Minggu, 19 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 5. AHMAD, SI RINGKIH YANG HITAM – 1
---------------------------------------------------------------
Di sekolah tidak semua orang mengenal Ahmad. 
Anaknya hitam dekil, rambutnya keriting, giginya lepas dua, tiga, empat—sebenarnya banyak, berapa persisnya tidak ada yang tahu kecuali kau bisa menyuruhnya buka mulut. Dia di kelas selalu duduk di bangku paling belakang. Kalah saingan dengan yang lain waktu berebut duduk paling depan. Padahal tubuhnya kecil seperti kurang gizi. Meski kalau soal gizi ini, mau dibilang apa, mana mengerti orang kampung kami soal empat sehat lima sempurna. Ditambah lagi suara Ahmad terdengar pelan mendecit kalau disuruh Pak Bin membaca buku bahasa Indonesia atau menjawab pertanyaan. Maka lengkap sudah Ahmad jadi olok-olok sekelas.
Tere Liye Burlian

Ahmad memang pemalu, jadi tidak terlalu populer di kelas. Waktu pertama kali masuk sekolah, dia lebih sering berteman dengan anak cewek, itupun hanya untuk disuruh-suruh saat mereka main rumah-rumahan, boneka-bonekaan atau mainan cewek lainnya. Intinya, waktu kelas satu dulu, Ahmad tidak penting dan tidak akan pernah jadi penting. Catur Wulan berlalu, raport dibagikan, juga tidak terlihat istimewanya. Malah Ibu Ahmad lebih lama menghadap Pak Bin saat menerima raport. Teman-teman berbisik, katanya Ahmad akan dikeluarkan karena terlalu bodoh. Tapi hingga kenaikan kelas berlalu, Ahmad tetap duduk setia di kursi paling belakang. Selalu datang tepat waktu, dan selalu bergegas saat lonceng pulang berdentang.
Aku tidak terlalu dekat dengan Ahmad. Pendapat umum yang bilang Ahmad hitam, ikal, jelek, bodoh untuk urusan anak kelas satu SD tetap kejam sekali akibatnya. Meski aku jelas-jelas tidak sependapat dengan pendapat umum tersebut (kenyataannya Ahmad tetap naik kelas, sementara dua anak yang sering mengejeknya, jangankan naik kelas, membaca saja bebal sekali), tetap saja aku risih berteman dengan Ahmad. Seolah-olah akan ikut terkena tulah hitam dia jika berteman. Seolah-olah akan ikut dijauhi teman-teman yang lain.
Ahmad, si ringkih yang hitam bukan orang melayu. 
Tampilan wajah dan fisiknya terlalu berbeda. Dia pendiam dan tertutup sekali. Selepas pulang sekolah tidak pernah aku melihat dia bermain di sekitar kampung. Entah itu main layangan di lapangan sekolah, sepak-bola, petak-umpet, atau hanya duduk-duduk dengan anak kampung lainnya. Ahmad seperti memiliki dunianya sendiri. Saat istirahat lebih sering di kelas saja, menyibukkan diri dengan buku-buku.
Hingga suatu hari, Mamak menyuruhku mengantar buah rambutan ke tetangga. Lagi musimnya, pohon rambutan di kebun berbuah lebat. Tidak habis dimakan, Mamak menyuruh aku dan Kak Pukat mengirimkan kantong-kantong plastik hitam penuh rambutan ke tetangga. Dan sudah jatahku mengantar ke ujung kampung, bekas pabrik pengolahan karet.
Menurut cerita Bapak, dulu di pabrik karet itu ada ratusan karyawan yang bekerja siang malam. Gudang karetnya tinggi-tinggi dan besar-besar, mesin pengolahan karetnya canggih-canggih. Di kompleks pabrik itu terdapat puluhan rumah semi-permanen untuk karyawannya. Pabrik karet itu terkenal, karena hasil getah karet dari kebun-kebun rakyat seluruh kecamatan, bahkan dari luar kabupaten dibawa dan dijual ke pabrik itu. Lantas diolah dijadikan lembaran-lembaran karet panjang, yang kemudian dikirim ke kota provinsi dengan truk-truk pengangkut atau gerbong kereta api. 
Keluarga Ahmad dulunya karyawan pabrik itu. Hingga suatu saat pabrik itu bangkrut, kata Bapak, karena pengelola pabriknya banyak yang korupsi. Persisnya aku tidak tahu. Sejak pabrik itu bangkrut, ratusan keluarga karyawan yang kebanyakan pendatang luar daerah terjepit masalah ekonomi. Mereka tidak punya keahlian bertani seperti penduduk asli, tidak terlalu pandai menaklukkan hutan, dan jadi simalakama, karena kembali ke Jawa juga serba-salah. Mereka sudah beranak-pinak dan belum tentu juga ada kesempatan kerja di sana. Maka jadilah mereka bekerja serabutan, serba tanggung, serba seadanya. Termasuk keluarga Ahmad. Sementara bangunan pabrik mulai berkarat, tidak terawat, dan dipenuhi rumput dan ilalang yang tumbuh liar.
“Assalammualaikum.” Aku berseru nyaring.
Hanya hening yang menjawab.
“PERMISI!!! ADA ORANG TIDAK?” Berteriak lebih kencang.
“Oh, putranya Pak Syahdan, ya?” Ibu Ahmad setelah beberapa saat aku menunggu akhirnya menjawab salam, membukakan pintu. 
Aku mengangguk, tersenyum tipis. Mataku dengan cepat melihat ruang depan rumah kumuh itu. Berlantai tanah, berdinding kayu kasar. Hanya ada meja dan kursi plastik buram. Langit-langitnya dipenuhi sarang laba-laba dan jelaga hitam. 
“Ada kiriman buah rambutan dari Mamak, Bu.” Aku menjulurkan kantong plastik.
“Aduh, bikin repot. Terima-kasih, ya.” Ibu Ahmad menerima kantong plastik itu, “Ayo, masuk dulu. Ibu ambilkan minum, ya. Kamu namanya Burlian, bukan? Lihat wajahnya basah keringatan semua ini. Di luar panas sekali.”
Aku menyeringai. Panas memang, letak bekas pabrik ini paling berjarak seratus meter dari ujung kampung, tapi terik matahari tetap membuat peluh mengucur, apalagi aku masih membawa tiga kantong plastik rambutan yang belum dibagikan. Aku hendak menggeleng tidak usah, tapi dari belakang rumah keluar Ahmad yang sedang tertatih membawa ember besar.
“Ahmad, ada Burlian mengantar rambutan tuh.” Ibunya memberitahu. Ahmad menoleh ke arahku, mengangguk pelan, terus membawa ember besar itu ke samping rumah.
“Kalian sekelas, bukan?” Ibu bertanya sambil menuangkan air ke gelas.
Aku mengangguk, melihat Ahmad yang menjemur pakaian. Meski ukuran baju yang dijemurnya besar-besar, dia terlihat terampil mengerjakannya.
“Memang itulah kerjaan Ahmad. Sejak Bapaknya pergi, kami repot sekali, Nak Burlian. Untung Ahmad mau membantu Ibu mencuci pakaian tetangga, membantu membuat gorengan yang dijual di Stasiun, membersihkan rumah, menjaga adiknya, dia rajin sekali melakukan semuanya, tidak pernah mengeluh, padahal untuk bermain pun dia tidak sempat lagi.”
Aku mengusap keringat di dahi. Menatap lamat-lamat Ahmad yang hitam legam ditimpa cahaya matahari, yang sedang telaten menjemur satu persatu pakaian. Rambut ikalnya bergerak-gerak terkena angin bukit, tubuh ringkihnya terampil bekerja. Aku meletakkan gelas yang sudah kosong. Terdiam. Kerongkonganku memang terasa segar kembali, tapi ada sesuatu yang tiba-tiba mencelup lebih dingin hatiku. Aku mengerti sekarang, kenapa Ahmad tidak selalu bergegas pulang, tidak pernah terlihat bermain bersama yang lain, pendiam dan lebih sibuk dengan dunianya sendiri, karena dia memang sibuk bekerja membantu ibunya.
Hari itu aku baru tahu, Ahmad si ringkih yang hitam ternyata jauh lebih oke dibandingkan siapapun. Meski teman-teman yang lain berkulit terang nan bersih, berambut panjang nan bagus, pandai bicara, dan juara kelas pula, berbeda seratus delapan puluh derajat dengannya. Aku berpamitan hendak melanjutkan mengantar kantong plastik rambutan yang tersisa, dan saat menatap gigi tonggos Ahmad untuk kesekian kalinya, aku merasa nyaman-nyaman saja. 
Aku tahu, kami bisa jadi teman yang baik.
BAB 6. AHMAD, SI RINGKIH YANG HITAM – 2
Pak Bin berseru-seru melerai perkelahian. Aku berhasil meninju salah-satu anak kelas lima itu, membuat hidungnya berdarah. Meski mereka lebih dari berhasil berkali-kali meninju wajah dan badanku. Membuat seluruh tubuhku merah-merah lebam. 
“Mereka yang mulai duluan, Pak.” Aku berteriak tidak mau kalah. 
“BERHENTI, BURLIAN!!” Pak Bin menarik lenganku. Melotot.
“Mereka menghina Ahmad anak haram, Pak. Mereka yang mulai duluan.” Aku berusaha melepas cengkeraman Pak Bin, beringas berusaha mengejar anak-anak kelas lima itu. “DASAR SIMPAI PENGECUT, beraninya keroyokan!”
“HENTIKAN BURLIAN!!”
Aku tersengal.
“Kamu ikut Bapak ke kantor!”
Pak Bin menyeretku ke kantor kepala sekolah. Empat anak kelas lima itu sudah sejak tadi digelandang guru ke ruangan lain. Hatiku panas sekali. Tadi waktu lonceng istirahat pukul 09.45, seperti biasa banyak anak-anak bermain kejar-kejaran di halaman sekolah. Aku melangkah ke bangku paling belakang, berdehem mengajak Ahmad untuk ikut bermain. Butuh waktu beberapa detik untuk meyakinkannya, menyeringai bilang lewat tatapan mata dan senyuman kalau apa salahnya ikut bermain dengan yang lain. Bilang lewat ekspresi wajah, aku mau mengajaknya bermain bersama yang lain.
Akhirnya Ahmad bangkit dari bangku. Patah-patah melangkah ikut keluar kelas. Mungkin itu pertama kalinya sejak dia masuk sekolah keluar dari kelas saat lonceng istirahat. Awalnya teman-teman kelas sedikit sungkan. Menjauh saat aku dan Ahmad bergabung. Tapi melihat aku yang asyik-asyik saja bergurau dengan rambut ikal Ahmad, menjawilnya sambil tertawa, mereka ikut tertawa. Permainan kejar-kejaran sambil menjaga tiang-tiang depan sekolah itu berjalan lancar. Hingga entah apa yang ada di kepala anak kelas lima itu, tiba-tiba mereka yang hanya menonton kami bermain, jahil mendorong Ahmad yang sedang berjaga di benteng tiangnya. Mereka tertawa mengolok-olok Ahmad. 
Sudah biasa sebenarnya hal itu terjadi, semua orang juga tahu dan menganggap wajar-wajar saja. Tapi aku yang baru semalam dapat cerita dari Mamak, panas sekali saat Ahmad diteriaki “anak haram”. Aku berlari menyeruak di antara Ahmad dan keempat anak kelas lima itu. Balas berteriak menghina mereka. Ahmad berusaha menarikku, bilang lupakan saja, ayo masuk kelas. Dan belum sempat aku berbalik arah mengikuti saran Ahmad, salah seorang dari mereka mulai memukul. Aku reflek menghindar, sambil melompat balas menendang, maka pertengkaran itu tidak terhindarkan lagi.
“Kau tahu Burlian, sejak pabrik itu bangkrut, maka kehidupan mereka menjadi sulit. Tidak punya kebun, tidak punya penghasilan, padahal mereka selama ini terbiasa nyaman dengan gaji bulanan dari pabrik karet. Hidup mereka seperti kapal berubah arah, mendadak berubah menjadi susah...” Mamak memperbaiki kudung kepala, “Dan yang lebih menyakitkan lagi, Bapak Ahmad ternyata tidak tahan dengan situasi itu, dia memutuskan pergi, meninggalkan Ibu Ahmad yang sedang mengandung… sungguh tega… Mamak sampai tidak tahan mendengar kabar kalau Ahmad yang masih setahun dan Ibu-nya yang sedang mengandung ditinggal pergi.”
“Memangnya tidak ada yang tahu kemana Bapak Ahmad pergi, Mak?” Amelia menyela. Kami berempat seperti biasa duduk melingkar medengar cerita di ruang tengah.
Mamak menggeleng pelan, tidak ada yang tahu. 
Aku menatap kerlip cahaya lampu canting dengan mata kosong. Teringat bagaimana selama ini kami memperlakukan Ahmad di kelas. Teringat betapa tidak adilnya kami terhadap dia hanya karena aneh melihat rambutnya yang ikal dan giginya yang tonggos.
Maka aku benar-benar tidak terima lagi saat Ahmad diejek tidak punya Bapak. Anak haram. Langsung menerjang anak-anak kelas lima yang jauh lebih besar dibanding kami. Bergumul satu lawan empat orang. Dan hasilnya, aku kalah telak.
Malamnya, saat makan bersama Bapak dan Mamak, saat Amelia melapor kalau Kak Burlian tadi siang berkelahi di sekolahan, saat aku bersiap terkena omelan, menunduk menatap meja makan, Bapak lebih dulu berkata santai, “Payah. Lawan empat orang saja kalah. Harusnya kau macam Elyas Pical. Hajar terus!” menunjukkan kepalan tangannya, tertawa.
Aku menelan ludah, tidak percaya dengan apa yang kudengar. Kak Pukat dan Ayuk Eli juga saling pandang tidak mengerti. Bukankah kalau mereka ketahuan bolos mengaji di Nek Kiba saja Bapak atau Mamak mengomel sepanjang malam. Lah ini, si Burlian jelas-jelas berkelahi di sekolahan, sampai wajahnya merah-merah lebam, cuma begitu saja reaksi Bapak? Tertawa? Amelia yang suka melapor mendengus kecewa. Aku sudah beranjak mengambil gorengan udang sungai sebesar betis. Makan, makan, perutku mendadak terasa lapar.
Kami memang tidak tahu, kalau tadi sore Pak Bin datang ke rumah, menjelaskan kejadian di sekolah kepada Bapak dan Mamak. “Aku tidak pernah setuju melihat anak-anak berkelahi. Tapi untuk yang satu ini, seandainya Pak Syahdan bisa melihatnya langsung.... Astaga, Burlian seperti harimau mengamuk, berkelahi membela kehormatan temannya.”
BAB 7. AHMAD, SI RINGKIH YANG HITAM – 3
“AHMAD!!”
Aku mengetuk pintu depan, berteriak.
“OII, AHMAD!!” Berteriak lebih kencang.
“Sebentar.” Akhirnya ada balasan dari dalam. 
Aku menepuk-nepuk kaki yang berdebu. Musim kemarau kali ini, jalanan kampung panas dan berdebu sekali rasanya. Baru berjalan sedikit saja, baju sudah basah oleh keringat, dan mata pedih terkena debu.
“Kau mau ikut kami bermain bola?” Aku menyeringai saat wajah hitam berambut ikal itu menjulur dari balik pintu. 
“Tidak bisa. Ibu lagi membantu kerja di kebun tetangga. Aku harus menjaga rumah.”
“Sebentar saja. Kita juga mainnya di lapangan bekas pabrik. Ayolah.”
Ahmad menggaruk rambut ikalnya, menggeleng, “Aku disuruh Ibu menjaga adik.”
“Adiknya mana? Suruh ikut saja.” 
“Tidak bisa. Nayla agak demam, lagi tidur.”
“Itu justru bagus, bukan? Berarti adik kau bisa ditinggal saja.” Aku enteng menjawab. Tertawa kecil. Soal mencari-cari alasan, menjawab sembarangan dan asal, tidak ada yang bisa mengalahkan Burlian, putra Pak Syahdan.
Ahmad terlihat berpikir sebentar.
“Ayolah, kita mainnya di lapangan bekas pabrik dekat ini. Itu, kelihatan dari sini.” Aku menunjuk beberapa anak yang sedang menendang-nendang bola. Tersenyum yakin, hanya soal waktu Ahmad akan mengangguk. Dan benar saja, setelah menimbang beberapa detik, dia membuka pintu rumah lebih lebar, melangkah keluar.
Aku lupa tanggalnya, juga lupa itu hari apa, yang aku ingat, itulah pertama kali kami melihat Ahmad bermain bersama anak-anak kampung selepas pulang sekolah. Aku juga lupa siapa saja yang bermain bola saat itu, berapa persisnya gol yang tercipta, tapi aku ingat, hari itulah seluruh sekolahan, bahkan seluruh kampung tahu tentang Ahmad. Menatapnya dengan cara yang tidak akan pernah sama lagi. Menilainya lebih respek. Si ringkih yang hitam, berambut ikal, gigi tonggos, suara kecil itu ternyata menyimpan bakat terbesarnya.
Maradona dari kampung kami.
Ada tiga lapangan favorit untuk bermain bola. Lapangan di sekolahan, lapangan di dekat stasiun kereta, dan lapangan di bekas pabrik karet. Kalau cuaca masih terik menyengat, tentu saja pilihan terbaiknya adalah lapangan bekas pabrik karet. Lapangan itu terletak di sebelah reruntuhan gudang, jadi terlindungi dari cahaya matahari. Tempat itu dulu bekas penumpukan bantalan karet, sehingga sempurna datar dan bersih dari rumput. Tidak ada tiang gawang, kami hanya menggunakan sandal jepit sebagai penanda gawang. Tidak ada juga garis-garis batas lapangan, kami sudah sepakat dimana lokasi titik pinalti, dimana garis tengah lapangan, batas bola keluar dan sebagainya. 
Awalnya Ahmad hanya duduk menonton, kebetulan anak-anak yang bermain sudah pas genap, enam lawan enam. Beberapa menit setelah kami asyik bermain, Munjib berlari-lari kecil datang, Ahmad bisa bergabung masuk. Sekarang permainan tujuh lawan tujuh.
Dan saat itulah, ketika Ahmad masuk lapangan, kami seperti menyaksikan Maradona berkulit hitam tengah beraksi di depan mata. Nanti akan aku ceritakan tentang televisi dan bagaimana kami menonton siaran piala dunia yang akan berlangsung beberapa bulan lagi, tapi sekarang lupakan soal itu, lihatlah! Lihat kemari, di lapangan yang berdebu, di lapangan bekas kejayaan pabrik karet, Ahmad, bagai menari menggocek bola. Tubuh kecilnya melesat tidak tertahankan, bergerak lincah menghindari hadangan lawan, bola seperti bicara dengan kakinya, seperti menjadi bagian tubuhnya. Dalam sekejap, sebelum kami mengerti apa yang sesungguhnya sedang terjadi, kaki Ahmad sudah menendang bola mantul setengah tiang itu, dengan sebuah sepakan yang sempurna. Bola melengkung bagai parabola, GOOLLL!!!
Teman-teman dalam timku bersorak-sorak senang. GOOLL!!! Membuat aku yang tadi mengoper bola ke Ahmad tersentak dari keterpesonaan. Aku benar-benar tidak tahu kalau Ahmad jago sekali main bolanya, tepatnya kami semua sama sekali tidak punya ide kalau ternyata dia jago sekali. Tadi setelah beberapa menit Ahmad masuk lapangan, dia tidak kunjung menyentuh bola, masih sungkan, masih malu-malu, dan teman-teman lebih memilih mengoper yang lain. Karena kasihan, aku mengopernya. Tapi apa yang terjadi sekarang? 
Aku lupa berapa persisnya gol yang dibuat oleh Ahmad sore itu. Orang-orang kampung yang ikut duduk menonton kami main hingga sore hari bertepuk-tangan gaduh setiap kali Ahmad bergerak lincah memainkan bola. Lapangan semakin ramai ketika orang-orang yang pulang dari kebun ikutan menonton. 
Saat matahari tumbang di kaki langit barat sana, saat pertandingan itu akhirnya bubar, tidak ada lagi teman-teman di timku yang mengganggap Ahmad berbeda. Mereka tertawa bersama, jahil menggoda rambut ikal Ahmad yang sekarang dipenuhi debu. Saling sikut. Saling berkejaran pulang ke rumah masing-masing.
“AHMADDD!!!”
Aku juga seketika lari terbirit-birit pulang. Ngeri melihat Ibu Ahmad yang melotot marah di depan pintu. Sudah seperti beruang marah, berdiri sambil membawa gagang sapu. Aku baru tersadar kalau kami telah meninggalkan Nayla, adik Ahmad yang sedang demam, sendirian di rumah lebih dari tiga jam.

0 komentar:

Posting Komentar