Kamis, 31 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 18. Part 2: Pengkhianatan Bag. 2
“Kenapa dia menyerang kelompok Arab yang berpuluh tahun hidup damai mengurus pabrik tekstil. Hanya untuk memuaskan ide gilanya tentang menguasai seluruh kota provinsi. Keluargaku bukan bangsat, bajingan, mereka hanya kebetulan saja tinggal di sana, berbaur di kampung Arab. Malam itu, puluhan tukang pukul Keluarga Tong datang menyerang, membabi-buta, menghancurkan apapun yang ada di sana. Rumah keluargaku terbakar, Ayah dan Ibuku mati terpanggang. Mereka tidak berhasil menguasai kawasan itu pada serangan pertama, mereka dipukul mundur, tapi akibatnya, orang-orang yang tidak bersalah menjadi korban. Aku menatap sendiri tubuh orang tuaku yang menjadi arang hitam, tidak sempat melarikan diri dari kebakaran.” 
Suara Basyir tercekat oleh emosi, wajahnya merah-padam menatap Tauke Besar.
“Malam itu juga, aku ingin membalaskan rasa sakit hati itu. Tapi usiaku baru enam tahun. Bagaimana aku melakukannya? Tanganku lemah, kakiku gemetar. Aku hanya bisa menangis. Bagaimana aku akan melawan satu rombongan tukang pukul penuh amarah? Satu-satunya yang berhasil kuselamatkan dari rumah itu hanyalah buku saku hadiah ulang tahun dari Ibuku. Berisi pepatah leluhur kami, suku Bedouin. Tapi Bapakku bukan penunggang kuda, Bujang, dia hanya guru sekolah dasar, Ibuku juga bukan bangsa nomaden, dia hanya ibu rumah tangga, kami bukan preman, bajingan seperti kelompok Arab yang hendak dihabisi Tauke, kami hanya keluarga biasa.”
“Sejak malam itu, aku tidak punya rumah lagi, aku menjadi anak jalanan. Hidup dari satu pasar ke pasar lain, tumbuh dengan semua kekerasan, mencuri, berkelahi. Setiap malam, saat gelap tiba, aku hanya bisa meringkuk di depan los pasar, atau kolong jembatan, berusaha tidur. Satu-satunya hiburanku adalah membaca buku hadiah ulang tahun dari Ibu, menangis, memeluk buku itu. Terkenang, setiap malam, saat kami masih tinggal di rumah yang nyaman, Ibu selalu membacakan pepatah-pepatah itu, menjelaskan maksudnya, kali itu tidak lagi, Ibu telah terbakar hangus. Aku hanya punya buku itu, membacanya berkali-kali hingga aku hafal di luar kepala.
“Buku itu dipenuhi nasehat indah yang saat membacanya justeru membuatku menangis. Bersabarlah, maka gunung-gunung akan luruh dengan sendirinya, lautan akan kering. Biarkan waktu menghabisi semuanya. Bagaimana aku harus bersabar? Setelah seluruh kebahagiaan keluargaku dihancurkan dalam semalam. Mudah sekali bicara, tapi menyakitkan menjalaninya.”
“Tapi buku itu benar, usia dua belas tahun, jalan balas dendam itu terbuka sendiri. Salah-satu tukang pukul Keluarga Tong membawaku ke markas, Tauke hanya menganggapku anak jalanan, sama seperti ratusan anak jalanan lain yang direkrut, setelah bersabar enam tahun di jalanan, tiba-tiba aku telah menjadi anggota Keluarga Tong. Aku sebenarnya bisa mengendap-endap ke kamar Tauke, menghujamkan belati ke lehernya. Tapi itu tidak cukup, pembalasan seperti itu terlalu gampang. Pepatah di buku saku itu menulis tentang gunung, tentang lautan. Maka apalah artinya menunggu lagi bertahun-tahun, tidak masalah. Aku akan menunggu saat yang tepat, ketika Tauke bisa melihat seluruh kejayaan yang dia bangun bertahun-tahun, menjadi sia-sia begitu saja.
Tere Liye : Pulang

“Kau tahu bagaimana rasanya bersabar selama itu? Tidak bisakah kau membayangkan, bagaimana aku harus menipu diri sendiri, hah? Tersenyum di hadapan orang yang membakar keluargaku, tertawa, melaksanakan tugasnya dengan patuh, dan semua sandiwara hebat itu. Aku bisa melakukannya, Bujang. Karena saat malam-malam di jalanan, meringkuk demam di bawah selimut bau, menggigil menatap gerimis menyiram pasar, aku berjanji, jika besok aku masih hidup, bisa melewati malam, aku akan menunggu waktu terbaik membalaskan dendamku. Maka aku menunggu hingga hari ini, dua puluh tahun lebih. Saat Keluarga Tong sudah tiba di puncak kekuasaannya. Itu akan menjadi hari yang sangat sempurna. Membalaskan kematian Ayah dan Ibuku yang terbakar hidup-hidup.” Basyir mengakhiri ceritanya.
Ruangan lengang sejenak. Tauke Besar di atas ranjang terdiam. 
“Cerita yang bagus, Basyir.” Aku berkata dingin, “Tapi itu tetap tidak mengubah fakta, kau adalah pengkhianat rendah.” 
Basyir tertawa, “Hei! Aku memang pengkhianat, Bujang. Sejak hari pertama aku tiba di rumah ini, aku sudah menjadi pengkhianat. Tidak sekalipun aku menutupi siapa latar-belakang keluargaku. Aku selalu membanggakan suku Bedouin, leluhur orang tuaku. Kau ingat pepatah yang kutulis besar-besar di dinding kamarku, "I against my brother, my brothers and I against my cousins, then my cousins and I against strangers." Itu adalah pepatah paling terkenal di suku Bedouin. Aku melawan kakakku; kakakku dan aku melawan sepupuku; sepupu-sepupuku, saudara-saudaraku melawan orang asing. Pepatah itu adalah simbol kesetiaan. Keluarga adalah segalanya bagi suku Bedouin. Keluarga yang kumaksudkan tidak pernah Tauke Besar, melainkan keluargaku sendiri.”
“Bergabunglah bersamaku, Bujang. Kita bisa menjadi partner setara, berbagi kekuasaan. Parwez tetap bisa menjadi kepala seluruh perusahaan, semua akan berjalan normal seperti sedia kala. Serahkan Tauke kepadaku, aku akan membawanya ke bekas rumahku dulu. Membakarnya di sana. Tidak ada lagi yang bisa kau lakukan, Keluarga Tong akan jatuh di tanganku, Tauke akan melihat seluruh kerja-kerasnya, akhirnya jatuh ke tangan pengkhianatnya.”
Aku menggeleng, “Kau tidak dalam posisi bernegosiasi, Basyir. Masih ada ratusan tukang pukul di keluarga ini. Brigade Tong hanya puluhan orang, sehebat apapun kau melatihnya, kau tidak akan menang melawan Letnan dan ratusan tukang pukul lain yang masih setia kepada Tauke. Saat alarm berbunyi, penyeranta di Letnan juga berbunyi, mereka sedang dalam perjalanan ke sini. Sia-sia kau mengirim mereka pergi menjauhi markas besar.”
Basyir kembali tertawa, “Oh ya? Aku tidak sebodoh itu, Bujang. Aku memang tidak pernah sekolah seperti yang kau lakukan, tapi aku tidak pandir. Aku punya rencana-rencana.”
Persis saat Basyir berhenti tertawa, dari balik lubang di dinding, melangkah masuk seseorang.
Putra tertua Keluarga Lin. 
“Selamat malam, Si Babi Hutan. Kau terkejut melihatku datang?”
Aku menggerung. Ini sungguh di luar dugaan. Bagaimana? Bagaimana dia bisa masuk begitu saja ke dalam markas? Dari luar terdengar keramaian, seperti ada puluhan mobil merapat ke halaman bangunan utama, bergabung dengan Brigade Tong. Itu bukan tukang pukul Keluaga Tong, itu adalah pasukan Keluarga Lin yang didatangkan dari Makau, juga orang-orang bayaran lain yang direkrut di ibukota. 
“Jasad Ayahku masih terbujur kaku di Grand Lisabon, Si Babi Hutan. Kami sudah sepakat, sebelum orang yang membunuhnya mendapat balasan setimpal, kami tidak akan mengremasi Ayahku…. Tidak akan mudah menangkap kau, Si Babi Hutan. Kabar baiknya, aku punya kawan satu kepentingan di sini, Basyir dengan senang hati membuka pintu gerbang markas Keluarga Tong, mempersilahkanku melenggang masuk. Aku membantunya berkuasa, dan dia akan membantuku memastikan kau berhasil dibawa hidup-hidup ke Makau.” 
“Kau bekerjasama dengan dia untuk mengkhianati Keluarga Tong, Basyir?” Aku menatap Basyir tidak percaya.
“Musuh dari musuhku adalah temanku. Itu juga pepatah lama dari suku Bedouin, Bujang.” Basyir tertawa, menoleh ke sekutunya, “Terima kasih atas kedatangan kau, Tuan Lin Muda. Kau tiba tepat waktu, kita bisa menyelesaikan semua urusan malam ini.”
Sekarang situasinya benar-benar rumit. Letnan dan tukang pukul yang kembali ke markas tidak akan menduga apa yang akan menyambutnya, pengkhianatan ini berkelindan dengan masalah lain. Keluarga Tong diserang dari dalam dan luar sekaligus. Pertarungan besar akan segera terjadi. 
“Tidak. Akulah yang berterima kasih diundang berpesta malam ini, Basyir.” Putra tertua Keluarga Lin balas tertawa, “Dan aku sangat berterima kasih pada kau, Si Babi Hutan. Aku sudah bosan menunggu Ayahku mati, untuk menggantikannya, kau telah mempercepatnya. Orang tua itu tidak bisa lagi mengatur-aturku seperti anak kecil. Setelah membereskan urusan ini, aku akan menjadi kepala keluarga. Genap sudah kekuasaanku di Makau. Mari kita sudahi percakapan, habisi mereka.”
Anggota Brigade Tong maju, belati mereka terhunus. Aku mengacungkan pedang. Bersiap menerima serangan kapanpun. Joni di sebelahku juga sudah siap—sejak tadi dia muak dengan basa-basi.
“Biar aku yang mengurus Si Babi Hutan, kalian tidak akan menang melawannya. Kalian urus Joni.” Basyir memberi perintah, sambil meloloskan khanjar dari balik jubahnya.
“Kau menginginkan pertarungan ini, bukan?” Basyir tersenyum kepadaku, “Membalaskan kekalahan di amok, bukan?”
Aku mendesis. 
“Kau tidak punya kesempatan menang melawanku, Bujang.” Basyir tertawa.
Aku menggenggam pedangku lebih erat. Menunggu kapanpun dia maju.
Di ujung tawanya, Basyir maju menyerang, khanjarnya berkelbat menyambar dadaku. Aku bergerak mundur satu langkah, khanjar itu mengenai udara kosong, aku balas menyabetkan pedang. Basyir berkelit, dia menghindar ke samping, tangan kirinya yang kosong memukul ke arahku, cepat, sebelum aku sempat melihatnya. Tinju Basyir menghantam tubuhku, membuatku terhentak dua langkah. 
Di sampingku, anggota Brigade Tong juga sudah maju menyerang Joni. Tanpa Letnan kepala yang terluka, tetap saja mereka berbahaya, Tauke Besar juga tidak bisa membantu, pistolnya kosong. Sementara Parwez meringkuk di samping ranjang, menciut ngeri melihat pertarungan ronde kedua. Putra tertua Keluarga Lin menonton di dekat lubang dinding, tersenyum sinis, membiarkan anggota Keluarga Tong saling membunuh. Dia tidak berniat mengotori tangannya.
Aku kembali memasang kuda-kuda kokoh, bahuku yang terkena pukulan Basyir terasa nyilu.
“Ada apa, Bujang? Wajahmu mengernyit kesakitan?” Basyir tertawa.
Sebagai jawabannya, aku menyabetkan pedang ke arahnya, lebih cepat, sebisa yang kulakukan. Basyir tidak menghindar, dia mengangkat khanjar, suara denting logam beradu memekakkan telinga, percik api menyambar. Pedangku terbanting, kuat sekali gerakan dia. Basyir bahkan segera maju, tangan kosongnya kembali mengincar, kali ini meninju perutku. Pedang di tanganku nyaris terlepas saat tinju Basyir mengenaiku. Aku melenguh menahan sakit, mundur dua langkah.
“Kau tidak akan pernah menang melawanku, Bujang.” Basyir berseru, menggeleng-gelengkan kepala, “Aku lebih cepat, lebih kuat. Kau tidak belajar dari ritual amok. Dua kali aku mengalahkanmu.”
Aku menyeka pelipis yang basah. Hujan semakin deras di luar. Juga angin berkesiur kencang, bulir airnya yang masuk membuat lembab kamar.
Beberapa menit lalu aku dan Joni menguasai pertarungan, sekarang situasinya terbalik. Di sebelahku, Joni sudah bersimbah darah, tubuhnya dipenuhi luka sabetan belati. Hanya karena daya juang yang tinggi, Joni tetap berdiri menahan seluruh rasa sakit, dia menjadi bulan-bulanan anggota Brigade Tong. Sementara aku seperti menemui benteng kokoh dari Basyir. 
Lima menit lagi berlalu, secepat apapun aku menebaskan pedang, sekuat apapun aku memukul Basyir, aku tetap kalah cepat, kalah kuat dibanding gerakannya. Ini sama seperti ritual amok beberapa tahun lalu, saat Basyir menggantikan Kopong. Basyir bisa bertahan enam puluh menit di dalam lingkaran, berapapun jumlah tukang pukul yang menyerangnya, Basyir tetap berdiri kokoh. Aku yang menjadi lawan terakhirnya, dan setelah pertarungan tangan kosong yang seru, dia berhasil menjatuhkanku. 
Aku dan Joni terus melangkah mundur, terdesak hingga mendekati ranjang Tauke. Situasi kami buruk, tubuhku juga terluka dibanyak tempat disambar Khanjar Basyir atau pukulan tangan kosong. Aku sudah berusaha bertahan habis-habisan, tapi ini sia-sia.
“Kau tahu kenapa kau tidak pernah menang berkelahi melawanku, Bujang?” Basyir menyeringai, menatapku yang menyeka darah di ujung bibir, “Karena kau hanya berlatih, hanya melakukan simulasi dengan guru-gurumu itu. Saat kau sedang bermain pedang-pedangan di Jepang sana, aku bertarung hidup mati di gurun pasir, terlibat pertempuran melawan milisi di Afrika. Saat kau sedang belajar menembak dengan Salonga, aku justeru berlarian dibawah hujan peluru perompak, juga hujan anak panah peperangan antar suku. 
“Bagaimana mungkin kau akan menang? Kau sejak kecil dimanjakan Kopong, takut sekali anak kesayangan Tauke Besar tergores. Sedangkan aku, sejak kecil bersahabat dengan bahaya dan kematian. Kau hanya dilatih lari cepat oleh Kopong, di tempat yang aman sentosa, sementara aku, hidup mati belajar meloloskan diri dari kejaran pembunuh bayaran. Kita tidak pernah setara, Bujang. Kau bukan tukang pukul, kau hanya orang yang tahu berkelahi dan kebetulan pintar. Kau lemah, kau tidak secepat dan sekuat yang kau bayangkan.”
Aku menggeram, sekali lagi khanjar Basyir berhasil menikam lenganku. Aku sudah berusaha menyerangnya dengan cepat, berkelit dengan cepat, gerakanku tetap tidak cukup. Basyir seperti bisa membacanya, dia bisa menangkis, untuk kemudian menusukkan belatinya.

*bersambung

Rabu, 30 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 18. Part 1: Pengkhianatan Bag. 2

Joni mengambil pedang untukku, melemparkannya. Dia juga mengeluarkan dua pistol dari kotak senjata yang ada di kamar. Satu untuk Tauke Besar, yang tetap bersandarkan bantal di atas ranjang. Satu lagi untuk Parwez, yang gemetar memegangnya. Joni sendiri mencabut sepasang trisula dari pinggangnya, bersiap di sebelahku.
“Kau baik-baik saja, Parwez?” Aku berseru, memastikan.
Parwez mengangguk.
“Kau berdiri di dekat Tauke, biar aku dan Joni di depan melindungi. Pastikan kau menembak dengan baik. Jangan ragu-ragu, jangan beri ampun.” Aku menatapnya.
Parwez sekali lagi mengangguk. Wajahnya pucat. Tauke Besar beringsut, memperbaiki posisi sandarannya. 
Tere Liye : Pulang

Aku dan Joni berdiri di tengah ruangan, menatap pintu jati berukiran yang bagian luarnya sudah dilapis oleh pintu besi saat tombol darurat ditekan. Alarm terus melengking di langit-langit kamar. Ini akan segera menjadi pertarungan jarak pendek, strategiku sederhana, aku dan Joni menahan mereka di depan, Tauke di belakang akan membantu dengan pistol.
Hanya soal waktu, Brigade Tong menyerang pintu ini. Basyir sialan, dia lihai sekali menipu semua orang. Berpuluh tahun dia menyusun rencana, menunggu waktu terbaik. Persis aku memaki dalam hati, terdengar suara dentuman kencang di daun pintu. Lantai yang kuinjak bergetar, lampu gantung di bergoyang, juga berjatuhan beberapa pajangan, pecah di lantai. 
“A-pa… Apa yang terjadi?” Parwez bertanya gugup.
“Mereka berusaha menghancurkan pintu!”
Joni menggenggam lebih erat dua trisula. Aku menatap tidak berkedip ke depan. 
Terdengar sekali lagi suara ledakan. Kali ini lebih besar, plafon ruangan retak, juga dinding di sekitar pintu, merekah. Brigade Tong tidak bisa menghancurkan pintu besi, mereka pindah menyasar dinding di sebelahnya, menggunakan pelontar granat. Kaca jendela ikut pecah, membawa kesiur angin dan butir air ke dalam kamar, hujan deras di luar sana.
Ledakan ketiga, akhirnya berhasil membuat dinding setebal dua jengkal itu hancur lebur, batu batanya berhamburan, debu mengepul masuk ke dalam kamar, dan dari lubang di dinding berlompatan anggota Brigade Tong, senjata mereka adalah belati, di kepala mereka terikat kain hitam dengan tulisan Arab, tidak lagi mengenakan simbol Keluarga Tong.
“Pengkhianat!” Joni mendesis, dia sudah mau loncat menyerbu, aku menahan gerakannya. Kami harus tahu situasi dengan baik sebelum menyerang.
Salah-seorang diantara mereka melangkah mendekat, menyibak kepulan debu, dia Letnan pemimpin Brigade Tong, “Menyeralah Si Babi Hutan. Kita tidak perlu bertempur. Kau tahu persis apa yang sedang terjadi.” 
Aku berkata datar, “Lantas apa yang akan kalian lakukan setelah kami menyerah?”
“Basyir menjamin kau dan Parwez tidak akan disakiti. Basyir hanya menginginkan Tauke Besar. Bukan kalian. Menyerahlah, kami sudah menguasai penuh seluruh markas, kalian tidak akan bisa lolos.” Letnan itu menatapku dengan belati tetap teracung, belasan anggota Brigade Tong berdiri di belakangnya, juga siap bertarung. 
“Di mana Basyir, kenapa dia tidak menyampaikan sendiri tawarannya?” 
“Basyir masih dalam perjalanan dari pelabuhan. Seharusnya dia yang memimpin. Tapi kalian sendiri yang memaksa serangan ini dipercepat. Seseorang telah menekan tombol darurat. Menyeralah, Si Babi Hutan, sebelum—”
“Kami tidak akan menyerah, pengkhianat!” Joni membentak, wajahnya merah padam.
Ruangan itu lengang sejenak setelah teriakan Joni, debu terus mengambang di sekitar, bercampur butir air. Suasana tegang sudah tiba di puncaknya. Nafas-nafas menderu dari para penyerang.
“Itu benar, kalian naif sekali jika berharap kami akan menyerah. Basyir hanya berbasa-basi menawarkan hal itu, dia sudah tahu aku akan melindungi Tauke dengan nyawaku.” Aku menatap dingin Letnan Brigade Tong, katanaku terangkat.
“Baik, Si Babi Hutan, kau sendiri yang memutuskan demikian! Serang mereka!” Letnan Brigade Tong berseru, dan persis kalimat itu tiba di ujungnya, belasan anggota Brigade Tong loncat menghunus belati mereka.
Aku dan Joni menyambutnya. 
Pedangku menebas ke depan, satu anggota Brigade tidak sempat menghindar langsung tersambar, Joni maju menusuk, dua trisula di tangannya bergerak mengancam. Pertarungan jarak dekat telah dimulai. Brigade Tong adalah pasukan elit, mereka bertahan dan balas menyerang dengan baik. Aku menghindar, berkelit, menangkis belati-belati yang mengarah padaku, kemudian menyabetkan pedangku. Suara logam beradu terdengar nyaring, juga percik api, keramik berjatuhan, juga pajangan lain, ruangan itu kusut masai oleh pertempuran. Lantai terasa licin, air hujan bercampur dengan debu.
Hujan deras terus menyiram ibukota, udara dingin masuk lewat kaca jendela yang hancur. 
Empat orang anggota Brigade Tong telah mengeroyok Joni, dari depan, belakang, samping, Joni bertahan mati-matian, aku empat langkah darinya, tidak bisa membantu, aku juga harus menghadapi enam anggota Brigade Tong beserta Letnannya. Mereka buas menyerangku tanpa ampun, belati mereka terus mencari sasaran, kehilangan konsentrasi sepersekian detik mahal sekali harganya. Joni semakin terdesak, lengannya terluka, dia berteriak marah.
Dor!
Terdengar suara letusan tembakan, Tauke Besar di belakang menarik pelatuk pistol. Kondisi fisiknya payah tapi dia tetap penembak jitu, satu anggota Brigade Tong yang sedang mengurung Joni tersungkur, sebuah peluru mengenai pelipisnya. Tiga temannya terhenti sebentar gerakannya. Joni tidak menyia-nyiakan celah yang terbuka, trisulanya menyambar kesana-kemari, dua anggota Brigade Tong menyusul terkapar dengan luka di dada. Tauke Besar kembali mengacungkan pistolnya, mencari sasaran. Tidak mudah menembak di antara kepul debu dan gerakan cepat pertarungan. Entahlah dengan Parwez, apakah dia berani menembak, sejak tadi dia gemetar memegang pistol, mungkin lebih baik dia tidak menembak, atau tanpa sengaja malah mengenaiku dan Joni di depan.
Di sebelah, aku terus melayani Letnan Brigade Tong dan pasukannya. Permainan belati mereka mengagumkan, aku harus hati-hati, memasang kuda-kuda yang kokoh, menangkis serangan, berkelit, untuk kemudian menyerang balik. Dua dari anggota Brigade Tong berhasil kujatuhkan, pedangku menyambar tubuh mereka. Jumlah mereka banyak, tapi dalam pertarungan jarak dekat dengan belati, itu tidak selalu sebuah keuntungan. Sama seperti ketika ada sebuah meja kecil yang hendak dipindahkan, dua puluh orang berebut berusaha mengangkatnya, pekerjaan itu bukannya menjadi mudah, meja itu justeru susah dipindahkan. Terlalu banyak orang saling sikut hendak membawa meja, dengan arah masing-masing. 
Sepuluh menit berlalu, aku dan Joni berhasil menahan laju anggota Brigade Tong, mereka mulai terdesak kembali ke lubang di dinding. Enam anggotanya terkapar di lantai, darah mengalir di atas marmer, bercampur dengan debu dan reruntuhan dinding. Sebagai balasannya, lenganku tersabet belati salah-seorang penyerang, tidak dalam, tapi darah membuat merah kemejaku. Joni lebih buruk, lengan dan pahanya terluka, sejak tadi dia bertempur dengan kaki kesakitan, tapi dia tidak peduli, terus bahu-membahu bertarung di sebelahku.
Tembakan pistol dari Tauke di belakang membantu. Setiap kali Joni terdesak, Tauke akan melepas tembakan, tidak selalu jitu mengenai anggota Brigade Tong, karena kondisi Tauke semakin payah, dia tidak bisa fokus, tapi itu cukup membuat perhatian penyerang terpecah. Saat mereka berseru marah berusaha mendekati ranjang, hendak menyerang Tauke, giliranku dan Joni menahannya, memukul balik. Rencanaku berjalan dengan lancar.
Sepuluh menit berlalu lagi, Letnan Brigade Tong terduduk di depanku, aku berhasil menyabet dadanya, luka besar, dia tersengal, berusaha berdiri dengan wajah kesakitan. Tapi pedangku teracung ke wajahnya, membuatnya tidak bisa bergerak. Demi melihat pimpinannya terluka dan dibawah ancaman katana, anggota Brigade Tong yang lain mundur dua langkah, wajah-wajah mereka mulai cemas. Pertarungan terhenti sebentar.
“Kalian tidak akan bisa melewati kami, bedebah.” Joni mengacungkan trisulanya, nafasnya menderu, pakaiannya kotor oleh debu dan darah, ada lebih banyak lagi luka di tubuhnya.
Aku menyeka peluh di pelipis, kami masih jauh dari menang. Di depan kami masih belasan anggota Brigade Tong yang segar bugar, belum menghitung puluhan yang sedang menyisir bangunan, yang akan segera bergabung membantu teman-temannya. Tapi bukan menang tujuanku, misiku sederhana, aku akan menahan mereka selama mungkin, hingga Letnan dan tukang pukul lain yang masih setia dengan Tauke kembali ke rumah. Saat mereka tiba, itu akan mengubah peta pertarungan, kami bisa mengambil-alih kembali markas.
Tapi aku keliru berhitung. Aku pikir situasi sudah di pihak kami, hanya untuk menyadari, kami benar-benar tidak punya banyak waktu, saat Letnan Brigade Tong masih berada di bawah ancaman pedangku, anggotanya ragu-ragu untuk maju menyerang, dari balik lubang di dinding, melangkah masuk seseorang yang paling bertanggung-jawab atas pengkhianatan ini.
“Assalammualaikum, Bujang.”
Suara yang amat kukenali, salam yang khas. Basyir telah datang. 
Sosoknya muncul di antara kepul debu. Dia datang mengenakan jubah hitam tradisional, dengan bebat kepala bertuliskan huruf Arab. Tidak ada lagi pakaian rapi kemeja lengan panjang dan celana kain, dia telah berubah persis seperti “penunggang kuda” yang dulu dia cita-citakan.
Basyir menyibak anggota Brigade Tong, berseru, “Minggir anak-anak! Kalian bukan lawan setara Si Babi Hutan. Biarkan aku yang mengurusnya.”
Dia berhenti tiga langkah di hadapanku. Tubuh tinggi besarnya berada di antara anggota Brigade Tong yang terkapar. Joni menggerung marah, dia sudah tidak sabaran menyerang Basyir. Aku sekali lagi menahannya.
“Apa kabar, Tauke Muda? Bagaimana perjalananmu dari Hong Kong.”
“Berhenti basa-basi, Basyir!” Aku membentaknya.
Basyir tertawa, mengangkat bahu. 
“Jelaskan apa yang terjadi!” Katanaku teracung ke arahnya. Letnan kepala Brigadir Tong segera beringsut menjauh.
“Kenapa? Itu pertanyaannya, bukan?” Basyir tersenyum tipis, menatapku santai, “Membosankan, Bujang. Itu selalu yang kau lakukan. Apa? Siapa? Kenapa? Dimana? Kapan? Bagaimana? Dalam setiap masalah, dalam setiap kasus, kau selalu saja bertanya, kenapa? Lantas dengan otak pintarmu, kau menganalisis semuanya dengan cepat, kemudian sim salabim, keluarlah saran, ide, kesimpulan hebat dari Bujang, lulusan terbaik dua master di Amerika. Hebat sekali, semua orang takjub dan bertepuk-tangan. Tapi itu membosankan, Bujang.”
Aku balas menatap Basyir, berseru, “Iya, kenapa, Basyir? Kenapa kau mengkhianati Tauke Besar setelah dia mengambil seorang anak jalanan, mendidiknya, membesarkannya, membuatnya menggapai mimpi-mimpi masa kecilnya menjadi ksatria suku Bedouin? Kenapa, hah?”
“Astaga, Bujang. Aku sudah bilang itu membosankan. Dan kau lagi-lagi masih bertanya, kenapa?” Basyir tertawa, pura-pura menepuk dahinya.
Disampingku Joni menggeram, dia muak melihat tawa Basyir. Aku kembali menahannya agar tidak menyerang Basyir, misi kami adalah bertahan selama mungkin, hingga bantuan tiba. Jangankan menit, hitungan detik pun sangat berharga dalam pertarungan seperti ini. Percakapan berlama-lama ini aku sengaja, selain agar Basyir lengah.
“Apakah otak pintar kau tidak bisa menebaknya, Bujang?” Basyir menatapku menghina.
“Aku tidak akan menghabiskan waktu menganalisis pengkhianatanmu, Basyir.”
Basyir terkekeh, “Baiklah, jika demikian akan kujelaskan, setidaknya agar kau tidak mati tanpa mengetahui sebab kematianmu.”
Tangannya lantas teracung ke depan, ke Tauke Besar yang duduk bersandarkan bantal, “Orang tua itu, yang terbaring tidak berdaya di atas ranjang, memegang pistol yang amunisinya habis, dialah yang membuatku menjadi yatim-piatu. Kenapa, Bujang? Seharusnya itu pertanyaanku kepadanya, bukan kepadaku. Kenapa?

*bersambung

Selasa, 29 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 17. Part 2: Hutang 40 Juta Dollar

Dua minggu kemudian, setelah sakit payah, dua kali mendapatkan pertolongan emergency, berbaring tidak berdaya di atas kasur, aku akhirnya berangsur sembuh. Makanku mulai lahap, seperti lama sekali aku tidak merasakan lezatnya masakan pelayan rumah.
Dokter rutin memeriksaku setiap pagi dan sore, menepuk-nepuk lenganku, “Kau akan baik-baik saja, Bujang…. Hari pertama aku melihatmu, kau datang dengan dua puluh empat luka di badan. Demam ini tidak ada apa-apanya dibanding horor melihat luka-lukamu dulu.”
Aku mengangguk, bilang terima-kasih. Aku sudah bersedia berkomunikasi, meski hanya respon pendek. Mengangguk atau menggeleng.
Tere Liye : Pulang

Sebulan kemudian, fisikku sudah pulih seperti sedia kala, aku sudah mau turun ke meja panjang untuk sarapan. Mulai mendengarkan percakapan tukang pukul lain, menonton olok-olok dan keributan antar tukang pukul saat sarapan. Sakit selama dua minggu itu sedikit banyak membuatku mulai membuka diri. Aku juga mulai pergi ke tempat latihan tukang pukul, berlari mengelilingi trek hingga larut malam seorang diri. Kadang ditemani Kopong, yang senang melihat kemajuan suasana hatiku. Aku juga mulai mengeluarkan buku-bukuku dari lemari, mulai membaca—itu selalu menyenangkan, menghabiskan waktu. Dengan ditemani buku, tanpa terasa, hari telah beranjak petang, tidak sempat lagi mengingat kenangan menyakitkan.
Itu tahun kesepuluh aku tinggal di Keluarga Tong, atau tahun ketujuh Tauke memindahkan markas ke ibukota, kekuasaan Keluarga Tong mulai keluar dari batas teritorial negara. Ibukota sudah tidak memadai lagi untuk tumbuh, butuh ruang yang lebih luas, dan membesarnya kerajaan bisnis Tauke, tidak selalu kabar baik, itu juga mengundang masalah serius. Dalam beberapa kasus, kami mulai punya gesekan dengan keluarga penguasa shadow economy di luar negeri. Masalah jenis baru bermunculan.
Malam itu, saat aku baru berlari satu keliling di trek latihan, pukul setengah tujuh, Kopong tiba-tiba datang menemuiku, dia membawa pesan.
Aku berhenti, segera mendekat. Ada apa?
“Tauke memintamu pulang, ada hal yang ingin dia bicarakan, Bujang.”
Aku mengangguk. Segera membereskan perlengkapan. 
Tiba di ruang kerja Tauke tiga puluh menit kemudian, Tauke terlihat bersiap-siap berpergian.
“Kau ikut denganku malam ini, Bujang.”
Kemana? Demikian maksud ekspresi wajahku.
“Hong Kong. Ada pekerjaan yang harus kita selesaikan di sana.”
Aku menunjuk Kopong. Kenapa tidak Kopong saja yang berangkat?
“Kita tidak bisa mengirim Kopong atau Mansur, aku harus menyelesaikannya sendiri, dan kau akan menjadi pengawalku malam ini. Kopong ada pekerjaan lain.”
Aku mengangguk, segera hendak ke kamar, menyiapkan perbekalan.
“Semua keperluanmu sudah disiapkan saat Kopong memanggilmu, kita berangkat sekarang.” Tauke sudah melangkah menuju pintu.
“Hati-hati, Bujang.” Kopong menepuk bahuku.
Aku mengangguk lagi, melangkah mengikuti punggung Tauke.
Tahun itu, Tauke Besar sudah membeli pesawat jet, kami berangkat naik pesawat pribadi. Sepanjang perjalanan Tauke lebih banyak diam, wajahnya suram. Aku tahu, itu berarti masalah yang serius. Aku tidak banyak bertanya. Jika Tauke tidak bicara, menjelaskan, bercerita atau apapun, maka sudah menjadi peraturan di rumah, kami akan diam menunggu.
Empat jam penerbangan, pesawat jet mendarat di bandara Hong Kong, pukul dua belas malam. Sebuah limusin telah menunggu di hanggar pesawat pribadi, beserta pengemudinya. Aku melihat logo “Naga Emas” di pakaian pengemudinya, mobil itu sepertinya telah disiapkan untuk menjemput kami. 
“Kita akan menemui kepala keluarga penguasa China daratan, Bujang.” Tauke akhirnya menjelaskan, di atas mobil yang melaju di jalanan lengang. Sudah lewat tengah malam, sebagian besar kota Hong Kong beranjak lelap, menyisakan lampu merah di perempatan yang berganti warna secara teratur. 
“Namanya Master Dragon. Usianya tujuh puluh tahun, tapi seusia itu, Master Dragon masih berkuasa penuh mengendalikan bisnis dunia hitam terbesar di kawasan Asia Pasifik. Kekuasaannya hingga Rusia, Amerika, Kanada, juga menyentuh tempat-tempat jauh. Mereka menguasai perjudian, pasar gelap, obat-obatan, perdagangan manusia, prostitusi, dan semua aspek tradisional bisnis dunia hitam.”
Aku diam, mendengarkan dengan cermat.
“Selama ini, kita tidak pernah mengganggu bisnis mereka, dan sebaliknya, mereka juga tidak mengganggu bisnis kita. Itu sudah menjadi aturan tertulis, maka semua akan berjalan baik-baik saja.” Tauke menghembuskan nafas, terlihat serius sekali, “Kita semakin besar, Bujang, itu berarti cepat atau lambat bisnis kita akan bersinggungan dengan keluarga lain di luar negeri. Sekuat apapun kita berusaha, tetap saja masalah itu datang sendiri. Itulah kenapa aku menemuinya malam ini. Master Dragon mengirimkan undangan, untuk membahas sebuah masalah pelik. Sesegera mungkin. Dia telah menunggu kita di markasnya. 
“Ini bukan pertemuan basa-basi nostalgia masa lalu. Kau harus berjaga-jaga atas segala kemungkinan, Bujang. Aku tidak mengkhawatirkan Master Dragon, dia selalu bersedia mendengarkan dengan baik sebelum memutuskan sebuah masalah, aku mengkhawatirkan pihak lain yang ada di pertemuan itu. Aku pernah menemuinya. Ayahku dulu, Tauke Besar pernah bertemu dengannya, aku ikut serta, usiaku baru dua puluh lima. Saat itu Master Dragon belum sekuat seperti hari ini, belum menaklukkan semua keluarga di China daratan. Semoga dia masih bisa mengingatku, dan itu membantu urusan kita.”
Aku mengangguk. 
Kami tiba di kawasan Kowloon, di gedung berlantai enam, empat pengawal dengan simbil “Naga Emas” menyambut kami turun dari limusin, mereka membungkuk kepada Tauke Besar, meminta kami mengikutinya. 
Gedung itu megah, lantainya marmer nomor satu, dinding, tiang, langit-langit, semuanya terbuat dari bahan terbaik. Juga pajangan, lukisan, keramik, guci, kami seperti berjalan di lorong masterpiece seni dunia. Begitu berkelas. Tauke Besar melangkah tenang, meski dia menghela nafas berkali-kali, aku berjalan di belakangnya, berhitung atas segala kemungkinan. Entah kenapa, setelah berbulan-bulan sedih karena kabar kepergian Bapak, malam itu, aku kembali merasakan sensasi menjadi seorang tukang pukul. Semua kesenangan, semua ketegangan, inilah dulu alasanku ingin menjadi seperti Bapak.
Kami dibawa oleh empat pengawal ke balkon lantai enam, semi terbuka, menghadap teluk Hong Kong. Pemandangan dari balkon itu spektakuler, gemerlap Hong Kong terlihat dari sana. Ada dua meja bundar kecil terbuat dari besi di sana, masing-masing dengan beberapa kursi. Salah-satu meja telah dipenuhi rombongan lain. Meja satunya masih kosong, hanya ada teko berisi air hangat, gelas-gelas, sendok untuk menyeduh teh. Ada satu lagi kursi besar, seseorang duduk di atasnya, mengenakan jubah berwarna keemasan. Tuan rumah.
“Ah, akhirnya kau tiba Tauke.” Orang itu berdiri, menyambut.
“Selamat malam, Master Dragon.” Tauke menunduk dalam-dalam—aku ikut menunduk.
“Maaf jika kami datang terlambat. Aku berusaha secepat mungkin datang ke Hong Kong setelah menerima pesan darimu.”
“Tidak masalah, Tauke.” Master Dragon berkata ramah, intonasi suaranya sangat tajam, “Astaga, kau sepertinya tidak banyak berubah sejak aku melihatmu pertama kali. Kau bersama Ayahmu dulu. Aku minta maaf tidak datang saat dia meninggal, aku sedang sibuk di Shanghai, mengurus bisnis.”
Tauke mengangguk.
“Dan kau juga sama seperti Ayahmu, hanya membawa seorang pengawal saja ke Hong Kong. Siapa anak muda bersamamu? Anakmu?”
“Anak angkatku. Namanya Bujang, orang-orang memanggilnya Si Babi Hutan.”
Demi sopan-santun, aku menunduk lagi ke arah Master Dragon.
“Julukan yang hebat, Nak.” Master Dragon terkekeh, memujiku, “Kalian berdua silahkan duduk. Jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri.”
Aku dan Tauke duduk di meja kosong, pertemuan malam ini sepertinya sudah disiapkan sedemikian rupa. Kami duduk berhadap-hadapan dengan rombongan di meja satunya. Ini seperti konfrontasi dua pihak yang bermasalah, dan Master Dragon menjadi hakim tunggal.
“Baiklah. Kita mulai saja membahas masalah ini.” Master Dragon kembali ke kursi besar yang ada di dekat dua meja itu. Intonasi suaranya berubah serius, tidak ada lagi nada ramah di sana. Wajahnya menatap galak, gerakan tangannya penuh ancaman.
Aku belum pernah melihat sosok dengan pengaruh sehebat Master Dragon. Tatapan matanya, ekspresi wajahnya, gerakan tangan saat bicara. Dia adalah sebenar-benarnya pucuk penguasa keluarga dunia hitam. Tapi aku tidak takut, aku menatapnya tanpa berkedip.
“Putraku Shang melaporkan, kau telah mengancam dia dan kelompoknya di Singapura. Tadi siang dia datang kemari, meminta bantuanku. Apakah itu benar, Tauke?”
Aku menelan ludah, Tauke punya masalah dengan putra Master Dragon? Dan kami datang ke markasnya? Ini gila, kami sama saja masuk sarang harimau. Atmosfer pertemuan semakin pekat menegangkan. Master Dragon jelas tidak membawa senjata, tapi di meja seberang, delapan orang membawa senjata di balik pakaiannya. 
“Aku tidak mengancam putra Anda, Master Dragon.” Tauke bicara, tetap tenang, “Dia telah meminjam dana empat puluh juta dollar dari bank kami di Singapura. Itu sebenarnya tidak banyak. Hanya saja, putra Anda bukan hanya menolak mengembalikan uang tersebut setelah hampir setahun jatuh tempo, dia juga menghina keluarga kami. Dia menahan salah-satu bankir kami di Singapura, menyiksanya, memulangkannya dengan telinga teriris, jari hilang tiga, kaki pincang.”
“Itu karena dia bodoh!” Shang, putra Master Dragon berseru, dia berdiri dari kursinya, tujuh pengawalnya juga ikut berdiri, “Bankir itu terus rewel seperti anak kecil menagih uang itu. Persetan! Aku memberinya pelajaran.”
Aku ikut berdiri, berjaga-jaga atas setiap serangan.
“Diam, Shang!” Master Dragon berseru, “Kau akan mendapatkan giliran bicara.”
Shang terdiam, dia masih hendak berteriak, tapi tatapan Ayahnya membuatnya duduk kembali, juga tujuh pengawalnya yang siap mencabut senjata.
“Teruskan Tauke.” Master Dragon menoleh ke meja kami, memberi perintah.
“Kami tidak pernah berniat mengancam keluarga Anda, Master Dragon. Hanya saja, bankir itu sedang mengerjakan tugasnya, mengirimkan pemberitahuan hutang, dan itulah pekerjaan profesional. Saat bankir itu kembali dengan kondisi buruk, kami pikir, ada yang telah melanggar kehormatan antar keluarga. Ada yang—“
“Omong kosong!” Shang berteriak, marahnya kembali meledak, “Kita semua tidak punya kehormatan. Kau pikir dengan punya bank, bisnis legal, maka kau sok suci? Lebih baik dibanding keluarga lainnya?”
“Kami tidak pernah bilang Keluarga Tong lebih suci, Shang. Tapi dunia kita tetap punya kehormatan—“
“Habisi mereka!” Shang sudah berseru membero perintah kepada pengawalnya.
Bahkan kali ini, Dragon Master tidak sempat mencegah putranya mencabut pistol, juga tujuh dari pengawalnya, mereka mengarahkan pistol ke kami, lantas menarik pelatuk. Pertemuan itu telah tiba pada kesimpulannya. Pertarungan hidup mati.
Tapi aku sudah siap. Nafasku menderu kencang. Aku menarik tubuh Tauke Besar ke bawah, berlindung dibalik meja bundar yang terbuat dari besi, tidak lupa segera meraih teko berisi air panas. Suara tembakan terdengar susul-menyusul memekakkan telinga, menghantam meja tempat berlindung. Membuat gelas pecah berhamburan, percik nyala api menyambar kemana-mana.
Saat tujuh pengawalnya hendak mengisi ulang pistol, aku keluar dari balik meja, menyiramkan air panas di dalam teko ke depan. Telak menghantam mereka, teriakan mengaduh terdengar, pistol berjatuhan, juga Shang, wajahnya persis tersiram air panas. Saat mereka masih sibuk dengan kulit melepuh, aku menyambar sendok tersisa, loncat ke depan, mulai menyerang. Dua pengawal Shang segera terkapar dengan leher ditembus sendok. Empat lagi terduduk karena aku meninju perut, dagu, apapun yang bisa kutinju, sisanya terlempar ke luar balkon, jatuh di jalanan Hong Kong.
Aku mencabut pistol colt dari pinggang—hadiah Salonga, mengarahkannya ke Shang, yang duduk dengan wajah melepuh sekaligus terhenyak. Moncong pistol menempel di dahinya.
Limas belas detik kemudian, balkon itu lengang.
“Astaga!” Master Dragon berseru pelan, menatap sisa keributan, meja terbalik, kursi-kursi terpelanting. Empat tukang pukul mengerang. Darah mengalir di lantai. Dan putranya yang tidak bisa bergerak dibawah todongan pistolku.
Master Dragon berdiri, aku pikir dia akan menyerangku, membela putranya, tapi dia justeru melangkah ke meja tempat Tauke berlindung.
“Kau baik-baik saja, Tauke?” Master Dragon membantu Tauke berdiri.
Tauke mengangguk, dia tidak kurang satu apapun.
“Aku tahu kenapa kau memiliki julukan itu, Si Babi Hutan.” Master Dragon menoleh kepadaku, “Kau seperti seekor babi yang mengamuk, cepat sekali melumpuhkan delapan orang bersenjata seorang diri. Kau punya anak angkat yang hebat, Tauke.”
Shang masih tidak bisa bergerak di bawah todongan pistolku. Dia menatap Ayahnya, meminta bantuan, wajahnya memelas, pun melepuh.
“Baiklah, inilah keputusanku soal masalah ini. Kau benar Tauke, saat putraku menyiksa bankir itu, dia telah melewati batasnya. Dia telah melanggar kehormatan antar keluarga, menghina Keluarga Tong. Terima kasih banyak kau tidak langsung membunuhnya, hanya memberikan peringatan di Singapura. Aku akan mengembalikan uang yang dia pinjam, dan biarkan aku yang menghukum anak tidak tahu diuntung ini. Bertahun-tahun, dia hanya membuat masalah bagiku. Tidak terhitung berapa uang yang kuhabiskan untuk membereskan masalah yang dia buat, termasuk dengan pengadilan negara-negara tempat dia tinggal. Terima kasih telah mengajarinya malam ini. 
“Mari, aku akan menjamu kalian makan di ruangan dalam, sebagai permintaan maaf dariku atas keributan barusan. Aku punya koki yang hebat. Kau akan suka menikmati masakannya, walau kita sudah terlalu larut untuk menghabiskan semangkok mie lezat.”
Master Dragon meninggalkan begitu saja putranya di balkon. Beberapa pengawalnya segera membereskan bekas keributan, membawa Shang pergi entah kemana. 
Malam itu, Master Dragon menjamu kami, bercakap-cakap santai, sesekali tertawa. Itu sekaligus diplomasi tingkat tinggi, ada banyak hal yang disepakati ulang. Tauke mendapatkan persahabatan dengan kepala keluarga penguasa China daratan. Dan saat itulah Tauke bilang, aku tidak akan menyentuh minuman beralkohol, juga daging babi yang dihidangkan koki. Master Dragon menatapku heran. Aku dengan sopan menjelaskan alasannya. Dia diam sebentar, kemudian terkekeh, tetap tidak bisa memahaminya.
Sejak malam itu pula, semangatku menjadi tukang pukul kembali. Aku tidak tertarik lagi menjadi ‘hanya’ seperti Bapakku, yang besar karena berkelahi di jalanan, mengurus masalah lokal, penyerangan, penyerbuan. Aku akan menyempurnakan definisi tukang pukul itu. Aku menjadi spesialis, penyelesai konflik masalah-masalah serius. Keluarga Tong semakin besar, dan masalah mereka di luar negeri semakin banyak. Itulah tugasku.
Kopong meninggal lima tahun kemudian. Mansur menyusul meninggal, digantikan Parwez. Tahun-tahun berlalu cepat, aku sudah melanglang buana ke banyak tempat, melaksanakan tugas. Aku sudah melupakan talang di lereng rimba sumatera.
Aku sudah tidak ingat lagi bagaimana rasanya lari di sela-sela padi ladang tadah hujan. Aku sudah melesat jauh, berlarian diantara reputasi menakutkan yang mulai kubangun sejengkal demi sejengkal. Nama ‘Si Babi Hutan’ mulai dikenal oleh dunia hitam Asia Pasifik. Sebutkan namaku, maka mereka akan gemetar mendengarnya.
Kabar kematian Bapak akhirnya tertinggal jauh di belakang. 
***

*bersambung

Senin, 28 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 17. Part 1: Hutang 40 Juta Dollar

Kembali ke sepuluh tahun lalu. 
Sama seperti saat kepergian Mamak, seperti ikan diambil tulangnya, kabar kematian Bapak membuatku kehilangan semangat.
Berhari-hari, aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Tidak tertarik saat disuruh melaksanakan tugas tukang pukul, pun tidak berminat membaca buku-buku—aku lazimnya selalu suka membaca. 
Membiarkan kursiku di meja panjang kosong saat sarapan, hingga pelayan memutuskan membawa makanan ke kamar, tapi itu sama saja, aku hanya menyentuhnya satu-dua sendok, kemudian menyuruh mereka membawanya keluar. Aku juga tidak menanggapi sapaan tukang pukul dan anggota keluarga lain, hanya Tauke Besar dan Kopong yang sering datang ke kamar, memastikan aku baik-baik saja. Tapi itu tanpa percakapan, aku hanya diam saat ditanya. Berdiri melamun menatap keluar jendela, atau menatap kosong lukisan Gaugin di dinding.
Tere Liye : Pulang

Tidak hanya sekali Kopong berusaha menemaniku, menghibur, mencoba bergurau. Aku tidak tertawa dengan lelucon Kopong—yang kadangkala sangat lucu. Tapi aku tidak berminat tertawa dalam suasana hati yang suram. Buat apa? Toh, setelah tawa tersebut, aku tahu persis, perasaan sesak itu akan kembali mengungkung, lebih menyakitkan.
Gagal. Kopong mencari akal lain, mencoba menceritakan masa lalu, tentang Bapakku, karena dia sempat mengenal Bapak selama delapan tahun, sebelum Bapak kembali ke kampung, mengajak Mamak menikah dan terusir dari keluarganya. Itu sepertinya ide yang menarik.
“Kau ingin mendengar cerita, Bujang?” Kopong bertanya pada suatu hari.
Aku tidak menjawab.
“Baiklah, diam berarti iya.” Kopong tertawa kecil, “Aku akan bercerita, Bujang. Kau dengarkan.”
Kopong memperbaiki posisi duduk.
“Bapak kau adalah tukang pukul yang pemberani, Bujang.” Kopong mulai bercerita.
“Kami pernah terjebak dalam sebuah penyerangan. Bapak kau, aku dan empat tukang pukul lainnya. Berenam kami masuk ke dalam sebuah kapal tanker, meminta uang tambat pelabuhan. Harusnya itu pekerjaan yang mudah, banyak kapal yang sudah tahu peraturannya, mereka sendiri mengirim awaknya,menyerahkan amplop, satu jam semua kerepotan di pelabuhan selesai. Urusan cukai, surat-menyurat, perijinan dan sebagainya lancar, kami yang mengurusnya. Termasuk jika kapal itu mendapat masalah dengan petugas, kami yang akan membereskannya. Mereka bisa melepas sauh.
“Sialnya, kapal tanker ini baru sekali merapat di pelabuhan kota provinsi, dia tidak mau memberi uang, nahkoda kapalnya menolak mentah-mentah. Mendengar kabar itu, Tauke Besar saat itu naik pitam, berteriak marah menyuruh tukang pukul masuk ke dalam kapal sialan itu, memberi pelajaran kepada nahkodanya, bahwa jangankan kapal, ikan teri pun jika dia merapat ke dermaga pelabuhan, maka ikan itu harus membayar uang tambat kepada kami. Tidak ada pengecualian” Kopong tertawa—lagi-lagi berusaha melucu.
Aku hanya diam, menatap lukisan Gaugin di dinding.
“Kami berenam berangkat, naik ke atas kapal, membawa senjata tajam, kami terlihat sangat menakutkan, apalagi Bapak kau, menyeramkan. Awalnya akan terlihat gampang, awak kapal menuruti perintah kami, patuh membawa kami ke ruang nahkoda untuk bertemu. Tapi separuh perjalanan ke sana, di lorong-lorong kapal yang sempit, puluhan awak kapal mendadak menyerang. Mereka membawa kunci inggris, pipa besi, balok kayu. Itu kapal mereka, jadi mereka mengetahui arena perkelahian. Kami berenam segera terdesak. Semua kacau balau, jumlah mereka lebih banyak, muncul dari setiap lorong, berteriak marah.
“Aku ingat sekali, hanya karena Bapak kau yang gagah berani, kami bisa bertahan hidup, sambil terus mundur, berusaha menyelamatkan diri. Badanku terkena hantaman balok kayu berkali-kali, kondisi tukang pukul lain juga payah, paha, tangan, punggung mereka biru dihantam pipa besi. Bapak kau sendirian berusaha menghalau awak kapal. Setengah jam berkutat hidup-mati, sejengkal demi sejengkal, kami akhirnya bisa keluar hingga geladak, Syahdan menyuruh kami lompat ke air, hanya itu satu-satunya jalan. Tanpa banyak tanya, kami segera lompat, melarikan diri.
“Itulah Bapak kau, Bujang. Selain berani, dia selalu bertarung dengan baik, memberikan yang terbaik. Dia tidak pernah panik atas situasi apapun, menyemangati yang lain agar tidak mudah menyerah. Awak kapal tanker berteriak marah saat kami berhasil berenang menjauhi kapal mereka. Itu kekalahan yang memalukan sebenarnya, baru kali ini ada kapal yang melawan membayar uang tambat. Syahdan menghadap Tauke, mengakui kegagalannya, bersedia dihukum. Aku pikir Tauke akan marah, tapi setelah menatap kami berenam yang basah kuyup, dengan tubuh biru, memar dan terluka, kusut sekali penampilan kami, Tauke Besar terkekeh, menepuk-nepuk pipi Syahdan. Bilang, setidaknya kami pulang dengan selamat itu sudah bagus.”
“Apa kemudian yang terjadi dengan kapal tanker itu? Itulah menariknya. Tauke Besar bisa saja mengirim lebih banyak tukang pukul, menghabisi awak dan nahkodanya yang keras kepala. Tapi Tauke memutuskan cara lain untuk memberi pelajaran, Tauke menghubungi pejabat pelabuhan yang selama ini sudah kami susupkan—orang kami. Pejabat itu memeriksa dokumen kapal, memeriksa isi kapal, lantas memboikot kapal tanker itu, tidak ada izin melepas sauh, kapal itu tertahan di pelabuhan karena ada dokumen yang tidak lengkap.
“Kau harus tahu, Bujang, hampir setiap kapal punya masalah dengan surat-menyurat. Ada yang memang menggampangkan masalah itu, ada yang walaupun sudah berusaha patuh, tetap kurang atau tidak memenuhi syarat, karena peraturan selalu diciptakan bertele-tele, penuh lubang jebakan. Nahkoda kapal itu menemui masalah ‘serius’. Dia memang bisa mengusir kami dari kapalnya, tapi dia tidak bisa melawan pejabat pelabuhan, karena itu adalah prosedur. Setelah dua hari tertahan, dengan putus-asa nahkoda berusaha menyuap pejabat dengan uang. Pejabat menolaknya mentah-mentah, bilang, dia tidak bisa disogok.” Kopong tertawa lagi.
“Sebenarnya Tauke Besar yang menyuruh pejabat itu bergaya menolak sogokan, seolah suci, tidak naksir dengan uang berapapun. Empat hari tertahan, Nahkoda kapal semakin terdesak, dia jelas harus segera berangkat, biaya yang dikeluarkan atas keterlambatan kapal sangat besar, hitungannya perhari. Muatannya juga akan terlambat, dia bisa didenda mahal oleh pemesan. Seminggu kemudian, Nahkoda kapal itu sendiri yang datang ke rumah Keluarga Tong, dia mengemis minta tolong agar kapalnya bisa melepas jangkar, berapapun dia harus membayar. Tauke mengangguk, menyuruh orang ke pelabuhan, menyetempel surat jalannya. Tidak sampai satu jam, semuanya beres, kapal itu bisa berangkat. Aku pikir, nahkoda itu akhirnya mengerti, jika sejak awal dia bersedia mematuhi kami, maka dia bisa berangkat tepat jadwal, semua baik-baik saja, dengan biaya yang hanya seperlimanya dari yang akhirnya dia keluarkan, dan kami tidak perlu memar menghadapi kunci inggris.”
Kopong mengakhiri ceritanya. 
Aku diam, tidak memberikan respon apapun.
Kopong mengusap rambutnya, wajah sangarnya tertekuk, “Kau tidak tertarik mendengar cerita lama itu, Bujang?”
Aku tetap diam.
“Tauke benar, aku sepertinya memang bukan penghibur yang baik, Bujang.” 
Sebenarnya bukan Kopong yang tidak pandai, cerita itu menarik, tapi kisah itu justeru membuatku teringat masa lalu. Lima belas tahun ketika Bapak menghilang, karena cintanya ditolak keluarga Mamak, lewat cerita-cerita Kopong aku jadi tahu persis apa yang dilakukan Bapak di kota provinsi. Rasa sakit hati, kebencian, Bapak berubah menjadi tukang pukul. Bukankah Mamak pernah bilang, Bapak saat kecil, remaja hingga usia dua puluh tahun, tinggal di kampung, menghabiskan banyak waktu disurau, belajar ilmu agama kepada Tuanku Imam. Tapi jalan hidupnya berubah drastis sejak penolakan, dia berubah menjadi tukang pukul Keluarga Tong. 
Entahlah, apakah lebih banyak luka di fisik Bapak, atau luka di hatinya. Aku tidak tahu. 
Aku menatap lukisan Gaugin, menyeka pipi, air mataku kembali keluar tanpa bisa ditahan. 
Hidup ini adalah perjalanan panjang, dan tidak selalu mulus. Pada hari keberapa, pada jam keberapa, kita tidak pernah tahu, rasa sakit apa yang harus kita lalui. Sesak. Kita tidak tahu kapan hidup akan membanting kita dalam sekali, membuat terduduk, yang kemudian membuat kita mengambil keputusan. Satu-dua keputusan itu membuat kita bangga, sisanya lebih banyak adalah penyesalan. Aku tidak tahu, apakah Bapak menyesal dengan kehidupannya? Apakah dia bahagia, setelah akhirnya menikah dengan Mamak yang terusir. Apakah di nafas terakhirnya dia tersenyum, lirih menyebut nama Mamak, atau justeru mengumpat penuh benci kepada keluarga Mamak.
“Astaga, kenapa kau menangis, Bujang? Kau tidak apa-apa?” Kopong terlihat panic.
Aku tidak menjawab, menyeka pipiku.
“Sial! Harusnya aku tidak perlu membahas kisah Bapak kau.” Kopong menepuk kepalanya sendiri, merasa amat bersalah, ”Dasar bodoh! Bodoh! Aku seharusnya tidak menceritakannya.”
Kopong meninggalkanku sendirian di kamar, dia masih terdengar menyesal di luar.
Tapi Kopong tidak menyerah. Dia kembali datang, datang dan kembali lagi datang di hari berikutnya. Berusaha menghiburku, menceritakan banyak hal—kali ini bukan tentang Bapak. Pernah dia menceritakan tentang daftar panjang pengkhianatan di Keluarga Tong.
“Semua orang bisa berkhianat, Bujang. Termasuk Tauke Besar. Dia bisa saja berkhianat.”
Aku menatap Kopong tidak mengerti. Kalimatnya sedikit menarik perhatianku.
“Iya, Tauke Besar juga bisa berkhianat. Aku pernah ditangkap oleh aparat militer yang membeking ruko judi dadu. Ruko itu ada di teritorial Keluarga Tong, aku datang kesana untuk meminta iuran dari mereka. Sial, ada enam aparat yang telah menungguku, dengan mudah membekukku, lantas menyekap, menyiksa, kemudian mengirim permintaan tebusan atau aku akan disiksa hingga tewas. Tauke Besar bisa saja mengkhianatiku dengan bilang tidak kenal-mengenal, membiarkanku sendirian di sana.”
Aku menatap Kopong. Apakah Tauke Besar melakukannya?
Kopong menggeleng, tersenyum, “Tentu saja dia tidak akan pernah membiarkan tukang pukulnya disiksa. Dia mengirim puluhan tukang pukul ke ruko itu sebagai jawabannya. Enam aparat militer itu dihabisi. Tauke tidak peduli jika itu mengundang masalah dengan markas militer, dia selalu melindungi kami apapun harganya. Tauke tidak pernah mengkhianati kesetiaan anak buahnya. Tapi ceritaku ini memberikan pelajaran, semua orang bisa berkhianat, Bujang. Jika dia memiliki motif dan kesempatan, dia akan melakukannya. Kau harus selalu waspada.”
Aku kembali menatap lukisan Gaugin.
“Hei, Bujang? Kau tidak tertarik dengan ceritaku?” Kopong terlihat kecewa, sejenak dia sudah senang melihat kemajuanku, yang bersedia berkomunikasi meski hanya dengan ekspresi wajah.
Aku tetap menatap lukisan di dinding.
Kopong kembali keluar kamar dengan muka tertekuk. Bergumam kesal.
Tapi Kopong tidak menyerah. Seminggu kemudian dia datang dengan ide baru, mengusulkan kepada Tauke agar meminta Guru Bushi ke ibukota, mengajariku seperti dulu di Tokyp. Tauke setuju, itu ide yang menarik, tapi Guru Bushi tidak setuju. Latihanku sudah selesai, aku sendiri yang harus melewati seluruh masalah hingga mencapai puncak tertinggi seorang samurai sejati. Demikian isi surat yang Guru Bushi kirimkan. Lagipula, dia juga sedang repot di Tokyo, si kembar berkali-kali membuat masalah di sekolahnya. Salonga juga menolak datang, lewat telepon dia bilang, sejak aku berhasil menembaknya dulu, maka selesai sudah semua latihan. Dia sedih atas kondisiku, berdoa agar aku segera membaik.
“Atau kau ingin pergi, Bujang?” 
Kopong bertanya, dia berdiri di depan bingkai jendela, menatap keluar. Pukul empat dini hari. Aku jatuh sakit tadi malam, badanku demam, menggigil, wajahku pucat, bibirku biru. Semua kesedihan ini, tubuhku yang berminggu-minggu kurang makan, kurang tidur, akhirnya tidak kuat lagi. Dokter bergegas memeriksa. Tauke menyuruh agar peralatan medis dibawa ke kamarku, infus, alat bantu pernafasan—memastikan aku mendapatkan perawatan terbaik.
Kopong menemaniku sejak tadi malam. Dia tidak meninggalkan kamar walau sedetik. Kopong mengalihkan tugas-tugas penting kepada tukang pukul lain.
“Kalau kau memang ingin pergi, Tauke Besar akan mengijinkanmu, Bujang. Pergilah. Kau akan menerima pengecualian sama seperti Bapak kau dulu. Kau bisa tinggal di kota lain, memulai hidup baru, melupakan Keluarga Tong. Boleh jadi itu akan membantu menghilangkan semua beban di hatimu, melupakan kesedihanmu mengenang Syahdan.”
Aku menggeleng dalam diam. Nafasku terasa panas, badanku masih menggigil setelah minum obat. Aku tidak mau pergi. Ini rumahku, Keluarga Tong adalah keluargaku. Di sinilah tempat aku dibesarkan, dan besok lusa, disini pula tempat aku pulang.
“Aku tidak pernah tahu rasanya kehilangan anggota keluarga, Bujang. Aku yatim piatu sejak aku bisa mengingatnya.” Kopong beranjak duduk di pinggir ranjangku, menatapku iba.
“Tapi sungguh, Bujang. Ijinkan aku memberitahumu sebuah rahasia kecil…. Bagiku, Syahdan seperti kakak kandungku, dia membawaku ke rumah Keluarga Tong, dia mengambilku dari jalanan yang hina dan tanpa masa depan. Aku dulu tidak sekuat sekarang, tubuhku ringkih, kurus, dekil. Hari pertama di rumah, aku menjadi bahan lelucon, diolok-olok, tapi apa yang bisa kulakukan? Aku tidak pandai berkelahi, terkena senggol sedikit, tubuhku tumbang.
“Tapi Syahdan tidak pernah menyerah, dia berkali-kali meyakinkanku, bilang aku bisa seperti anggota keluarga lainnya. Dia selalu menghiburku saat aku sedih, dia selalu memotivasiku saat aku kehilangan semangat. Dia selalu ada bagiku, Kopong, anak jalanan yang apalah artinya…. Saat Tauke membacakan surat itu, kabar kematian Syahdan, hatiku juga tercabik, Bujang. Sedih sekali, hanya karena aku harus terlihat kuat, maka aku tetap menjalani semuanya.” Kopong diam sejenak, suaranya serak.
“Kau harus melewatinya, Bujang. Percayalah, di rumah ini, semua orang menyayangi dan menghormatimu. Mereka bisa menjadi pengganti Syahdan yang telah pergi. Kau harus sembuh, kembali kuat. Aku akan membantumu, aku tidak akan pernah menyerah walau kau akan mengusirku, walau kau tidak tertawa atas setiap leluconku, sama seperti Bapak kau yang tidak pernah menyerah kepadaku.” 
Aku terdiam, menggigil. Mataku panas, berair.
Suara adzan subuh terdengar lamat-lamat dari jauh. Melintas masuk ke dalam jendela. 
Aku juga punya rahasia kecil, yang tidak pernah kuberitahu kepada siapapun. Setiap kali mendengar adzan subuh, maka hatiku seperti diiris sembilu. Sakit sekali. Hampir semua momen kesedihan milikku, tiba saat adzan subuh. Panggilan shalat itu menusuk-nusuk kepalaku. Tidakkah mereka tahu, ada banyak orang terganggu dengan suara itu. Tidakkah mereka menyadari, teriakan mereka mengembalikan kenangan buruk masa kecilku. 
Tubuhku semakin menggigil. Air mata mengalir di pipiku. 
Kenangan masa remaja kembali muncul di pelupuk. Saat Tauke mengajakku berburu. Saat Tauke memintaku ikut ke kota. Juga saat Bapak dan Mamak bertengkar di dapur. Saat aku memutuskan pergi dari rumah, bukan karena semata-mata karena aku ingin pergi, tapi agar aku bisa jauh dari Bapak. Agar Bapak tidak menyakiti hati Mamak setiap kali mengetahuiku belajar agama. Bapak membenciku, karena setiap melihatku, dia akan teringat dengan Tuanku Imam.
Aku tahu itu.

*bersambung

Minggu, 27 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

16. Pengkhianatan Bag. Satu

Pesawat jet yang dikemudikan Edwin mendarat mulus di bandara ibukota.
“Terima kasih telah menemaniku dua hari terakhir, Edwin.” Aku menepuk bahunya.
“Tidak masalah, Capt.” Edwin mengangguk.
Sedan hitam milikku sudah terparkir rapi di hanggar pesawat jet pribadi. Pelayan Keluarga Tong sudah menyiapkannya. Aku mengemudikan mobil itu menuju kantor Parwez, pukul empat sore, jalanan padat, jutaan komuter ibukota mulai pulang. 
Tere Liye : Pulang

Aku tiba di kantor Parwez pukul lima sore. Melangkah melintasi lobi gedung, menuju lift khusus yang langsung ke lantai Parwez. Petugas security gedung mengenaliku, juga beberapa tukang pukul. Basyir sepertinya telah menyuruh beberapa tukang pukul ikut menjaga gedung. Mereka membaur dengan sekitar agar tidak terlalu mencolok, duduk di sofa, membaca koran, pura-pura bermain gadget, sambil mengawasi orang-orang.
“Selamat sore, Si Babi Hutan.” Salah-satu Letnan menyapaku di pintu lift, mengangguk. Dia tidak ubahnya seperti seorang eksekutif muda dengan pakaian rapinya.
Aku balas mengangguk, melangkah masuk ke dalam lift, “Basyir kemana, Joni?”
“Basyir pergi ke pelabuhan empat jam lalu.”
“Pelabuhan?”
“Ada laporan yang sama di sana. Aktivitas mencurigakan dari orang-orang tertentu.” Nama Letnan itu adalah Joni, salah-satu tukang pukul terbaik Keluarga Tong. Berpendidikan, dia juga disekolahkan Tauke hingga sarjana. Dia sering menerima tugas dariku, dia lebih dekat kepadaku dibanding Basyir.
“Apa yang kalian temukan di sini, Joni?” Lift bergerak naik.
“Sejauh ini belum ada, Si Babi Hutan. Orang-orang itu hanya pekerja kantoran biasa, aku telah menginterogasi beberapa di antaranya. Mereka disuruh pihak lain, mereka juga tidak mengerti, hanya menerima bayaran untuk datang ke kantor-kantor di gedung kita secara acak, random. Kejadiannya tidak hanya di sini, atau pelabuhan, tapi juga di belasan titik properti lainnya. Polanya sama, mereka membanjiri semua tempat milik kita.”
“Pengalih perhatian.” Aku bergumam.
“Iya, menurutku juga begitu, Si Babi Hutan.” Joni mengangguk, “Basyir sudah mengirim tukang pukul ke setiap tempat yang melaporkan ada tamu-tamu mencurigakan, memeriksanya satu-persatu. Kita mengerahkan semua anggota keluarga sepanjang hari.”
Aku bergumam, ini serius. Siapapun dibalik situasi ini, mereka sedang menyiapkan rencana, menyebar begitu banyak kemungkinan serangan, membuat konsentrasi terpecah. 
Lift tiba di lantai Parwez. Pintu lift terbuka.
Parwez sedang duduk gugup di belakang meja kerjanya. Wajahnya sedikit pucat, pakaiannya berantakan. Aku tahu, dia sepanjang hari tidak bisa bekerja dengan baik.
“Bujang, akhirnya kau tiba.” Parwez menghembuskan nafas lega, wajahnya sedikit cerah.
“Kau baik-baik saja?” Aku bertanya.
Parwez menggeleng, mengusap dahi, “Aku sudah ke kamar mandi belasan kali, Bujang….. Aku bukan seperti kau atau Basyir, ini membuatku cemas. Aku membatalkan semua meeting hari ini.” 
Aku tersenyum simpul, menepuk bahu Parwez, “Kau berada di gedung dengan sistem keamanan terbaik, Parwez. Sekali kau menekan tombol darurat, lantai ini bahkan tidak bisa ditembus dengan tank atau pesawat tempur, kecuali mereka tahu celahnya. Kau akan aman.”
“Tapi Tauke bilang soal pengkhianat, Bujang. Mereka bisa siapa saja, bukan? Termasuk mungkin sekretarisku, stafku, orang-orang yang ada di lantai ini? Bagaimana jika mereka tiba-tiba membawa senapan, alih-alih membawa berkas yang harus kutanda-tangani, mereka menembakku yang sedang memeriksa laporan keuangan?”
“Kau benar soal pengkhianat, bisa siapa saja. Itu juga mungkin termasuk aku, Parwez.” Aku mencoba bergurau, yang justeru membuat Parwez pias kembali, “Rileks, Parwez, kalau aku pengkhianatnya, kau tidak akan hidup enam detik setelah kita bertemu tadi. Lagipula, setiap tiga bulan aku meminta Joni memeriksa seluruh profil orang-orang di lantaimu, mulai dari sekretaris hingga office boy, bersih, tidak ada yang mencurigakan. Kau mungkin tidak tahu, aku menjaga gedung ini lebih dari yang kau bayangkan. Ini pusat seluruh bisnis legal milik Keluara Tong, jauh lebih penting dibanding properti lain.”
Parwez mengangguk pelan, menghela nafas, “Terima kasih, Bujang.”
Telepon genggamku berbunyi, itu telepon dari Basyir.
“Kau ada di mana sekarang, Basyir?” Aku langsung bertanya saat tersambung.
“Masih di pelabuhan. Menyisir setiap jengkal pelabuhan. Kau ada di mana Bujang? Kau sudah mendarat?”
“Kantor Parwez. Aku baru tiba beberapa menit lalu. Bagaimana pelabuhan?”
“Ini rumit, Bujang. Mereka membuat fokus kita terpecah, aku hampir mengirim semua tukang pukul—“
“Markas besar jangan ditinggalkan, Basyir.” Aku memotong. Dalam situasi rentan seperti ini, tanpa tahu kemana sasaran penyerangan akan terjadi, markas besar prioritas. Kami pernah mengalami kejadian yang sama di kota provinsi dulu.
“Tentu tidak, Bujang. Aku bilang hampir. Pasukan terbaik ada di markas besar, Brigade Tong, dengan Letnan kepala, mereka melindungi Tauke penuh. Tidak akan ada yang bisa melewati mereka, bahkan jika Keluarga Lin datang membawa seluruh anggotanya dari Makau. Mereka akan menemukan lawan tangguh. Tapi aku tidak bisa mengabaikan laporan-laporan di banyak tempat, aku harus memeriksanya satu-persatu.”
Aku mengangguk, menyetujui langkah Basyir. Meninggalkan Brigade Tong di markas besar adalah pilihan yang tepat. Situasi kami masih gelap, ada banyak kemungkinan, kami tidak tahu persis dimana serangan itu akan dilancarkan. 
“Tauke Besar meminta kau pulang, Bujang.” Basyir memberitahu, “Orang tua itu ingin kau berada di sana malam ini.”
“Aku memang segera kembali ke rumah setelah dari kantor Parwez. Kau hati-hati, Basyir.”
“Siap, aku akan segera menyusul pulang setelah urusan di pelabuhan selesai, Tauke Muda.” Basyir sengaja menggodaku.
Aku sudah mematikan telepon—semakin dilarang, Basyir akan semakin menjadi.
Tiga puluh menit kemudian, aku masih memastikan beberapa hal di kantor Parwez, meminta Joni memberikan hasil interogasi, membaca profil orang-orang yang mencurigkan. Buntu. Mereka hanya orang-orang biasa, mereka bahkan tidak kenal siapa yang menyuruh. Siapapun yang berencana menyerang, terlihat sangat rapi dan berpengalaman. Ini bukan Keluarga Lin, mereka tidak akan sempat menyiapkan skenario secepat ini.
Pukul enam, saatnya aku kembali ke rumah, atau Tauke akan mengamuk jika aku lagi-lagi menundanya, “Kau ingin kembali ke apartemenmu? Atau kau mau ikut denganku ke markas, Parwez. Di sana akan lebih aman.”
Parwez mengangguk, dia meraih jas hitamnya.
Kami turun dengan lift khusus, langsung menuju parkiran.
“Pakai mobilku saja, Bujang.” Parwez menuju parkiran mobilnya. 
Aku mengangguk, mobilku ada di lobby gedung, hendak meminta kunci dari Parwez—biar aku yang mengemudi.
Joni lebih cepat, dia mengambil kunci dari tangan Parwez, “Tunggu di sini, biar aku yang menyalakan dan membawa mobilnya, Si Babi Hutan.”
Parwez menatap heran, “Apa yang dia lakukan?”
“Prosedur resmi kondisi darurat.” Aku menjawab sambil menepuk bahu Parwez, “Joni adalah Letnan terbaik di Keluarga Tong. Dia mengambil resiko, jika ada bom yang dipasang di mobil, meledak saat mobilnya dinyalakan, maka Joni akan menjadi martir, meledak duluan bersama mobil itu, sementara kau tetap aman berdiri di sini.”
Parwez menelan ludah, “Ini serius sekali, Bujang.”
“Hei, kita tidak tahu, boleh jadi mereka memasang bom di mobilmu, bukan? Atau kau mau menyalakannya?”
Parwez menggeleng kaku.
Setengah menit, Joni merapatkan mobil sedan hitam di depan pintu lift, tanpa kurang satu apapun. Tentu tidak ada bom di mobil Parwez, lantai parkiran aman, tidak ada yang bisa masuk sembarangan. Juga mobil yang kukendari dari bandara, tidak sembarang orang bisa menyentuhnya, diawasi penuh oleh tukang pukul atau pelayan. Aku mengambil alih kemudi.
Parwez adalah generasi terakhir yang bergabung dengan Keluarga Tong, dia tidak pernah mengalami langsung penyerangan. Parwez tidak bersentuhan dengan tukang pukul, situasi menegangkan ini baru baginya. Sejak diambil Tauke dari panti asuhan, Parwez langsung dikirim sekolah ke Singapura. Aku lebih baik mengajaknya pulang ke rumah malam ini, dia akan merasa lebih nyaman, berada dekat Tauke Besar, di sana juga ada Brigade Tong, pasukan khusus yang dibentuk oleh Basyir sepulang dari timur tengah. Brigade itu dibuat atas persetujuan Tauke, Basyir menyeleksi sendiri anggotanya, melatihnya menjadi mesin mematikan bagi musuh-musuh Keluarga Tong lima tahun terakhir. Joni ikut bersamaku naik mobil, dia pengawal tetap Parwez sementara waktu, penjagaan di kantor berlantai tiga puluh itu diberikan ke Letnan lain.
Jalanan padat, mobil yang kukemudikan tersendat. Parwez lebih banyak diam, menghela nafas, mengusap wajah berkali-kali, dia tetap tegang. Joni di sebelahku juga diam menatap ke depan, terus fokus. Gerimis mulai turun, membuat jalanan semakin macet.
Mobil yang kukemudikan melewati kantor pusat bank milik Keluarga Tong, berdiri tegak, menjulang tinggi. Bank ini sejak berdiri telah menjadi alat pencuci uang terbesar yang pernah ada di Asia. Triliunan uang masuk dari dunia hitam, kemudian disalurkan menjadi kredit bisnis legal. Belasan tahun beroperasi semua berjalan lancar, kami menyumpal pengawas dan pejabat pemerintahan. Bankir kami melakukan rekayasa transaksi keuangan tingkat tinggi untuk menyamarkan uang-uang itu. 
Tidak hanya bank milik Keluarga Tong yang melakukan praktek tersebut, hampir sebagian besar perbankan raksasa dunia terlibat dengan shadow economy, sudah menjadi rahasia umum, tahu sama tahu, itu bisnis yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Bank membutuhkan uangnya, mereka membutuhkan tempat menyimpannya. Mulai dari uang penyelundupan barang, illegal logging, insider trading, perjudian dan tindak kriminal lainnya. Mulai dari preman kelas bawah, hitungan jutaan, mafia, triad, yakuza hitungan milyaran, hingga keluarga-keluarga penguasa shadow economy hitungan triliunan.
Pencucian uang adalah bisnis besar. Aku sempat bicara dengan Parwez beberapa bulan lalu, membahas kemungkinan menggunakan electronic money sebagai sarana pencucian uang yang lebih maju—termasuk penggunaan cryptocurrencies. Itu akan menjadi masa depan, jauh lebih mudah dilakukan, dan lebih sulit dideteksi regulator. Menggunakan uang yang beredar di dunia maya, sebagai alat pembayaran transaksi online, sebagai alat akumulasi kekayaan, itu cara jenius untuk mencuci uang, karena tidak perlu identitas, tidak bisa di-tracking. Electronic money juga bisa menggandakan uang lebih cepat dibanding uang di dunia nyata yang harus terlihat fisiknya.
Mobil terus merambat maju, melewati komplek hotel sekaligus apartemen kelas atas dan pusat perbelanjaan terkemuka ibukota. Hampir satu blok kawasan elit itu adalah properti Keluarga Tong. Bangunannya gemerlap oleh cahaya lampu, disiram oleh gerimis, berpendar-pendar, seperti lampu petromaks di tengah ladang padi, yang mengundang ribuan laron. Komplek hiburan ini dikunjungi jutaan orang setiap tahun—tanpa tahu-menahu siapa pemilik aslinya, komplek ini menjadi salah-satu cash cow penting bagi Keluarga Tong. 
Mobil juga melewati kantor-kantor lain milik Keluarga Tong, dealer, show room, jaringan fast food, butik, dan sebagainya, lengan gurita bisnis Tauke Besar telah menyentuh setiap lapisan kehidupan. Aku menghela nafas, Salonga benar, dua puluh tahun terakhir, kesuksesan Tauke telah mengundang kebencian dari banyak pihak. Lihatlah, dimana-mana Tauke menancapkan kekuasannya, menyingkirkan siapapun yang merintangi, banyak keluarga yang terpaksa pergi dari ibukota, dan tidak terbilang yang dihapus dari konstelasi dunia hitam. Saat Tauke jatuh sakit, saat dia tidak sekuat dulu, hanya soal waktu mereka menunjukkan rasa tidak suka itu. Boleh jadi mereka menggabungkan kekuatan terakhir, berusaha menyerang malam ini. Aku menatap wiper mobil yang bergerak menyingkirkan tetes air hujan di kaca depan, Guru Bushi juga benar, sejak muda Tauke Besar penuh ambisi, dia terobsesi mengalahkan bayang-bayang Ayahnya, hingga lupa, dia telah lari jauh sekali, dia lebih besar dibanding siapapun. 
Kopong telah meninggal lima tahun lalu, meninggal dengan tenang setelah jatuh sakit tiga hari. Markas besar berkabung selama tujuh hari, Basyir menggantikannya setelah melewati ritual Amok. Mansur menyusul enam bulan berikutnya, juga meninggal dengan tenang, saat sedang bekerja di ruangannya hingga larut malam. Pelayan menemukannya sedang tidur di sofa pagi-pagi, enggan membangunkan, dan masih melihat Mansur tidur pukul sebelas siang, kemudian panik berusaha menggerakkan badannya yang telah dingin. Setelah kematian Mansur, hampir semua anggota keluarga yang dulu dibawa dari kota provinsi telah berganti. Tauke Besar tinggal sendirian dari generasi lama Keluarga Tong, dan dia tetap berlari kencang lima tahun ini, tidak berhenti walau sejenak.
Setelah menghabiskan satu jam di jalanan macet, mobil yang kukemudikan akhirnya tiba di depan gerbang baja markas besar. Gerbang itu membuka otomatis, mengenali penumpang mobil. Hujan deras, aku melintasi parkiran luas, tiba di lobi yang kering, memarkirkan mobil di sana. 
Beberapa anggota Brigade Tong yang berjaga di halaman mengangguk ke arahku. Aku membalasnya selintas, segera melangkah masuk ke dalam bangunan utama, Parwez dan Joni berjalan di belakangku. Petir dan geledek bersahutan di langit gelap.
Bangunan utama nampak lengang—sebenarnya seluruh markas nyaris kosong, hanya menyisakan lima puluh anggota Brigade Tong. Letnan dan ratusan tukang pukul lain sedang disebar oleh Basyir, memeriksa ancaman serangan. Beberapa pelayan masih terlihat bekerja, tapi mereka hanya membereskan sisa-sisa pekerjaan. Sudah pukul delapan, waktunya mereka beristirahat.
Aku menaiki anak tangga, menuju kamar Tauke Besar. Mendorong pintu jati berukiran.
“Hallo, Bujang.” Tauke menyapaku, dia sedang duduk bersandar di ranjang, membaca sesuatu.
“Selamat malam, Tauke.” Aku balas menyapa, tersenyum. Tauke terlihat sehat, piring makan malam yang ada di atas meja sebelah ranjang habis. Tirai jendela kamar dibiarkan terbuka, sesekali terlihat gurat petir di kejauhan.
“Kapan kau tiba dari Hong Kong?” Tauke bertanya, meletakkan buku.
Kapan aku tiba?
Saat itulah. Aku berdiri mematung.
Tiba-tiba kesadaran itu datang di kepalaku. 
Aku keliru sekali. Benar-benar telah keliru. Ini bukan ancaman serangan dari Keluarga Lin, balas dendam. Ini juga bukan datang dari keluarga yang membenci kesuksesan Tauke, dan disingkirkan. Ini adalah skenario lihai. Ini adalah pengkhianatan. Cara lama yang akan terus abadi di dunia hitam.
“Tekan tombol daruratnya, Joni!” Aku berseru.
Joni menoleh, tidak mengerti.
“Aktifkan pertahanan bangunan utama! SEKARANG!” Aku membentaknya. 
Joni kali ini tidak banyak bertanya, dia lari ke dinding dekat ranjang, menekan tombol di sana. Persis saat tombol itu ditekan, suara alarm bahaya terdengar melengking, belasan pintu baja menutup, melapisi pintu-pintu, membentuk benteng pertahanan.
“Ada apa, Bujang? Kenapa kau menyuruh Joni menekan tombol?” Tauke Besar menatapku tidak mengerti.
Nafasku menderu, aku mengusap wajah. Bagaimana mungkin aku lalai melihat semua ini. Bukankah Kopong dulu pernah memberitahuku tentang pekhianatan. Bagaimana aku tidak melihatnya? Dekat sekali. Parwez di sebelahku sudah pucat pasi, situasi di sekitar kami berubah menjadi sangat menegangkan. Suara alarm itu terdengar di seluruh markas besar. Puluhan pelayan langsung berlarian saat mendengarnya, menuju tempat berlindung, mereka sudah berlatih prosedur darurat seperti ini. Apa yang harus dilakukan oleh mereka, apa yang harus diamankan lebih dulu.
“Ada apa, Bujang?” Tauke mendesak.
“Apakah Tauke menyuruhku segera pulang malam ini?” Aku balas bertanya, mendesak. 
Tauke menggeleng,”Aku justeru baru tahu kau tiba dari Hong Kong, Bujang.”
Aku meremas jemari, “Basyir! Adalah Basyir pengkhianatnya.”
Hanya Basyir dan Parwez yang tahu aku telah pulang. Dan sore tadi, saat meneleponku, dia bilang Tauke telah menungguku di rumah. Itu dusta. Itu bagian skenario lihainya, dia sengaja membuatku, Parwez dan Tauke ada di rumah malam ini, berkumpul menjadi satu. Kami adalah pucuk pimpinan Keluarga Tong, sasaran empuk di markas, ketika ratusan tukang pukul lain jsuteru disuruh pergi ke banyak tempat. 
Serangan itu tidak akan dilakukan oleh pihak luar. Serangan itu akan dilakukan dari dalam. Brigade Tong, merekalah yang akan menyerang, hanya menunggu waktu saat kami bertiga berkumpul, kemudian menunggu perintah final Basyir. Brigade Tong jelas sekali adalah kaki-tangan Basyir, dialah yang merekrut, melatih pasukan khusus itu sejak Basyir menggantikan Kopong. Tidak ada yang pernah memeriksa latar belakang anggota Brigade Tong, hanya Basyir yang tahu.
“Siapkan senjata, Joni!” Aku berseru parau, “Apapun yang ada di ruangan ini.”
Waktu kami tidak banyak. Sekali alarm itu berbunyi, Basyir akan tahu dari penyeranta yang dia bawa, tanda darurat telah diaktifkan, seluruh Letnan harus kembali ke markas. Dia tidak akan menunggu seluruh tukang pukul terlanjur memenuhi markas, dia akan segera menginstruksikan Brigade Tong mulai menyerang bangunan utama.
Aku mengusap wajah, memaki dalam hati, bagaimana mungkin aku abai sekali melihatnya.
***

*bersambung

Sabtu, 26 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

BAB 15. Surat Dari Bapak

Di akhir tahun ketiga tinggal di luar negeri, aku berhasil menyelesaikan seluruh pendidikan, memperoleh dua gelar master. Frans si Amerika menjemputku pulang. Masa-masa sekolahku telah berakhir.
“Kau terlihat berbeda, Bujang.” Frans berkata santai, dia hadir dalam wisuda.
Aku menoleh, apanya yang berbeda?
“Yang pasti, kau bukan lagi remaja kusam tanpa alas kaki, dari pedalaman rimba Sumatera.” Frans bergurau, tertawa.
Aku ikut tertawa.
“Dulu, kau terlihat sangat kesal saat harus mengerjakan tes dariku, pertama kali kita bertemu. Hari ini, kau pulang membawa dua gelar master dari universitas ternama. Lihatlah, wajahmu terlihat percaya diri, cara menatapmu, cara bicara, bersikap, bertindak, kau belajar banyak, Bujang, tidak hanya dari pendidikan formal, juga dari pengalaman. Itulah kenapa Tauke Besar mengirimmu jauh untuk sekolah, itu akan bermanfaat bagi Keluarga Tong.”
Aku mengangguk. Aku sudah bisa memahami visi Tauke secara utuh.
Tere Liye : Pulang

Pesawat terbang membawaku kembali ke ibukota, dua puluh empat jam perjalanan. Tiba di bandara, kejutan, Kopong sendiri yang menjemputku.
Kopong tertawa, memelukku erat-erat.
“Aku harus mengakuinya, Bujang. Ternyata aku rindu pula dengan kau.” Kopong menepuk-nepuk pundakku, “Astaga! Kalau saja aku tidak malu, aku hampir menangis, Bujang.”
Aku ikut tertawa. Tiga tahun lamanya aku tidak bertemu Kopong. Fisik Kopong masih gagah seperti yang aku ingat. Wajahnya pun tetap sangar seperti dulu. Tapi rambutnya mulai beruban satu-dua, puncak kekuatannya mulai berkurang.
“Bagaimana perjalanan kau? Lancar?”
Aku mengangguk, menaikkan koper-koper ke bagasi. Duduk satu mobil bersama Kopong. Frans ikut mobil lainnya. Rombongan segera bergerak meninggalkan bandara.
“Keluarga Tong hampir menguasai ibukota, Bujang.” Kopong menjelaskan banyak hal saat menuju markas besar, “Kita memiliki puluhan properti penting, kau lihat itu, apartemen itu milik keluarga kita. Juga hotel di sebelahnya yang sedang dibangun.” Kopong menunjuk keluar jendela, “Bisnis perbankan kita juga berjalan baik, asetnya tumbuh berkali-kali lipat, kita punya banyak uang untuk berkembang. Tauke juga menyuruh Mansur mengurus bisnis keuangan lainnya, mulai dari asuransi, investasi, pasar modal—entahlah apa namanya, aku tidak paham.”
Aku menatap keluar jendela, kami melintasi gedung-gedung.
“Masih ada beberapa keluarga lain yang berkuasa di ibukota, mereka menguasai teritorial tertentu, mereka cukup tangguh, bisa bertahan dari gempuran Keluarga Tong, tapi kita akan menaklukannya cepat atau lambat. Kau telah pulang, Bujang, kau bisa ikut dalam berbagai penyerbuan, itu akan menyenangkan sekali. Bahu-membahu seperti dulu.”
Aku mengangguk. Tiga tahun lamanya aku kehilangan kesenangan itu.
“Kau akan pangling melihat markas besar kita, Bujang.” Kopong sudah pindah membahas hal lain, “Ada banyak bangunan baru di sana, kamar kau berubah, lebih luas, lebih bagus, langsung terhubung dengan bangunan utama, kau akan memiliki ruangan kerja tersendiri, Tauke yang menyuruh meyiapkannya. Aku juga membuat banyak sistem kemanan baru, menambahkan lorong-lorong bawah tanah, jalur darurat, sistem otomatis. Mungkin kau bisa memberikan masukan setelah melihatnya.”
Aku kembali mengangguk. Bertanya kabar beberapa tukang pukul, terutama yang dulu tinggal satu mess di sayap kanan markas kota provinsi.
“Beberapa tukang pukul yang kau sebut telah meninggal, Bujang. Mereka tewas melaksanakan tugas, kita kehilangan banyak orang tiga tahun ini.” Kopong diam sebentar, menghela nafas pelan, “Tapi tidak masalah, kita punya banyak penggantinya…. Sial, kenapa kita harus bicara bagian itu di momen kepulangan kau, Bujang. Lebih baik membahas hal lain saja.”
Aku menggeleng, tidak masalah, aku tetap senang mendengarnya.
“Ahiya, aku lupa, ada salam dari Salonga untukmu, enam bulan lalu dia mengunjungi Tauke. Salonga memutuskan pensiun dari pekerjaannya, dia berhenti menerima klien. Dia sekarang membangun pusat latihan menembak di Tondo. Aku tidak bisa membayangkannya, mengajarimu saja membuatnya memaki tidak henti, apalagi jika muridnya banyak, dia bisa stress sendiri.” Kopong tertawa.
Aku ikut tertawa. 
Sepanjang perjalanan menuju markas Keluarga Tong, Kopong meng-update banyak hal kepadaku. Itulah kenapa dia yang menjemputku langsung, menjadi sejenis briefing singkat, padat dan sangat penting agar aku bisa segera menyesuaikan diri.
Sedan hitam akhirnya tiba di depan gerbang baja markas Keluarga Tong, gerbang itu terbuka perlahan, mobil melaju melewatinya. Aku menatap perubahan besar yang ada di sekitarku. 
Kopong segera membawaku ke bangunan utama, melewati lobi besar dengan lampu gantung dari turki, menaiki anak tangga pualam. Guci dan keramik besar terlihat semakin banyak, juga benda-benda seni lainnya, beberapa lukisan terkenal terlihat di dinding. Aku menatapnya, siapapun yang mengubah interior bangunan utama, pastilah memiliki selera yang sangat baik.
Kopong mendorong pintu ruang kerja, aku berjalan di belakangnya.
“Bujang!” Tauke Besar berseru saat melihatku, terkekeh.
Dia meninggalkan kursi kerjanya, melangkah cepat, menyambutku.
“Astaga! Lihatlah anak Syahdan.” Tauke menepuk-nepuk pipiku, mendogak—aku jauh lebih tinggi darinya, “Apa kabarmu, Bujang? Kau terlihat lebih putih, lebih bersih. Lebih tampan. Jika dia ada di sini, aku berani bertaruh, Syahdan pasti tidak bisa mengenali anak laki-lakinya.”
Aku tersenyum lebar.
“Nah, nah, lihatlah senyumnya, Kopong. Lebar sekali. Aku ingat, tiga tahun lalu, saat kusuruh dia sekolah jauh-jauh, wajahnya tertekuk, mukanya masam. Kuberikan dia surat undangan dari universitas ternama, dirobek olehnya. Hampir saja kuhajar dia dulu, beruntung aku masih sabar. Ayo duduk, Bujang, ceritakan padaku, bagaimana rasanya di sana? Ada gadis bule yang menaksir kau?”
Tauke terlihat riang. Wajahnya lebih tua dibanding aku mengingatnya tiga tahun lalu, sama seperti Kopong, rambutnya mulai memutih. Kami menghabiskan waktu hampir satu jam, bercakap-cakap apa saja, sesekali Kopong ikut menimpali, tertawa. 
“Kau pastilah lelah setelah sehari semalam di perjalanan, aku lupa,” Tauke Besar menepuk pinggiran kursi, teringat sesuatu, “Sebaiknya kau bersitirahat dulu, Bujang, kita punya seluruh waktu untuk bicara lagi. Malam ini aku akan mengadakan jamuan, menyambut kepulanganmu. Tolong antar Bujang ke kamar barunya.”
Tauke memanggil pelayan, menyuruhnya mengantarku. Kopong masih tinggal di sana, berbicara sebentar dengan Tauke—urusan pekerjaan.
Aku menyukai kamar baruku, tempat tidurnya besar, perabotannya dari kayu jati terbaik. Ada lukisan yang amat kukenali di dinding. Sepertinya Tauke tiga tahun terakhir mulai mengumpulkan koleksi karya seni, salah-satunya adalah lukisan di hadapanku. Entah darimana Tauke mendapatkannya, ini lukisan yang amat bernilai. Skripsiku dulu juga membahas tentang benda seni di dunia hitam, ini adalah lukisan Gaugin, judulnya “When Will You Marry”, esok lusa harganya bisa menyentuh ratusan juta dollar, lukisan termahal di dunia.
Saat aku melepas jaket, menumpahkan isi tas punggung ke atas meja, memeriksa koper-koper yang telah dibawa ke kamar, seseorang menyapaku.
“Asslammualaikum.” 
Aku mengenal sekali suara itu. Juga sapaan khasnya. 
Basyir. Hanya dia satu-satunya yang menggunakan kalimat itu sebagai pengganti sapaan “Hallo”, “Pagi” di Keluarga Tong, bukan karena Basyir taat beragama, tapi karena kebiasaan saja. 
Aku segera menoleh. Dibawah pintu kamarku, Basyir berkacak pinggang, menatapku. Tubuhnya tinggi besar, kulitnya lebih gelap dari yang kuingat, gurat wajahnya sangat mencolok, tegas dan gagah. Tiga tahun tidak berjumpa, Basyir telah berubah menjadi sosok tangguh.
“Kau akhirnya tiba, Bujang.” Dia tersenyum.
“Hei, kau juga telah pulang, Basyir? Sejak kapan?” Aku berseru, ini kejutan berikutnya yang menyenangkan. 
“Dua minggu lalu.”
“Bagaimana gurun pasir? Penunggang kuda?” Aku bertanya.
“Lebih hebat dari yang kubayangkan.” 
Basyir juga telah kembali dari “sekolahnya”. Gurun pasir jelas telah mengajarinya banyak hal. Basyir mengajakku sebentar ke kamarnya—persis di sebelah kamarku, kami bercakap-cakap, bercerita. Tidak ada lagi poster Muammar Khadafi, atau quote suku Bedouin di kamar barunya.
“Aku sudah utuh sebagai ksatria suku Bedouin, Bujang. Aku tidak memerlukannya lagi. Semuanya sudah mengalir dalam tubuhku, di setiap hela nafasku, akulah penunggang kuda itu.” Basyir menjawab mantap—ada banyak yang berubah darinya, kecuali yang satu ini, dia tetap Basyir yang dulu. 
Dia memperlihatkan foto-foto keluarga angkat yang menampungnya di gurun pasir. Tenda-tenda, kuda-kuda, unta, sekumpulan orang yang mengenakan jubah, sorban, di belakangnya debu dan pasir mengepul tinggi. Basyir memperlihatkan belati miliknya, khanjar. “Aku peroleh senjata ini setelah memenangkan pertarungan melawan belasan orang. Tidak mudah, tapi belati ini simbol penting, kehormatan Suku Bedouin, harga diri.” 
Dari cerita Basyir, aku tahu jika dia tidak hanya menghabiskan waktu di gurun, dia juga melakukan perjalanan ke Afrika, terlibat dalam pergolakan politik lokal, bergabung dengan kelompok-kelompok milisi di sana, juga menyeberang ke Afganistan, terjun dalam pertikaian antar suku, berperang bersama pemberontak, berperang melawan tentara asing. Basyir melakukan apapun untuk mengembangkan dirinya, melatih kemampuannya. Dia ingin lebih kuat, lebih cepat dibanding siapapun. Tiga tahun berlalu, sepertinya Basyir berhasil mencapai apa yang dia inginkan, meski harganya tidak murah. Dia menyingkap pakaian yang dia kenakan, ada belasan bekas luka ditubuhnya. Dia pernah disiksa di penjara mengerikan milik milisi selama sebulan, berhasil meloloskan diri. Pernah terkapar pingsan berhari-hari di gurun, hingga pasir menimbun separuh tubuh. 
“Aku tidak sabar menunggu kembali beraksi bersama tukang pukul lainnya. Beraksi bersamamu, Bujang, bahu-membahu mengalahkan musuh.” Basyir mengakhiri cerita, “Kopong sudah menjelaskan banyak hal. Tidak lama lagi kita akan menjadi penguasa di ibukota.”
Aku mengangguk. Itu akan menyenangkan.
Hari ini sepertinya semua berjalan sempurna. Aku telah pulang menyelesaikan pendidikanku, Basyir juga telah kembali. Kami kembali berada di tengah Keluarga Tong, keluarga yang membesarkan, memberikan banyak kesempatan. Kami telah pulang.
***
Malamnya, jamuan makan diadakan di gedung utama. Meja-meja panjang dipenuhi makanan lezat, ratusan tukang pukul duduk dikursi, segera sibuk menghabiskan isi piring, disela-sela percakapan.
Aku duduk satu meja dengan Tauke, Kopong, Mansur, Basyir dan beberapa tukang pukul penting. Pelayan hilir mudik membawa nampan makanan dan botol minuman. Mereka sudah hafal, tidak ada satupun minuman beralkohol di hadapanku.
“Sejak kapan Tauke mengumpulkan barang seni di rumah ini?” Aku bertanya, mencomot sembarang percakapan—karena sejak tadi mereka terus bertanya tentangku.
“Ah, itu,” Mansur yang menjawab, “Sejak dua tahun lalu, Bujang. Kau yang memberikan kami ide.”
Aku menatap tidak mengerti. Aku? Kapan aku bilang?
“Tidak secara langsung memang, tapi kau pernah menulis barang seni adalah salah-satu investasi terbaik sekaligus cara mencuci uang. Lukisan misalnya, dengan harga belasan hingga puluhan juta dollar, bisa menjadi alat yang sangat efektif mengalirkan uang dari dunia hitam menjadi legal. Maka Tauke menyuruh orang-orang mengikuti lelang barang seni di berbagai negara. Dua tahun terakhir, Tauke mengumpulkan banyak lukisan, keramik, peninggalan bersejarah. Salah-satunya yang ada di kamarmu, itu dibeli dengan harga tiga puluh juta dollar di pasar gelap. Kau suka lukisannya, Bujang?”
“Kalian membaca skripsi sarjanaku?” Aku tidak menjawab pertanyaan Mansur, sepertinya aku paham arah percakapan.
Tauke Besar terkekeh, “Aku bahkan membacanya berkali-kali, Bujang. Itulah gunanya kau sekolah, agar ada di keluarga ini yang berpikir. Skripsimu itu hanya menumpuk dalam lemari universitas, tapi aku tahu itu sangat penting, bisa memberikan banyak ide. Aku menyuruh Mansur mengambil copy-nya dari sana. Kau telah menulis dengan sangat detail tentang dunia itu. Tentang keluarga-keluarga penguasa yang lebih tua dan lebih maju dibanding kita. Apa istilahmu, ah iya, shadow economy. Ekonomi bayangan. Mansur dan beberapa staf pentingnya juga membaca skripsimu, aku menyuruhnya. Hanya Kopong yang tidak, dia pusing dan mual-mual macam sedang hamil setelah membaca dua halaman.”
Aku akhirnya ikut tertawa. Kopong juga tertawa di sebelahku.
Separuh jalan jamuan makan, Tauke Besar berdiri, seluruh tukang pukul menatapnya, menghentikan percakapan dan gerakan sendok.
“Malam ini, kita menyambut kembali seorang anggota keluarga.” Tauke berseru, “Sama seperti minggu lalu saat jamuan untuk Basyir. Malam ini, anak angkatku, penjagaku, putra dari sahabat terbaikku, telah berhasil menyelesaikan pendidikannya. Dia telah tumbuh menjadi pemuda gagah, esok lusa, dia akan menjadi bagian keluarga kita yang sangat penting. Mari kita bersulang untuk Bujang.”
“Untuk Bujang!” Ratusan gelas terangkat.
“Untuk Si Babi Hutan!” Tauke berseru.
“Untuk Si Babi Hutan!”
“Untuk Keluarga Tong!” Tauke berseru sekali lagi.
“Untuk Keluarga Tong!” Ratusan tukang pukul menimpali. 
Ruangan makan itu terasa sangat khidmat. Aku tersenyum, tanganku juga terangkat ke atas.
Aku telah pulang. Berada di antara keluargaku. Tidak ada yang bisa merenggut rasa senang menggunung di hatiku. Hari ini berjalan sempurna.
***
Tapi aku keliru. Benar-benar keliru. Masih ada yang bisa mengubur semua rasa bahagia. 
Pukul setengah empat, pintu kamarku diketuk dari luar.
Aku memicingkan mata. Siapa? Basyir? Dia mengajakku melakukan sesuatu sepagi ini? 
Bukan Basyir yang muncul di balik pintu, melainkan Tauke Besar, bersama Kopong. Tauke masih mengenakan piyama, menyodorkan sepucuk surat kepadaku. 
“Ini apa?” Aku bertanya.
“Bacalah, Bujang.” Suara Tauke terdengar berat, wajahnya terlihat suram, penuh duka cita, “Baru tiba setengah jam lalu, aku sudah membacanya.”
Aku tiba-tiba teringat kejadian beberapa tahun lalu. Tanganku bergegas membuka lipatan kertas kusam, aku mengenali tulisan di atasnya. Itu surat dari Bapak.
“Anakku, Bujang.
Jika kau akhirnya membaca surat ini, maka itu berarti Bapak sudah mati. Aku menulis surat ini mungkin berminggu-minggu, atau berbulan-bulan sebelum ajalku tiba, kutitipkan surat ini kepada tetangga kita di talang, dengan pesan, jika aku sudah dikuburkan, tanah merah sudah menimbun jasadku, dia akan segera mengirimkan surat ini ke alamat Tauke Muda di kota provinsi, dan dari sana, entah bagaimana caranya, pastilah akan tiba kepadamu.
Bujang, saat menulis surat ini, kondisi Bapak sudah payah sekali. Bukan karena kaki Bapak semakin susah digerakkan. Atau pinggang Bapak yang sakit setiap malam. Melainkan, Bapak rindu Mamak kau. Saat tidur, aku selalu bermimpi bertemu dengannya, untuk kemudian terbangun, termangu di pinggir ranjang kayu, dia tiada di rumah lagi. Saat siang hari duduk di rumah panggung, sendirian menatap rimba lebat, Bapak seperti bisa melihat Mamak kau yang berjalan kesana-kemari, membersihkan rumah. Kupanggil dia dengan lembut, tapi sosoknya segera menghilang seperti asap ditiup angin. Bapak tahu, sudah dekat waktunya aku menyusul Mamak kau. 
Maafkan Bapakmu jika selama ini terlalu keras padamu, Bujang. Maafkan juga jika Bapak tidak pernah ada untukmu. Aku tahu, aku bukan Bapak yang baik, aku terlalu membenci masa lalu, saat masih pemuda seperti kau. Sungguh maafkan Bapak yang tidak pernah memelukmu sejak kau telah beranjak remaja. Terlalu besar gengsi yang Bapak miliki untuk melakukannya. Juga maafkan Bapak yang tak pernah berkirim surat menyatakan rindu, terlalu tinggi ego yang bapak tanam. Hingga semua sudah terlanjur semakin sulit. 
Kali ini, dengan tangan gemetar, Bapak tuliskan sepucuk surat perpisahan. Selamat tinggal, Nak. Hati-hatilah kau di sana. Turuti apapun perintah Tauke Muda. Lindungi dia dengan apapun yang kau miliki. Dia adalah satu-satunya keluargamu sekarang. 
Bapak kau, 
Mohammad Syahdan.”
Aku terduduk di atas kasur, kertas lusuh itu terjatuh ke lantai.
Ya Tuhan? Aku mendesis, tanganku mencengkeram paha, seolah ini hanya mimpi. Bangunkan aku, aku mohon, aku tidak mau berada di sini. 
“Kau baik-baik saja, Bujang?” Kopong bergegas memegang bahuku.
Aku sudah menunduk, menangis dalam senyap. Sayangnya ini bukan mimpi. Ini nyata sekali.
“Kau baik-baik saja, Bujang?” Kopong menggoyangkan badanku—yang beberapa detik seperti kaku. 
“Tentu saja dia tidak baik-baik saja, Kopong.” Tauke yang menjawab, kali ini berseru serak, menatapku iba, “Bapaknya mati. Bagaimana kau akan baik-baik saja dengan hal itu?”
Aku masih mencengkeram paha.
“Kabar ini mendadak sekali….” Tauke mengusap wajahnya, “Sial, kenapa Syahdan tidak bilang kalau dia sekarat berbulan-bulan terakhir? Aku bisa membawanya ke ibukota untuk berobat, memanggil dokter terbaik seluruh dunia, mengirimnya ke rumah sakit paling hebat. Dia selalu saja keras kepala, menyimpan semua sendirian. Dasar keras kepala…. Aku juga sedih sekali, Bujang. Syahdan adalah saudara angkatku. Dia mati sendirian di talang sana.”
Tauke terdiam, menghembuskan nafas. Kamarku lengang. 
Lima menit, Tauke mengajak Kopong keluar. 
“Bujang butuh sendirian, Kopong. Kau tidak bisa menghiburnya, dan jelas kau bukan penghibur yang baik, hanya membuatnya tambah sedih. Biarkan dia menerima kabar ini. Aku juga dulu butuh berbulan-bulan menerimanya saat Tauke Besar meninggal.” 
Tauke dan Kopong meninggalkanku. Pintu ditutup dari luar.
Aku meringkuk di atas ranjang. Memeluk lututku.
Sepuluh tahun lamanya aku telah meninggalkan talang di rimba Sumatera. Tak sekali aku pernah pulang menjenguk Bapak. Tak ada definisi pulang bagiku sejak Mamak meninggal, karena aku merasa inilah rumahku, Keluarga Tong. Bapak pastilah kesepian di sana, hari-hari terakhirnya sendirian, tanpa Mamak dan tanpa aku yang menemani. 
Wajah Bapak, kakinya yang lumpuh, caranya berjalan dengan tongkat. Tawanya yang samar, aku seperti bisa menyaksikannya sekarang, kepalaku seperti televisi yang memutar siaran ulang. Air mata mengalir di pipiku.
Dari jauh, adzan subuh terdengar sayup-sayup. Suaranya melintasi langit-langit gelap, merambat di udara, tiba di jendela kamarku, menyelinap lewat kisi-kisi.
Aku menangis tanpa suara. Kesedihan ini semakin dalam mendengar suara adzan tersebut.
Aku tidak terlalu dekat dengan Bapak, dia bahkan selalu keras mendidikku, Bapak sering memukulku jika aku melanggar peraturannya, apalagi saat mengetahui aku belajar mengaji pada Mamak, ilmu agama dari Tuanku Imam, pernah dia menangkap basah aku yang sedang belajar adzan, tak pelak dia langsung berteriak marah bagai babi terluka, memecut punggungku dengan rotan berkali-kali, membuat Mamak hanya bisa menangis menyaksikannya. 
Aku juga pernah dihukum berdiri di luar rumah panggung semalaman. Hujan turun deras, tubuhku menggigil kedinginan, tak semili daun pintu dibuka untukku, hanya karena Bapak menemukanku sedang membuka buku belajar shalat yang diberikan Mamak. Buku itu dibakar Bapak. Tapi benarlah kata orang, meski semua hal itu adalah kenangan menyakitkan, kita baru merasa kehilangan, setelah sesuatu itu telah benar-benar pergi, tidak akan mungkin kembali lagi. 
Suara adzan semakin lantang terdengar. 
Aku tergugu di kamar. Bapak telah pergi, menyusul Mamak. Selama-lamanya.
***

*bersambung