Selasa, 29 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 17. Part 2: Hutang 40 Juta Dollar

Dua minggu kemudian, setelah sakit payah, dua kali mendapatkan pertolongan emergency, berbaring tidak berdaya di atas kasur, aku akhirnya berangsur sembuh. Makanku mulai lahap, seperti lama sekali aku tidak merasakan lezatnya masakan pelayan rumah.
Dokter rutin memeriksaku setiap pagi dan sore, menepuk-nepuk lenganku, “Kau akan baik-baik saja, Bujang…. Hari pertama aku melihatmu, kau datang dengan dua puluh empat luka di badan. Demam ini tidak ada apa-apanya dibanding horor melihat luka-lukamu dulu.”
Aku mengangguk, bilang terima-kasih. Aku sudah bersedia berkomunikasi, meski hanya respon pendek. Mengangguk atau menggeleng.
Tere Liye : Pulang

Sebulan kemudian, fisikku sudah pulih seperti sedia kala, aku sudah mau turun ke meja panjang untuk sarapan. Mulai mendengarkan percakapan tukang pukul lain, menonton olok-olok dan keributan antar tukang pukul saat sarapan. Sakit selama dua minggu itu sedikit banyak membuatku mulai membuka diri. Aku juga mulai pergi ke tempat latihan tukang pukul, berlari mengelilingi trek hingga larut malam seorang diri. Kadang ditemani Kopong, yang senang melihat kemajuan suasana hatiku. Aku juga mulai mengeluarkan buku-bukuku dari lemari, mulai membaca—itu selalu menyenangkan, menghabiskan waktu. Dengan ditemani buku, tanpa terasa, hari telah beranjak petang, tidak sempat lagi mengingat kenangan menyakitkan.
Itu tahun kesepuluh aku tinggal di Keluarga Tong, atau tahun ketujuh Tauke memindahkan markas ke ibukota, kekuasaan Keluarga Tong mulai keluar dari batas teritorial negara. Ibukota sudah tidak memadai lagi untuk tumbuh, butuh ruang yang lebih luas, dan membesarnya kerajaan bisnis Tauke, tidak selalu kabar baik, itu juga mengundang masalah serius. Dalam beberapa kasus, kami mulai punya gesekan dengan keluarga penguasa shadow economy di luar negeri. Masalah jenis baru bermunculan.
Malam itu, saat aku baru berlari satu keliling di trek latihan, pukul setengah tujuh, Kopong tiba-tiba datang menemuiku, dia membawa pesan.
Aku berhenti, segera mendekat. Ada apa?
“Tauke memintamu pulang, ada hal yang ingin dia bicarakan, Bujang.”
Aku mengangguk. Segera membereskan perlengkapan. 
Tiba di ruang kerja Tauke tiga puluh menit kemudian, Tauke terlihat bersiap-siap berpergian.
“Kau ikut denganku malam ini, Bujang.”
Kemana? Demikian maksud ekspresi wajahku.
“Hong Kong. Ada pekerjaan yang harus kita selesaikan di sana.”
Aku menunjuk Kopong. Kenapa tidak Kopong saja yang berangkat?
“Kita tidak bisa mengirim Kopong atau Mansur, aku harus menyelesaikannya sendiri, dan kau akan menjadi pengawalku malam ini. Kopong ada pekerjaan lain.”
Aku mengangguk, segera hendak ke kamar, menyiapkan perbekalan.
“Semua keperluanmu sudah disiapkan saat Kopong memanggilmu, kita berangkat sekarang.” Tauke sudah melangkah menuju pintu.
“Hati-hati, Bujang.” Kopong menepuk bahuku.
Aku mengangguk lagi, melangkah mengikuti punggung Tauke.
Tahun itu, Tauke Besar sudah membeli pesawat jet, kami berangkat naik pesawat pribadi. Sepanjang perjalanan Tauke lebih banyak diam, wajahnya suram. Aku tahu, itu berarti masalah yang serius. Aku tidak banyak bertanya. Jika Tauke tidak bicara, menjelaskan, bercerita atau apapun, maka sudah menjadi peraturan di rumah, kami akan diam menunggu.
Empat jam penerbangan, pesawat jet mendarat di bandara Hong Kong, pukul dua belas malam. Sebuah limusin telah menunggu di hanggar pesawat pribadi, beserta pengemudinya. Aku melihat logo “Naga Emas” di pakaian pengemudinya, mobil itu sepertinya telah disiapkan untuk menjemput kami. 
“Kita akan menemui kepala keluarga penguasa China daratan, Bujang.” Tauke akhirnya menjelaskan, di atas mobil yang melaju di jalanan lengang. Sudah lewat tengah malam, sebagian besar kota Hong Kong beranjak lelap, menyisakan lampu merah di perempatan yang berganti warna secara teratur. 
“Namanya Master Dragon. Usianya tujuh puluh tahun, tapi seusia itu, Master Dragon masih berkuasa penuh mengendalikan bisnis dunia hitam terbesar di kawasan Asia Pasifik. Kekuasaannya hingga Rusia, Amerika, Kanada, juga menyentuh tempat-tempat jauh. Mereka menguasai perjudian, pasar gelap, obat-obatan, perdagangan manusia, prostitusi, dan semua aspek tradisional bisnis dunia hitam.”
Aku diam, mendengarkan dengan cermat.
“Selama ini, kita tidak pernah mengganggu bisnis mereka, dan sebaliknya, mereka juga tidak mengganggu bisnis kita. Itu sudah menjadi aturan tertulis, maka semua akan berjalan baik-baik saja.” Tauke menghembuskan nafas, terlihat serius sekali, “Kita semakin besar, Bujang, itu berarti cepat atau lambat bisnis kita akan bersinggungan dengan keluarga lain di luar negeri. Sekuat apapun kita berusaha, tetap saja masalah itu datang sendiri. Itulah kenapa aku menemuinya malam ini. Master Dragon mengirimkan undangan, untuk membahas sebuah masalah pelik. Sesegera mungkin. Dia telah menunggu kita di markasnya. 
“Ini bukan pertemuan basa-basi nostalgia masa lalu. Kau harus berjaga-jaga atas segala kemungkinan, Bujang. Aku tidak mengkhawatirkan Master Dragon, dia selalu bersedia mendengarkan dengan baik sebelum memutuskan sebuah masalah, aku mengkhawatirkan pihak lain yang ada di pertemuan itu. Aku pernah menemuinya. Ayahku dulu, Tauke Besar pernah bertemu dengannya, aku ikut serta, usiaku baru dua puluh lima. Saat itu Master Dragon belum sekuat seperti hari ini, belum menaklukkan semua keluarga di China daratan. Semoga dia masih bisa mengingatku, dan itu membantu urusan kita.”
Aku mengangguk. 
Kami tiba di kawasan Kowloon, di gedung berlantai enam, empat pengawal dengan simbil “Naga Emas” menyambut kami turun dari limusin, mereka membungkuk kepada Tauke Besar, meminta kami mengikutinya. 
Gedung itu megah, lantainya marmer nomor satu, dinding, tiang, langit-langit, semuanya terbuat dari bahan terbaik. Juga pajangan, lukisan, keramik, guci, kami seperti berjalan di lorong masterpiece seni dunia. Begitu berkelas. Tauke Besar melangkah tenang, meski dia menghela nafas berkali-kali, aku berjalan di belakangnya, berhitung atas segala kemungkinan. Entah kenapa, setelah berbulan-bulan sedih karena kabar kepergian Bapak, malam itu, aku kembali merasakan sensasi menjadi seorang tukang pukul. Semua kesenangan, semua ketegangan, inilah dulu alasanku ingin menjadi seperti Bapak.
Kami dibawa oleh empat pengawal ke balkon lantai enam, semi terbuka, menghadap teluk Hong Kong. Pemandangan dari balkon itu spektakuler, gemerlap Hong Kong terlihat dari sana. Ada dua meja bundar kecil terbuat dari besi di sana, masing-masing dengan beberapa kursi. Salah-satu meja telah dipenuhi rombongan lain. Meja satunya masih kosong, hanya ada teko berisi air hangat, gelas-gelas, sendok untuk menyeduh teh. Ada satu lagi kursi besar, seseorang duduk di atasnya, mengenakan jubah berwarna keemasan. Tuan rumah.
“Ah, akhirnya kau tiba Tauke.” Orang itu berdiri, menyambut.
“Selamat malam, Master Dragon.” Tauke menunduk dalam-dalam—aku ikut menunduk.
“Maaf jika kami datang terlambat. Aku berusaha secepat mungkin datang ke Hong Kong setelah menerima pesan darimu.”
“Tidak masalah, Tauke.” Master Dragon berkata ramah, intonasi suaranya sangat tajam, “Astaga, kau sepertinya tidak banyak berubah sejak aku melihatmu pertama kali. Kau bersama Ayahmu dulu. Aku minta maaf tidak datang saat dia meninggal, aku sedang sibuk di Shanghai, mengurus bisnis.”
Tauke mengangguk.
“Dan kau juga sama seperti Ayahmu, hanya membawa seorang pengawal saja ke Hong Kong. Siapa anak muda bersamamu? Anakmu?”
“Anak angkatku. Namanya Bujang, orang-orang memanggilnya Si Babi Hutan.”
Demi sopan-santun, aku menunduk lagi ke arah Master Dragon.
“Julukan yang hebat, Nak.” Master Dragon terkekeh, memujiku, “Kalian berdua silahkan duduk. Jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri.”
Aku dan Tauke duduk di meja kosong, pertemuan malam ini sepertinya sudah disiapkan sedemikian rupa. Kami duduk berhadap-hadapan dengan rombongan di meja satunya. Ini seperti konfrontasi dua pihak yang bermasalah, dan Master Dragon menjadi hakim tunggal.
“Baiklah. Kita mulai saja membahas masalah ini.” Master Dragon kembali ke kursi besar yang ada di dekat dua meja itu. Intonasi suaranya berubah serius, tidak ada lagi nada ramah di sana. Wajahnya menatap galak, gerakan tangannya penuh ancaman.
Aku belum pernah melihat sosok dengan pengaruh sehebat Master Dragon. Tatapan matanya, ekspresi wajahnya, gerakan tangan saat bicara. Dia adalah sebenar-benarnya pucuk penguasa keluarga dunia hitam. Tapi aku tidak takut, aku menatapnya tanpa berkedip.
“Putraku Shang melaporkan, kau telah mengancam dia dan kelompoknya di Singapura. Tadi siang dia datang kemari, meminta bantuanku. Apakah itu benar, Tauke?”
Aku menelan ludah, Tauke punya masalah dengan putra Master Dragon? Dan kami datang ke markasnya? Ini gila, kami sama saja masuk sarang harimau. Atmosfer pertemuan semakin pekat menegangkan. Master Dragon jelas tidak membawa senjata, tapi di meja seberang, delapan orang membawa senjata di balik pakaiannya. 
“Aku tidak mengancam putra Anda, Master Dragon.” Tauke bicara, tetap tenang, “Dia telah meminjam dana empat puluh juta dollar dari bank kami di Singapura. Itu sebenarnya tidak banyak. Hanya saja, putra Anda bukan hanya menolak mengembalikan uang tersebut setelah hampir setahun jatuh tempo, dia juga menghina keluarga kami. Dia menahan salah-satu bankir kami di Singapura, menyiksanya, memulangkannya dengan telinga teriris, jari hilang tiga, kaki pincang.”
“Itu karena dia bodoh!” Shang, putra Master Dragon berseru, dia berdiri dari kursinya, tujuh pengawalnya juga ikut berdiri, “Bankir itu terus rewel seperti anak kecil menagih uang itu. Persetan! Aku memberinya pelajaran.”
Aku ikut berdiri, berjaga-jaga atas setiap serangan.
“Diam, Shang!” Master Dragon berseru, “Kau akan mendapatkan giliran bicara.”
Shang terdiam, dia masih hendak berteriak, tapi tatapan Ayahnya membuatnya duduk kembali, juga tujuh pengawalnya yang siap mencabut senjata.
“Teruskan Tauke.” Master Dragon menoleh ke meja kami, memberi perintah.
“Kami tidak pernah berniat mengancam keluarga Anda, Master Dragon. Hanya saja, bankir itu sedang mengerjakan tugasnya, mengirimkan pemberitahuan hutang, dan itulah pekerjaan profesional. Saat bankir itu kembali dengan kondisi buruk, kami pikir, ada yang telah melanggar kehormatan antar keluarga. Ada yang—“
“Omong kosong!” Shang berteriak, marahnya kembali meledak, “Kita semua tidak punya kehormatan. Kau pikir dengan punya bank, bisnis legal, maka kau sok suci? Lebih baik dibanding keluarga lainnya?”
“Kami tidak pernah bilang Keluarga Tong lebih suci, Shang. Tapi dunia kita tetap punya kehormatan—“
“Habisi mereka!” Shang sudah berseru membero perintah kepada pengawalnya.
Bahkan kali ini, Dragon Master tidak sempat mencegah putranya mencabut pistol, juga tujuh dari pengawalnya, mereka mengarahkan pistol ke kami, lantas menarik pelatuk. Pertemuan itu telah tiba pada kesimpulannya. Pertarungan hidup mati.
Tapi aku sudah siap. Nafasku menderu kencang. Aku menarik tubuh Tauke Besar ke bawah, berlindung dibalik meja bundar yang terbuat dari besi, tidak lupa segera meraih teko berisi air panas. Suara tembakan terdengar susul-menyusul memekakkan telinga, menghantam meja tempat berlindung. Membuat gelas pecah berhamburan, percik nyala api menyambar kemana-mana.
Saat tujuh pengawalnya hendak mengisi ulang pistol, aku keluar dari balik meja, menyiramkan air panas di dalam teko ke depan. Telak menghantam mereka, teriakan mengaduh terdengar, pistol berjatuhan, juga Shang, wajahnya persis tersiram air panas. Saat mereka masih sibuk dengan kulit melepuh, aku menyambar sendok tersisa, loncat ke depan, mulai menyerang. Dua pengawal Shang segera terkapar dengan leher ditembus sendok. Empat lagi terduduk karena aku meninju perut, dagu, apapun yang bisa kutinju, sisanya terlempar ke luar balkon, jatuh di jalanan Hong Kong.
Aku mencabut pistol colt dari pinggang—hadiah Salonga, mengarahkannya ke Shang, yang duduk dengan wajah melepuh sekaligus terhenyak. Moncong pistol menempel di dahinya.
Limas belas detik kemudian, balkon itu lengang.
“Astaga!” Master Dragon berseru pelan, menatap sisa keributan, meja terbalik, kursi-kursi terpelanting. Empat tukang pukul mengerang. Darah mengalir di lantai. Dan putranya yang tidak bisa bergerak dibawah todongan pistolku.
Master Dragon berdiri, aku pikir dia akan menyerangku, membela putranya, tapi dia justeru melangkah ke meja tempat Tauke berlindung.
“Kau baik-baik saja, Tauke?” Master Dragon membantu Tauke berdiri.
Tauke mengangguk, dia tidak kurang satu apapun.
“Aku tahu kenapa kau memiliki julukan itu, Si Babi Hutan.” Master Dragon menoleh kepadaku, “Kau seperti seekor babi yang mengamuk, cepat sekali melumpuhkan delapan orang bersenjata seorang diri. Kau punya anak angkat yang hebat, Tauke.”
Shang masih tidak bisa bergerak di bawah todongan pistolku. Dia menatap Ayahnya, meminta bantuan, wajahnya memelas, pun melepuh.
“Baiklah, inilah keputusanku soal masalah ini. Kau benar Tauke, saat putraku menyiksa bankir itu, dia telah melewati batasnya. Dia telah melanggar kehormatan antar keluarga, menghina Keluarga Tong. Terima kasih banyak kau tidak langsung membunuhnya, hanya memberikan peringatan di Singapura. Aku akan mengembalikan uang yang dia pinjam, dan biarkan aku yang menghukum anak tidak tahu diuntung ini. Bertahun-tahun, dia hanya membuat masalah bagiku. Tidak terhitung berapa uang yang kuhabiskan untuk membereskan masalah yang dia buat, termasuk dengan pengadilan negara-negara tempat dia tinggal. Terima kasih telah mengajarinya malam ini. 
“Mari, aku akan menjamu kalian makan di ruangan dalam, sebagai permintaan maaf dariku atas keributan barusan. Aku punya koki yang hebat. Kau akan suka menikmati masakannya, walau kita sudah terlalu larut untuk menghabiskan semangkok mie lezat.”
Master Dragon meninggalkan begitu saja putranya di balkon. Beberapa pengawalnya segera membereskan bekas keributan, membawa Shang pergi entah kemana. 
Malam itu, Master Dragon menjamu kami, bercakap-cakap santai, sesekali tertawa. Itu sekaligus diplomasi tingkat tinggi, ada banyak hal yang disepakati ulang. Tauke mendapatkan persahabatan dengan kepala keluarga penguasa China daratan. Dan saat itulah Tauke bilang, aku tidak akan menyentuh minuman beralkohol, juga daging babi yang dihidangkan koki. Master Dragon menatapku heran. Aku dengan sopan menjelaskan alasannya. Dia diam sebentar, kemudian terkekeh, tetap tidak bisa memahaminya.
Sejak malam itu pula, semangatku menjadi tukang pukul kembali. Aku tidak tertarik lagi menjadi ‘hanya’ seperti Bapakku, yang besar karena berkelahi di jalanan, mengurus masalah lokal, penyerangan, penyerbuan. Aku akan menyempurnakan definisi tukang pukul itu. Aku menjadi spesialis, penyelesai konflik masalah-masalah serius. Keluarga Tong semakin besar, dan masalah mereka di luar negeri semakin banyak. Itulah tugasku.
Kopong meninggal lima tahun kemudian. Mansur menyusul meninggal, digantikan Parwez. Tahun-tahun berlalu cepat, aku sudah melanglang buana ke banyak tempat, melaksanakan tugas. Aku sudah melupakan talang di lereng rimba sumatera.
Aku sudah tidak ingat lagi bagaimana rasanya lari di sela-sela padi ladang tadah hujan. Aku sudah melesat jauh, berlarian diantara reputasi menakutkan yang mulai kubangun sejengkal demi sejengkal. Nama ‘Si Babi Hutan’ mulai dikenal oleh dunia hitam Asia Pasifik. Sebutkan namaku, maka mereka akan gemetar mendengarnya.
Kabar kematian Bapak akhirnya tertinggal jauh di belakang. 
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar