.’ Maka semangat kami mulai mengikuti seleksi.”
“Tekad kuat Bapak kau membuahkan hasil, setelah seminggu menjalani banyak tes, kami tinggal selangkah lagi menjadi pelaut. Aku ingat sekali, kami malam itu sudah bersiap untuk ujian terakhir, beranjak tidur lebih cepat agar besok cukup tenaga. Tetapi malam itu juga kabar mengejutkan dari kampung tiba, Nenek kau sakit keras. Antara sadar dan tidaknya, Nenek kau memanggil-manggil nama Bapak kau. Menyuruh pulang.” 
Bakwo Dar menelan ludah, berhenti sejenak. Langit-langit kebun senyap, menyisakan suara jangkrik yang berderik terdengar.
“Situasinya menjadi simalakama bagi Bapak kau. Memutuskan pulang segera, atau ikut ujian terakhir besok…. Aku memutuskan pulang. Terus-terang saja, sudah sejak lama aku tahu kalau kota bukanlah tempat kami. Orang-orang yang tidak lulus walau Sekolah Rakyat. Aku bertahan semata-mata karena melihat betapa keras-kepalanya Bapak kau. Aku juga tidak bisa pulang begitu saja, bukan? Aku bertanggungjawab menjaga Bapak kau. Dengan kabar Nenek kau sakit keras, semuanya sudah usai. Malam itu kami bertengkar panjang, hasilnya kami berpisah jalan. Bapak kau menuju pelabuhan Boom Baru, aku melangkah ke stasiun kereta. Pulang.”
“Dan ternyata semua berakhir menyakitkan. Aku masih sempat mencium kening Nenek kau, menciumi jemari tangannya, minta maaf atas segala perbuatanku sewaktu kecil, keras-kepalaku. Juga minta maaf tidak dapat membuatnya bangga. Nenek kau sudah di penghujung masanya, terkulai lemah, matanya rabun tidak bisa melihat lagi dan bibir birunya hanya berkali-kali justru menyebut nama Bapak kau. Tidak ada orang lain yang paling ingin dipeluknya selain Bapak kau, anak bungsu tersayang yang telah bertahun-tahun tidak kunjung pulang. 
“Nenek kau pergi tanpa pernah mendapatkan kesempatan itu.” Bakwo Dar terdiam lagi. Menatap pucuk-pucuk kanopi hutan kejauhan. Suara burung elang terdengar melengking.
“Bapak kau gagal dalam ujian terakhirnya. Ujian yang sederhana sekali, sepuluh peserta terakhir hanya diminta menunjukkan ijasah SR.” 
“Aku baru tahu kabar itu berbulan-bulan kemudian. Saat suatu malam, gerimis mencelup kampung, Bapak kau sambil terisak telah berdiri di depan pintu. Memelukku. Meminta maaf atas pertengkaran kami malam itu. Mau dikata apalagi? Semua sudah terjadi. Aku membawa obor besar, menemaninya ke makam Nenek kau. Lama sekali dia bersimpuh di tanah berlumpur karena hujan. Menangis terisak menyesali masa lalu.”
“Itulah penyesalan terbesar Bapak kau, Burlian. Karena itulah kenapa dia terlihat lebih bijak saat ini. Perjalanan hidupnya panjang. Ah, andaikata Bapak kau tamat SR, mungkin saat ini kau sudah di manalah Burlian, menjadi putra seorang manajer kilang minyak, pelaut hebat yang mengelilingi dunia. Atau setidaknya kau jadi kepala stasiun kota provinsi. Gratis naik kereta api.” Bakwo Dar terkekeh pelan. 
Aku menghela nafas. Diam, memikirkan banyak hal. 
Terdengar suara kresek dedaunan. 
“JATUH KAKEKNYAAA!” Bakwo Dar sudah berteriak kencang, terkekeh bersamaan dengan debam buah durian menghantam semak-belukar.
Membuatku jatuh terjengkang saking kagetnya.
1). SR, Sekolah Rakyat: dulu sekolah dasar disebut SR.

0 komentar:

Posting Komentar