Jumat, 11 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

BAB 6. Patung Naga Emas Part 2

Sama seperti dua puluh tahun lalu. Malam saat aku protes ingin berhenti sekolah. Hampir semua mobil yang ada di benteng rumah Keluarga Tong berangkat. Juga hampir seluruh tukang pukul ikut serta. Aku duduk di mobil jeep terdepan, di sebelah Tauke. Dia tidak banyak bicara, wajahnya masih masam sejak percakapan tadi siang. Tauke hanya sesekali bicara dengan Kopong, yang juga satu mobil, membahas pekerjaan yang dia berikan.
Tere Liye : Pulang

Konvoi mobil tidak jauh, dua puluh menit, kami tiba di komplek gudang besar, penuh dengan kontainer, bertumpuk. Pukul sepuluh, bangunan yang menghadap pantai itu, sepi, gelap, tidak ada aktivitas di sana, hanya kerlap-kerlip lampu perahu nelayan yang terlihat di kejauhan laut. Mobil-mobil kami tidak diparkir di halaman bangunan, melainkan terus maju, parkir di tepi pantai, penumpangnya berlompatan.
Beberapa pemuda meletakkan potongan kayu besar di pantai, gerakan mereka gesit, mereka sudah menyiapkan semuanya sejak dari rumah. Salah-satu menyiram tumpukan kayu dengan bensin, kemudian memantiknya. Nyala api segera membumbung tinggi, membuat terang wajah-wajah kami. Semua orang tanpa disuruh berkumpul, berdiri mengelilingi api unggun, membentuk lingkaran. Wajah mereka semangat, seperti menunggu kabar gembira.
Tauke Besar melangkah ke tengah lingkaran. 
Kopong menyikut lenganku, menyuruhku menyusul Tauke.
Aku menelan ludah. Aku disuruh maju? Apa yang akan terjadi? 
Ada apa denganku?
“Kau maju sana, Bujang! Jangan banyak tanya.” Kopong mendelik.
“Sudah lama sekali.” Tauke mengangkat tangannya, berseru saat aku sudah berdiri di sebelah
Semua tukang pukul memperhatikan seksama, wajah-wajah antusias. Beberapa bahkan sudah berseru-seru mengepalkan tangan.
“Sudah lama sekali kita tidak melakukan tradisi ini. Terakhir adalah lima tahun lalu, saat aku memilih Kopong menjadi kepala tukang pukul. Malam ini, kita akan kembali melakukannya. Tradisi paling tua di keluarga kita. Anak-anak sekalian, malam ini, kupersembahkan kepada kalian, Amoookkk!!” Tauke Besar berteriak kencang, tangannya teracung tinggi.
Seketika lingkaran api unggun buncah oleh teriakan lain.
“AMOOOKKK!!” 
Aku menelan ludah. Tidak mengerti.
Angin laut bertiup, membuat nyala api unggun meliuk-liuk. Pelepah pohon nyiur berkelapakan. Tidak ada yang peduli udara dingin, semua orang berseru-seru seperti menyambut pesta. Mulai melepas sepatu. Melemparkan senjata tajam ke belakang, menggulung lengan baju.
“Kau sendiri yang memintanya, Bujang. Sayang sekali, bahkan lukamu baru saja sembuh. Tapi demi kau, akan kuberikan sesuatu yang spesial. Aku telah berjanji pada Syahdan, kau akan selalu diistimewakan.”
Tauke Besar masih menatapku dengan wajah masam, menjelaskan, “Kau berdiri di tengah lingkaran, Bujang. Sendirian. Enam puluh tukang pukul lain akan menyerangmu. Mereka maju sendiri, berdua, bertiga, terserah mereka. Tidak ada peraturannya. Bahkan kalaupun mereka serempak menyerangmu, itu menjadi masalah kau. Tidak ada yang akan menolongmu. Perkelahian tangan kosong. Hanya boleh menggunakan apapun yang tersedia di arena perkelahian, di dalam lingkaran. Kita lihat akan seberapa lama kau bertahan.”
Nafasku mulai kencang, detak jantungku mulai cepat. Aku paham sekarang apa maksud kata “amok” tadi. Perkelahian bebas.
“Syahdan bisa melakukannya selama enam puluh menit, saat dia terpilih menjadi kepala tukang pukul Ayahku dulu. Kopong, bertahan empat puluh menit, saat dia menjadi kepala tukang pukulku. Mari kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan. Jika kau bisa berdiri di atas pasir selama dua puluh menit, cukup dua puluh menit, aku akan menuruti kemauanmu, kita bakar buku-buku itu, lupakan ide Frans si Amerika dan seluruh kejeniusan yang kau miliki. Aku akan membiarkan kau menjadi tukang pukul. Kau akan belajar dengan Kopong.”
Nafasku semakin menderu. Mulai bisa merasakan antusiasme. Menatap wajah-wajah di sekelilingku yang sudah tidak sabaran menyerbu. Ini seperti pesta perkelahian bagi mereka, dan aku adalah samsak sasarannya. 
“Apakah kau takut, Bujang.” Tauke Besar bertanya.
Aku menggeleng cepat. Aku tidak takut. 
“Kau sudah siap?”
Rahangku mengeras. Siap atau tidak siap, tukang pukul lain tetap akan menyerangku.
Saat itu, usiaku baru lima belas tahun. Tapi fisikku tidak lagi remaja, aku bahkan sudah lebih tinggi dibanding Tauke. Akan kutunjukkan jika aku layak menjadi seorang tukang pukul. Tauke kembali ke tepi lingkaran, masih menatapku masam.
“AMOOOK!!” Tauker mengacungkan tangannya, pertanda ritual dimulai.
Belum habis kalimat Tauke, dua orang tukang pukul loncat masuk kedalam lingkaran, buas memburuku. Mereka menyerangku dengan tangan kosong. Aku sudah siap. Bergerak cepat menepis salah-satu tinju mereka, menghindar berkelit ke kanan untuk tinju lainnya, lantas balas memukul, telak menghantam dadanya, satu orang terjatuh. 
Tukang pukul di sekitar api unggun berseru-seru melihatnya. Suasana malam semakin ramai.
Aku lompat menghindar lagi saat lawan mencoba menebas kakiku, kemudian masih dalam posisi di udara, aku menendang punggungnya. Gerakan yang cepat dan mantap. Satu lagi terjatuh. Nafasku menderu, dua orang berhasil kukalahkan, tapi sial, belum sempat memasang kuda-kuda mantap, dari lingkaran maju lagi dua orang, berteriak menyerangku.
Satu tinju menghantam perutku. Lingkaran bersorak-sorai melihatnya. Aku mengaduh, bukan karena sakit, tapi karena terkejut, menyusul bahuku terkena pukulan kedua, telak. Tapi aku tidak terjatuh, badan ku hanya goyang, mundur dua langkah ke belakang, untuk balas menyerang dengan cepat. Mengirim dua pukulan yang membuat penyerangku tersungkur.
Peraturan Amok ini sederhana. Bagi penyerang, sekali dia jatuh di atas pasir, selesai. Tidak boleh menyerang lagi. Dan lebih sederhana lagi bagiku, sekali aku terjatuh, selesai sudah semuanya.
Lima menit berlalu cepat. Aku terus bertahan dari gelombang serbuan tukang pukul. Keringat deras mengucur di pelipis, leher. Bajuku basah kuyup. Wajahku memar di banyak tempat. Sudah sebelas orang tukang pukul yang berhasil kujatuhkan, tapi mereka juga berhasil memukulku di banyak tempat. Semakin lama, tukang pukul yang maju semakin tangguh, semakin sulit dikalahkan.
Kali berikutnya, empat orang buas mengejarku, aku terdesak lagi, mengangkat kedua tangan, berusaha melindungi tubuhku dari pukulan. Mereka tidak mengenal ampun, berseru-seru, terus melancarkan serangan. Lingkaran arena perkelahian ini menyebalkan sekali, membuatku tidak leluasa. Jika ini perkelahian di ruangan terbuka, aku bisa mencuri waktu dengan berlari kesana-kemari, kemudian menyerang balik. Sebaliknya, dengan lingkaran tukang pukul, setiap kali aku tiba di tepi, tukang pukul lain bergegas mendorongku agar kembali ke tengah sambil berteriak-teriak membentakku.
Aku semakin terdesak. Satu tinju menghantam perutku, lolos dari tangkisan. Ayolah, aku mengeluh menahan sakit sambil mengutuk dalam hati, aku hanya butuh celah satu-dua detik, sekali mendapatkannya, aku bisa menyerang balik. Aku harus bertahan dari empat orang ini. 
Sudah berapa lama aku bertahan? Delapan menit? Sepuluh menit? Tidak ada jam. Ini mungkin bahkan belum separuhnya dari syarat yang diminta Tauke Besar, empat orang ini menyulitkanku. Aku terus berpikir cepat, mencari cara mengalahkan tukang pukul yang juga terus menyerang.
Satu tinju kembali mengenai tubuhku, membuatku terhuyung, baiklah, aku akan memanfaatkannya, membuat tubuhku seolah akan jatuh, tanganku meraih segenggam pasir, dengan cepat melemparkan pasir itu ke wajah para penyerangku, kemudian menghentakkan kaki, berdiri, agar aku tidak jatuh sungguhan.
“Curang!!” Seketika terdengar teriakan.
“Curang!!” Tukang pukul yang berdiri di lingkaran berseru-seru, tidak terima
Aku tidak mendengarkan mereka. Aku sudah ganas menyerang empat tukang pukul yang sejenak menyeka wajah mereka, kaget terkena butiran pasir. Celah satu-dua detik yang kubutuhkan. Tinjuku bergerak cepat, dua orang tersungkur jatuh. Dua detik kemudian menyusul sisanya, terbanting di atas pantai. 
“CURANG!”
Apanya yang curang? Aku melotot tidak terima, membalas galak tatapan lingkaran. Wajahku merah padam. Nafasku tersengal, berdiri menyeka peluh di wajah. Tauke Besar sendiri yang bilang, ini perkelahian tangan kosong, dan apapun yang ada di sekitar arena diijinkan untuk digunakan. Aku memanfaatkan pasir, itu strategi yang tiba-tiba kudapatkan. Justeru amok ini adalah kecurangan luar biasa. Mana ada empat lawan satu pantas disebut pertarungan terhormat.
Kopong mengangkat tangannya, menyuruh lingkaran diam. Kopong menggeleng, itu bukan curang, menyuruh yang lain berhenti protes, segera menyerang.
Setelah kejadian lemparan pasir itu, amok benar-benar berubah menjadi ajang perkelahian massal. Entah siapa yang mengomando, belasan orang segera memburuku dengan marah. Mereka datang dari depan, belakang, kanan, kiri, seperti air bah yang menjebol bendungan. Aku sudah lupa berapa banyak pukulan yang mengenai tubuhku. Berapa banyak tukang pukul yang tersungkur oleh tangan dan kakiku. Aku berlari kesana-kemari, bertahan habis-habisan, berteriak kencang, mengamuk seperti benteng terluka. Aku bahkan lompat meraih potongan kayu bakar api unggun, menggunakannya sebagai senjata. Nyala api menyambar-nyambar, membuat mereka mundur. Aku mengejarnya, membuat lingkaran tercerai-berai. Itu membuatku bertahan lima menit lagi.
“Anak ini menakutkan, Tauke.” Kopong berbisik, dia menonton di sebelah Tauke.
“Aku tahu. Tapi anak buahmu harus bisa menjatuhkannya sebelum dua puluh menit, Kopong.” Tauke menggeram, “Atau aku terpaksa memenuhi janjiku.”
Entah berapa lama aku bertahan, adalah Basyir yang akhirnya membuatku terjatuh. Saat nafasku semakin tersengal, tubuhku sakit dan letih, sudah tiba di ujung daya tahannya, peluh membanjiri pakaianku, Basyir berhasil meninju daguku, tanganku yang memegang kayu menyala terjatuh, aku terpental dua langkah, dan saat kakiku belum mantap berdiri, Basyir menendangnya, membuatku kehilangan keseimbangan. Badanku berdebam mengenai pasir pantai.
Selesai sudah amok itu.
Menyisakan puluhan tukang pukul yang bergelung kesakitan, api unggun yang porak poranda, bara api di mana-mana, radius dua puluh meter pantai terlihat acak-acakan. 
Tauke Besar melangkah mendekatiku, diiringi Kopong.
“Kau baik-baik saja?” Tauke membalik badanku.
Aku mengangguk, tergeletak menatap langit gelap.
“Sayang sekali, kau gagal, Bujang.” Tauke membantuku duduk.
Aku masih tersengal, berusaha bernafas lebih baik.
“Sembilan belas menit. Kau harus sekolah.”
Aku tertunduk, menatap nanar hamparan pasir. Tidak bisa berkata apapun lagi. Aku jelas telah kalah, aku tidak bisa protes. Mengusap rambutku yang dipenuhi pasir. 
Tapi tukang pukul tetap merayakan ‘kemenanganku’. Tiba di benteng Keluarga Tong, Kopong mengajak semua berkumpul di mess belakang, meja-meja panjang dipenuhi minuman. Tuak, sake, bir dibagikan. Mereka berseru-seru riang, menepuk-nepuk bahuku, mengacak-acak rambutku.
“Kau memberikan kesenangan luar biasa tadi, Bujang.” Kopong mengangkat botol birnya, “Kau adalah mangsa yang berbalik menjadi pemburu.”
Tukang pukul mengangguk. Berseru-seru.
“Mari bersulang untuk, Bujang. Pertama, untuk pertarungannya malam ini. Dia sudah memberikan yang terbaik. Sudah bertahan sembilan belas menit.”
Tangan-tangan memegang gelas dan botol terangkat.
“Kedua, mari kita bersulang karena mulai besok Bujang harus sekolah. Memukuli kertas dengan pulpennya.” Kopong tertawa, bergurau.
Ruangan lantai bawah itu dipenuhi gelak tawa. Aku menyeringai, duduk di bangku sambil meringis menahan sakit. Tubuhku remuk, penuh lebam biru.
“Maaf aku harus memukulmu tadi, Bujang.” Basir menyerahkan botol minuman, duduk di dekatku, sekitar kami sudah mulai berpesta.
Aku menggeleng. Menolak botol minuman.
“Eh, kau marah padaku?” Bujang tidak mengerti, tangannya masih terjulur, “Itu tadi hanya tradisi keluarga, Bujang. Tidak boleh dimasukkan ke dalam hati.”
Aku menggeleng, “Aku tidak marah soal itu. Aku tidak bisa minum bir.”
Bujang menatapku heran.
“Apa kau bilang? Kau tidak minum bir?”
Aku mengangguk.
“Astaga? Ini Keluarga Tong, Bujang. Semua halal di sini. Ada yang makan babi, ular, anjing. Ada yang minum bir, tuak, sake. Tidak ada agama di sini. Persetan dengan haram dan larangan lainnya. Tidak akan ada petir yang menyambar kepalamu gara-gara sebotol bir. Ayolah, habiskan minuman ini.”
Aku menggeleng, kali ini dengan tegas.
Bujang terdiam beberapa detik, akhirnya tertawa, loncat ke atas kursi, berdiri, dia berteriak, “Hei, hei! Lihat, Bujang yang besok mulai sekolah, ternyata juga tidak mau minum bir. Dia sepertinya takut mabuk ketahuan guru sekolahnya.”
Ruangan itu dipenuhi tawa lagi.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar