Senin, 14 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 8. Tim Terbaik

Pukul tujuh pagi saat pintu kamarku diketuk. 
Aku melangkah turun dari tempat tidur, membuka tirai jendela sebentar, membiarkan cahaya pagi melewati kaca, hamparan kota Hong Kong terlihat dari kamar. Pagi yang mendung, awan hitam menggelayut di langit. Tadi malam, sepulang dari jamuan makan malam Master Dragon, aku meluncur ke salah-satu hotel bintang lima, bermalam. 
Aku membuka pintu, seseorang dengan pakaian pelayan hotel menyerahkan amplop surat dengan stempel aksara China, “LIN”, berwarna merah, simbol Keluarga Lin, penguasa shadow economy di Makau. Aku menerima amplop tersebut tanpa bicara. Pelayan membungkuk, balik kanan.
Aku merobek ujung amplop, mengeluarkan surat di dalamnya. Logo “LIN” kembali terlihat di atas kertas. Membacanya, itu surat undangan resmi, isinya pendek, memintaku datang ke markas besar mereka, di gedung kasino lantai empat puluh, malam ini pukul sembilan. Pertemuan antar dua keluarga seperti perintah Master Dragon.
Tere Liye : Pulang

Aku meletakkan surat itu sembarang di atas tempat tidur. Berdiri di depan jendela, menatap kesibukan kota Hong Kong di bawah sana. Jalanan padat, kereta melesat di atas relnya, kapal-kapal memenuhi teluk Hong Kong. Aku mengusap rambut, seperti yang aku duga, mereka terlalu pengecut untuk bertemu di tempat lain, benteng kasino mereka adalah satu-satunya pilihan teraman menurut mereka. Tidak masalah. Rencanaku berjalan lancar, aku tidak perlu mengubah apalagi menyiapkan cadangannya. Melirik jam di atas meja, masih empat belas jam lagi, aku punya waktu lebih dari cukup.
Saatnya mengumpulkan tim terbaik.
***
Pukul delapan pagi, aku turun ke lobi hotel, mengenakan pakaian kasual, memakai kaca-mata hitam, dengan topi golf, membawa peta Hong Kong. Seperti turis lain, menyetop taksi, memintanya mengantar ke Victoria Harbour.
Dari sana aku menumpang feri yang melayani penyeberangan teluk Hong Kong. Kapal feri ramai oleh penduduk lokal yang berangkat kerja, sekolah, berdagang, beraktivitas, juga turis-turis, sibuk memoto sana-sini. Aku melangkah berjalan di lorong kursi, menuju belakang feri, yang mulai bergerak anggun membelah teluk Hong Kong.
“Hallo. Pemandangan yang indah, bukan?” 
Aku menyapa dua orang gadis. Mereka mengenakan pakaian seperti turis Jepang, warna-warni cerah, juga dengan topi lebar berwarna. Di tangan mereka tergenggam kamera terkini. Usia mereka sekitar dua puluh lima tahun. Wajah Jepang mereka terlihat jelas. Kembar. 
“Hallo.” Salah-satu gadis itu membalas sapaanku, “Kau bisa mengambilkan foto kami berdua?”
Aku mengangguk, menerima kamera. Dua gadis itu berdiri, tersenyum, mengacungkan jari, berpose. Di belakang mereka, gedung-gedung tinggi Hong Kong nampak gagah. Aku menjepret dua tiga kali, dua gadis itu juga berganti pose centil, kemudian aku mengembalikan kamera. Angin kencang memainkan anak rambut mereka, kapal feri terus melaju di perairan Hong Kong, sekali dua berpapasan dengan kapal-kapal lainnya, membunyikan klakson.
“Kalian ada acara malam ini?”
Dua gadis kembar itu menggeleng. Asyik melihat hasil foto di layar kamera.
“Kalian bisa menemaniku di Makau? Grand Lisabon. Lantai 40. Pukul sembilan tepat.” 
“Menemanimu? Apa acaranya?” 
“Mengambil sesuatu. Di luar itu bebas, tidak ada peraturan.”
“Siapa tuan rumahnya?”
“Tuan rumah yang sama sekali tidak ramah.”
“Oh ya? Apa yang harus kami siapkan?”
“Apapun yang bisa kalian bawa. Aku butuh semua bantuan yang tersedia, terutama saat kabur dari kejaran anjing pemilik rumah. Kalian bisa menemaniku?”
Dua gadis itu tersenyum centil, “Tergantung berapa bayarannya?”
“Lima batang emas. Untuk setiap orang.” 
Mereka saling tatap sejenak, tertawa. Mengangguk serempak.
Aku menyerahkan selembar kertas berisi rencana detail nanti malam. Kapal feri sudah hampir merapat di dermaga seberang. Para penumpang bersiap turun. 
“Selamat bersenang-senang.” Aku berpamitan, hendak melangkah.
“Hei, kau tidak mau berfoto bersama kami sebelum pergi?”
Aku menggeleng.
“Ayolah! Untuk kenang-kenangan.” Satu gadis lain menggoda, “Kau tidak pernah mau berfoto bersama setiap kali bertemu. Selfie?”
Aku melambaikan tangan, tertawa kecil, sudah melangkah, “Ingat! Jangan terlambat, pukul sembilan nanti malam.”
Dinding kapal feri merapat di dermaga, aku memperbaiki kerah jaket, loncat turun. Berjalan cepat diantara ratusan penumpang lainnya. Satu-dua anak-anak berlarian, saling mengejar, berseru riang dalam bahasa setempat. Mereka sedang liburan bersama keluarga.
Salah-satu pelajaran penting yang dulu kupelajari dari Kopong adalah jangan pernah tertipu dengan tampilan fisik. Di dunia hitam (Kopong lebih suka menyebutnya dengan istilah itu dibanding shadow economy), ada banyak sekali orang-orang yang bergaya, terlihat wah, berpakaian meyakinkan, tapi kosong dalamnya. Digertak sedikit, sudah lari terkencing-kencing. Sebaliknya, ada orang-orang yang terlihat seperti orang kebanyakan, seperti tetangga sebelah rumah, atau seperti teman kerja biasa, tapi dalamnya sangat berisi, orang yang sangat lihai dan berpengalaman di dunia hitam.
Selintas lalu, dua gadis kembar dari Jepang ini seperti turis. Wajah mereka imut, berpenampilan centil, asyik beranjangsana di atas feri yang membelah teluk Hong Kong, tapi jangan tertipu, mereka adalah pencuri kawakan yang tiga hari lalu berhasil mengambil patung naga emas dari museum Singapura. Selepas tugas di Singapura, aku meminta mereka bertemu di Hong Kong, di salah-satu feri yang menyeberang dari Victoria Harbour, pukul delapan tiga puluh. Janji bertemu yang tidak boleh meleset walau hitungan detik. Dua gadis ini bekerja independen, mereka tidak bergabung dengan keluarga manapun, mereka menikmati profesi mereka sebagai pencuri kelas dunia. Aku mengenal mereka dengan nama Yuki dan Kiko, mereka hanya bisa dihubungi melalui pesan khusus. 
Dari dermaga feri, aku berjalan kaki menuju stasiun subway terdekat, membeli tiket, menunggu di peron. Kereta bawah tanah membawaku menuju lokasi berikutnya, gerbong sesak oleh komuter. Aku berdiri sambil memperhatikan lamat-lamat peta Hong Kong di tangan, melirik jam di pergelangan tangan. Masih dua belas jam lagi pertemuan dengan kepala Keluarga Lin. 
Aku tahu, mendatangi markas besar Keluarga Lin, setelah kejadian di jamuan makan malam Master Dragon, sama saja seperti masuk ke sarang harimau yang sedang marah, mereka pasti bersiaga penuh atas kemungkinan terburuk. Dengan prospek itu, aku membutuhkan semua bantuan. Jika terjadi sesuatu, tidak akan mudah keluar hidup-hidup dari sana. 
Kereta berhenti di stasiun tujuanku, aku berjalan kaki menuju kawasan Lan Kwai Fong, sentral kuliner terkenal di Hong Kong. Jalanan di kawasan itu dipenuhi oleh pedagang makanan. Meja, kursi terhampar mengambil bahu jalan, bahkan satu dua mengambil separuh jalan, dengan payung-payung terkembang lebar di atasnya. Daerah ini ramai sekali jika malam tiba, dipadati penggemar masakan setempat. Pagi ini, lengang, hanya menyisakan orang-orang yang terlambat sarapan, asyik berlama-lama menghabiskan makanan. Aroma masakan tercium lezat, asap-asap membumbung dari kuali-kuali besar.
Pukul sembilan lewat tiga puluh, aku melangkah menuju salah-satu restoran seafood. Itu jenis masakan paling aman yang bisa kunikmati. Aku memilih meja luar dekat dinding, persis menghadap jalanan, duduk di kursinya, menyaksikan orang berlalu-lalang. Juru masak sekaligus pemilik restoran itu melangkah ke mejaku.
“Selamat pagi, Bujang. Kejutan. Kapan kau tiba di Hong Kong?” Dia menyapa dengan bahasa setempat—meski bukan penduduk setempat, tersenyum lebar. 
Aku balas tersenyum, mengangguk, “Selamat pagi, White. Aku baru tiba tadi malam. Perutku lapar. Bisakah kau menyiapkan sesuatu? Aku sengaja tidak sarapan di hotel.”
“Kau mau pesan seperti biasa? Tanpa bir, tanpa daging babi?”
“Iya, untuk yang itu, seperti biasa. Tapi kali ini, aku ingin kau menemaniku makan. Ada yang hendak kubicarakan. Kau mungkin tertarik.”
Juru masak akrab menepuk bahuku, “Baiklah. Akan kusiapkan dulu makanannya, setelah itu aku akan menemanimu, Bujang.”
Dia kembali ke kuali besarnya, mulai tenggelam menyiapkan pesananku. Aku kenal juru masak restoran sea food ini, kawan lama. Aku sering mengunjunginya jika sedang di Hong Kong. Usia juru masak ini sepantaran denganku. Orang-tuanya berasal dari Amerika. Dua puluh menit juru masak itu kembali ke mejaku, membawa dua piring berisi udang dan cumi. Berseru, menyuruh koki lain menggantikan posisinya. Menarik kursi, duduk di seberangku.
“Ada apa, Bujang? Apa yang hendak kau bicarakan?”
“Aku ada urusan malam ini di Makau.” Aku mulai menyendok makanan. Beberapa turis terlihat berjalan melintasi jalanan. Asap dari kuali besar mengambang di sekitar, bersama aroma lezatnya.
Awan gelap menggumpal memenuhi langit. Mendung.
“Makau? Kau ada urusan dengan Keluarga Lin?” Orang yang duduk di hadapanku menebak. Dia jelas tahu banyak tentang shadow economy.
Aku mengangguk.
“Kau punya masalah dengan mereka?”
Aku mengangguk lagi.
“Itu buruk, Bujang. Kau bisa membuat perang antar keluarga.” 
“Aku tidak punya pilihan. Mereka yang memulai.... Omong-omong, ini lezat sekali, White. Kau memang jauh lebih pandai memasak dibanding menjadi marinir.”
Orang yang kuajak bicara tertawa. Dia memang adalah komandan marinir yang pernah ditugaskan di Timur Tengah beberapa tahun silam. Peletonnya terperangkap dalam perang kota Baghdad, belasan rekannya ditembak di tempat, sisanya disandera, disiksa antara hidup mati. Enam bulan pemerintahannya berusaha membebaskan, sia-sia, satu-persatu sandera diekskusi, menyisakan dia. 
Salah-satu keluarganya akhirnya menghubungi kami, meminta pertolongan pada Tauke Besar. Aku yang mengurusnya, berangkat menemui penguasa shadow economy di kawasan yang sedang berkecamuk perang. Itu negosiasi yang tidak mudah, karena kendali keluarga kacau-balau, mahal sekali biaya menebus tahanan perang. White berhasil dibebaskan seminggu kemudian, kondisinya lemah, tubuhnya kurus, rambutnya acak-acakan. Aku membawanya langsung ke Hong Kong. Sejak insiden itu, White berhenti dari marinir, dia kecewa dengan negaranya, memutuskan membuka restoran di kawasan Lan Kwai Fong, menekuni hobi memasak sejak kecil.
“Apa rencanamu, Bujang.”
“Sederhana. Aku mengetuk pintu, basa-basi sebentar, mengambil barang yang mereka curi, kemudian bilang terima-kasih, pergi.”
“Siapa yang bertugas sebagai pengalih perhatian?”
“Yuki dan Kiko.”
White menepuk celemek yang dipakainya, berseru, “Aku tidak suka cucu kembar Guru Bushi. Mereka selalu bermain-main dalam setiap misi.”
Aku tertawa kecil, meraih gelas, “Cukup adil. Mereka juga tidak suka dengan kau, yang sebaliknya terlalu serius dalam setiap misi. Kau tertarik bergabung?”
Itulah alasanku kenapa aku datang ke sini. Aku tahu, meski sibuk dengan restoran sea food-nya lima tahun terakhir, sibuk mengurus Ayahnya yang sudah tua, White masih merindukan misi-misi berbahaya. Dia dibesarkan dari keluarga militer, dilatih bertahun-tahun untuk menyelesaikan misi penting, dan adalah mantan marinir terbaik Amerika. White selalu ingin beraksi, itu sifat alamiahnya.
“Apa yang kau inginkan dariku?”
“Aku membutuhkan orang yang bisa kuandalkan, berjaga-jaga di perimeter kedua. Jika sesuatu berjalan kacau-balau, kau adalah pilihan yang tepat. Bawa seluruh senjata beratmu. Kau berminat, White?”
Orang Amerika di seberang meja menyeka pelipisnya, memperbaiki posisi celemek, “Masuk ke markas Keluarga Lin sama saja dengan bunuh diri, Bujang. Ada ratusan pengawal pribadi, belum lagi security resmi dari kasino. Kalaupun kau bisa masuk, tidak ada yang menjamin kau bisa keluar. Kita hanya berempat, belum lagi si kembar itu, entah hal bodoh apa yang akan mereka lakukan di sana, tiba-tiba membuat semua berantakan. Aku tidak tahu—”
“Kau ikut atau tidak, White?” Aku tersenyum, meletakkan sendok, menyerahkan catatan kecil berisi rencana nanti malam.
“Baiklah, aku ikut. Aku bosan setiap hari memotong cumi, atau memukuli udang. Lama sekali aku tidak menembaki para penjahat.” White mengambil kertas itu.
Aku tertawa mendengarnya, “Kau lupa, White. Dalam dunia ini, kita juga adalah penjahatnya. Kau bukan lagi marinir.”
Aku menghabiskan minumanku setengah jam kemudian. Berbicara santai tentang banyak hal, sesekali tertawa, bergurau. Saat gelasku tandas, aku berdiri, mengenakan kaca mata hitam dan topi golf, menepuk lengan White.
“Salam untuk Frans. Aku minta maaf tidak bisa menemuinya pagi ini.”
White mengangguk. Mengantarku hingga ke jalanan.
“Jangan lupa, pukul sembilan malam.”
“Aye-aye, Bujang.”
Aku melangkah meninggalkan restoran sea food, kembali bergabung bersama turis-turis lain yang mulai berdatangan mungkin untuk makan siang. Timku nanti malam sudah lengkap. Orang-orang terbaik yang setia kepadaku. Seperti yang pernah kubilang sebelumnya, di Keluarga Tong, semua orang memiliki kelindan sejarah dengan masa lalu. Jika Yuki dan Kiko adalah cucu dari Guru Bushi, maka White adalah putra dari Frans si Amerika. Itulah kenapa White tahu banyak tentang dunia shadow economy, dan adalah Frans yang dulu meminta Keluarga Tong menyelamatkannya dari penyanderaan di Baghdad.
White adalah si marinir yang beralih profesi menjadi juru masak—hobi masa kecilnya.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar