Selasa, 08 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 4. Penunggang Kuda Suku Bedouin

Mobil sedan hitam gelap yang kukendarai meluncur di jalanan padat ibukota, gesit melintas di sela-sela mobil lain. 
Telepon genggam di jok sebelah berdering. Tanpa melepas kemudi, aku berseru pendek, mengaktifkannya dengan suara, sekaligus loudspeaker mode.
“Hallo, Bujang. Kau ada di mana sekarang?” Suara yang kukenali langsung bertanya.
“Menuju bandara, Basyir.”
“Kau telah selesai mengurus si nomor dua?”
“Ya.”
“Ada masalah? Apakah kau butuh bantuanku?”
“Jika wajah tegang dan pucat termasuk masalah, hanya itu.”
Tere Liye : Pulang

Basyir tergelak sebentar di seberang telepon, “Dia pastilah seperti melihat hantu…. Dia pikir kau akan menyumbang dana kampanye puluhan milyaran, ternyata bukan…. Oh iya, Bujang, kau diminta kembali ke rumah. Tauke Besar ingin bicara padamu.”
“Aku tidak bisa. Seperti yang kubilang tadi pagi kepada salah-satu pengirim pesan. Aku harus tiba di Hong Kong sebelum pukul delapan malam. Tauke Besar seharusnya tahu itu, aku sudah separuh perjalanan menuju bandara. Kau bisa menggantikanku—“
“Bujang, orang tua itu hanya ingin bertemu denganmu, tidak ada yang bisa menggantikan.” Basyir memotong, “Kau harus kembali ke rumah, atau dia mengamuk di atas ranjangnya.”
“Tidak bisa—“
“Bujang, aku akan mendapatkan masalah jika kau tidak berhasil kubujuk untuk menemuinya segera.” Basyir memotong lagi, nada suaranya mendesak.
Aku menghembuskan nafas tipis. Melirik jam di pergelangan tangan.
“Baik. Tunggu aku tiga puluh menit.”
Membanting stir, berbelok tajam di jalanan protokol.
***
Adalah Basyir, orang pertama yang kutemui setiba di kota—bukan ibukota ini, masih di kota provinsi.
Dua puluh tahun lalu, gerimis turun saat empat mobil jeep melintasi gerbang selamat datang kota. Pukul sebelas malam. Wajahku menempel di jendela kaca, menatap lamat-lamat lampu jalanan suram yang dibungkus tetes hujan. Aku belum pernah meninggalkan kampung di lereng bukit barisan, belum pernah melakukan perjalanan sejauh ini, semuanya terlihat menarik. Tidak ada pepohonan, digantikan rumah-rumah, bangunan rapat. Jalan besar, dengan lampu-lampu. Lebih banyak mobil, berlalu-lalang. Jembatan panjang, gedung tinggi.
Empat mobil akhirnya masuk ke rumah dengan halaman luas. Gerbang besarnya yang terbuat dari besi dibuka oleh dua orang, di dorong. Komplek yang kami masuki lebih mirip benteng. Ada banyak bangunan di dalamnya. Satu bangunan utama, paling besar, di kelilingi rumah-rumah seperti mess, di sayap kanan, kiri dan bagian belakang.
Tauke Besar (aku baru tahu jika di rumah itu orang-orang memanggilnya Tauke Besar; hanya bapak yang masih memanggilnya Tauke Muda), turun dari mobil. Aku melangkah di belakangnya, tanpa alas kaki, menginjak halaman rumput yang basah. 
Tauke menyuruhku duduk di ruangan kerjanya. Beberapa pelayan muncul, juga seseorang dengan jas putih, membawa peralatan medis—seperti Mantri kota kecamatan yang pernah aku lihat di kampung.
“Kau periksa dia lebih dulu.” Tauke Besar menunjukku.
Mantri ini ternyata seorang dokter, lima belas menit. Kain-kain kumal yang dipenuhi gumpal darah telah diganti dengan perban. Sebagian rambut di dahiku dicukur habis, untuk melekatkan perban. 
“Dia baik-baik saja. Lukanya akan sembuh dalam hitungan minggu tanpa perlu dijahit. Anak ini punya daya tahan fisik luar biasa. Dia bisa istirahat sekarang, setelah menghabiskan semangkok sup hangat.”
“Bagus.” Tauke Besar mengangguk.
“Apa yang membuatnya terluka sebanyak itu, Tauke? Kuhitung ada dua puluh empat, di tangan, kaki, dada, punggung, kepala? Dia berkelahi dengan siapa?”
Tauke Besar tertawa, “Bukan siapa, melainkan apa. Tapi jangan tanya sekarang.” Tauke menoleh kepadaku, “Ikuti aku, Bujang.”
“Tauke tidak diperiksa?”
“Nanti, setelah aku mengantarnya ke mess sayap kanan. Kau obati yang lain dulu.”
Aku kembali melangkah mengikuti orang bermata sipit, bertubuh gempal. Melewati lorong panjang bangunan utama, tiba lagi di halaman, menyeberangi gerimis. Kakiku menginjak genangan air. Ada beberapa pelayan yang menyambut Tauke Besar di pintu depan mess sayap kiri.
“Kalian siapkan pakaian bersih untuk anak ini. Juga makan malam, sup hangat kata dokter, apapun yang dia butuhkan. Berikan dia kamar yang baik, semua keperluan.”
Dua pelayan itu mengangguk.
“Nah, Bujang. Inilah rumah barumu sekarang.” Tauke Muda menepuk bahuku.
“Tidak ada lagi rumah panggung reot Bapakmu itu. Tidak ada lagi ranjang kayu, tikar anyam. Kau adalah bagian dari keluarga ini sekarang, Keluarga Tong. Kau dengar aku?”
Aku mengangguk.
“Apapun yang dimiliki keluarga ini adalah milikmu, Bujang, dan apapun yang kau miliki adalah milik keluarga ini. Ada seratus orang tinggal di rumah Keluarga Tong. Semua memiliki tugas masing-masing. Aku adalah pemimpin tunggal di rumah ini. Semua kataku adalah perintah. Lakukan tugas dengan baik, saling menghormati, respek dengan penghuni rumah lain, maka kau tidak akan mendapat masalah.”
Aku mengangguk lagi.
Salah-satu pelayan kembali, membawa pakaian bersih.
“Selamat beristirahat, Bujang. Dia akan mengantarmu ke kamar.” Tauke Muda menyuruhku mengikuti pelayan itu, lantas kembali ke bangunan utama, menemui dokter.
Aku dibawa pelayan menuju lantai dua, kamarku. 
Itu kamar yang sangat baik, dengan kasur empuk, jendela besar menghadap halaman depan. Tidak sekalipun dalam imajinasiku ada kamar sebagus ini. Pelayan menjelaskan beberapa hal. Aku diam menatap dinding kamar yang putih bersih, hingga mereka pamit pergi. Meninggalkanku seorang diri.
Aku sedang berganti pakaian saat pintu kamarku kembali didorong. 
Aku menoleh. Ada apa lagi? Ada hal lain yang harus kuketahui?
“Assalammualaikum.” 
Itu bukan Tauke Besar atau pelayan.
Itulah Basyir. Satu-satunya orang di rumah Keluarga Tong, yang menyapa orang lain dengan kalimat tersebut, tapi itu sapaan kosong, bukan simbol religius, apalagi doa. Bagi Basyir, ucapan itu sama seperti mengucapkan, “Selamat malam”, atau “Hallo”, atau “Apa kabar, Bos.”. Karena Basyir memang adalah jagal keturunan Arab.
***
Basyir menjadi sahabat baikku sejak hari pertama di rumah Tauke. Usianya enam belas. Beda satu denganku. Tubuhnya tinggi besar, beda sejengkal dariku, berkulit gelap, perawakan khas Arab. Dia tinggal di rumah Tauke sejak kecil, dan dia suka sekali bicara. 
“Kau tahu suku Bedouin, Bujang? Mereka adalah penghuni gurun-gurun di Arab. Ratusan tahun mereka hidup sebagai suku nomaden. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Tinggal di tenda-tenda. Para penunggang kuda. Mereka adalah ksatria paling kuat di daratan Arab. Penguasa gurun pasir. Pembunuh paling hebat—”
“Iya, suku leluhurmu memang hebat, Basyir. Tapi itu di Arab sana. Di sini lebih banyak hutannya, kesaktian kalian jadi mandul.” Pemuda lain memotong tidak sabaran, tertawa.
Meja makan menjadi ramai oleh tawa. Kami sedang sarapan. Di setiap sayap bangunan, di lantai bawah ada meja panjang dengan kursi-kursi. Setiap pagi, meja itu diisi makanan lezat oleh pelayan, menumpuk, juga minuman sejenis sirup. Penghuni bangunan berkumpul, menghabiskan makanan sambil bercakap-cakap ringan. Aku berkenalan dengan tiga puluh orang penghuni mess sayap kiri.
Basyir tidak mendengarkan, dia terus bicara, “Ada banyak orang hebat dari suku Bedouin, Bujang, kau tahu pemimpin Libya yang sangat terkenal itu, Muammar Khadafi, nah, dia juga berasal dari suku Bedouin. Dia pernah berseru: aku adalah ksatria Bedouin, yang akan membawa kejayaan Libya, dan akan mati sebagai martir demi itu. Itulah prinsip seorang Bedouin sejati, seperti Muammar—”
“Tidak bisakah kau berhenti, Basyir?” Pemuda di seberang meja menepuk dahinya, “Sudah berapa kali kau membahas tentang Khadafi di meja ini, seperti dia adalah kerabat dekat kau saja. Pusing kepala kami setiap kali kau bicara tentang idolamu itu.”
Meja kembali ramai oleh tawa. Kali ini wajah Basyir memerah, dia melotot, tapi akhirnya memutuskan diam, mulai menyendok makanan. 
Aku hanya duduk diam. Memperhatikan meja makan.
Basyir menghuni kamar persis di sebelahku. Dia membantu menjelaskan banyak hal tentang rumah sejak kami berkenalan tadi malam. Jaman itu, Tauke hanyalah salah-satu penguasa di kota provinsi. Benteng rumahnya berada di dekat pelabuhan, empat ratus meter, wilayah kekuasaan paling besar Keluarga Tong berpuluh-puluh tahun. Mereka menguasai bongkar muat pelabuhan, setiap peti kemas yang naik-turun, setiap truk yang lewat, harus berurusan dengan Keluarga Tong. Tapi cash cow, sumber uang adalah penyelundupan. Tauke mengirim ribuan ton karet basah, kopi, rokok, ke luar negeri tanpa melewati kantor cukai, sebaliknya mengimpor mesin, peralatan elektronik, marmer, sutera, dari luar negeri, lagi-lagi tanpa melewati kantor pajak.
Ada seratus orang di rumah Tauke. Sebagian besar adalah tukang pukul, mereka tinggal di sayap kanan dan belakang bangunan utama. Usia mereka terbentang dari dua puluh tahun hingga lima puluh tahun. Merekalah ujung tombak bisnis, setiap hari sibuk mengurus hal-hal kecil—mereka jugalah para pemburu yang dua hari lalu ikut Tauke ke kampungku. Sisanya adalah pelayan, bagian keuangan, logistik, medis, dan apapun yang dibutuhkan rumah itu agar berjalan lancar, tinggal di mess sayap kiri. 
Menurut cerita Basyir, ada dua orang penting di rumah Tauke. Satu, posisinya kepala tukang pukul, dipanggil Kopong. Rambutnya ikal, wajahnya sangar. Dia datang dari kepulauan timur. Dua, posisinya kepala keuangan, logistik, dan lain-lain, dipanggil Mansur. Tinggi kurus, mengenakan kaca-mata, amat cermat berhitung dan pengingat. Selain mereka berdua, posisinya setara, anak buah. Hanya sesederhana itu struktur organisasi di rumah Tauke Besar.
“Tidak ada di rumah ini yang bernama Tong.” Basyir mengangkat bahu, menjelaskan tanpa diminta, “Sebutan Keluarga Tong berasal puluhan tahun silam. Orang pertama yang menguasai pelabuhan, mungkin bernama Tong. Tapi bertahun-tahun, banyak keluarga Tong yang terbunuh oleh perebutan pelabuhan. Tauke mewarisi rumah ini dari orang tuanya, tapi orang tuanya bukan keturunan langsung Tong. Itu bukan masalah besar, di rumah ini, siapapun orangnya, dari mana asalnya, adalah keluarga. Tidak ada yang peduli kau suku apa, bahasa apa, sepanjang berguna bagi Tauke.”
Aku diam mendengarkan, kami telah pindah ke kamar Basyir, sudah selesai sarapan. Belasan pemuda yang tinggal di sayap kanan sudah berangkat, entah apa yang mereka kerjakan, terlihat sibuk. Mobil jeep berlalu-lalang keluar dari halaman benteng, gerbang dari besi bolak-balik dibuka tutup. Kesibukan terlihat jelas dari jendela kamar. 
Aku menatap dinding kamar Basyir, ada gambar Muammar Khadafi dalam ukuran besar, menutupi hampir separuh dinding, juga kertas dengan tulisan dalam bahasa Inggris. Aku bisa membacanya—walau tidak sekolah, Mamak mengajariku membaca di talang sana. Tapi aku tidak paham bahasanya. "I against my brother, my brothers and I against my cousins, then my cousins and I against strangers."
“Itu adalah pepatah paling terkenal di antara suku Bedouin, Bujang. Artinya adalah, aku melawan kakakku; kakakku dan aku melawan sepupuku; sepupu-sepupuku, saudara-saudaraku melawan orang asing. Pepatah ini adalah simbol kesetiaan. Artinya, keluarga adalah segalanya bagi suku Bedouin. Mereka boleh jadi bertengkar dengan saudara sendiri, tidak sependapat dengan sepupu sendiri, tapi ketika datang orang asing, musuh, mereka akan bersatu padu, melupakan semua perbedaan. Prinsip yang sama seperti Keluarga Tong. Kesetiaan adalah segalanya.”
Aku diam, menarik nafas tipis.
Pukul sembilan pagi, Basyir diajak pergi oleh tiga pemuda, entah kemana. Dia memperoleh tugas, segera mengenakan jaket hitam, sepatu mengkilat. Aku menatap punggungnya, dia berlari-lari kecil penuh semangat. Terlihat gagah bersama pemuda yang sebenarnya lebih tua empat-lima tahun dibanding dirinya. “Assalammualaikum, Bujang.” Basyir berpamitan, melambaikan tangannya, loncat ke atas mobil jeep. Tinggal aku sendirian di bangunan sayap kanan. Pelayan sibuk membereskan meja panjang. Salah-satunya meletakkan tumpukan baju baru di lemari kamarku. Juga sepatu hitam mengkilat seperti milik penghuni mess lain.
Pukul sepuluh, seseorang menemuiku, bilang Tauke menunggu di bangunan utama. 
Aku mengangguk. Akhirnya, itu pastilah panggilan tugas untukku—entah apapun tugasnya. Aku meniru teladan Basyir, segera memakai jaket dan sepatu. Menelan ludah, menatap sepatu di kaki, seumur-umur aku belum pernah mengenakan alas kaki. Tadi malam, juga sepanjang sarapan, aku berjalan tanpa alas kaki di rumah ini.
Aku masuk ke bangunan utama, melintasi lorong panjang, mendorong pintu. Pelayan yang mengantarku, balik kanan. Tauke Besar yang sedang sibuk memeriksa kertas di balik meja, mengangkat kepalanya, menatapku yang terlihat rapi, langsung tertawa.
“Kau terlihat keren, Bujang. Masuklah.” 
Aku melangkah. Sedikit kikuk, belum terbiasa dengan sepatu.
“Duduklah. Aku masih ada beberapa pekerjaan. Kau tunggu sebentar.”
Aku mengangguk, duduk di kursi. Tauke masih sibuk dengan kertasnya, lima belas menit kemudian, masuk seseorang, pastilah itu Mansur—aku mengenali perawakannya dari cerita Basyir. Mereka berbicara, Mansur mengangguk-angguk, mencoret-coret kertasnya, lantas keluar. Aku hanya memperhatikan, wajah Mansur yang serius, dan wajah Tauke yang santai. Pagi ini, wajah Tauke terlihat segar, walau masih ada perban di pelipisnya, seperti tidak nampak jika beberapa hari lalu dia terluka di dasar rimba Sumatera. 
Lima belas menit, Tauke kembali sibuk dengan kertasnya, membiarkan aku duduk. Hingga seseorang lagi masuk. Aku tidak mengenalinya. Bahkan sebenarnya, aku tidak pernah melihat orang dengan perawakan seperti dia. Rambutnya cokelat, matanya biru, kulitnya pucat. Usianya sekitar empat puluh tahun, membawa koper kecil.
“Ah, kau akhirnya datang, Frans.” Tauke Besar berdiri demi melihat orang itu masuk.
“Maaf terlambat, Tauke. Aku berusaha sesegera mungkin.” 
Orang itu bisa berbahasa lokal, tapi aksennya berbeda, terdengar patah-patah.
“Tidak masalah, aku juga tadi masih banyak pekerjaan.” Tauke tersenyum lebar, “Bujang, perkenalkan, Frans. Kau boleh memangil siapapun di rumah ini dengan nama atau julukannya langsung.”
Aku berdiri.
“Ada apa? Kenapa kau menatapnya heran? Kau belum pernah melihat bule, Bujang? Ah, aku lupa, Syahdan tidak pernah membawamu bahkan keluar dari kampung sialan itu. Kau lebih sering melihat monyet atau hewan liar di sana. Frans adalah orang Amerika, pernah mendengar nama negaranya?” 
Aku menggeleng.
Tauke tertawa, “Kau akan segera tahu dunia ini luas sekali, Bujang. Tidak hanya seluas hutan di kampung. Frans sempat menjadi diplomat, kemudian pensiun dini, sekarang guru di sekolah internasional ibukota, menguasai banyak bahasa. Aku memintanya datang jika ada urusan dengan dokumen-dokumen yang harus diterjemahkan atau ada urusan lain. Nah, Frans, inilah Bujang, anak angkatku, baru tiba tadi malam.”
“Hallo. Senang berkenalan dengan Anda.” Frans menjulurkan tangan, menyapa ramah.
Aku mengangguk, ragu-ragu ikut menjulurkan tangan.
“Kau sudah membawa semua keperluan sesuai yang kuperintahkan lewat telepon?”
“Sudah, Tauke. Sebentar.” Frans membuka kopernya, mengeluarkan kertas-kertas.
Aku menatap tidak mengerti. Aku kira, saat dipanggil tadi, aku akan mendapatkan tugas seperti yang diterima oleh Basyir atau pemuda penghuni mess sayap kanan. Entah itu pergi ke pelabuhan, gudang, pabrik, atau apalah. Bukankah itu tugasku? Memang belum ada yang menjelaskan secara detail apa tugasku di Keluarga Tong, tapi mendengar pertengkaran Bapak dan Mamak di kampung, mendengar cerita Basyir, dan penghuni rumah lainnya, aku tahu aku akan jadi apa di rumah ini. Tukang pukul. 
“Baik. Kita mulai saja. Kau bisa membaca dan menulis?” Frans bertanya padaku.
Aku mengangguk. Mamakku juga mengajarkan berhitung di kampung. Pun diam-diam mengajariku mengaji, shalat, ilmu agama—jika Bapak tidak di rumah. Bapak akan berteriak kalap jika tahu aku masih belajar hal-hal dari Tuanku Imam.
“Bagus. Itu berarti kita tidak perlu mulai dari awal. Sebentar, akan kucarikan soal yang cocok untukmu. Academic potential test…. Basic….” Frans memeriksa tumpukan kertas, lantas menarik satu berkas, menyerahkannya padaku, beserta pensil.
Aku menatap kertas itu. Semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ini bukan pekerjaan tukang pukul. Ini adalah soal-soal. Tentang logika, matematika, kubus, urutan, sekuensial. Aku tidak tahu istilahnya, tapi aku mengerti ini soal apa.
“Kau kerjakan, waktumu satu jam dari sekarang.” Frans tersenyum, mengeluarkan jam saku.
Aku menoleh ke arah Tauke Besar. Aku diminta mengerjakan soal? 
“Lakukan apa yang dia suruh, Bujang.” 
Aku menarik nafas perlahan. Baiklah. Mungkin aku harus berlatih memukuli soal-soal ini sebelum bergabung dengan Basyir dan pemuda lain. Mungkin di rumah ini peraturannya demikian, peraturan yang amat ganjil. Aku memegang pensil lebih mantap, mulai membaca soal pertama.
***
Jelas tidak ada pekerjaan memukul orang lain, memeras, mengamankan truk-truk, menyuap petugas, memeriksa kapal merapat. Tidak ada untukku. Pagi pertama di rumah Keluarga Tong aku justeru berkutat bersama Frans dengan tumpukan kertas yang sangat menyebalkan.
Satu jam berlalu, aku menyerahkan hasil pekerjaanku kepadanya. Frans memeriksa cepat, wajahnya mendadak berubah, bergegas berdiri, memperlihatkannya kepada Tauke Besar, berbisik. Wajah Tauke juga berubah. Ada apa? Apakah nilaiku jelek? Aku sudah berusaha mengerjakan sebaik mungkin. Tidak sulit soal-soal itu. 
Aku pikir semua sudah selesai, aku bisa kembali ke kamar, atau naik mobil jeep di luar sana. Tidak. Frans justeru mengeluarkan berkas kertas berikutnya. Juga jam saku dengan suara tik-tok berisik. 
“Kerjakan soal-soal ini, Bujang. Sekarang waktumu hanya empat puluh lima menit.” 
Belum selesai? 
Frans tersenyum.
Terserahlah. Aku mendengus dalam hati, menerima lembar soal.
Wajah Frans dan Tauke semakin berubah empat puluh lima menit kemudian. Dan aku sudah bisa menebaknya, akan ada berkas ketiga yang diberikan kepadaku.
“Waktumu sekarang hanya tiga puluh menit, Bujang.”
Aku mengusap pelipisku yang berkeringat. Aku tahu. Tanpa dia sebut pun aku tahu kalau waktuku akan dikurangi kembali. Itu logika sekuensial biasa. Aku menggenggam pensil lebih erat, konsentrasi penuh, mengerjakan soal-soal berikutnya dengan cepat.
Persis jam saku tik-tok berhenti di menit ketiga puluh, aku menyerahkan kertas-kertas itu.
Frans menerimanya tidak sabaran, memeriksanya, kembali berbicara dengan Tauke Besar. Aku bersandar di kursi, melemaskan jemariku. Apakah mereka akan memberikan soal berikutnya? Apakah tidak cukup soal-soal yang harus kupukuli pagi ini?
“Ini mengejutkan sekali.” Frans menatapku, wajahnya berbinar-binar, “Aku belum pernah menemukan murid dengan kecerdasan seperti ini. Berapa usiamu tadi? Lima belas?”
Aku mendongak. Tauke terlihat berkacak pinggang, wajahnya juga senang.
“Kau memang kesulitan menjawab pengetahuan umum, tapi itu bisa dimengerti, kau tidak pernah sekolah, tidak pernah melihat dunia luar. Tapi nilai logika, matematika, potensi akademik lainnya, itu seperti sudah menjadi sifatmu. Kau jenius, Bujang.”
Aku terdiam, menelan ludah. Aku jenius? Sejak kapan?
“Bagus, Bujang.” Tauke menepuk pundakku, terkekeh riang, “Aku punya rencana besar untukmu. Juga rencana besar untuk Keluarga Tong. Akhirnya aku menemukan potongan terakhir dari seluruh puzzle selama berpuluh tahun. Astaga, aku tidak tahu Syahdan punya anak sepintar kau. Tidak salah lagi, itu pasti datang dari Mamak kau. Tidak ada pintar-pintarnya Bapak kau itu, nol dibagi nol saja dia tidak tahu jawabannya.”
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar