Sabtu, 12 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 7 : Pencuri Yang Pengecut (Part 1)

Hari ini. Kawasan Kowloon, Hong Kong.
Jamuan makan malam bersama Master Dragon sudah hampir selesai. 
Tamu-tamu di meja makan sedang santai bercakap-cakap, sesekali tertawa. 
Aku menghabiskan air putih di gelas sekali teguk, saatnya menyampaikan maksud dan tujuanku. Saatnya berhenti berbasa-basi dengan tamu-tamu lainnya. Aku meletakkan gelas, lantas dengan suara tenang, aku memotong semua percakapan.
“Ijinkan aku bicara tentang pekerjaan, Master Dragon.”
Sebelas perwakilan keluarga menoleh padaku. Tawa satu-dua orang terhenti.
Master Dragon yang duduk di sebelah menatapku.
“Dengan segala hormat, aku sungguh minta maaf perayaan ulang tahun Master harus terpotong sebentar oleh urusan sederhana. Tapi aku tidak punya pilihan. Jadi ijinkan aku bicara.” Aku menatap sekeliling dengan tenang.
“Keluarga Lin di Makau, enam bulan terakhir, menolak melakukan pertemuan dengan kami, menolak seluruh pembicaraan. Malam ini, mereka hadir di meja ini, aku terpaksa meminjam jamuan makan malam ini, disaksikan keluarga lain, disaksikan Master Dragon, agar masalah kami dengan mereka diselesaikan.”
Wajah orang di seberang mejaku merah padam. Sejak tadi dia sudah tidak suka dengan kehadiranku, wajahnya tidak bersahabat. Dia adalah putra tertua Keluarga Lin dari Makau, usianya empat puluh lima tahun.
“Ayolah, Si Babi Hutan, kau tidak perlu membahas pekerjaan di meja ini.” Salah-satu perwakilan keluarga memotong, kepala keluarga dari Vietnam.
Aku menggeleng tegas. Aku harus membahasnya.
“Mereka mencuri teknologi pemindai yang telah kami kembangkan lima tahun terakhir di laboratorium Makau. Mereka pencuri pengecut.” Aku berkata dingin.
“Kami tidak mencurinya, bajingan. Kami membelinya dari profesor riset tersebut. Puluhan juta dollar.” Putra tertua Keluarga Lin berteriak demi mendengar kalimatku.
Aku menyeringai tipis, “Oh ya? Apakah menculik anak istri profesor tersebut juga harga yang kalian bayar? Puluhan juta dollar? Omong kosong. Kami yang menghabiskan jutaan dollar untuk lembaga riset itu, membantu biaya riset mereka bertahun-tahun, seluruh laboratorium itu milik kami dan saat penelitian itu rampung, kalian mencurinya begitu saja tanpa rasa hormat.”
“Masalah ini sebaiknya dibicarakan setelah jamuan makan. Ini pesta ulang tahun besar Master Dragon, tidak pantas kita bertengkar.” Salah-satu perwakilan keluarga berusaha menengahi, menahan Putra sulung Keluarga Lin yang hampir berdiri.
“Tidak apa. Aku ingin mengetahuinya.” Master Dragon menggeleng, tangannya terangkat, “Lagipula kita telah selesai. Apa sebenarnya pemindai itu? Dan kenapa dua keluarga memperebutkannya?”
“Itu teknologi paling depan di dunia medis.” Aku menjelaskan, “Teknologi itu bermanfaat untuk memindai tubuh hingga ke bagian terkecilnya, yang secara instan bisa memberitahu status kesehatan pasien. Alat diagnosis paling canggih. Harganya tidak ternilai. Kami tidak memperebutkannya, Master Dragon, pemindai itu milik kami. Mereka mencurinya. Pencuri rendahan.”
“Berani-beraninya kau menyebut kami pencuri, hah!” Putra sulung Keluarga Lin berdiri dari kursinya, kali ini tidak ada yang bisa menahan tubuhnya. Tangannya teracung balas menghina, “Kalianlah keluarga rendahan, yang memanfaatkan orang lain, termasuk memanfaatkan jamuan makan ini untuk menyerang Keluarga Lin.”
“Duduk! Semua duduk.” Master Dragon berkata dingin.
Suasana di ruangan itu terasa sekali pengap oleh ketegangan—makan malam akrab beberapa menit lalu menguap begitu saja. Hanya karena semua orang menghormati Master Dragon, mereka masih menahan diri untuk tidak ikut mulai berteriak, biasanya mereka malah mencabut senjatanya, mulai menembak siapapun.
Tere Liye : Pulang

Aku tahu, tidak hanya Keluarga Lin yang menginginkan teknologi itu, keluarga lain juga ada di balik pencurian tersebut. Satu atau dua diantara mereka pasti bersekongkol dengan Keluarga Lin. Itulah kenapa aku membutuhkan Master Dragon, minimal agar Master bersikap netral, tidak memihak siapapun, karena separuh dari kepala keluarga di meja makan masih kerabat dengan Master Dragon.
“Apa yang kau inginkan dengan merusak jamuan makan malamku, Si Babi Hutan?” Master Dragon bertanya, tatapannya tajam. Aku bisa merasakan aura mengerikan miliknya.
Tapi aku tidak takut. 
Balas menatapnya tajam, “Pemindai itu milik kami, Master. Hingga kapapun itu milik kami. Jika Keluarga Lin menolak mengembalikannya baik-baik, kami akan mengambilnya dengan paksa. Itu bisa memicu perang antar keluarga di Asia Pasifik. Aku tahu. Tapi kami tidak punya pilihan. Keluarga Lin sengaja mencuri pemindai itu saat Tauke sakit, mereka pikir, kami akan mengalah, karena kami juga akan menghadapi masalah internal di negera kami, menghadapi keluarga-keluarga lain di sana yang berusaha merebut kekuasan. Tapi kami tidak selemah itu. Merekalah yang pengecut. Mereka menolak pembicaraan, menolak bertemu secara hormat, bahkan malam ini, Lin tidak datang, dia menyuruh anaknya untuk hadir. Dia mengira Tauke akan datang, dia takut bertemu dengan Tauke.”
“Apa kau bilang? Kami takut kepada kalian? Kau menghina Ayahku.”
“Aku tidak menghinanya. Dialah yang menghina dirinya sendiri. Di mana dia sekarang? Duduk bersembunyi di dalam benteng gedung kasino puluhan lantai? Yang dia pikir bisa melindunginya dari serangan? Omong kosong, tidak ada tempat yang aman dari kami, sekali kami memutuskan menyerang—”
“Cukup, Si Babi Hutan. Cukup. Aku sudah mendengar masalahnya.” Master Dragon mengangkat tangan.
Meja makan kembali lengang. Semua orang menunggu pendapat Master Dragon atas situasi ini.
Master Dragon menangkupkan tangannya, pemimpin klan berusia delapan puluh tahun itu menoleh ke putra sulung Keluarga Lin, “Apakah kalian mencuri pemindai itu?”
“Tentu saja tidak, Master Dragon. Kami membelinya.”
“Apakah kalian menculik anak dan istri profesor penemu pemindai itu?”
Kali ini putra sulung Keluarga Lin terdiam. Wajah merah padamnya mengendur.
“Jawab pertanyaanku. Iya atau tidak?” Suara Master Dragon terdengar tajam, “Jangan coba-coba berbohong, karena mata-mataku ada di mana-mana, aku hanya butuh lima belas menit untuk mengonfirmasi kebenarannya.”
Putra sulung Keluarga Lin mengangguk pelan.
Aku tersenyum tipis. 
“Baik!” Master Dragon memukul meja, menyuruh yang lain memperhatikan penuh.
“Jika demikian, apa yang disampaikan Si Babi Hutan adalah kebenaran. Maka, masalah ini adalah antara Keluarga Tong dan Keluarga Lin. Aku memutuskan agar mereka berdua menyelesaikannya tanpa melibatkan siapapun. Jika ada satu saja keluarga lain ikut mendukung pihak bertikai, itu berarti berhadapan denganku. Aku memerintahkan Lin bertemu dengan perwakilan Keluarga Tong, membicarakannya secara terhormat. Jika Lin menolak menemuinya, maka itu berarti dia menolak mematuhi perintahku. Apapun hasil pembicaraan dua keluarga, tidak ada satupun yang boleh ikut campur. Keputusan ini final.”
Aku mengangguk senang. Itulah keputusan yang aku harapkan. Aku tidak berharap Master Dragon akan meminta pemindai itu dikembalikan, karena saling mencuri antara keluarga sebenarnya lumrah saja—yang membuatnya berbeda, seberapa penting benda yang dicuri. Master Dragon telah mengunci ruang lingkup masalah, dan itu lebih dari cukup. Putra sulung Keluarga Lin terlihat sebaliknya, dia hendak berseru tidak terima, juga beberapa perwakilan keluarga lain yang ada di pihaknya. 
Master Dragon lebih dulu berdiri, “Terima kasih telah hadir di jamuan makan malam ini. Semoga kesejahteraan selalu bersama kalian.”
Itu berarti kami diminta segera pergi, diusir secara halus. 
Sebelas perwakilan keluarga beranjak berdiri, mendorong kursi ke belakang, meninggalkan ruangan. Aku juga berdiri. Dua belas kursi tamu kosong satu persatu. Putra sulung Keluarga Lin menatapku marah saat berjalan keluar, penuh ancaman dan kebencian. Aku balas menatapnya tanpa ekspresi.
Strategi patung naga emas itu telah mengamankan langkah pertamaku. Rencanaku berjalan baik, tinggal mengurus penyelesaiannya, menghabisi si pencuri—tidak peduli seberapa hebat dia. 
Itulah spesialisasiku, penyelesai konflik tingkat tinggi.
***
Dua puluh tahun lalu.
Dengan kegagalanku bertahan di amok selama dua puluh menit, suka atau tidak, aku harus berangkat sekolah. Lantas bagaimana aku akhirnya bisa menjadi tukang pukul di Keluarga Tong?
Kopong yang menjadi jalannya. 
Menyaksikan amok malam itu, esoknya, Kopong menemui Tauke Besar, bilang Tauke akan menyia-nyiakan bakatku jika hanya menyuruhku sekolah. Aku mengetahui pembicaraan mereka, karena luka-luka lebamku sedang diperiksa oleh dokter, terpisah satu daun pintu dari ruangan kerja Tauke.
“Biarkan aku yang memikirkan siapa harus jadi siapa di rumah ini, Kopong. Itu bukan tugas kau.” Tauke berseru ketus kepada Kopong.
Tapi Kopong tidak menyerah, dia memberikan jalan tengah.
“Tauke, aku minta maaf jika ini berbeda pendapat, tapi anak itu menginginkan menjadi seperti Basyir, seperti pemuda-pemuda lain, seperti Bapaknya dulu. Sepanjang siang, anak itu tetap akan sekolah, Tauke. Malamnya, biarkan aku yang mengajarinya menjadi tukang pukul. Kita buat perjanjian kepadanya, jika nilai-nilainya bagus, dia boleh terus berlatih denganku. Itu akan membuatnya semangat sekolah, tidak merasa terpaksa.”
“Enak sekali kau bilang begitu. Aku sudah berjanji kepada Bapaknya, anak itu tidak boleh terluka. Mamaknya akan marah.” Tauke melotot.
Kopong menggeleng, “Berlatih menjadi tukang pukul, justeru akan membuatnya terjaga dari luka di masa depan, Tauke. Tadi malam kita melihatnya sendiri, anak itu berbeda, dia berkelahi menggunakan otaknya, menggunakan apapun yang ada di sekitarnya. Frans si Amerika akan melatih kepalanya, aku akan melatih fisiknya. Kita mendapatkan dua-duanya.”
Tauke Besar terdiam sebentar, menatap Kopong.
“Ini hanya usul sederhana, Tauke. Aku harap Tauke memikirkannya. Apapun keputusan Tauke adalah perintah bagiku.” Kopong mengangguk, undur diri.
Dua hari kemudian, pukul tujuh, aku dijemput Kopong di mess sayap kanan. Wajah sangarnya tetap saja terlihat sangar meski sedang tersenyum, menepuk bahuku.
“Kau sudah siap, Bujang?”
Aku mengangguk. Aku sudah siap sejak tadi siang, ketika pelayan memberitahu aku boleh berlatih bersama Kopong. Malam itu, resmi sudah latihanku menjadi tukang pukul Keluarga Tong.
Mengendarai sendiri mobil jeep, Kopong membawaku pergi ke lokasi amok. Aku segera tahu, kalau bangunan dengan kontainer bertumpuk itu memang tempat berlatih tukang pukul. Di pojok bangunan, dengan luas ruangan delapan kali delapan meter, terdapat banyak peralatan berlatih. Hampir setiap sore ruangan itu dipenuhi tukang pukul, hingga gelap tiba, mereka baru kembali ke benteng.
Wajah sangar Kopong terlihat semakin sangar saat dia mulai melatihku. Dia tidak mengajakku berlatih di dalam ruangan, kami berlatih di pantai. Dia menyalakan dua api unggun kecil dari pelepah kering pohon nyiur, dengan jarak lima ratus meter satu sama lain, kemudian menyuruhku lari bolak-balik dari dua titik api unggun itu. 
Dua jam berlalu, hanya itu yang kulakukan, lari di atas pantai.
“Lebih cepat, Bujang!” Kopong berseru setiap kali aku tiba di titik api unggun tempatnya berdiri, bersidekap mengamatiku.
Aku mengangguk, nafasku menderu. 
“Lebih cepat, Bujang! Bahkan kerbau bisa menyusul lari kau.” Kopong membentak gemas saat aku tiba lagi di titik api unggun tempatnya berdiri.
Pakaianku basah kuyup oleh keringat. Entah sudah berapa kali aku bolak-balik lari, dan entah kapan latihan lari ini selesai. Setiap kali aku mempercepat langkah kakiku, Kopong terus mendesakku lari lebih kencang. Kakiku seperti mati rasa saat api unggun padam dengan sendirinya.
“Cukup latihan malam ini, Bujang.” Kopong berseru, dia melangkah santai menuju mobil jeep.
Aku tertunduk, memegangi pinggang. Nafasku tersengal. 
“Kau ingin pulang atau bermalam di pantai, Bujang? Aku tidak punya waktu menunggu.” Kopong meneriakiku dari kejauhan.
Aku mengangguk, bergegas menuju mobil jeep.

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar