Senin, 07 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 3. Shadow Economy

Dua puluh tahun melesat cepat. Hari ini.
Ruangan dengan nuansa tradisional itu terlihat nyaman. Lantai marmernya mengkilat. Ada meja panjang terbuat dari kayu jati pilihan, dan beberapa kursi empuk. Lukisan karya maestro ternama tergantung di dinding, juga hiasan ukir-ukiran berkualitas nomor satu.
Tere Liye : Pulang

Pintu ruangan dibuka. 
Aku menoleh. Berdiri dari kursi.
Dua orang masuk, salah-satunya adalah sosok yang paling sering diliput, diberitakan oleh media nasional belakangan. Wajahnya menghiasi layar kaca, surat kabar, pun dunia maya. Mengenakan kemeja putih lengan panjang. Di belakangnya ikut melangkah seseorang yang dikenali sebagai penasehat kampanye bidang ekonomi, dengan jas dan dasi rapi.
“Sudah lama menunggu?” Orang dengan kemeja putih itu tersenyum, menyapa ramah.
“Tidak lama.” Aku menjawab pendek, menerima juluran tangannya.
“Silahkan duduk. Ayo, jangan sungkan-sungkan.” Orang itu menunjuk kursi.
Aku mengangguk.
“Mau minum apa?” 
“Aku tidak datang untuk minum atau makan, Bapak Calon Presiden.” 
Gerakan orang berkemeja putih yang hendak memanggil ajudan terhenti, dia menatapku, dahinya sedikit berkerut. 
“Oh ya? Hanya minuman ringan. Air putih?”
“Sekali lagi, Bapak Calon Presiden, aku tidak datang untuk minum. Dan jelas sekali, aku tidak datang untuk berbasa-basi.” Suaraku menggantung di ruangan.
Orang dengan kemeja putih itu terdiam. Hanya sebentar, kembali tersenyum hangat. Khas seseorang yang pandai menutupi diri. Keahlian itu sangat diperlukan bagi seseorang yang sedang bertarung memperebutkan suara orang banyak. Boleh jadi itu memang perangai aslinya, boleh jadi penuh kepalsuan. Topeng. Entah untuk tujuan baik, ataupun buruk. Tapi tidak dengan hidupku, aku tidak pernah mengenakan topeng.
“Baiklah kalau begitu. Apa yang bisa aku bantu? Karena aku barusaja menerima agenda ini. Sangat mendadak terus-terang. Aku seharusnya berkampanye di kota penting siang ini. Tapi penasehat ekonomiku mendesak, bilang pertemuan ini serius. Apakah ini soal dana kampanye? Dukungan dari para pengusaha?” Orang berkemeja putih diam sejenak, tersenyum, “Oh ya, bahkan aku belum tahu siapa nama Anda?”
“Orang-orang memanggilku Si Babi Hutan.” Aku menjawab datar.
Kali ini, ruangan itu lengang. Ekspresi wajah orang berkemeja putih benar-benar berubah sekarang. Dia tidak tahan lagi, menoleh ke arah penasehat ekonominya dengan wajah masam, “Apakah ini lelucon? Siapa orang ini? Bagaimana dia menyela semua kesibukan? Bertingkah tidak sopan di depanku?”
“Tidak ada yang sedang melucu saat ini, Bapak Calon Presiden.” Aku yang menjawab, “Anda bertanya siapa namaku, aku menjawabnya dengan akurat, Si Babi Hutan. Di mana letak tidak sopannya?”
Orang dengan kemeja baju putih menatapku, terdiam.
“Orang-orang terdekat juga menyebutku Bujang. Siapa nama asliku? Itu tidak penting, hanya orang tuaku yang tahu. Siapa aku? Nah, itu pertanyaan menarik. Aku adalah jagal nomor satu di Keluarga Tong. Aku hanya meminta waktu Anda tiga puluh menit. Dan Anda hanya punya dua pilihan atas hal itu. Membatalkan pertemuan ini, berangkat menuju kota penting tempat Anda hendak kampanye semula. Atau berbesar hati mendengarkan. Dua-duanya punya resiko. Tapi saranku, sebaiknya pilih opsi yang kedua. Itu pilihan terbaik. Sama dengan nomor pemilihan Anda, bukan?”
Orang dengan kemeja putih lengan panjang terdiam. Penasehat ekonominya berbisik, meyakinkan, betapa mendesaknya agenda ini, dan betapa seriusnya orang yang sedang mereka temui.
Ruangan lengang lagi. Orang dengan kemeja putih itu bergumam kebas. Dia akhirnya memperbaiki posisi duduknya, menatapku. Bersiap mendengarkan.
Aku mengangguk. Dia telah memilih dengan tepat. 
“Anda pasti pernah mendengar istilah shadow economy, Bapak Calon Presiden.”Aku mulai menjelaskan, dengan nada suara terkendali, mata menatap tajam, “Jika Anda tidak tahu, maka penasehat ekonomi yang duduk di sebelah Anda bisa menjelaskannya lebih baik. Dia menyelesaikan kuliah ekonomi di Amerika, dengan nilai baik. Tapi akan aku jelaskan secara singkat pokok besarnya.”
“Shadow economy adalah ekonomi yang berjalan di ruang hitam, di bawah meja. Oleh karen itu, orang-orang juga menyebutnya black market, underground economy. Kita tidak sedang bicara tentang perdagangan obat-obatan, narkoba, atau prostitusi, judi dan sebagainya. Itu adalah masa lalu shadow economy, ketika mereka hanya menjadi kecoa haram dan menjijikkan dalam sistem ekonomi dunia. Hari ini, kita bicara tentang pencucian uang, perdagangan senjata, transportasi, properti, minyak bumi, valas, pasar modal, retail, teknologi mutakhir, hingga penemuan dunia medis yang tidak ternilai. Yang semuanya dikendalikan oleh institusi ekonomi pasar gelap. Kami tidak dikenali oleh masyarakat, tidak terdaftar di pemerintah, dan jelas tidak diliput media massa, seperti yang Anda nikmati setiap hari. Bukankah masuk parit pun, wartawan berbondong-bondong memotret? Kami tidak. Kami berdiri di balik bayangan. Menatap semua kepalsuan hidup yang kalian miliki.”
Aku meraih sesuatu dari balik jasku.
“Pertanyaan menariknya adalah seberapa besar shadow economy? Jawabannya, di luar imajinasi siapapun. Beberapa pakar ekonomi menaksir nilai shadow economy setara 18-20% GDP dunia. Angka sebenarnya, dua kali lipat dari itu. Di negeri ini saja, dengan total produk domestik bruto per tahun 800 milyar dollar, maka nilai transaksi shadow economy lebih dari 320 milyar dollar, atau setara 4.000 trilyun rupiah, 40% GDP. Anda pasti pernah melihat majalah ini.” 
Aku meletakkan majalah terkemuka di dunia yang berisi daftar orang terkaya seluruh negeri. 
“Daftar orang terkaya di majalah ini adalah lelucon. Ditulis besar-besar, headline, seratus orang terkaya, dengan total kekayaan sebesar 102 milyar dollar, berapa puluh tahun mereka mengumpulkan kekayaan itu? Bandingkan dengan nilai transaksi shadow economy dalam setahun. Kami hanya butuh tiga bulan saja untuk mengumpulkan uang setara dengan kekayaan seratus orang. Dan bicara soal kepalsuan, aku beritahu rahasia kecil, seperempat dari daftar ini, adalah orang-orang kepanjangan tangan kami. Mereka seolah memiliki bisnis penerbangan besar, bisnis properti raksasa, pabrik rokok, perbankan, tapi kamilah penguasanya. Kami yang menggelontorkan milyaran dollar sebagai modal. Mereka seperti boneka, digerakkan dari jauh tanpa terlihat. Dua puluh tahun terakhir, kami bertransformasi, berubah secara menakjubkan. Sesuatu yang gelap menjadi remang, mengubah yang remang menjadi terang. Kami bukan lagi tikus busuk di got, menjual ganja atau organ tubuh illegal. Hari ini, kami menyelinap di setiap bisnis legal.”
“Satu diantara empat kapal di perairan negeri ini, adalah milik keluarga penguasa shadow economy. Satu diantara enam properti penting negeri ini adalah milik shadow economy. Bahkan satu diantara dua belas lembar pakaian, satu diantara delapan telepon genggam, satu diantara sembilan website adalah milik jaringan organisasi shadow economy. Kami bagai gurita, menguasai hampir seluruh aspek ekonomi. Ada lebih dari empat ratus juta tenaga kerja yang bekerja di ekonomi hitam seluruh dunia. Sepuluh juta diantaranya ada di negeri ini.”
“Kami bukan mafia, triad, yakuza, atau apapun yang Anda pernah lihat di film, televisi, buku-buku. Menyamakan kami dengan mereka, sama saja dengan menyamakan kami dengan preman pasar. Organisasi kami lebih besar, lebih rapi, dan dalam teritorial tertentu, di negara-negara tertentu, organisasi shadow economy bahkan lebih besar dan lebih berpengaruh dibanding pemerintahannya. Bedanya, mereka tidak mencolok, tidak nampak.”
Orang berkemeja putih lengan panjang yang sedang kuajak bicara terlihat menahan nafas. Dia sepertinya mulai mengerti arah percakapan.
“Bapak Calon Presiden, sejak dulu shadow economy dikelola oleh keluarga-keluarga yang berkuasa. Ada delapan keluarga yang menguasai negeri ini. Akan ada salah-satu keluarga yang ditunjuk menjadi pemimpin. Mereka membagi kue dengan adil, dan berjanji tidak akan saling menganggu. Tapi siapa yang bisa memegang janji dunia hitam? Setiap periode tertentu, siklus berubah, kepemimpinan selalu menyesuaikan perubahan jaman. Yang tua digantikan yang muda. Keluarga lemah digantikan keluarga yang kuat. Sebagian terjadi dengan damai, sebagian lagi harus dibayar dengan nyawa ratusan hingga ribuan orang. Ambisi. Perebutan kekuasaan. Sudah makanan biasa antar keluarga. Orang biasa tidak tahu-menahu, mereka tidak pernah menyadari jika di kota mereka, barusaja terjadi pembunuhan massal, yang terlihat hanya kulit luarnya, karena semua terjadi di bawah bayangan.
“Sepuluh tahun terakhir, keluarga Tong menjadi penguasa di negeri ini. Pemimpinnya dipanggil Tauke Besar. Aku adalah kaki tangan langsung Tauke Besar. Jagal nomor satu. Hari ini aku ditugaskan menemui Anda, membicarakan soal ini. Anda mungkin baru mengalami hal ini, Bapak Calon Presiden. Mengejutkan memang. Tapi Anda akan terbiasa. Kami selalu menemui calon-calon presiden, termasuk presiden yang akhirnya terpilih. Pesaing Anda tidak terlalu terkejut saat bertemu denganku satu hari lalu, karena dia dari latar belakang militer, menguasai intelijen. Dia pernah mendengar keberadaan kami, selintas lalu, tapi dia tidak tahu seberapa banyak orang kami di militer.”
Aku diam sejenak, menghentikan penjelasan, tersenyum.
“Apa…. Apa yang sebenarnya kalian inginkan?” Orang berkemeja putih bertanya, mengusap wajah.
“Tidak ada.” Aku menggeleng takjim, “Sama sekali tidak ada.”
“Aku menemui Anda hanya untuk menyampaikan pesan. Jika Anda terpilih menjadi presiden, biarkan semua berjalan seperti biasa. Jangan mengganggu kami, maka kami tidak akan mengganggu pemerintahan. Tapi sekali saja pemerintahan bertingkah, kami bisa menjatuhkan rezim manapun. Tidak peduli seberapa kuat dia. Anda pasti tahu kejadian enam belas tahun lalu, bukan? Runtuhnya kekuasaan seseorang yang telah berkuasa tiga puluh tahun lebih di negeri ini.
“Enam belas tahun lalu, salah-satu perwakilan shadow economy dari keluarga yang berkuasa saat itu menemui presiden terpilih untuk keenam kalinya. Lima periode, dia bersepakat, tapi di periode keenam, atas dasar bisikan rakus keluarga terdekat, serta penasehat di sekitarnya, dia mulai bertingkah, merasa lebih superior dibanding siapapun. Sialnya, dia bukan hanya tidak bisa dikendalikan lagi, bahkan mengancam akan menangkapi siapapun yang terlibat dalam organisasi dunia hitam.”
“Dia keliru. Benar-benar keliru. Dia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Kami bukan preman di terminal. Kami bukan anjing penggertak. Kami adalah organisasi raksasa, tersambung dengan keluarga-keluarga besar yang mengendalikan dunia hitam di seluruh dunia. Satu rezim pemerintahan mengancam, itu berarti ancaman bagi seluruh dunia. Pertemuan di adakan di Hong Kong. Kesepakatan diambil, kolega luar negeri kami merancang kejatuhan nilai tukar uang, membombardir transaksi valas. Belasan perusahaan pasar uang dan pasar modal di bawah kendali shadow economy beroperasi dalam senyap. Hanya butuh waktu dua minggu, krisis moneter meledak di Asia. Mata uang lokal hancur lebur, ekonomi limbung. Sisanya mudah. Cukup pengungkit kecil, menggerakkan pion-pion, demonstrasi, media massa, dia tumbang bersama kesombongannya. Anda mungkin hanya tahu itu krisis moneter, tidak pernah tahu jika ada organisasi besar beroperasi di belakangnya.”
“Kami ada di mana-mana, Bapak Calon Presiden, jangan pernah main-main dengan kami. Jangan ganggu kami, maka kami tidak akan mengganggu Anda. Silahkan Anda menjual program ekonomi apapun, kartu sakti, pemberantasan korupsi dan entahlah omong-kosong kampanye itu. Anda punya urusan sendiri, kami juga punya urusan sendiri. Jika tanpa sengaja urusan kita bersinggungan, kami akan mengirim seseorang untuk menyelesaikannya tanpa keributan. Jika salah-satu keluarga kami mengganggu Anda lebih dulu, ini kartu namaku, kalian bisa mengubungi kapan saja, dan aku akan menyelesaikannya. Juga dengan damai.” 
Aku meletakkan selembar kartu nama di atas meja jati. Tersenyum.
Ruangan itu lengang saat aku memutuskan diam sejenak, melirik jam di pergelangan tangan.
“Baik. Tiga puluh menit telah habis. Terima kasih atas waktunya.” Aku berdiri. Menjulurkan tangan.
Orang berkemeja putih lengan panjang itu patah-patah ikut berdiri, menyeka dahinya yang berkeringat, gemetar menerima tanganku.
“Semoga sukses dengan pemilihan Anda. Selamat siang.”
Aku mengangguk untuk terakhir kali—juga ke arah penasehat ekonominya,kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu. 
Aku sudah menyelinap, berjalan di tengah kerumunan wartawan yang sibuk memenuhi pelataran gedung, saat orang berkemeja putih itu menatap penasehat ekonominya, dengan wajah tegang, meminta penjelasan, apa yang baru saja terjadi. Apakah itu mimpi di siang bolong?
“Tidak ada sepotong pun kalimatnya yang bergurau, Pak.” Penasehat ekonominya berkata lirih, mahfum apa maksud ekspresi wajah orang di depannya.
“Aku tahu pemuda itu, sedikit. Dia satu kampus denganku di Amerika, menyelesaikan dua master sekaligus empat short-course dalam waktu singkat. Dia lulus dengan nilai sempurna. Tidak ada yang mengenal latar belakang keluarganya. Semua serba misterius. Tapi itu bukan hal mengerikan yang dia miliki. Di tahun kedua, saat aku masih di sana, kampus kami kedatangan atlet lari cepat pemegang rekor dunia. Pemuda itu menantang atlet itu untuk lomba lari. Hanya beberapa orang yang menyaksikannya, di stadion kampus yang tertutup, dia mengalahkan atlet pemegang rekor dunia itu seperti mengalahkan seorang anak kecil.”
“Jika dia adalah jagal dunia hitam, maka tidak pelak lagi, dia adalah jagal nomor satu. Jenius, kuat dan tidak mengenal rasa takut. Semua ucapannya adalah kebenaran. Itulah kenapa, aku sungguh minta maaf, terpaksa memutuskan membatalkan kampanye di kota lain. Pertemuan ini sangat penting, aku tidak bisa menolak saat mereka memintanya, atau kita beresiko menghadapi sesuatu yang berbahaya.”
Ruangan itu kembali lengang. 
Orang berkemeja putih lengan panjang terduduk di atas kursi, menghembuskan nafas, meraih perlahan kartu nama berwarna putih di atas meja jati, membaca namaku di atasnya, “Si Babi Hutan”, dengan empat angka di bawahnya. Nomor telepon genggamku.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar