Sabtu, 19 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 11 part 1. Latihan Menembak

Hanya lima menit mengudara di langit-langit, helikopter telah mendarat di bandara Makau, dua puluh meter dari pesawat jetku.
Aku lompat turun, disusul White, dan si kembar. Helikopter kembali mengangkasa, saat aku naik ke atas pesawat. Edwin sudah siap di kursi kokpit, dia tidak mematikan mesin sesuai perintahku.
“Kita ke Hong Kong!” Aku berseru kepada Edwin, menghempaskan punggung di kursi penumpang, memasang sabuk pengaman.
Tere Liye : Pulang

Si kembar dan White juga mengambil kursi masing-masing.
“Siap, Capt.” Edwin mengangguk.
Moncong pesawat bergerak menuju runaway.
“Tadi seru sekali,” Yuki tertawa, duduk di sebelahku. Kiko yang duduk di belakangnya ikut tertawa, mengangguk bersepakat, meluruskan kaki, melemaskan tangan.
“Kalian sengaja melakukannya, bukan?” White melotot di sebelah Kiko.
“Apanya yang sengaja?” Kiko menatap balik, terlihat santai di kursi.
“Pasang sabuk pengamanmu, Kiko!” Aku lebih dulu berseru.
“Hei, Bujang, kau bukan kakek kami. Kenapa pula kau harus mengatur? Atau kau sekarang berubah menjadi pramugari pesawat?” Kiko tidak peduli.
“Tapi ini pesawatku. Pasang sabuk pengamannya.” Aku berkata serius.
Kiko dengan wajah masygul menurut, dia memasang sabuknya.
“Kalian sengaja menyuruh helikopter itu ada di gedung seberang, bukan? Itu bukan karena salah pesan?” White kembali meneruskan pertanyaan, wajahnya terlihat kesal mengingat kejadian tadi. White orang terakhir yang meluncur di tali sepanjang seratus meter dengan belasan M16 menembaki.
“Tentu saja itu disengaja, Tuan Marinir,” Yuki yang menjawab, “Kami sudah berusaha sepanjang hari agar helikopter itu menunggu rapi di atas Grand Lisabon. Tapi itu impossible, anak buah Keluarga Lin akan curiga, mereka akan menjaga atap gedung lebih ketat. Satu-satunya pilihan adalah gedung di seberangnya, kami menyiapkan tali dan pelontar panah di gondola untuk menyeberang. Sepertinya kau terlalu sering memasak cumi dan udang, sehingga abai hal sekecil itu.”
White terdiam, menelan ludah. Penjelasan Yuki masuk akal.
“Tapi, tapi kalian juga sengaja terlambat memadamkan listrik gedung? Bujang hampir saja dihabisi di lantai 40 jika aku tidak datang tepat waktu.”
“Astaga! Ada setidaknya dua puluh security kasino yang berada di ruangan panel sentral. Kami berdua tidak bisa menyamar menjadi cleaning service seperti kau, menyelinap lantas mematikan lampu. Kami terlalu cantik untuk jadi petugas bersih-bersih, kamu harus menembaki mereka. Dan jangan lupa, kami juga meledakkan genset cadangan, tentu saja butuh waktu lebih lama.”
“Tapi kalian—“
“Sudah, White. Kita selamat, misi berhasil. Tidak perlu bertengkar.” Aku menengahi, meniru teladan Kiko, duduk lebih santai, menatap keluar jendela, menatap kota Makau dari ketinggian sepuluh ribu kaki, pesawat jet telah mengangkasa, melakukan manuver kecil sebelum menuju Hong Kong.
White menepuk dahinya, masih tetap kesal, tapi dia menghentikan protes kepada si kembar. White dan si kembar tidak pernah cocok, tapi berkali-kali ikut bersamaku melaksanakan misi, semuanya berhasil dengan baik. Aku lebih suka menyebutnya ‘tim yang saling melengkapi’. 
Lampu sabuk pengaman padam. Kiko berdiri, melangkah ke kabin belakang, dia mengambil minuman dingin dari lemari es. Si kembar sering menumpang pesawatku, mereka tahu setiap jengkal pesawat jet.
“Kau mau, Tuan Marinir.” Kiko menawari—tawaran berdamai.
“Yeah!” White mengangkat bahunya, menerima kaleng soft drink.
Aku juga ikut berdiri, meraih koperku, mengeluarkan sepuluh batang emas, sesuai janji di atas kapal feri, menyerahkannya kepada si kembar. Yuki menerimanya, memasukkannya ke dalam tas punggung yang mereka pakai saat beraksi tadi. 
Aku mengambil lima batang emas berikutnya, menyerahkannya kepada White.
Mantan marinir itu menggeleng, “Aku tidak melakukannya demi emas, Bujang.”
“Kalau kau tidak mau, berikan ke kami saja.” Kiko tertawa centil di kursi sebelah.
Aku ikut tertawa, menggeleng tegas, memasukkannya kembali ke dalam koper. Menurut hitunganku, sudah enam kali White menyelesaikan misi bersamaku, tidak satupun dia bersedia menerima bayaran. Dia selalu menganggap itu bagian dari hutang budi, karena aku pernah membebaskannya dari Baghdad. Aku akan mencatat semua batang emas milik White, besok lusa, itu tetap haknya.
Pesawat jet terus menuju bandara Hong Kong. 
“Apa yang akan kau lakukan dengan pemindai itu, Bujang?” White bertanya.
“Aku akan membawanya ke tempat aman. Banyak pihak yang menginginkan benda ini. Setidaknya sementara waktu aku harus memastikan benda ini dipegang orang yang bisa dipercaya.”
“Kau benar. Amat berbahaya membawanya pulang langsung. Keluarga Lin tidak akan terima kejadian malam ini, kau telah membuka kotak Pandora. Peperangan antar keluarga akan meletus. Hanya soal waktu anak buah mereka tiba di kotamu.”
Aku mengangguk, tapi aku tidak terlalu mencemaskan itu. Keluarga Lin juga punya masalah di Makau, mereka tidak bisa mengerahkan seluruh sumber daya untuk perang antar negara, itu beresiko, posisi mereka di Makau bisa goyah, dan sekali ada pesaing yang melihat celah, masalah Keluarga Lin lebih serius dibanding masalah kami. Mungkin mereka akan mengirim orang-orang tertentu, atau mungkin menyuruh orang-orang bayaran, aku tidak tahu. 
“Kau punya rencana atas situasi itu, Bujang?”
Aku mengangguk lagi. Aku punya rencana.
Pesawat jet mulai turun, lampu sabuk pengaman kembali menyala. Penerbangan Makau – Hong Kong hanya butuh lima belas menit. Lima menit kemudian, pesawat sudah mendarat mulus.
“Salam untuk Guru Bushi.” Aku mengantar Yuki dan Kiko hingga anak tangga.
Si kembar mengangguk. Mereka berjalan santai meninggalkan pesawat.
“Hati-hati, Bujang.” White menjabat tanganku.
Aku balas menjabat tangannya.
Lima menit lagi, pesawat jet kembali mengangkasa.
“Menuju Manila, Edwin.” Aku berseru.
“Siap, Capt.” Edwin menjawab mantap, menggerakkan tuas.
***
Tujuh belas tahun lalu.
Kapal kontainer yang membawa ratusan tukang pukul ke ibukota tiba setelah perjalanan 36 jam, perjalanan dua hari satu malam yang menyenangkan. Tukang pukul menghabiskan waktu dengan bercakap-cakap, bermain kartu, atau bermain bola, ping pong, volley di geladak kapal, apapun yang bisa dilakukan. Petang hari kedua, pelabuhan ibukota terlihat di garis cakrawala. Aku berdiri di geladak, menatap pucuk-pucuk gedung. Kapal merapat di dermaga dua jam kemudian.
Mobil jeep diturunkan satu persatu, aku menaiki salah-satunya, bersama Kopong dan Basyir, menuju markas baru Keluarga Tong. Semua telah disiapkan oleh tim pendahulu, proses bongkar muat barang berjalan cepat, hanya butuh waktu dua belas jam, kami sudah sempurna menempati markas baru. 
Kopong benar, ada banyak bangunan di sini, ada sekitar tiga puluh, separuh diantaranya berlantai tiga dan empat, pengganti mess. Itu belum terhitung rumah-rumah yang berdiri di sebelah jalan sebagai kamuflase, rumah itu juga ditinggali tukang pukul. Aku memperoleh kamar di bangunan dua lantai, persis di sebelah bangunan utama. Kamar Basyir di sebelah kamarku, dia segera menempelkan poster Muammar Khadafi dan pepatah terkenal suku Bedouin favoritnya di dinding—dia bawa dari kota provinsi. Kopong memperoleh kamar paling luas, di seberang kamar kami.
Bangunan utama berupa rumah tiga lantai dengan arsitektur klasik. Besarnya dua kali lipat dari bangunan utama di kota provinsi. Ruangan depannya memiliki lampu gantung mewah, dengan lantai marmer serta tiang-tiang pualam. Juga anak tangga menuju lantai dua, terlihat mewah. Keramik dan porselen mahal berjejer rapi. Tauke tinggal di bangunan utama bersama dokter, Mansur dan beberapa pelayan dekat. Bangunan utama juga merangkap tempat kerja Tauke serta kantor pusat urusan bisnis dan keuangan—sebelum besok lusa pindah ke gedung tiga puluh lantai di jalan protokol.
Seperti bola salju, roda bisnis Keluarga Tong langsung menggelinding cepat sejak kami pindah ke ibukota. Tauke secara agresif berinvestasi di banyak tempat, dia punya sumber dana dari bisnis ‘ekspor-impor’ dengan armada belasan kapal kontainer. Dengan dukungan dana besar, ada banyak hal yang lebih mudah diurus. Kopong bisa leluasa memperbesar teritorial Keluarga Tong.
Hanya butuh satu tahun, pelabuhan ibukota akhirnya jatuh ke tangan Keluarga Tong. Pertempuran kolosal, pelabuhan terbakar, ratusan tukang pukul tewas. Tapi berita di televisi dan koran hanya menyebutnya kebakaran biasa, insiden akibat petugas pelabuhan lalai. Tidak ada mayat yang terlihat, karena Kopong sudah membersihkannya. Aku ikut penyerbuan penting itu. Bahu-membahu bersama Basyir, menghabisi musuh. 
Semua orang terlihat sibuk, ada banyak tugas dari Tauke yang harus diselesaikan. Aku juga sibuk, selain menjadi tukang pukul aku juga telah tenggelam dengan aktivitas kuliah. Frans si Amerika tidak lagi mengajariku, dia membantu Tauke untuk hal lain, tinggal di Hong Kong, menjadi penghubung bisnis luar negeri. Sepanjang siang aku barada di universitas, belajar seperti ratusan mahasiswa normal lainnya, malam hari, aku ikut bersama Kopong, Basyir. Hidupku persis seperti “siang” dan “malam”. Tidak ada teman kuliahku yang menyangka kalau aku adalah jagal di Keluarga Tong. Aku tidak pernah menunjukkannya, kecuali sekali, saat ospek mahasiswa baru.
Empat senior ospek menyudutkanku, membawaku ke ruang dosa, ruangan kelas yang ditutup kain hitam, lantas mengintimidasi serta memukul. Aku sudah berusaha bersabar, hingga mereka mulai menghinaku anak kampung tidak pantas kuliah di ibukota. Aku mematahkan tangan salah-satu dari mereka, membuat rontok empat gigi satu senior lainnya, sisanya, dua orang ditemukan sedang merangkak kesakitan, harus dibawa ke rumah sakit segera. Pelajaran tinju yang diberikan Kopong tidak sia-sia. Sejak saat itu, tidak ada satupun senior ospek yang berani menyentuhku. 
Aku menyukai dunia kuliah. Ini berbeda dengan belajar di rumah bersama Frans. Di sini aku menemui banyak orang, dosen-dosen terbaik, bertukar pikiran, menambah wawasan, menemukan konsep menarik. Frans benar, itu seperti menjadi bakat alamiahku. Salah-satu pelajaran yang paling menarik bagiku adalah tentang shadow economy. Aku membaca banyak buku tentang itu, berjam-jam menghabiskan waktu di perpustakaan, melakukan riset mendalam. Aku akhirnya mengerti cara berpikir Tauke Besar. Dia mungkin tidak pernah membaca buku yang kubaca, tidak pernah menghadiri sekolah walau sehari, tapi Tauke memiliki visi yang amat cemerlang. Sudah saatnya dunia hitam Keluarga Tong dibawa menuju era baru. 
Kuliah di universitas telah memberikanku cara berpikir yang sama dengan Tauke, dan aku bisa ikut memberikan solusi yang cocok, itulah puzzle yang disebut Tauke dulu, aku melengkapinya. Aku ingat sekali, saat pertemuan bulanan di ruang kerja Tauke Besar. Mansur membicarakan tentang uang yang lebih banyak sebagai modal bisnis properti di ibukota. Keluarga Tong rakus sekali membeli tanah, membangun perkantoran, pusat perbelanjaan, apartemen, komplek rumah mewah.
“Jika kita bisa meminjam uang dari perbankan, tanpa menggunakan uang sendiri, kita bisa bergerak lebih leluasa, Tauke. Tidak semua investasi harus menggunakan modal sendiri, dalam banyak situasi, lebih efektif dengan dana pinjaman.” Mansur menjelaskan, dia sedang menguraikan rencana bisnis Keluarga Tong lima tahun ke depan. 
“Tidak ada bank yang akan meminjamkan uang pada kita, Mansur. Mereka tidak gila. Mereka tidak akan memberikan kredit kepada mafia, triad atau sejenisnya.” Tauke mengusap wajah. 
Ada beberapa orang yang ikut rapat, termasuk aku. Mendengarkan.
“Atau kita rampok saja banknya? Itu lebih mudah.” Kopong menyela diskusi. Basyir yang duduk di sebelah langsung mengangguk setuju.
Tauke Besar tertawa, “Tidak semua harus dilakukan dengan kekerasan, Kopong. Kita bukan lagi sekelas pencuri jalanan. Lagipula, merampok bank, berapa puluh milyar yang kita dapat? Mansur membutuhkan puluhan trilyun.”
Tidak ada solusinya. Aku akhirnya mengacungkan tangan, semua orang menoleh padaku.
“Kau ada usul, Bujang?”
Aku mengangguk, “Jika pihak bank tidak mau meminjamkan uang, dan kita juga tidak bisa merampoknya, maka ada cara lain. Kita dirikan saja bank sendiri. Gunakan uang kita sebagai modal, biarkan masyarakat luas menabung di sana. Uang-uang itu datang dengan sendirinya. Semua dilakukan secara legal, kita juga bisa sekaligus mencuci uang dari bisnis ilegal, ada banyak keluarga lain yang tertarik menyimpan dananya di bank kita.”
Ruang kerja Tauke Besar lengang sejenak.
“Itu jenius sekali, Bujang!” Tauke menepuk dahinya, seolah tidak percaya mendengar ide tersebut, “Kau benar, kita dirikan saja banknya. Uang akan datang, persis seperti laron mengerubuti lampu. Tidak percuma kau kuliah di universitas terbaik ibukota.”
Aku tersenyum tipis. Usiaku saat itu dua puluh tahun, separuh jalan menyelesaikan kuliahku, tapi pengetahuanku tentang banyak hal—terutama tentang shadow economy—melompat sangat jauh dibanding siapapun. Aku tahu tentang pencucian uang, aku paham bagaimana mengalirkan uang dari bisnis illegal menjadi legal. Sebagai orang yang ada di dunia hitam, refleksi atas pengetahuan itu sangat signifikan. Berbeda ketika orang yang tidak tahu-menahu membaca tentang shadow economy, di kepala mereka hanya dipenuhi imajinasi. 
Tauke Besar menangkap ide soal bank itu dengan cepat.
“Kau urus surat-menyurat bagaimana mendirikan bank, Mansur. Jika kau tidak tahu, cari professional terbaik di seluruh dunia, hubungi Frans si Amerika. Juga tempatnya, cari gedung di lokasi paling strategis. Beli. Jika mereka tidak mau menjualnya, minta Kopong dan Basyir mengurusnya. Satu bulan dari sekarang, aku ingin bank pertama Keluarga Tong telah berdiri di jalan protokol, gunakan nama orang lain sebagai pemilik bank itu. Kita akan meresmikannya secara besar-besaran, mengundang pejabat penting. Pastikan menjadi headline koran nasional, agar masyarakat luas percaya dan mau menabung di bank kita. Aku ingin setahun kemudian, bank itu sudah menjadi bank besar di negeri ini. Kau catat, Mansur!”
Mansur mengangguk—dia tidak perlu mencatat apapun, dia sangat pengingat.

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar