Kamis, 10 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

BAB 6. Patung Naga Emas Part 1

Percakapan dengan Tauke Besar di kamar tidurnya mengganggu jadwal terbangku. Aku harus bertemu dengan Basyir sebelum berangkat ke Hong Kong.
“Itu bukan keputusanku, Bujang.” Basyir menggeleng, dia sedang bersiap-siap memobilisasi belasan anggota keluarga terbaik, “Tauke Besar bilang bumi-hanguskan, itu berarti seluruh keluarga.”
“Kau sudah memastikan keluarga itu bersalah?”
“Tentu saja, Bujang.” Basyir terlihat sedikit tersinggung, “Mereka datang ke sini tadi siang sebelum Tauke pemeriksaan rutin, mereka datang untuk meminta ampunan. Bersedia memberikan separuh bisnis keluarga sepanjang diampuni. Tauke menolak bertemu.”
Aku menghembuskan nafas. Hampir semua keluarga sebenarnya punya mata-mata di keluarga lain. Keluarga Tong, bahkan punya banyak, sebagai sumber informasi, termasuk di pemerintahan. Tertangkap-tangan mata-mata adalah hal lumrah, bisa ditebus dengan harga yang pantas, atau hanya kehilangan wilayah teritorial. Tapi sepertinya Tauke sangat sensitif belakangan, dia merasa apapun yang mengancam Keluarga Tong harus dihabisi.
Tere Liye : Pulang

“Kau tenang saja, Bujang.” Basyir tersenyum, “Biarkan aku dan yang lain membereskan hal seperti ini. Aku pastikan, sekembali dari Hong Kong situasi kembali normal, dan keluarga kita bisa bersiap menyambut calon kepala keluarga baru. Aku mungkin tidak bisa lagi memanggil namamu langsung, aku harus mulai berlatih memanggilmu, Tauke Muda.”
“Aku tidak senang membicarakannya, Basyir.” Aku menjawab cepat, “Dan berhenti menggangguku dengan panggilan itu.
Basyir tertawa, menepuk pundakku, “Kau harus mulai membiasakan diri mendengar panggilan itu, Bujang. Tidak ada lagi yang boleh memanggil namamu sekali kau diangkat jadi penerus.”
Aku mendelik, menyuruhnya diam.
Basyir mengangkat bahu, tetap tertawa.
“Jika hal ini memang terpaksa dilakukan, pastikan kalian melakukannya dengan cepat, Basyir, agar mereka tidak menderita.”
“Tentu saja, Tauke Mu, eh, sorry, Bujang.” Basyir melambaikan tangannya, sengaja menggangguku. Di halaman bangunan utama, enam mobil van berwarna hitam mengkilat telah siap berangkat. Basyir naik ke salah-satu mobil, mengangguk kepadaku, berseru pendek, “Assalammualaikum.” 
Pintu baja yang digerakkan sistem otomatis membuka, rombongan eksekutor itu berangkat.
Aku melirik jam di pergelangan tangan. Sudah pukul lima sore, aku juga harus segera ke bandara.
***
Tiba di bandara pukul lima tiga puluh.
“Maaf aku terlambat sekali, Edwin.” Masuk ke dalam pesawat jet pribadi Keluarga Tong.
“Anda Kaptennya, Capt. Tidak masalah.” Seseorang dengan seragam pilot sudah menunggu, dia sedang asyik membaca majalan di kursi kokpit, segera meletakkan majalah itu.
Aku melepas jas hitam, melemparkannya sembarang ke kursi penumpang. Segera duduk di sebelah Edwin, memasang alat komunikasi.
“Semua sudah siap?” Memeriksa cepat panel-panel di depanku.
“Sejak dua jam lalu.” Edwin menjawab mantap, tangannya terampil menekan tombol-tombol persiapan berangkat, pintu pesawat ditutup.
Aku mengangguk. Lima belas detik, lampu hijau berkedut di layar panel, aku segera menggerakkan tuas. Edwin di sebelahku berbicara dengan menara pengawas. 
Pesawat jet bergerak anggun menuju runaway. Aku mengonfirmasi untuk terakhir kalinya kepada menara, ijin take off diberikan. Aku menekan tombol, mesin jet menggerung bertenaga, lantas meluncur cepat di atas aspal. Tiba di kecepatan yang dibutuhkan untuk mengudara, tanganku perlahan menggerakkan tuas, moncong pesawat mulai naik, dan dua detik berikutnya, pesawat jet berkelir merah itu sudah melesat ke angkasa.
“Mulus seperti biasanya, Capt.” Edwin tersenyum.
Aku mengangguk, menatap ke depan lewat jendela kokpit. Setidaknya berangkat sore seperti ini, pemandangan ibukota menakjubkan. Lampu-lampu menyala, membuat kota seperti bermandikan cahaya. Pesawat jet melakukan manuver kecil, sebelum akhirnya masuk ke dalam lintasan. Stabil di ketinggian tiga puluh ribu kaki. 
“Aku tidak akan mengemudi malam ini, Edwin.” Aku memberitahu, bangkit berdiri, “Kau saja. Aku harus mengerjakan satu-dua hal di kabin penumpang. Jangan lupa, transit lima belas menit di bandara Singapura.”
“Tidak masalah, Capt.” Edwin mengangguk. Dia pilot muda, usia dua puluh delapan tahun, direkrut dari angkatan udara. Lulusan terbaik akademi, karir militernya cemerlang, hingga dia nekad menerbangkan pesawat tempur dalam misi personal. Mendaratkannya di landasan pacu komersil. Insiden itu membuat berang atasannya, dia dipecat tidak hormat. 
Aku yang merekrut Edwin lima tahun lalu, tertawa saat tahu apa misi personalnya. Edwin hanya ingin bergegas pulang menemui Ibunya yang sakit keras di kota lain. Aku menawarkan menjadi pilot Keluarga Tong—dengan bonus dia bebas memakai beberapa pesawat jet canggih milik Keluarga Tong, bahkan kalaupun dia hanya ingin mengajak Ibunya makan siang di Hawaii. Tidak akan ada yang memecatnya. Edwin adalah pilot serba-bisa, dia juga bisa menerbangkan helikopter.
Hanya ada kami berdua di atas pesawat dengan kapasitas dua belas kursi penumpang itu. Aku menghempaskan punggung di salah-satu kursi. Segera mengeluarkan koper dari atas bagasi—pelayan yang mengirimkannya lebih dulu ke pesawat. Menyalakan tablet, segera tersambung ke sistem operasional organisasi. Membalas beberapa email, menandai beberapa masalah yang masih belum selesai. Memberikan perintah ke beberapa Letnan. Termasuk membaca laporan Parwez tentang kondisi terakhir group shipping, Parwez melaporkan salah-satu kapal kontainer raksasa milik keluarga mendapatkan masalah di perairan Somalia. Aku mengangguk. Itu masalah sederhana, perompak itu tidak punya ide sama sekali sedang berurusan dengan kapal milik siapa. Aku mengirim email ke keluarga pengendali shadow economy di tanduk Afrika. Masalah ini bisa selesai hitungan jam sekali emailku dibaca oleh mereka.
Di Keluarga Tong, aku tidak masuk dalam struktur organisasi, karena posisiku adalah jagal nomor satu. Aku kaki tangan langsung Tauke Besar. Tugasku spesialis, penyelesai konflik tingkat tinggi. Jika Basyir atau Parwez mengalami kesulitan, karena tidak semua masalah bisa diselesaikan hanya dengan kekerasan ala Basyir ataupun hanya dengan negosiasi ala Pawez, aku turun tangan. Atau jika Tauke Besar punya masalah dengan kolega, pemerintah, atau musuh, aku yang akan mengurusnya sebelum menjadi serius. 
Layar tabletku berkedip hijau, itu berarti semua status masalah telah terbarui. Ini juga adalah pendekatan mutakhir dalam operasional organisasi. Keluarga Tong telah menggunakan sistem yang aman untuk komunikasi pekerjaan. Kami tidak lagi menggunakan kurir, penyampai pesan, ataupun kode-kode rahasia seperti jaman dulu. Kami menggunakan teknologi. Email misalnya, itu masuk dalam jaringan keluarga dengan sistem enskripsi tinggi, bahkan peretas yang mampu menaklukkan kantor agen rahasia negara maju pun akan kesulitan membobol sistem kami—meskipun alasan sebenarnya, sebagian peretas itu adalah anggota keluarga shadow economy, jadi mereka memang tidak tertarik mencobanya. 
Aku meletakkan tablet, melirik pergelangan tangan, pesawat sudah hampir tiba di Singapura, meraih telepon genggam. Menghubungi seseorang yang seharusnya sejak tadi sudah menunggu di sana. Berbicara sebentar, semua sudah siap. Edwin di ruang kokpit memberitahuku pesawat agar segera mendarat. Aku memasang sabuk pengaman, meluruskan kaki, menatap keluar jendela, hamparan gemerlap kota Singapura.
Setiba di parkiran bandara pesawat pribadi Changi, dua orang menaikkan kotak kayu. Meski kecil, hanya sisi tiga puluh senti, kotak itu berat. Mereka meletakkannya hati-hati ke atas kursi penumpang, mengikatnya agar tidak bergerak. Hanya lima belas menit, pesawat sudah kembali mengangkasa. Aku duduk sebentar di kursi pilot, menemani Edwin hingga lepas perairan Malaysia, kemudian kembali duduk di kursi penumpang, berusaha tidur di sisa perjalanan.
Pesawat jet tiba di Hong Kong jam sembilan lewat tiga puluh. Mobil limusin telah menunggu di hanggar pesawat pribadi, sopir langsung membawaku ke pusat kota. Tujuanku adalah gedung empat lantai dengan arsitektur china kuno, di daerah Kowloon. Gedung itu dari luar tampak sepi, tapi saat melangkah ke dalam lobinya, kemeriahan terlihat di setiap jengkalnya. Umbul-umbul berwarna merah, memenuhi setiap dinding. Ratusan orang berdiri di ballroom dengan pakaian cerah. Meja-meja panjang menghidangkan miesoa, juga kue-kue berwarna merah. Di panggung, sekelompok seni tradisional sedang membawakan lagu dan puisi-puisi perayaan. Simbol kegembiraan dan kesejahteraan, sekaligus menghormati para leluhur.
Empat orang penjaga memeriksa setiap tamu yang masuk di pintu ballroom. Aku menyapa mereka dengan bahasa china yang fasih, menunjukkan undanganku. Empat penjaga itu mengangguk, mempersilahkan. Di belakangku, dua orang pelayan membawa kotak kayu yang kuambil di bandara Singapura.
Ini pesta ulang tahun Master Dragon yang ke-80, pucuk tertinggi penguasa shadow economy daratan China. Keluarga Tong diundang mengikuti jamuan makan malam, aku mewakili Tauke Besar. Menurut tradisi China, sebenarnya mereka baru merayakan ulang tahun setelah usia lima puluh. Sebelum usia itu, ulang tahun adalah urusan privat, cukup dirayakan di rumah secara tertutup. Tapi yang satu ini spesial, usia ke-80, berarti perayaan ulang tahun besar, da shou. 
Aku terus melangkah hingga ujung ballroom, melintasi ratusan tamu perayaan ulang tahun, tiba di pintu besar berukiran naga, dua orang terlihat menjaganya. Salah-satu penjaga itu mengenaliku.
“Selamat malam, Si Babi Hutan,” Dia mengangguk dalam-dalam kepadaku, “Master Dragon telah menunggu Anda di dalam.”
Aku balas mengangguk selintas. Melangkah melewati pintu.
Ada meja panjang di ruangan dalam, juga dipenuhi makanan miesoa, kue-kue merah seperti di ballroom. Bedanya, ada kursi-kursi yang melingkarinya.Kursi paling ujung, paling besar, duduk seseorang mengenakan jubah tradisional keemasan dengan motif naga. Di belakangnya berdiri lima orang pengawal. Di meja itu ada dua belas kursi, dan semuanya telah terisi oleh tamu lainnya, menyisakan satu kursi paling dekat dengan kursi besar—kursi milik Keluarga Tong. 
Aku melangkah mendekat, dua pelayan yang membawa kotak kayu terus mengikutiku.
“Ah! Akhirnya kau tiba, Si Babi Hutan.” Orang yang duduk di kursi paling besar menyapaku.
Dialah yang sedang berulang tahun. Dialah kepala seluruh keluarga, semua orang memanggilnya Master Dragon. Usianya delapan puluh tahun, rambutnya memutih, tapi dia terlihat segar. Matanya berkilau tajam, garis wajahnya terlihat tegas, rahangnya kokoh, usia sepertinya belum berhasil menaklukkan tampilan menakutkan darinya. Konon, dengan kekuasaan gelapnya, dia bisa mengubah hasil pemilu negara-negara maju, menunjuk Presiden yang dia sukai.
Aku membungkuk, tanganku teracung member hormat, “Selamat ulang tahun, Dragon Master. Aku minta maaf Tauke tidak bisa datang sendiri kali ini.”
“Ah, aku tahu Si Babi Hutan.” Dragon Master melambaikan tangan, “Apa kabar dia? Masih tetap meringkuk di atas tempat tidur? Belum mati dia?”
Aku mengangguk. Sebelas tamu di kursi lain menatap kami. Mereka adalah perwakilan keluarga dari banyak tempat, termasuk salah-satunya dari keluarga penguasa shadow economy di Macau—alasan sebenarnya kenapa aku datang ke Hong Kong selain menghadiri jamuan makan malam.
“Malang sekali nasib kawan satu itu. Usianya lebih muda sepuluh tahun dariku, tapi sudah sakit-sakitan. Hanya bisa memukuli bantal, atau memerintah guling. Sementara aku masih bisa memukuli lawan-lawan tangguh.” Dragon Master tergelak.
Aku menoleh kepada dua pelayan di belakang, mereka segera maju, meletakkan kotak kayu di atas meja. Aku membuka kotak itu. Sebuah patung naga emas langsung terlihat saat tutup kotak dilepas.
“Demi Dewa-Dewa!” Master Dragon berseru melihat patung itu.
“Hadiah ulang tahun dari keluarga kami, Master Dragon. Maafkan jika sangat sederhana.” Aku berkata takjim, kembali membungkuk.
“Bukankah itu patung yang hilang dari pameran seni di Singapura? Beritanya ada dimana-mana dua hari terakhir.” Salah-satu tamu berseru, berdiri, melongokkan kepala.
Aku mengangguk.
“Ini hebat, Si Babi Hutan. Hebat sekali.” Master Dragon juga berdiri, tangannya mengelus patung naga tersebut, “Belasan tahun aku menginginkan patung ini, mereka menjaganya seperti menjaga tongkat dewa, berkali-kali aku mengirim orang untuk mengambilnya dengan baik, tidak berhasil. Aku tawarkan seratus juta dollar sebagai sumbangan untuk Museum, mereka tolak mentah-mentah, bilang tidak akan pernah dijual. Hanya karena aku menghormati patung ini aku tidak merampasnya paksa. Hari ini, di hari ulang tahunku yang ke-80, kau justeru membawakannya untukku, ini hebat sekali.”
Aku sekali lagi mengangguk. Tidak mudah mencuri patung naga itu dari tempatnya, aku harus mengirim pencuri paling lihai, membayarnya mahal, juga lebih banyak uang untuk menyumpal petugas, pihak-pihak lain agar pencurian itu berhasil. Tapi membawa patung ini penting sekali untuk memenangkan hati Master Dragon, ada urusan yang membutuhkan persetujuannya malam ini.
“Duduk, ayo, mari bergabung bersama kami, Si Babi Hutan.” Master Dragon menepuk bahuku, “Kau datang terlambat, tapi makanan lezat masih terhidang. Ayo, hidangkan makanan untuknya.”
Patung naga emas itu dibawa ke dalam oleh pengawal. Jamuan makan malam itu dilanjutkan. Beberapa pelayan berlalu-lalang menambah makanan dan minuman di atas meja.
“Bisa kalian ambilkan air putih.” Aku mendongak ke salah-satu pelayan.
Pelayan itu terlihat bingung. Dia sedang membawa nampan sake.
“Tentu saja bisa. Aku lupa soal itu.” Master Dragon yang menjawabnya, terkekeh, menoleh ke pelayan, “Jangan beri dia minuman beralkohol, Si Babi Hutan tidak menyentuhnya sama sekali. Juga miesao, jangan ada daging babinya. Suruh koki memasaknya tanpa daging apapun. Anak muda ini punya selera murahan sekali memang.”
Ini kali keempat aku bertemu Master Dragon, tiga sebelumnya bersama Tauke. Pada pertemuan pertama, saat jamuan makan malam, Master Dragon menatapku heran ketika Tauke bilang aku tidak akan minum tuak atau sake yang dihidangkan. 
Kenapa? Master Dragon ingin tahu. Aku menggeleng. Itu pesan terakhir Mamakku. Maka tidak setetes pun aku akan meminumnya hingga mati.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar