Sabtu, 05 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 1 Si Babi Hutan (part 2)

Anjing pemburu kembali menyalak bersahutan setelah kami berjalan setengah jam masuk hutan. Penciuman mereka yang tajam langsung tahu di mana babi-babi itu berada. Rombongan dipecah tiga, sesuai jumlah anjing. Aku ikut orang bemata sipit, teman lama Bapak, bersama dua pemburu bersenjata api, dan tiga pemuda kampung.
Ini mengasyikkan sekali. Atmosfer perburuan segera terasa. Langit-langit rimba Sumatera terasa lembab. Kami berlarian mengikuti gerakan anjing, menyibak semak, melompati sungai kecil, batang kayu melintang, meniti tubir lembah, mendaki, meluncur. Kemanapun anjing itu berlari, kami ikut berlari di belakangnya. Bapakku bergurau saat bilang aku tidak pernah sendirian masuk ke hutan, aku mengenal hutan ini. Jika Mamakku tidak tahu, aku sering sembunyi-sembunyi pergi berkelana di dalam rimba. Kadang sendirian, kadang bersama anak-anak talang lainnya. Tubuhku melesat lincah, tidak kalah dengan pemburu lain.
Tere Liye : Pulang

Lima belas menit sejak rombongan berpisah menjadi tiga, anjing kami mulai menyalak berbeda, tanda dia telah menemukan mangsa. Benar saja, satu menit kemudian, dua ekor babi terlihat di atas lereng, masih empat puluh meter lagi dari kami. Babi-babi itu menguik, menyadari bahaya mengancam, segera lari lintang-pukang. 
“Dua orang bergerak ke kanan! Sisanya ikut denganku ke kiri.” Orang bermata sipit menyuruh dua pemburu dan tiga pemuda talang berpencar, “Kepung babi-babi itu. Jangan biarkan lolos.”
Kami segera mengejar. Mendaki lereng bukit. Lima menit dengan nafas tersengal kami berhasil membuat babi itu tersudut. Suara senapan meletus, susul-menyusul, dua babi itu akhirnya terkapar di lantai hutan. Darah merah membuat basah dedaunan kering. Kami beranjak mendekat, menatap dua ekor babi itu. Tidak besar, paling seberat delapan puluh kilogram.
“Selamat, Bujang. Ini babi buruan pertama kita.” Tauke Muda menepuk pundakku.
Aku mengangguk.
“Kita bergerak lagi!” Tauke Muda berseru ke pemburu dan pemuda talang.
Hanya sebentar kami memeriksa, lantas meninggalkan begitu saja dua babi itu, segera mencari buruan berikutnya. Anjing menyalak tidak sabaran, rantainya kembali dilepas, kaki-kakinya melesat berlarian di antara rapatnya pepohonan.
Waktu berjalan cepat, tidak terasa. Dua jam berburu, sudah enam belas babi terkapar. Lima belas diantaranya ditembak mati, satu lainnya terkena tombak pemuda talang. Kami terus bergerak, efisien dan tidak ampun. Babi-babi ini tidak punya kesempatan untuk menghindar, apalagi melawan. Pemburu ini menghabisi apapun babi yang terlihat, termasuk yang masih kecil, menguik tidak berdaya. 
Menjelang petang, hujan turun. Rombongan berhenti, pemburu membuka ransel.
“Kau kenakan jaket hujan ini, Bujang.” Tauke Muda melemparkan jaket gelap.
Aku mengangguk.
“Kau sepertinya pendiam sekali, Bujang. Tidak pernah kulihat kau bicara sejak tadi. Bahkan tersenyum pun tidak.” Tauke Muda menatapku.
Aku tidak berkomentar,mengenakan jaket hujan.
Kami segera melanjutkan perburuan. Empat babi hutan berikutnya menyusul terkapar, ukurannya semakin besar. Matahari akhirnya terbenam di kaki langit sana, hutan gelap. Para pemburu mengeluarkan senter, memasangnya di kepala, cahaya menyambar kesana-kemari di antara pepohonan. Hujan turun semakin deras, meski dengan jaket hujan sekalipun aku tetap basah kuyup.
Aku tidak tahu apa kabar dua rombongan lain, mungkin mereka juga sudah menembak banyak babi. Kami terus bergerak masuk ke dalam rimba. Pohon semakin besar dan tinggi. Lumut menumpuk, pakis dan perdu berukuran raksasa membuat gerakan terhambat. Aku tidak tahu hingga kapan perburuan ini akan berakhir. Kami sempat istirahat sekitar pukul tujuh malam, menghabiskan makanan yang dibawa. Tauke Muda melemparkan sebungkus roti—aku belum pernah melihatnya. Juga minuman kaleng. Pastilah makanan dari kota. Kami duduk berteduh di bawah pohon dengan daun sebesar nampan.
“Apakah Bapak kau pernah cerita tentangku, Bujang?” Tauke Muda bertanya.
Aku menggeleng, mengunyah rotiku.
“Ah, tidak tahu diuntung Syahdan itu.” Tauke Muda menyeringai, “Aku pernah menyelamatkannya, dia berhutang nyawa. Dan sebagai balasannya? Bahkan ke anaknya sendiri dia tidak pernah bercerita tentang aku, saudara angkatnya.”
Aku diam. Saudara angkat? Aku baru tahu Bapak punya saudara angkat.
“Iya, kami saudara angkat. Aku tidak bergurau.” Tauke Muda tertawa, “Tapi apa yang kulakukan untuk Bapakmu tidak seberapa, Bujang. Karena apa yang Bapak kau lakukan untukku jauh lebih besar. Dia menyelamatkan keluargaku berkali-kali. Dia sangat diandalkan Tauke Besar, ayahku. Tidak ada pekerjaan yang tidak tuntas jika diberikan kepada Syahdan. Anak buah kesayangannya. Orang tua itu meneteskan air mata saat Bapak kau memutuskan berhenti lima belas tahun lalu.” 
Aku mendengarkan cerita dengan air hujan menerpa wajah. Pemburu lain sibuk bicara atau memeriksa senjata api, tidak memperhatikan percakapan kami.
“Itu hari yang sangat sulit. Tidak ada yang pernah diijinkan pergi dari keluarga. Hanya ada satu pilihan jika kau ingin keluar, mati. Tapi Bapak kau pengecualian. Dia diijinkan pergi oleh Tauke Besar, untuk memulai hidup baru. Bertahun-tahun kami tidak mendengar kabarnya, bahkan saat Tauke Besar meninggal, Bapak kau tidak kelihatan batang hidungnya, sungguh terlalu, Syahdan tidak melayat. Hingga sebulan lalu sepucuk surat tiba, tidak percaya aku membacanya.”
Aku mendengarkan cerita tanpa menyela. Petir menyambar membuat terang sekitar.
“Baiklah, makanan kita sudah habis. Cerita lama ini harus dihentikan, Bujang. Saatnya kembali berburu. Masih empat jam lagi sebelum tengah malam, saat kita kembali ke perkampungan.”
Tauke Muda berdiri, menepuk-nepuk tangannya. Aku mengeluh kecewa. Aku ingin mendengar lebih banyak lagi, tapi istirahat kami sudah selesai. Tauke berseru kepada salah-satu pemburunya, meminta senjata api miliknya. Tiga pemuda talang juga berdiri, meraih tombak. 
Rantai anjing pemburu kembali dilepas. Anjing-anjing itu segera menyalak kencang, menerobos hujan deras dan rimba gelap. Aku meraih tombakku, menyusul berlari di belakang.
Aku tidak pernah tahu cerita tentang masa muda Bapak. Misteri. Hanya pernah satu atau dua kali Mamak yang bercerita. Sambil tersenyum, mengenang masa lalu mereka. Menurut kisah Mamak, mereka berdua teman satu kampung. Bukan kampung ini, melainkan ratusan kilometer sana, lebih ramai, tepatnya ibukota kecamatan. Mereka saling suka sejak remaja. Sayang, saat usia Bapak dan Mamak dua puluh tahun, rencana mereka ditolak mentah-mentah keluarga Mamak. Cinta mereka kandas, Bapak pergi, menghilang bagai ditelan bumi. Setahun kemudian, Mamak menikah dengan laki-laki pilihan keluarganya.
Tapi jodoh adalah jodoh. Lima belas tahun berlalu, saat usia Bapak sudah tiga puluhan, dia tiba-tiba kembali ke kampung. Mamak juga sudah bercerai, pernikahannya tidak bertahan lama. Setelah bertemu kembali, mereka mengambil keputusan berani, menikah. Mamak terusir dari keluarganya, Bapak mengajaknya pindah ke talang ini, menjadi petani. Waktu itu, satu kaki Bapak sudah lumpuh, dia mengenakan tongkat. Tidak ada yang tahu apa yang dikerjakan Bapak selama menghilang—mungkin hanya Mamak yang tahu. Seluruh masa lalu itu ditutup, mereka memulai kehidupan baru. Kemudian aku lahir. Mereka berdua hidup dengan segala keterbatasan. Mamak telaten membantu mengurus ladang, juga merawat Bapak yang sering sakit-sakitan. Hanya itu saja yang aku tahu. 
Anjing di depan berhenti berlari. Entah apa pasalnya, salakannya yang kencang, tiba-tiba mengendur. Rombongan pemburu tertahan. Saling toleh, ada apa?
Tauke Muda mengangkat tangan, menyuruh yang lain bergerak lebih lambat. Ada sesuatu di depan sana, yang membuat anjing berubah. Kami sudah masuk dalam sekali ke rimba bukit barisan, mengejar babi-babi hingga ke sarang utamanya. Ini hutan paling lebat, pasti ada sesuatu di depan sana. Aku bergerak di belakang rombongan, sejak tadi aku hanya menonton. Aku ingin sekali ikut menombak babi-babi itu, tapi Mamak sudah berpesan.
Anjing pemburu akhirnya berhenti, menatap ke depan, menyalak pelan. Kami sudah dekat. Di depan sana, akhirnya terlihat apa yang membuat anjing kami gentar, empat ekor babi hutan jantan keluar dari belukar. Ukurannya besar, tidak kurang 250 kilogram, mungkin dua kali lebih besar dibanding babi-babi sebelumnya yang kami tembak, tingginya seperti anak sapi, taringnya berkilauan tertimpa lampu senter. Empat babi itu mendengus buas, tidak lari seperti yang lain, babi-babi itu maju menyongsong kami, itulah yang membuat anjing pemburu berhenti. 
“Habisi babi-babi itu!” Tauke Muda berteriak, tidak peduli.
Senapan menyalak, memuntahkan peluru. 
Astaga! Empat babi itu melompat gesit, menghindar, sekaligus mulai menyerang rombongan. Cepat dan buas. Satu babi berhasil menyeruduk salah-satu pemuda talang, nasibnya malang, pemuda itu terpental, tombak di tangannya terlepas.
Aku tidak pernah tahu jika babi bisa sebuas ini. Babi-babi ini jelas bukan babi biasa, kami sudah masuk ke teritori ring pertama hewan ini, mungkin empat babi ini adalah pejantan paling besar yang melindungi kawanan. Atau mungkin pula babi-babi ini adalah penjaga jantung rimba. Apapun itu, empat babi ini terlihat marah.
Senapan kembali menyalak, gerakan empat babi terhenti sedetik, untuk kemudian menyeruduk lebih ganas. Dalam perkelahian jarak dekat, senapan-senapan percuma. Dua tembakan pemburu meleset. Hanya tembakan Tauke Muda yang kena, tepat di kepala, satu ekor babi terbanting. Dua pemuda talang menghunuskan tombak, menyambut sisanya. Aku sejak tadi sudah menggenggam erat tombakku, tidak tahan ingin lompat ke depan.
Tiga babi jantan menyeruduk kencang, dua tombak yang tertancap di tubuhnya patah, dua pemuda talang terserat, kemudian terbanting jatuh. Tombak tidak menahan lajunya, seekor babi bahkan mendengus buas, masih dengan potongan tombak di tubuh, lompat menerkam, mencabik lengan salah-satu pemburu. Taringnya yang tajam bersimbah darah. Terdengar suara ngeri dari pemburu itu. Tubuhnya ditindih, babi itu lebih besar dibanding pemburu.
Suara letusan kembali terdengar, tembakan Tauke Muda menghentikan gerakan babi itu sebelum moncongnya berhasil memutus lengan pemburu, jitu di kepala. 
Melihat dua babi lain tumbang, dua babi tersisa menguik ganas, menyeruduk apa saja yang ada di depan, membuat dahan pohon patah, belukar rebah-jimpah. Pemburu terakhir terjatuh, tersangkut patahan kayu, senapannya terlepas. Seekor babi terluka langsung mengejarnya. Aku kali ini sudah tidak tahan, aku memutuskan lompat ke depan, tubuhku berlutut di dasar hutan, sebelum babi itu menerkam wajah pemburu, tanganku bergerak mantap dan cepat, tongkatku berhasil menusuk moncongnya, tembus hingga ke belakang. Babi itu langsung tewas seketika, tubuhnya terbanting. Aku melepaskan tombak, agar tidak ikut terpelanting.
Sementara di sebelahku, babi yang lain lompat ke arah Tauke Muda, sebelum Tauke sempat mengisi peluru. Aku mengeluh, Tauke dalam posisi bahaya. Tidak ada yang bisa menolongnya. Tapi sebelum babi itu berhasil menyeruduk Tauke, anjing kami lebih dulu menerkamnya. Babi besar menggerung marah, gerakannya terhenti, dia menyeruduk anjing itu, terpental dua meter, seperti melempar boneka. Dalam sekejap, babi itu kembali lompat ke arah Tauke Muda. 
Tapi kali ini, Tauke Muda sudah siap, serangan anjing memberinya waktu yang sangat berharga, senapannya telah terisi, dia menarik pelatuk, terdengar letusan kencang, peluru mengenai pelipis, babi itu tersungkur satu meter dari Tauke Muda. Gerakan melompatnya terhenti, jatuh berdebam di dasar hutan. Babi terakhir berhasil dikalahkan.
Hujan deras membuat darah mengalir kemana-mana. Lampu senter yang dikenakan pemburu padam sejak tadi. Hanya sesekali cahaya petir menunjukkan bekas pertempuran. Semak-belukar tercerabut. Batang dan dahan kayu patah. Aku tersengal, mencabut tombakku dari kepala babi.
Tauke Muda beranjak berdiri, dia tidak apa-apa. Segera mengisi senapannya, berjaga-jaga jika babi-babi ini bangkit kembali. 
“Babi sialan.” Tauke Muda mendengus, menendang salah-satu di antaranya.
Tauke Muda menoleh padaku, “Kau baik-baik saja, Bujang?”
Aku mengangguk. Nafasku sudah kembali normal.
Tauke Muda segera memeriksa dua anak buahnya. Dua pemburu itu bisa beranjak duduk, dengan lengan dan betis terluka parah. Yang mengenaskan pemuda talang, salah-satu dari mereka entah pingsan atau meninggal, dua pemuda talang lain berusaha mengurusnya dengan kondisi badan yang juga tidak lebih baik. 
“Aku belum pernah melihat babi sebesar ini.” Tauke Muda menginjak badan babi yang tergeletak mati, “Mereka pastilah pejantan paling besar.”
Aku menyeka dahi, peluhku bercampur air hujan. Apa yang harus kami lakukan sekarang? Kami tidak bisa melanjutkan perburuan. Rombongan kami justeru butuh pertolongan segera.
Tauke Muda meraih ransel yang terserak, mengeluarkan pistol suar, menembakkanya ke langit-langit hutan. Selarik cahaya melesat tinggi, melewati dahan-dahan pohon, kemudian meledak di atas sana, membuat terang. Seperti letusan kembang api. Siapapun yang mendongak ke atas lereng, pastilah melihat kilau cahaya.
“Yang lain akan menemukan kita. Jangan cemas, Bujang.” Tauke kembali mengisi pistol suar.
Aku mengangguk. Aku belum pernah melihat alat itu, tapi aku tahu itu sepertinya sebagai penanda, untuk memberitahu rombongan lain jika kami butuh bantuan segera.
Hanya saja, masalah serius kami bukanlah empat babi jantan ini, atau bantuan medis untuk dua pemburu dan pemuda talang. Entah apa sebabnya, satu menit berlalu, saat Tauke Muda bersiap menembakkan suar untuk kedua kalinya, tiba-tiba derik serangga terhenti. Hutan mendadak hening, hewan-hewan seolah menyingkir, hanya menyisakan suara hujan lebat.
Instingku segera memberitahu ada sesuatu. Bahaya yang sangat mengerikan. Aku mencengkeram erat tombakku. Tauke Muda menoleh, dia meletakkan pistol suar, mengambil senapannya. Langit-langit hutan terasa pengap oleh suasana tegang. Dua pemburu bersandar di pohon, saling tatap, baju mereka basah oleh darah. Dua pemuda talang masih terduduk di sudut satunya, menarik tubuh rekannya yang sudah siuman bersandar. 
Saat itulah, saat kami bertanya-tanya apa yang terjadi, dari balik belukar rimba, muncullah seekor babi jantan berukuran raksasa. Beratnya tidak kurang dari lima ratus kilogram, tubuhnya dua kali lebih besar dibanding empat babi jantan sebelumnya, tingginya hampir seperti seekor sapi dewasa. Babi itu tidak menguik atau mendengus, tapi menggerung seperti seekor srigala buas. Matanya merah saat ditimpa cahaya petir, taringnya panjang, bulunya berdiri seperti surai harimau. 
Tauke Muda menelan ludah, senapannya terangkat. Bersiap.
Nafasku tersengal. Aku berdiri membeku di samping Tauke Muda. Aku tidak pernah membayangkan akan ada babi sebesar ini di rimba Sumatera, dan hewan itu sedang menatap kami buas. Inilah babi terbesar di hutan lereng bukit barisan. Pemimpin seluruh kawanan. Kami persis berada di jantung teritori kekuasannya.
Susana semakin tegang. Hanya soal waktu babi ini akan menyerang. Salah-satu pemburu sudah terkencing-kencing karena takut. Pemuda talang gemetar, mencengkeram baju. Anjing kami meringkuk ketakutan. Aku belum pernah menatap hewan semengerikan ini.
Tauke Muda menahan nafas. Menunggu.
Persis petir menyambar sekali lagi, babi besar itu akhirnya lompat ke depan, menyeruduk. Tauke Muda segera menarik pelatuk senapan. Suara meletus terdengar. Sial! Babi itu bergerak menghindar dengan mudah, membuat peluru mengenai udara kosong. Dan sebelum sempat menyadarinya, tubuh Tauke Muda di sebelahku sudah terpental dua meter.
Babi itu menggerung, menghentikan gerakannya, seperti menghina Tauke Muda yang begitu mudah dia kalahkan. Kemudian bergerak perlahan di depanku, aku bisa mencium bau busuk tubuhnya dari jarak dua meter. Juga melihat moncongnya yang dipenuhi lendir. Babi itu kembali mengambil posisi menyerang di tengah medan pertempuran, gerakannya terhenti, menatapku dengan mata merahnya. 
Aku menggigit bibir. Aku benar-benar sudah melupakan pesan Mamak.
Malam itu, di tengah hujan deras, di tengah rimba lebat lereng bukit barisan, hanya aku yang tersisa dan masih sehat berdiri, menghalangi pimpinan kawanan babi menghabisi semuanya. 
Aku mencengkeram tombak pemberian Bapak, berdiri dengan kaki kokoh, menatap ke depan, bersitatap dengan monster mengerikan itu. Aku tidak punya pilihan, lari sia-sia, gerakan babi ini cepat sekali. Aku juga tidak akan meninggalkan begitu saja yang lain dalam keadaan terluka, maka jika aku harus mati, aku akan memberikan perlawanan terbaik. 
Malam itu, usiaku memang baru lima belas, tapi fisikku tinggi besar seperti seorang pemuda. Usiaku memang masih anak-anak, tapi di darahku mengalir pekat keturunan seorang jagal paling mahsyur seluruh pulau Sumatera. Bapakku belum bercerita, tapi besok-lusa aku akhirnya tahu legenda hebat itu. Adalah kakekku jagal mahsyur itu. Bisikkan nama kakekku satu kali di lepau tuak, maka satu kota akan memadamkan lampu karena gentar. Sebutkan nama kakekku satu kali di balai bambu, maka satu kota bergegas mengunci jendela dan pintu, meringkuk takut di dalam kamar.
Malam itu, dadaku telah dibelah, rasa takut telah dikeluarkan dari sana. 
Aku tidak takut. 
Aku bersiap melakukan pertarungan hebat yang akan dikenang. Hari saat aku menyadari warisan leluhurku yang menakjubkan, bahwa aku tidak mengenal lagi definisi rasa takut. 
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar