Kamis, 24 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 14 Part 1. Belajar Hingga Negeri Seberang

Kembali ke hari menyedihkan tiga belas tahun silam. 
Kematian Mamak mengambil separuh semangat hidupku.
Aku lebih banyak duduk melamun di kamar. Aku tidak tertarik setiap kali Basyir atau Kopong mengajakku pergi. Aku tidak menanggapi gurauan tukang pukul lain di meja makan. Dan aku tidak tertarik membaca buku-buku—yang biasanya bisa menghabiskan waktuku berjam-jam. 
Tauke Besar menawariku agar pulang sebentar ke talang, dia bisa menyuruh orang mengantarku ke sana, menziarahi makam Mamak. Aku menggeleng lemah, buat apa? Tidak ada lagi Mamak di sana. Berdiri di depan pusaranya hanya akan membuatku tambah sesak. Dan bertemu Bapak? Sejak kecil aku tidak dekat dengan Bapak. Dia selalu keras kepadaku, aku tidak pernah bicara lama dengannya, Bapak hanya sibuk dengan masa lalunya, dan membenci keluarga Mamak karena pernah menolaknya mentah-mentah. Buat apa aku pulang?
Tere Liye : Pulang

Tauke Besar menyuruhku berlibur, mungkin itu membantu. Kemanapun aku mau pergi, dia bisa meminta Mansur menyiapkan tiket perjalanan. Aku menggeleng, aku tidak tertarik pergi ke pantai, berjemur di sana, atau pergi ke gunung, mendaki titik tertinggi—meski itu sedang trend bagi mahasiswa kampusku sebelumnya. Aku juga tidak tertarik berlibur di kota-kota Eropa. Buat apa?
“Bujang, Tauke memanggilmu.” Seorang pelayan menyampaikan pesan.
“Terima kasih.” Aku berkata pendek. Beranjak pelan keluar dari kamar. 
Itu sudah sebulan sejak kabar kepergian Mamak. Aku menyeret kakiku ke bangunan utama. Melintasi tukang pukul yang sedang berkumpul. Satu dua menyapaku, aku hanya balas menyapa selintas. Tidak peduli.
Tiba di lobi dengan lampu gantung dari turki, menaiki anak tangga. Berjalan menuju ruang kerja Tauke. Mendorong pintunya.
Sudah ada Kopong, Mansur dan Basyir di sana.
“Ayo, masuklah, Bujang. Kami sudah menunggumu.” Tauke berseru, tersenyum—sebulan terakhir, Tauke ramah sekali denganku. Bahkan saat dia sedang mengamuk sekalipun, jika aku melintas di depannya, dia akan tersenyum.
Aku melangkah, duduk di kursi panjang, bertiga menghadap Tauke.
“Wajahmu pucat sekali, Bujang? Kapan terakhir kali kau berjemur di bawah matahari? Lama-lama kau mirip kelambit, selalu mendekam di kamar sepanjang siang.” Tauke tertawa, mencoba bergurau.
Aku hanya menggeleng tipis.
“Baiklah. Aku sengaja memanggilmu, Bujang, karena aku punya kabar baik untukmu.” Tauke memperbaiki posisi duduknya, “Kau seharusnya sudah berangkat ke Amerika bersama Frans dua minggu lalu, melanjutkan kuliahmu. Universitas itu sudah menelepon Frans, bilang kau telah terlambat mendaftar. Tapi tidak apa. Sungguh tidak masalah, Bujang. Lupakan.” Tauke tersenyum.
Aku tahu soal itu. Aku sudah memasukkan semua buku ke dalam koper, semua pakaian, semua keperluan. Tapi dua minggu lalu, aku merobek undangan dari universitas. Aku tidak berminat lagi sekolah di luar negeri. Tauke Besar, jika menurutku kebiasannya, mungkin akan menembakku di tempat melihat surat undangan berserakan di lantai, tapi semua ini karena Mamak pergi, Tauke hanya menggeram, meremas jemarinya, menahan marah habis-habisan, kemudian melangkah meninggalkan kamarku. Bergumam, “Anak Syahdan satu ini sungguh menguji rasa sabarku.”
Lantas kabar baik apa yang hendak Tauke sampaikan sekarang?
“Sesuatu yang akan kau sukai, Bujang.” Tauke tersenyum, seolah itu memang kabar spesial.
Apa? 
“Guru Bushi mengundangmu ke Tokyo, Bujang. Kau belum menyelesaikan latihan bersamanya. Kau akan pergi ke Tokyo, selama enam bulan. Itulah kabar baiknya.”
Kepalaku terangkat, kali ini dengan wajah lebih berwarna. Seperti ada kesegaran baru menerpa wajahku. Tauke tidak bergurau?
Tauke terkekeh, menepuk meja, “Astaga! Tentu saja aku serius, Bujang. Kau akan ke Jepang, belajar dengan Guru Bushi. Kau tidak mau?”
Itu sungguh kabar spesial. Aku mengusap wajah. Tentu saja aku mau.
“Tapi kita punya sedikit perjanjian, Bujang. Hanya sedikit…. Sedikit sekali.” Tauke buru-buru kembali serius, “Setelah enam bulan di sana, jika suasana hati kau membaik, maka berangkatlah ke Amerika bersama Frans. Universitas menelepon, mengerti situasi yang kau hadapi, mereka bersedia memberikan kau tenggat satu semester untuk menyusul. Kau bisa ikut kelas musim dingin. Kau pasti bisa mengejar ketinggalan.” 
Ruangan kerja itu lengang sebentar.
“Bagaimana, Bujang? Kau bisa sepakat dengan syaratnya?”
Aku akhirnya mengangguk.
“Bagus sekali, Bujang.” Tauke Besar tertawa, “Beres sudah, Kopong. Ini brilian sekali. Dia menyetujui usulmu. Mansur, kau bisa siapkan perjalanan Bujang dan Basyir sesegera mungkin.”
Basyir? Aku menoleh, menatap Basyir disebelahku. Dia ikut denganku ke Jepang.
“Tidak, Basyir tidak akan ke Jepang.” Tauke seperti mengerti pertanyaan diwajahku, “Basyir akan pergi ke timur tengah, menjelajahi kawasan itu. Dia akan belajar menjadi penunggang kuda suku Bedouin. Tinggal di gurun pasir, hidup nomaden, berpindah-pindah, berlatih dengan ksatria terbaik di sana, berkelana hingga tanduk Afrika dan mungkin Afganistan. Selama tiga tahun, saat dia pulang, dia akan tumbuh lebih kuat, lebih cepat. Akan ada keluarga yang melatih Basyir di sana, Kopong dan Mansur sudah mengurusnya…. Bujang, Basyir, kalian berdua akan menjadi masa depan Keluarga Tong. Aku berharap banyak sekali kepada kalian berdua.”
Basyir di sebelahku tersenyum, menyikut lenganku.
Aku ikut tersenyum—senyum pertamaku sejak kabar kepergian Mamak. Itu keren. Tidak terbayangkan olehku, Tauke akan mengirim Basyir ke tempat yang selalu diinginkan oleh Basyir. Tanah leluhurnya.
“Pastikan kau tidak naksir wanita Arab sana, Basyir. Atau kau jadinya tidak mau pulang lagi ke sini.” Kopong bergurau.
“Coba saja kalau dia berani, aku akan menyeretnya pulang.” Tauke menimpali.
Pertemuan itu berakhir lima menit kemudian. Kopong dan Mansur masih tinggal di sana, membicarakan hal lain dengan Tauke. Aku sudah menuruni anak tangga pualam bersama Basyir.
“Kau tidak pernah cerita kepadaku, Basyir.”
“Hei, aku mau cerita, tapi lihatlah, sebulan terakhir kau hanya mengurung diri di kamar. Tidak ada yang berani masuk kamarmu kecuali Tauke.” Basyir tertawa.
“Ke timur tengah. Gurun pasir. Itu akan seru sekali.”
“Tentu saja, Bujang.” Basyir bergaya, meniru pose ksatria penunggang kuda.
Aku ikut tertawa.
“Semoga kau sukses dengan sekolahmu, Bujang.” Basyir memegang lenganku, menatapku tersenyum, “Kalau saja aku pintar sepertimu, aku mungkin lebih memilih pergi sekolah daripada menjadi tukang pukul…. Tapi tidak masalah, aku menyukai pilihanku. Aku tetap bisa bermanfaat bagi Keluarga Tong.”
Aku balas mengangguk, “Semoga kau juga sukses di gurun pasir sana, Basyir.” 
Itu terakhir kali aku melihat Basyir, dia sudah berangkat malam itu juga, dan aku menyusul diantar ke bandara pagi-pagi buta, membawa tiket, dokumen perjalanan dan koper-koperku.
Aku mulai melupakan kesedihan atas kabar kepergian Mamak. Tauke mengirimku ke Jepang.
***
Pesawatku tiba di bandara Tokyo siang hari. Itu pertama kalinya aku naik pesawat, dan langsung perjalanan panjang. 
Guru Bushi telah menunggu di lobi kedatangan, dia tidak mengenakan pakaian samurai seperti saat mengajarku dulu, dia mengenakan pakaian kasual, seperti kakek tua kebanyakan. Di belakang Guru Bushi, berdiri dua remaja perempuan kembar, berusia belasan tahun, mungkin sekitar lima belas. Itulah pertama kali aku mengenal Yuki dan Kiko. Si kembar sejak kecil sudah suka bermain-main, semau mereka saja, tidak ada yang bisa mengatur.
“Orang tua mereka meninggal saat kecelakaan kereta cepat.” Guru Bushi menjelaskan, dia mengemudi mobil sendiri, membawaku ke pinggiran kota Tokyo. Itu musim semi, pohon sakura bermekaran indah sepanjang jalan, aku menatap terpesona.
“Itulah kenapa aku tiba-tiba kembali ke Tokyo, Bujang. Aku harus merawat mereka.”
Aku mengangguk. Itulah pula kenapa si kembar ini suka bermain-main, Kakek mereka tidak pernah melarang, membiarkan mereka mencoba banyak hal.
“Apa kabar Tauke?” Guru Bushi bertanya.
“Baik. Tapi dia sibuk sekali.”
Guru Bushi mengangguk takjim, “Anak itu, terobsesi menjadi lebih baik dibanding Ayahnya. Hingga dia lupa, jika bayangan Ayahnya sudah jauh tertinggal. Tapi tetap saja dia tidak pernah puas hati.”
Kami tiba di rumah Guru Bushi, yang bergaya pedesaan. Di sekelilingnya tumbuh pohon sakura, di depannya terhampar sawah luas, bukit-bukit menghijau. Aku langsung menyukainya, ini tempat berlatih yang damai. Yuki dan Kiko mengantar menuju kamarku, aku mengangguk, mengucapkan terima kasih. Itu kamar khas rumah Jepang, tidur di atas lantai berlaskan kasur tipis, dinding terbuat dari kertas, serta semua perabotan dari bambu dan kayu.
Rumah Guru Bushi besar, ada enam pelayan bekerja di sana, juga orang-orang yang menggarap lahan pertanian miliknya. Guru Bushi amat terpandang di desanya, dianggap sesepuh adat—meskipun tidak ada yang tahu sama sekali jika dia adalah samurai sekaligus pernah menjadi ninja di masa mudanya puluhan tahun lalu. Orang-orang membungkuk member hormat setiap kali Guru Bushi melintas—dan itu berarti juga membungkuk kepadaku. Aku mulai beradaptasi dengan lingkungan sekitar, diajak Guru Bushi dalam pertemuan dan acara-acara setempat.
Sesekali dia mengajakku melakukan perjalanan jauh. Menumpang kereta cepat, mengunjungi kuil-kuil, pedesaan permai, bahkan dia pernah mengajakku mendaki lereng Gunung Fuji, tiba di sebuah perkampungan tradisional, orang-orang dengan pakaian tradisional. 
Entahlah, satu bulan di sana, tidak sekalipun Guru Bushi mengajakku berlatih, dia hanya mengajakku melihat banyak tempat, mengajariku berbahasa Jepang, menulis huruf Jepang, belajar kaligrafi berjam-jam. Tidak sekalipun aku memegang katana atau shuriken. Aku belum protes, karena sejauh ini masih menyenangkan, tapi setelah satu bulan lagi berlalu, aku memutuskan bertanya. Aku datang untuk melanjutkan latihan, bukan liburan menghilangkan kesedihan.
Guru Bushi tertawa pelan, “Aku justeru sedang melatihmu, Bujang.”
Kami duduk di ruang depan, duduk bersila di lantai, berhadapan, mengenakan pakaian tradisional, di depan kami ada meja kecil dengan teko teh dan gelas. 
Melatihku? Di mananya aku sedang berlatih?
“Samurai tidak hanya tentang perkelahian, Bujang. Bukan sekadar teknik membela diri, teknik menyerang. Samurai adalah cara hidup. Prinsip-prinsip. Kehormatan. Aku mengajakmu berkeliling ke banyak tempat, agar kau bisa berkenalan dengan hal tersebut. Merasakan, menyentuhnya.”
Aku terdiam.
“Bukankah kau ingin menjadi seorang samurai sejati?”
Aku mengangguk.
“Nah, itu harus diawali dengan pondasi filosofi yang kokoh. Kau tidak akan pernah memahami sebuah katana, tanpa mengerti sejarah panjang pedang diciptakan. Itu bukan sekadar alat untuk membunuh, tapi juga simbol rasa sabar, pengendalian diri.” 
Aku tidak paham. Menggeleng. 
“Tapi baiklah, karena kau sudah memintanya, kita bisa berlatih sekarang.” Guru Bushi tersenyum, berdiri. Beranjak ke dinding ruangan, mengambil dua katana, melemparkan salah-satunya.
Yang membuatku menelan ludah, bukan karena mendadak sekali kami menjadi berlatih, melainkan ternyata Guru Bushi juga mengambil sehelai kain, dia menutup matanya. Kemudian dengan mata sempurna tidak bisa melihat, dia menggerakkan kaki, memasang kuda-kuda.
“Serang aku, Bujang. Jangan ragu-ragu, tanpa ampun. Tapi pastikan, kau tidak membuat berantakan, jangan menumpahkan teh walau setetes.”
Aku memegang katana erat-erat, kami persis berhadap-hadapan di ruangan tengah yang tidak terlalu luas, dengan dua meja untuk acara minum teh, perabotan, dan sebagainya. Bagaimana aku bisa bergerak tanpa membuat barang-barang berantakan? Dan bagaimana Guru Bushi akan melakukannya? Matanya ditutup kain.
“Ayo, Bujang! Bukankah kau jauh-jauh datang kesini karena ingin berlatih! Serang aku sekarang!”
Aku menggigit bibir, katanaku bergerak. Latihanku telah resmi dimulai.
Di belakangku, di balik daun pintu, Yuki dan Kiko mengintip dengan wajah semangat. Mereka selalu antusias setiap kali melihat kakeknya mengajariku berlatih pedang.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar