Rabu, 30 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 18. Part 1: Pengkhianatan Bag. 2

Joni mengambil pedang untukku, melemparkannya. Dia juga mengeluarkan dua pistol dari kotak senjata yang ada di kamar. Satu untuk Tauke Besar, yang tetap bersandarkan bantal di atas ranjang. Satu lagi untuk Parwez, yang gemetar memegangnya. Joni sendiri mencabut sepasang trisula dari pinggangnya, bersiap di sebelahku.
“Kau baik-baik saja, Parwez?” Aku berseru, memastikan.
Parwez mengangguk.
“Kau berdiri di dekat Tauke, biar aku dan Joni di depan melindungi. Pastikan kau menembak dengan baik. Jangan ragu-ragu, jangan beri ampun.” Aku menatapnya.
Parwez sekali lagi mengangguk. Wajahnya pucat. Tauke Besar beringsut, memperbaiki posisi sandarannya. 
Tere Liye : Pulang

Aku dan Joni berdiri di tengah ruangan, menatap pintu jati berukiran yang bagian luarnya sudah dilapis oleh pintu besi saat tombol darurat ditekan. Alarm terus melengking di langit-langit kamar. Ini akan segera menjadi pertarungan jarak pendek, strategiku sederhana, aku dan Joni menahan mereka di depan, Tauke di belakang akan membantu dengan pistol.
Hanya soal waktu, Brigade Tong menyerang pintu ini. Basyir sialan, dia lihai sekali menipu semua orang. Berpuluh tahun dia menyusun rencana, menunggu waktu terbaik. Persis aku memaki dalam hati, terdengar suara dentuman kencang di daun pintu. Lantai yang kuinjak bergetar, lampu gantung di bergoyang, juga berjatuhan beberapa pajangan, pecah di lantai. 
“A-pa… Apa yang terjadi?” Parwez bertanya gugup.
“Mereka berusaha menghancurkan pintu!”
Joni menggenggam lebih erat dua trisula. Aku menatap tidak berkedip ke depan. 
Terdengar sekali lagi suara ledakan. Kali ini lebih besar, plafon ruangan retak, juga dinding di sekitar pintu, merekah. Brigade Tong tidak bisa menghancurkan pintu besi, mereka pindah menyasar dinding di sebelahnya, menggunakan pelontar granat. Kaca jendela ikut pecah, membawa kesiur angin dan butir air ke dalam kamar, hujan deras di luar sana.
Ledakan ketiga, akhirnya berhasil membuat dinding setebal dua jengkal itu hancur lebur, batu batanya berhamburan, debu mengepul masuk ke dalam kamar, dan dari lubang di dinding berlompatan anggota Brigade Tong, senjata mereka adalah belati, di kepala mereka terikat kain hitam dengan tulisan Arab, tidak lagi mengenakan simbol Keluarga Tong.
“Pengkhianat!” Joni mendesis, dia sudah mau loncat menyerbu, aku menahan gerakannya. Kami harus tahu situasi dengan baik sebelum menyerang.
Salah-seorang diantara mereka melangkah mendekat, menyibak kepulan debu, dia Letnan pemimpin Brigade Tong, “Menyeralah Si Babi Hutan. Kita tidak perlu bertempur. Kau tahu persis apa yang sedang terjadi.” 
Aku berkata datar, “Lantas apa yang akan kalian lakukan setelah kami menyerah?”
“Basyir menjamin kau dan Parwez tidak akan disakiti. Basyir hanya menginginkan Tauke Besar. Bukan kalian. Menyerahlah, kami sudah menguasai penuh seluruh markas, kalian tidak akan bisa lolos.” Letnan itu menatapku dengan belati tetap teracung, belasan anggota Brigade Tong berdiri di belakangnya, juga siap bertarung. 
“Di mana Basyir, kenapa dia tidak menyampaikan sendiri tawarannya?” 
“Basyir masih dalam perjalanan dari pelabuhan. Seharusnya dia yang memimpin. Tapi kalian sendiri yang memaksa serangan ini dipercepat. Seseorang telah menekan tombol darurat. Menyeralah, Si Babi Hutan, sebelum—”
“Kami tidak akan menyerah, pengkhianat!” Joni membentak, wajahnya merah padam.
Ruangan itu lengang sejenak setelah teriakan Joni, debu terus mengambang di sekitar, bercampur butir air. Suasana tegang sudah tiba di puncaknya. Nafas-nafas menderu dari para penyerang.
“Itu benar, kalian naif sekali jika berharap kami akan menyerah. Basyir hanya berbasa-basi menawarkan hal itu, dia sudah tahu aku akan melindungi Tauke dengan nyawaku.” Aku menatap dingin Letnan Brigade Tong, katanaku terangkat.
“Baik, Si Babi Hutan, kau sendiri yang memutuskan demikian! Serang mereka!” Letnan Brigade Tong berseru, dan persis kalimat itu tiba di ujungnya, belasan anggota Brigade Tong loncat menghunus belati mereka.
Aku dan Joni menyambutnya. 
Pedangku menebas ke depan, satu anggota Brigade tidak sempat menghindar langsung tersambar, Joni maju menusuk, dua trisula di tangannya bergerak mengancam. Pertarungan jarak dekat telah dimulai. Brigade Tong adalah pasukan elit, mereka bertahan dan balas menyerang dengan baik. Aku menghindar, berkelit, menangkis belati-belati yang mengarah padaku, kemudian menyabetkan pedangku. Suara logam beradu terdengar nyaring, juga percik api, keramik berjatuhan, juga pajangan lain, ruangan itu kusut masai oleh pertempuran. Lantai terasa licin, air hujan bercampur dengan debu.
Hujan deras terus menyiram ibukota, udara dingin masuk lewat kaca jendela yang hancur. 
Empat orang anggota Brigade Tong telah mengeroyok Joni, dari depan, belakang, samping, Joni bertahan mati-matian, aku empat langkah darinya, tidak bisa membantu, aku juga harus menghadapi enam anggota Brigade Tong beserta Letnannya. Mereka buas menyerangku tanpa ampun, belati mereka terus mencari sasaran, kehilangan konsentrasi sepersekian detik mahal sekali harganya. Joni semakin terdesak, lengannya terluka, dia berteriak marah.
Dor!
Terdengar suara letusan tembakan, Tauke Besar di belakang menarik pelatuk pistol. Kondisi fisiknya payah tapi dia tetap penembak jitu, satu anggota Brigade Tong yang sedang mengurung Joni tersungkur, sebuah peluru mengenai pelipisnya. Tiga temannya terhenti sebentar gerakannya. Joni tidak menyia-nyiakan celah yang terbuka, trisulanya menyambar kesana-kemari, dua anggota Brigade Tong menyusul terkapar dengan luka di dada. Tauke Besar kembali mengacungkan pistolnya, mencari sasaran. Tidak mudah menembak di antara kepul debu dan gerakan cepat pertarungan. Entahlah dengan Parwez, apakah dia berani menembak, sejak tadi dia gemetar memegang pistol, mungkin lebih baik dia tidak menembak, atau tanpa sengaja malah mengenaiku dan Joni di depan.
Di sebelah, aku terus melayani Letnan Brigade Tong dan pasukannya. Permainan belati mereka mengagumkan, aku harus hati-hati, memasang kuda-kuda yang kokoh, menangkis serangan, berkelit, untuk kemudian menyerang balik. Dua dari anggota Brigade Tong berhasil kujatuhkan, pedangku menyambar tubuh mereka. Jumlah mereka banyak, tapi dalam pertarungan jarak dekat dengan belati, itu tidak selalu sebuah keuntungan. Sama seperti ketika ada sebuah meja kecil yang hendak dipindahkan, dua puluh orang berebut berusaha mengangkatnya, pekerjaan itu bukannya menjadi mudah, meja itu justeru susah dipindahkan. Terlalu banyak orang saling sikut hendak membawa meja, dengan arah masing-masing. 
Sepuluh menit berlalu, aku dan Joni berhasil menahan laju anggota Brigade Tong, mereka mulai terdesak kembali ke lubang di dinding. Enam anggotanya terkapar di lantai, darah mengalir di atas marmer, bercampur dengan debu dan reruntuhan dinding. Sebagai balasannya, lenganku tersabet belati salah-seorang penyerang, tidak dalam, tapi darah membuat merah kemejaku. Joni lebih buruk, lengan dan pahanya terluka, sejak tadi dia bertempur dengan kaki kesakitan, tapi dia tidak peduli, terus bahu-membahu bertarung di sebelahku.
Tembakan pistol dari Tauke di belakang membantu. Setiap kali Joni terdesak, Tauke akan melepas tembakan, tidak selalu jitu mengenai anggota Brigade Tong, karena kondisi Tauke semakin payah, dia tidak bisa fokus, tapi itu cukup membuat perhatian penyerang terpecah. Saat mereka berseru marah berusaha mendekati ranjang, hendak menyerang Tauke, giliranku dan Joni menahannya, memukul balik. Rencanaku berjalan dengan lancar.
Sepuluh menit berlalu lagi, Letnan Brigade Tong terduduk di depanku, aku berhasil menyabet dadanya, luka besar, dia tersengal, berusaha berdiri dengan wajah kesakitan. Tapi pedangku teracung ke wajahnya, membuatnya tidak bisa bergerak. Demi melihat pimpinannya terluka dan dibawah ancaman katana, anggota Brigade Tong yang lain mundur dua langkah, wajah-wajah mereka mulai cemas. Pertarungan terhenti sebentar.
“Kalian tidak akan bisa melewati kami, bedebah.” Joni mengacungkan trisulanya, nafasnya menderu, pakaiannya kotor oleh debu dan darah, ada lebih banyak lagi luka di tubuhnya.
Aku menyeka peluh di pelipis, kami masih jauh dari menang. Di depan kami masih belasan anggota Brigade Tong yang segar bugar, belum menghitung puluhan yang sedang menyisir bangunan, yang akan segera bergabung membantu teman-temannya. Tapi bukan menang tujuanku, misiku sederhana, aku akan menahan mereka selama mungkin, hingga Letnan dan tukang pukul lain yang masih setia dengan Tauke kembali ke rumah. Saat mereka tiba, itu akan mengubah peta pertarungan, kami bisa mengambil-alih kembali markas.
Tapi aku keliru berhitung. Aku pikir situasi sudah di pihak kami, hanya untuk menyadari, kami benar-benar tidak punya banyak waktu, saat Letnan Brigade Tong masih berada di bawah ancaman pedangku, anggotanya ragu-ragu untuk maju menyerang, dari balik lubang di dinding, melangkah masuk seseorang yang paling bertanggung-jawab atas pengkhianatan ini.
“Assalammualaikum, Bujang.”
Suara yang amat kukenali, salam yang khas. Basyir telah datang. 
Sosoknya muncul di antara kepul debu. Dia datang mengenakan jubah hitam tradisional, dengan bebat kepala bertuliskan huruf Arab. Tidak ada lagi pakaian rapi kemeja lengan panjang dan celana kain, dia telah berubah persis seperti “penunggang kuda” yang dulu dia cita-citakan.
Basyir menyibak anggota Brigade Tong, berseru, “Minggir anak-anak! Kalian bukan lawan setara Si Babi Hutan. Biarkan aku yang mengurusnya.”
Dia berhenti tiga langkah di hadapanku. Tubuh tinggi besarnya berada di antara anggota Brigade Tong yang terkapar. Joni menggerung marah, dia sudah tidak sabaran menyerang Basyir. Aku sekali lagi menahannya.
“Apa kabar, Tauke Muda? Bagaimana perjalananmu dari Hong Kong.”
“Berhenti basa-basi, Basyir!” Aku membentaknya.
Basyir tertawa, mengangkat bahu. 
“Jelaskan apa yang terjadi!” Katanaku teracung ke arahnya. Letnan kepala Brigadir Tong segera beringsut menjauh.
“Kenapa? Itu pertanyaannya, bukan?” Basyir tersenyum tipis, menatapku santai, “Membosankan, Bujang. Itu selalu yang kau lakukan. Apa? Siapa? Kenapa? Dimana? Kapan? Bagaimana? Dalam setiap masalah, dalam setiap kasus, kau selalu saja bertanya, kenapa? Lantas dengan otak pintarmu, kau menganalisis semuanya dengan cepat, kemudian sim salabim, keluarlah saran, ide, kesimpulan hebat dari Bujang, lulusan terbaik dua master di Amerika. Hebat sekali, semua orang takjub dan bertepuk-tangan. Tapi itu membosankan, Bujang.”
Aku balas menatap Basyir, berseru, “Iya, kenapa, Basyir? Kenapa kau mengkhianati Tauke Besar setelah dia mengambil seorang anak jalanan, mendidiknya, membesarkannya, membuatnya menggapai mimpi-mimpi masa kecilnya menjadi ksatria suku Bedouin? Kenapa, hah?”
“Astaga, Bujang. Aku sudah bilang itu membosankan. Dan kau lagi-lagi masih bertanya, kenapa?” Basyir tertawa, pura-pura menepuk dahinya.
Disampingku Joni menggeram, dia muak melihat tawa Basyir. Aku kembali menahannya agar tidak menyerang Basyir, misi kami adalah bertahan selama mungkin, hingga bantuan tiba. Jangankan menit, hitungan detik pun sangat berharga dalam pertarungan seperti ini. Percakapan berlama-lama ini aku sengaja, selain agar Basyir lengah.
“Apakah otak pintar kau tidak bisa menebaknya, Bujang?” Basyir menatapku menghina.
“Aku tidak akan menghabiskan waktu menganalisis pengkhianatanmu, Basyir.”
Basyir terkekeh, “Baiklah, jika demikian akan kujelaskan, setidaknya agar kau tidak mati tanpa mengetahui sebab kematianmu.”
Tangannya lantas teracung ke depan, ke Tauke Besar yang duduk bersandarkan bantal, “Orang tua itu, yang terbaring tidak berdaya di atas ranjang, memegang pistol yang amunisinya habis, dialah yang membuatku menjadi yatim-piatu. Kenapa, Bujang? Seharusnya itu pertanyaanku kepadanya, bukan kepadaku. Kenapa?

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar