Kamis, 17 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

BAB 10 part 1. Pindah Ke Ibukota

Teknik melempar “kartu nama” itu aku pelajari dari Guru Bushi. 
Selain katana, para ninja memiliki senjata yang disebut shuriken, harfiahnya berarti ‘pedang yang tersembunyi di telapak tangan’. Bentuknya bisa berupa batangan logam kecil, atau yang paling terkenal berbentuk bintang, disebut ‘bintang ninja’. Bisa tiga, empat, atau lima sudut dengan sudut-sudut tajam mematikan. Aku berlatih melempar shuriken ribuan kali, Guru Bushi akan memukul tanganku setiap kali sasaranku meleset. Butuh berbulan-bulan hingga aku mahir menggunakannya—dan tetap saja itu tidak sebanding dengan Guru Bushi yang konon menurut Kopong bisa melempar shuriken dengan mata tertutup.
Bertahun-tahun kemudian aku mengembangkan shuriken sesuai kondisi jaman, karena jelas tidak mungkin aku membawa bintang ninja kemana-mana dalam pertemuan formal, itu akan merepotkan dan terlalu mencolok. Aku mengubahnya menjadi kartu nama, tersamarkan. Itu pilihan yang brilian, tidak akan ada yang menduga kalau itu senjata mematikan, termasuk tukang pukul Keluarga Lin yang memeriksaku, dia abai, justeru mengembalikan senjata tersebut.
Tere Liye : Pulang

Guru Bushi melatihku selama setahun di kota provinsi, hingga usiaku menjelang tujuh belas, dia mendadak harus kembali ke Jepang, dan Kopong ataupun Tauke Besar tidak bisa mencegahnya pergi. Guru Bushi mendapat kabar duka, anaknya tewas di Tokyo, meninggalkan dua cucu kembar. Saat itu, aku belum menyelesaikan latihan samuraiku. Aku kembali harus berkutat dengan latihan lariku, hingga Kopong menemukan guru baru.
Bulan-bulan itu Keluarga Tong sangat sibuk. Kopong yang menjadi kepala tukang pukul ikut sibuk, aku lebih sering berlatih sendiri di pantai, membawa mobil sendirian—aku sudah bisa menyetir, salah-satu staf Mansur yang mengajariku. Dalam sebuah perayaan tahunan, Tauke Besar mengumumkan, kami akan pindah ke ibukota. Saatnya Keluarga Tong menjadi besar. Itu kabar hebat, ratusan tukang pukul menyambutnya dengan gembira. Sejak saat itu, kesibukan melanda, memindahkan markas bukan perkara sepele. 
Tiga bulan sebelum jadwal kepindahan, sudah ada beberapa tukang pukul yang berangkat lebih awal ke ibukota, membawa mobil, perjalanan dua hari tiga malam. Mansur sudah membeli tanah luas di kawasan elit ibukota sebagai markas baru, merancang benteng itu sebaik mungkin, termasuk membangun rumah-rumah di bagian depannya, sebagai kamuflase. Kopong juga sudah dua kali pergi ke ibukota, dia naik pesawat terbang, memeriksa tempat baru itu, menyiapkan sistem keamanan.
Sebulan sebelum jadwal kepindahan, kesibukan semakin pekat. Kami akan menggunakan salah-satu kapal kontainer milik Keluarga Tong untuk mengangkut puluhan mobil, peralatan, senjata dan sebagainya ke ibukota. Juga satu kapal lainnya untuk mengangkut tukang pukul. Itu akan menjadi perjalanan yang spesial. Aku belum pernah naik kapal—meski sering melihatnya di pelabuhan.
Seminggu sebelum berangkat, ditemani Frans si Amerika aku menemui Tauke di ruangan kerjanya.
“Ada apa, Bujang?” Tauke sibuk dengan kertas-kertasnya, mengangkat kepalanya selintas lalu.
“Dia membawa kabar baik, Tauke.” Frans yang menjawab, wajah Frans cerah.
“Apa?” Kali ini Tauke mendongak lebih lama.
Aku maju, menjulurkan amplop cokelat.
“Ini apa, Bujang?” Tauke mendelik marah, “Tidakkah kau bisa langsung saja bilang? Aku sedang sibuk, aku tidak ada waktu membaca isi amplop ini.”
Aku menelan ludah, menatap amplop yang diletakkan begitu saja oleh Tauke. 
“Dia diterima di universitas ibukota, Tauke. Di jurusan terbaiknya. Anak angkatmu, Bujang, lulus ujian seleksi universitas.” Frans yang memberitahu, tertawa.
“Astaga? Kau tidak bergurau?” Tauke Besar berseru, dia yang sebelumnya enggan, bahkan sekarang bergegas meraih amplop cokelat, mengeluarkan isinya, membaca dengan cepat.
“Ini…. Ini hebat sekali.” Tauke Besar berdiri, terkekeh, membentangkan kertas itu lebar-lebar, “Kau diterima di universitas terbaik, Bujang, tempat orang-orang penting kuliah…. Astaga! Salah-satu anggota keluarga ini akhirnya kuliah di tempat terhormat. Selamat Frans, kau berhasil mendidik anak talang susah diatur ini.”
Aku menatap wajah riang Tauke Besar. 
“Ini kebetulan yang menarik, Bujang. Kita pindah ke ibukota minggu depan, menjemput masa depan Keluarga Tong yang gemilang, dan kau diterima kuliah di sana. Katakan…. Katakan padaku, apa yang kau inginkan sekarang, aku sedang senang, Bujang. Akan kujadikan itu hadiah untukmu. Hadiah atas diterimanya kau di universitas.”
Aku menelan ludah. Tauke tidak bergurau?
“Ayolah, jangan malu-malu. Kau lihat Frans, aku pernah menjanjikannya tiket pesawat ke Hong Kong, liburan selama sebulan, sekaligus bertemu dengan anaknya, jika dia berhasil membuatmu diterima, aku akan memberikannya, Mansur akan mengurusnya. Sekarang giliranmu, apa yang kau inginkan? Apakah kau ingin pulang ke kampungmu? Menemui Bapak dan Mamak kau sebelum pindah ke ibukota? Akan kusuruh orang mengantarmu? Atau kau ingin mobil paling gress? Agar kau bisa bergaya pergi ke universitas, membuat para gadis tergila-gila?” Tauke Besar terkekeh dengan idenya.
Aku menggeleng.
“Apa, Bujang? Katakan saja.” Tauke menatapku tidak sabaran.
Aku menelan ludah, baiklah, “Aku ingin ditugaskan bersama tukang pukul lainnya. Sekali saja.”
Tawa Tauke Besar langsung tersumpal. Wajah riangnya seketika padam.
“Kau bicara apa, Bujang?” Tauke mendelik.
“Aku ingin tahu rasanya pergi bersama tukang pukul lainnya, menyelesaikan sebuah tugas. Sudah dua tahun aku tinggal di sini, tidak sekalipun aku ikut bersama mereka—“
“Karena tugasmu adalah sekolah. Bukan menjadi tukang pukul.” Tauke memotong, wajahnya mulai memerah.
“Aku sudah berlatih tiap malam bersama Kopong, juga Guru Bushi, aku sudah siap. Aku lebih kuat dibanding dua tahun lalu.”
“Diam, Bujang!” Tauke Besar membentakkau—membuat Frans si Amerika sedikit bergidik, “Aku mengijinkanmu berlatih bukan berarti aku akan menjadikanmu tukang pukul. Tidak pernah terlintas sekalipun.”
“Tapi Tauke sendiri yang bilang kepada Bapakku—“
“Astaga! Susah sekali menyuruh kau diam, Bujang.” Kali ini Tauke Besar benar-benar mengamuk, “Aku tahu kau ingin merasakan ditugaskan menjadi tukang pukul. Aku tahu, kau satu-satunya di keluarga ini yang belum melewati malam inisiasi sebagai anggota. Kau ingin menunaikan tugas, membuktikan berharga bagi keluarga, lantas diangkat sebagai anggota dalam ritual keluarga. Tapi itu tidak perlu! Detik pertama kau tiba di sini, detik itu pula kau sudah menjadi anggota keluarga.”
Aku menunduk. Terdiam. 
“Bawa dia keluar dari ruanganku, sebelum aku memukulnya dengan kayu.” Tauke Besar berteriak, menyuruh Frans si Amerika.
Frans segera menarik tanganku.
“Sial sekali anak Syahdan ini, aku habis-habisan menjauhkanya dari masalah, dia sendiri yang bebal memintanya. Keras kepala, susah diatur, persis seperti bapaknya.” Tauke bergumam jengkel di belakangku.
Aku melangkah gontai meninggalkan ruangan Tauke. Bahkan dalam situasi itupun, saat Tauke sedang senang mendengar kelulusanku, dia tetap tidak mengijinkanku menjadi tukang pukul. Jalan buntu. Sia-sia semua latihan yang kudapatkan.
Lantas bagaimana akhirnya Tauke Besar mempercayaiku? Itu terjadi sehari sebelum Keluarga Tong pindah ke Ibukota. Sebuah peristiwa besar dan aku terseret dalam pusarannya, yang ternyata berpuluh tahun kemudian, itu memiliki kelindan dengan masa lalu dan masa depan. 
Peritiwa besar, ketika tugas pertama diberikan kepadaku langsung oleh Tauke sendiri.
***
Dua malam sebelum kepindahan ke ibukota. 
Kopong menemaniku berlatih di pantai. Wajah sangarnya terlihat santai, dia hanya menyuruhku lari bolak-balik dari dua api unggun, membawa stop watch, peralatan yang barusaja dia bawa dari ibukota.
“Kau bisa menantang pemegang rekor dunia dengan lari secepat ini, Bujang.” Kopong tertawa, memperlihatkah layar stop watch.
Aku tidak menanggapi, aku sedang menyeka wajah, sedikit tersengal. Keringat mengucur deras. 
Sisanya kami duduk beralaskan pasir, menatap lautan gelap, bicara apa saja. Kopong belum menemukan guru pengganti yang setara dengan Guru Bushi, dan malam ini dia malas melatihku bertinju.
Pertama Kopong mengucapkan selamat tentang universitas.
“Aku selalu bertanya-tanya, apa sebenarnya yang diajarkan di sekolah, Bujang. Maksudku, kau belajar enam jam setiap hari, ditambah pekerjaan rumah, tugas, berminggu-minggu, berbulan-bulan, dua belas tahun, dan itu baru menyelesaikan sekolah menengah atas. Hei, apa sih yang dipelajari selama itu? Sekarang ditambah pula kuliah empat tahun, seolah tidak cukup dua belas tahun tersebut. Itu sistem yang gila, Bujang.”
Aku tertawa mendengarnya. Kopong punya cara pandang yang berbeda dengan Tauke Besar atas sekolah, tapi dia ikut senang melihatku sekolah.
“Kotanya besar, Bujang. Ada banyak pasar, terminal, ruko dan pusat industri. Semua terlihat lebih ramai dan megah. Pelabuhannya besar sekali. Ada banyak kelompok yang berkuasa di sana. Awalnya tidak akan mudah bagi kita, tapi aku menyukai tantangannya. Kita bisa memulainya dengan bekerjasama, setelah memahami situasi, kita bisa mengambil alih sedikit demi sedikit. Keluarga Tong tidak bisa diremehkan, mereka akan tahu.” Kopong sudah pindah membahas tentang ibukota—seminggu terakhir dia berada di sana.
“Kau akan senang dengan benteng baru kita. Mansur memilih tempat yang baik, ada lebih banyak bangunan, semua orang bisa memperoleh kamar yang luas. Kau dan Basyir akan satu bangunan denganku, juga beberapa tukang pukul penting. Aku mungkin akan merindukan pantai ini, pelabuhannya, kota provinsi. Aku lahir dan besar di sini.” Kopong menyeringai, menatap lautan.
Api unggun di dekat kami bergemeletuk, apinya membuat hangat sekitar.
“Apa yang terjadi saat Bapakku lumpuh kakinya?” Aku bertanya setelah kami diam sejenak—sudah lama aku hendak menanyakan soal ini kepada Kopong.
“Penyerbuan.” Kopong menjawab pendek.
Aku menoleh, menunggu Kopong melanjutkan cerita.
“Penyerbuan apa?” Aku bertanya tidak sabar, Kopong sepertinya tidak tertarik membahasnya, satu menit berlalu dia hanya asyik menatap kerlip lampu perahu nelayan.
“Kita hidup di dunia hitam, Bujang. Penyerbuan adalah hal yang lumrah, hampir setiap hari terjadi. Tidak ada yang menarik untuk dibahas. Satu-dua dilakukan secara jantan, kau menantang secara terbuka orang lain untuk berkelahi. Lebih banyak lagi yang dilakukan secara licik.” Kopong mengangkat bahu.
“Aku ingin mendengar ceritanya.” Aku mendesak.
Kopong bergumam, “Baiklah. Akan kuceritakan.”
Dia berdiri sebentar, memperbaiki posisi kayu api unggun. Kembali duduk di dekatku.
“Itu terjadi puluhan tahun lalu, tapi aku masih bisa mengingatnya dengan baik…. Tauke Besar, ayahnya Tauke sekarang, mengambil-alih kawasan pabik karet dari kelompok preman. Seharusnya mereka dihabisi hingga ke akarnya, atau diusir ke kota lain. Tapi Tauke memilih membiarkan mereka, bahkan menjadikannya anak-buah. Tauke Besar selalu berpikir orang-orang akan setia jika diberikan kesempatan kedua. Kenyataannya sebaliknya. Kelompok itu seolah setia kepada Tauke Besar, tidak ada masalah bertahun-tahun berlalu. Tapi saat semua terlihat berjalan baik-baik saja, kelompok itu menyerang rumah dari dalam. Penyerbuan yang licik. Mereka menggunting dalam lipatan.”
“Dini hari, saat semua orang sedang tertidur. Tidak ada yang menyangka, puluhan orang mengamuk di markas, tukang pukul Keluarga Tong yang setia bertahan habis-habisan. Bangunan utama terbakar, istri, anak-anak Tauke Besar terpanggang api. Tauke Besar selamat, karena Bapakmu nekad menerobos api, menyelamatkannya. Kakinya tertimpa kayu yang ujungnya ada kawat berduri besar. Kawat itu menghujam ke betis Syahdan, tembus hingga sisi satunya, tulang betisnya hancur. Hanya satu anak Tauke Besar yang selamat, yang menjadi Tauke sekarang, karena dia sedang berada di tempat lain, dia berseru kalap ketika menemukan sisa pertempuran, sudah terlambat, para penyerang telah melarikan diri. Atas perintah Tauke Besar, sehari kemudian, setelah pemakaman keluarganya, kami akhirnya menghabisi kelompok itu, mengejarnya kemanapun, hingga tak bersisa, tapi harga yang dibayar terlanjur mahal.”
“Bapak kau meminta mundur, bilang dia sudah gagal melindungi Keluarga Tong. Tauke Besar awalnya menolak mati-matian, tapi apalagi yang bisa dilakukan Syahdan dengan kaki lumpuh? Dia tidak bisa lagi menjadi tukang pukul. Motivasinya habis, dia tidak bisa lagi seperti kakekmu.”
“Kakekku?” Aku memotong—aku tidak pernah tahu kisah tentang kakekku.
“Iya, kakekmu, ayah dari bapajmu. Semua orang di dunia hitam mengenal kakekmu, Bujang. Dia adalah jagal ternama hingga pulau seberang. Julukannya ‘Si Mata Merah’, karena matanya selalu terlihat merah. Bisikkan nama kakekmu di perempatan jalan, satu kota akan bergegas masuk ke dalam rumah, meringkuk terkencing-kencing. Sebutkan nama kakekmu di balai bambu, satu kota akan bergegas pulang, memadamkan lampu.”
Aku mencerna kalimat Kopong. Aku baru tahu tentang kakekku, bergumam dalam hati, akhirnya aku paham apa yang diserukan Bapak ketika berdebat dengan Mamak saat hari keberangkatanku ke kota. Darah tukang pukul memang mengalir deras dalam tubuhku. Itu seperti sudah menjadi takdir hidupku.
Api unggun perlahan mulai padam. Bergemeletuk menyisakan bara menyala.
“Kita kembali ke rumah, Bujang. Ayo.” Kopong beranjak berdiri.
Aku mengangguk, ikut berdiri.
***

Sehari sebelum jadwal keberangkatan, pukul empat dini hari, aku terbangun oleh keramaian dari parkiran bangunan utama. Memicingkan mata, beranjak turun dari tempat tidur. Kamarku sudah kosong, hanya tersisa tempat tidur, sebagian besar perlengkapan sudah dikemas, dibawa ke kapal kontainer. Aku menuruni anak tangga, Basyir ikut tutun bersamaku, juga puluhan penghuni mess sayap kanan, kami bergegas menuju parkiran.
Dua mobil jeep baru saja tiba, menurunkan empat tubuh terluka parah.
Dokter segera memeriksanya, sejenak berdiri, menggeleng, sudah tidak tertolong lagi. Empat tukang pukul Keluarga Tong telah tewas dengan tubuh bersimbah darah.
“Apa yang terjadi?” Tauke Besar muncul, menyibak kerumunan, dia masih mengenakan piyama.
Salah-satu tukang pukul maju, kondisi tukang pukul itu mengenaskan, pakaiannya robek, lengan dan kakinya terluka, dia patah-patah menjelaskan. Mereka bertugas menjaga pelabuhan. Tidak ada yang aneh, semua berjalan normal. Truk-truk kontainer keluar masuk sesuai jadwal, aktivitas bongkar muat berjalan lancar, hingga tengah malam, tiba-tiba ada puluhan orang menyerang pelabuhan, belasan tukang pukul Keluarga Tong terluka, empat orang diantaranya paling parah, tidak tertolong lagi. Usai serangan cepat mematikan itu, puluhan penyerang segera meninggalkan pelabuhan, sebelum tukang pukul meminta bantuan dari markas. 
“Siapa yang melakukannya?” Tauke Besar bertanya, wajahnya merah padam.
“Kelompok Arab dari pabrik tekstil. Aku sempat menarik kain ini dari mereka.” Tukang pukul yang bercerita menyerahkan ikat kepala dengan lambang tulisan Arab.
Tauke Besar menggeram marah.
“Berani-beraninya mereka! Panggil Kopong kemari!”
Yang diteriaki sudah ada di antara kerumunan. 
“Berani sekali mereka menyerang pelabuhanku. Satu hari sebelum keberangkatan ke ibukota. Kau pimpin seluruh tukang pukul, kejar mereka kemanapun, aku mau, sore ini, mereka sudah dihabisi hingga ke akar-akarnya. Bumi hanguskan.” 
Kopong mengangguk.
Puluhan mobil jeep yang sejatinya nanti siang akan dinaikkan ke atas kapal, segera dikeluarkan. Ratusan tukang pukul segera berganti pakaian, meraih senjata masing-masing. Mereka bergerak cepat dan efisien. Basyir terlihat gagah dengan pakaiannya, membawa senjata tajam. Dua tahun terakhir, Basyir menjadi tukang pukul sangat penting di Keluarga Tong, fisiknya tumbuh pesat, tinggi besar, dia gesit lompat ke atas salah-satu mobil jeep. Aku hanya menonton kesibukan, di antara pelayan rumah. Aku ingin sekali ikut, ini mungkin tugas terakhir bagi tukang pukul di kota provinsi.
Satu persatu mobil jeep yang dipenuhi tukang pukul meninggalkan parkiran bangunan utama, cahaya lampunya menyorot terang, masuk ke jalanan kota provinsi. Sekitarku masih gelap, pukul setengah lima, adzan shalat shubuh bahkan baru terdengar dari masjid-masjid. 
Aku tahu kelompok preman Arab itu. Mereka adalah kelompok terakhir yang disingkirkan Keluarga Tong, penguasa kawasan pabrik tekstil. Kelompok mereka kuat, punya anggota ratusan orang, tapi perang dengan Keluarga Tong membuat sumber daya mereka berkurang drastis. Enam bulan lalu, mereka takluk, teritorial mereka diambil-alih Tauke. Sebagian besar dari mereka tewas, sebagian lagi melarikan diri ke kota lain. Sisanya, tercerai-berai, tinggal di kota tanpa pekerjaan. Dengan tumbangnya kelompok Arab, maka lengkap sudah kekuasaan Keluarga Tong di kota provinsi. 
Malam tadi, sepertinya sisa kekuatan mereka merencanakan sesuatu. Saat Keluarga Tong sibuk mempersiapkan keberangkatan ke ibukota, abai dengan situasi, mereka melakukan penyerangan mendadak. Kekuatan mereka jelas tidak sebanding dengan tukang pukul Keluarga Tong—bahkan saat mereka dipuncak-puncaknya, tapi mungkin misi mereka hanya untuk melukai, membalas rasa sakit hati. Empat tukang pukul yang tewas, lebih dari cukup sebagai pesan pembalasan, untuk kemudian kabur sejauh mungkin.
Aku menatap parkiran bangunan utama yang lengang. Semua mobil sudah pergi, pintu gerbang baja kembali didorong, tertutup rapat. Pelayan rumah yang tadi menonton, beranjak kembali ke aktivitas masing-masing. Sudah terlanjur bangun, segera mulai bekerja. Aku mendongak, menatap bintang-gemintang di langit, juga bulan sabit. Sisa adzan shubuh terdengar sayup-sayup dari masjid. Entah kenapa, aku merasa ada yang ganjil, menatap betapa lengangnya benteng Keluarga Tong. Belum pernah Tauke memerintahkan seluruh tukang pukul bertugas, menyisakan penjaga gerbang, dan beberapa tukang pukul yang tidak dalam kondisi baik. 
Hingga pukul delapan pagi, aktivitas masih berjalan normal di rumah. Aku membantu Mansur mengemasi dokumen, berkas-berkas di ruangan kerja Tauke. Ada banyak tumbuhan kardus di ruangan itu. Beberapa pelayan ikut membantu, menumpuknya rapi, sebelum dibawa ke kapal. Tugasku sederhana, menyortir, memasukkannya ke dalam kardus sesuai jenis berkasnya. Beberapa staf keuangan Mansur juga ikut membantu.
Pukul sembilan, Tauke ikut bergabung. Wajahnya yang subuh tadi merah padam, terlihat lebih bersahabat, dia habis mandi dan sarapan. Sempat berbicara dengan Mansur, memastikan semua sudah siap, jangan sampai ada yang tertinggal. Mansur mengangguk—aku tidak akan meragukan daya ingat Mansur, dia bahkan bisa mengingat setiap rupiah yang dikeluarkan Keluarga Tong.
Tauke ikut memasukkan beberapa barang penting ke dalam kardus, memeriksa ulang barang-barang yang dikemasi. Selain tumpukan dokumen, juga ada kotak-kotak kayu berisi suvenir, perhiasan ruangan yang ikut dibawa ke ibukota. Tidak ada satupun yang akan ditinggalkan di rumah ini, karena markas di kota provinsi akan diratakan, di atasnya akan dibangun pusat perbelanjaan modern sekaligus hotel berbintang milik Keluarga Tong. Tauke memiliki pendekatan bisnis yang visioner. Dia mentransfer uang dunia hitam menjadi bisnis legal. Seluruh bisnis di kota provinsi akan dipusatkan di bangunan baru itu, dikendalikan oleh professional, itu akan menjadi sumber dana bagi ekspansi di ibukota—selain cash cow dari ‘ekspor impor’ barang.
Pukul sepuluh, saat aku asyik memilah berkas, terdengar jeritan kencang dari luar. Menyusul, suara alarm bahaya terdengar di seluruh benteng. Aku mendongak, ada apa? Sebagai jawabannya, terdengar suara berdentum kencang, dua kali. Aku tiarap, berlindung. Lantai ruangan terasa bergetar.
Tauke reflek berdiri, dia berpengalaman, segera tahu apa yang terjadi.
“Aktifkan pintu besi.” Tauke berteriak, menyuruh seorang pelayan.
Pelayan itu tergopoh-gopoh hendak menekan tombol di dinding ruangan.
Terlambat. Serangan itu mendadak sekali.

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar