Selasa, 15 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 9 Part 1. Penyerbuan Kasino

Pukul delapanlewat tiga puluh, pesawat jet Keluarga Tong mendarat di bandara Makau. Pemandangan pulau kecil Makau di malam hari tidak kalah menakjubkan dengan Hong Kong, tapi aku tidak datang kesini untuk plesir.
“Jangan matikan mesin pesawat, Edwin.” Aku mengingatkan saat melangkah turun.
Edwin mengangguk. Tanpa perlu dijelaskan, dia segera tahu situasinya, itu berarti ada urusan genting, kapanpun aku bisa kembali ke bandara, dan harus segera meninggalkan Makau. 
Sebuah limusin membawaku ke Grand Lisabon, kasino terbesar di Makau. Lima belas menit, tiba di lobi kasino yang dipadati mobil-mobil mewah, para penjudi mulai dari yang amatir hingga kawakan memadati kasino malam ini. Mereka berpakaian rapi, yang laki-laki mengenakan tuksedo, yang perempuan memakai gaun. Dua orang tukang pukul Keluarga Lin yang juga menjadi security resmi kasino mengenaliku, segera memintaku berjalan bersamanya. 
Tere Liye : Pulang

Aku melangkah di belakang mereka, melintasi keramaian, mesin-mesin judi, meja-meja yang dipenuhi taruhan, gelak tawa, seruan-seruan gembira, atau wajah-wajah tertekuk karena kalah. Setiap meja poker bisa mencetak ratusan ribu dollar per malam, ada puluhan meja terhampar di aula luas, omzet kasino terbesar di Makau ini menyentuh milyaran dollar setiap tahun. Sangat menggiurkan. Inilah bisnis paling penting Keluarga Lin, selain penyelundupan serta obat-obatan terlarang. 
Mereka membawaku menuju ruangan khusus, yang hanya bisa diakses anggota Keluarga Lin. Di sana telah menunggu belasan tukang pukul lainnya, masing-masing membawa senapan otomatis sejenis M-16. Mereka berpakaian jas hitam rapi, sepatu mengkilat, wajah mereka tidak ramah. Delapan diantara mereka segera mengelilingiku, menyuruhku masuk ke dalam lift. 
Jelas sekali Keluarga Lin telah siap atas kemungkinan terburuk. Aku mengangguk tipis, melangkah ke dalam lift, yang segera penuh sesak oleh pengawal dan senjata. Pintu lift menutup, langsung meluncur ke-lantai 40. Nafasku terkendali, dengan santai menatap penanda lantai. Tapi tidak bagi beberapa tukang pukul Keluarga Lin, aku bisa mendengar dengus nafas tegang mereka. Gerakan-gerakan kikuk. 
Lift tiba di lantai 40, pintunya terbuka. Delapan pengawal bergerak cepat, aku melangkah mengikuti. Kami sekarang melintasi lorong panjang dengan beberapa ruangan di kiri-kanannya, lebih banyak lagi tukang pukul Keluarga Lin yang berjaga-jaga di setiap jarak tertentu. Keramik besar dipajang di sisi lorong, juga tiang-tiang tinggi pualam. Lantai ini didesain dengan arsitektur romawi kuno. Beberapa pelayan terlihat membawa nampan-nampan makanan, juga petugas yang membersihkan ruangan, mereka sudah terbiasa dengan orang bersenjata di sekitarnya. 
Aku tiba di ujung lorong, tempat pertemuan. Sebuah pintu baja setebal dua belas senti menghadang. Seorang tukang pukul menekan tombol elektronik, bicara dalam bahasa setempat, memberitahu. Pintu baja itu berderit halus, dibuka dari dalam. Aku menatap pintu, aku sudah tahu soal pintu baja ini, kokoh sekali benteng pertahanan Keluarga Lin. Tukang pukul yang mengantarku menyuruh masuk, aku melintasi pintu, tiba di ruangan besar, lebarnya dua puluh meter, panjangnya empat puluh meter, hampir seluas satu sayap gedung, menghadap langsung kota Makau yang gemerlap. Ruangan itu masih disekat lagi dengan dinding kaca tebal, dan barulah di dalam dinding kaca itu, terlihat dari kejauhan, orang yang harus kutemui. 
Salah-satu dari anggota Keluarga Lin menahan langkahku. Putra tertua. 
“Kau tidak boleh membawa senjata.” Dia menatapku penuh hina.
Aku mengangguk, mengeluarkan pistol colt dari balik jas. Hanya itu senjata yang kubawa—yang kubawa lebih karena nostalgia, bukan untuk mempertahankan diri. Pistol itu diletakkan di nampan atas meja.
“Periksa dia.”
Dua orang memeriksaku. Salah-satu dari mereka melepas ikat pinggang, menyita kaca mata hitam di saku, juga telepon genggamku. Mereka hati-hati sekali, apapun yang tajam dan bisa jadi senjata diamankan. Mereka juga menyuruhku melepas jas, serta sepatu.
Aku mengangguk, tidak banyak bicara melepaskannya. 
“Periksa sekali lagi! Pastikan dia tidak membawa apapun ke dalam sana.” Putra tertua Keluarga Lin mendesak, wajahnya sejak tadi merah padam menahan marah.
Kali ini dua orang lain menggantikan, maju memeriksaku. Salah-satu dari tukang pukul menemukan kartu nama di saku kemejaku, kertas dengan ukuran sebesar kartu ATM, bertuliskan “Si Babi Hutan” serta empat digit nomor teleponku. Aku selalu membawa kartu nama kemanapun.
“Kalian akan mengambil kartu namaku juga?” Aku bertanya, mengangkat tangan seolah tidak percaya. Ayolah, betapa paranoid-nya mereka? Aku hanya datang seorang diri, dan itu hanya kartu nama. 
Tukang pukul mengembalikan kartu nama itu ke saku kemejaku.
“Bersih!” Salah-satu tukang pukul berkata pendek kepada putra tertua. Temannya mengangguk, dia sudah memeriksa dua kali dari kepala hingga ujung kaki.
Putra tertua Keluarga Lin mendengus, dia akhirnya menekan tombol, pintu kaca terbuka.
“Tuan Lin menunggu Anda di dalam.”
Aku melewati pintu kaca anti peluru, masuk ke dalam ruangan pertemuan. Memperhatikan sekitar. Aku seolah berada di dalam akuarium, dengan puluhan tukang pukul berjaga di luar, memperhatikan tanpa berkedip apa yang terjadi. Ruangan itu dipenuhi hamparan karpet tebal, terasa lembut saat kakiku menginjaknya. Pendingin udara menyala maksimal, suhu lebih dingin di sini. Tidak ada perabotan, hanya ada satu meja kecil.
Tuan Lin duduk bersila di ujung ruangan, di dekat meja itu, dia sedang meditasi, mengenakan kimono berwarna putih, dengan sulaman burung phoenik emas, dan simbol huruf LIN. Aku melangkah melintasi karpet, terus berhitung dengan segala kemungkinan, memperhatikan detail. Melirik jendela-jendela kaca besar ruangan yang menghadap kota Makau. Itu pastilah juga kaca anti peluru, bahkan rudal pun tidak bisa menghancurkannya. Aku tidak bisa melarikan diri lewat sana. Satu-satunya pintu keluar adalah pintu kaca, kemudian pintu baja, dengan puluhan tukang pukul.
“Cukup.” Tuan Lin berseru pelan, suaranya serak. Mata sipitnya terbuka.
Aku menghentikan langkah, masih empat meter lagi darinya.
“Duduk.” 
Aku mengangguk, ikut duduk bersila di hadapannya. 
“Apakah kau Si Babi Hutan?” Orang tua berusia enam puluh itu bertanya. Tubuhnya gempal, pendek, seperti perawakan Tauke Besar. Rambutnya beruban.
Aku mengangguk lagi.
“Reputasimu ternyata tidak omong-kosong.” Orang tua itu menatapku, “Malam ini, berani sekali kau datang ke sarang harimau, seorang diri, menganggu meditasi di ruangan favoritku. Aku bisa membunuhmu dengan mudah. Puluhan tukang pukul di luar bisa masuk kapan saja sekali aku memintanya, atau sekali aku terlihat tidak dalam posisi meditasi. Tanpa ijinku, kau tidak bisa keluar dari tempat ini dengan selamat, Anak Muda.” 
Aku balas menatapnya tajam, “Tidak. Kalianlah yang berani sekali membiarkan seekor hewan buas masuk dan berkeliaran di dalam rumah. Dan sekarang, kau membiarkan aku duduk di depanmu sedekat ini. Akulah yang kapan pun bisa membunuhmu.”
Ruangan meditasi itu lengang sejenak, menyisakan desing suara pendingin.
Tuan Lin akhirnya tertawa, “Kau akan membunuhku dengan apa? Kau tidak membawa senjata apapun, bahkan sepatumu dilepas di ruang meditasi ini.”
Aku tidak menjawab. Tetap menatapnya tanpa berkedip.
“Aku suka dengan anak muda ini. Kau benar-benar tidak memiliki rasa takut. Berapa Keluarga Tong membayarmu, hah? Akan aku lipat-gandakan jika kau mau bergabung bersamaku.”
Aku menggeleng,”Tidak semua di dunia ini bisa dibeli dengan uang.”
“Oh ya? Lantas apa masa depan Keluarga Tong sekarang? Tauke-mu sekarat di atas kasurnya. Keluarga kalian akan kehilangan kekuasaan jika Tauke meninggal. Kau hanya menjadi tukang pukul pengangguran sekali Keluarga Tong dihapus dari kekuasannya. Tidak sulit melakukannya, dia punya banyak musuh.”
Aku menatap dingin Tuan Lin, “Biarkan apa yang menjadi urusan keluarga kami tetap menjadi urusan keluarga kami. Aku tidak datang untuk basa-basi, apalagi belajar meditasi, aku datang untuk mengambil teknologi pemindai yang kalian curi.”
Tuan Lin kembali tertawa, itu tawa menghina, dia menoleh ke meja di sampingnya, prototype pemindai itu ada di sana, hanya sebesar tablet atau laptop, di dalam kotak yang terbuka, tapi benda sekecil itu sangat bernilai, “Kau pikir aku akan mengembalikannya? Keluarga kalian picik sekali jika berharap itu yang akan aku lakukan. Kami tidak takut dengan siapapun.”
“Kau seharusnya takut, Tuan Lin.”
“Oh ya? Bukankah kau hanya datang seorang diri? Aku cukup mengangkat tanganku sekarang, pertemuan ini berakhir, dan besok pagi-pagi kami akan mengirim potongan kepalamu ke Tauke, membuatnya terkencing-kencing ketakutan.”
Aku menggeram. Percakapan ini sudah tiba di ujungnya.
“Kau telah melakukan kesalahan fatal, Tuan Lin.”
Tuan Lin terkekeh, kepalanya mendongak, “Kau mengancamku, anak muda? Astaga? Bahkan saat istri profesor itu kami bunuh, apa yang dilakukan Keluarga Tong? Tidak ada. Hanya merengek meminta bertemu denganku, kemudian putus-asa mengadu pada Master Dragon. Kalian hanya—”
“Cukup!” Aku mendesis, tanganku cepat sekali meraih kartu nama di saku kemeja, lantas dengan keahlian seorang ninja terlatih, kartu nama itu telah kulemparkan ke leher Tuan Lin yang sedang terkekeh mendongak.
Kartu nama itu secara kasat mata hanyalah kertas, tapi tukang pukul yang memeriksaku sebelumnya tertipu. Di dalam kartu nama itu, pipih dengan tebal hanya sepersekian millimeter, adalah logam titanium, saat kartu itu dilemparkan dengan kekuatan penuh, kertas kecil itu bisa menjadi senjata mematikan, melesat cepat, kurang dari sedetik, sudah terbenam separuhnya di leher Tuan Lin. 
Tawa Tuan Lin terhenti, kepalanya tertunduk, seperti kembali dalam posisi meditasi awalnya. Darah merembes dari lehernya, tapi dia masih dalam posisi duduknya, posisi meditasi. Aku bergegas berdiri, melangkah cepat menuju meja tempat prototype pemindai. Di luar ruangan kaca, puluhan tukang pukul menatap tidak mengerti. Mereka sepertinya baru akan melakukan sesuatu jika Tuan Lin memberikan kode, atau tidak lagi dalam posisi duduk bermeditasi. Ini keuntungan besar bagiku, mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam, ruangan ini kedap suara. Posisi duduk Tuan Lin masih sama seperti sebelumnya.
Aku berjalan menuju pintu kaca, membawa kotak berisi pemindai.
“Buka pintunya!” Berseru tegas.
Kerumunan tukang pukul menatap bingung. Apa yang terjadi? Menatapku, menatap Tuan Lin yang masih terlihat duduk dengan tenangnya di lantai permadani ruangan meditasi, dua puluh meter dari mereka.
Aku menunjukkan kotak berisi pemindai, “Tuan kalian memberikan kotak ini. Pembicaraan selesai.”
Salah-satu tukang pukul akhirnya menekan tombol, pintu kaca terbuka.
Putra tertua Keluarga Lin menatapku tidak percaya. Tapi dia hanya bisa terdiam, bagaimana mungkin? Sejengkel apapun dia kepadaku, jika itu adalah keputusan Ayahnya, dia tidak bisa melakukan apapun. Juga tukang pukul lainnya, jika pemindai itu diberikan begitu saja oleh Tuan Lin, itu berarti aku harus dibiarkan keluar dengan selamat. 
Aku mengambil jas di atas meja, mengenakannya, meraih pistol colt, telepon genggam, memakai sepatu dengan tenang, lantas melangkah santai menuju pintu baja. Waktuku terbatas, aku setidaknya harus keluar dari pintu baja sebelum mereka menyadari ada sesuatu yang ganjil dengan Tuan Lin.
“Buka pintunya!” Aku menyuruh.
Tukang pukul terlihat ragu-ragu, menoleh pada putra tertua.
“Waktuku tidak banyak. Buka pintunya!” Aku melotot.
Salah-satu tukang pukul akhirnya menekan tombo elektronik, pintu baja terbuka. Aku melewatinya, di bawah tatapan tidak mengerti. Bagaimana mungkin boss mereka mengalah begitu saja? Cepat sekali? Hanya lima menit, memberikan benda curian itu demikian mudahnya? Bukankah mereka sudah siap berperang malam ini. 
Persis saat aku berhasil melintasi pintu baja itu, putra tertua melihat darah yang merembes di kimono Tuan Lin, sulaman burung Phoenix berubah menjadi merah, untuk kemudian, tubuh Tuan Lin tergeletak di atas karpet tebal. Dia segera mengerti apa yang sedang terjadi, berseru kalap, “Bunuh dia! Jangan biarkan dia lolos.”

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar