Rabu, 23 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 13 : Salonga Dari Tondo

Pesawat jet yang dikemudikan oleh Edwin sudah mendekati Manila, dia memberitahuku lewat intercom. Aku terbangun, memperbaiki posisi duduk, memasang sabuk pengaman. Selepas dari Hong Kong menurunkan si kembar dan White, aku memutuskan tidur, beristirahat sejenak. Sekarang sudah hampir pukul tujuh pagi, menatap keluar jendela, awan putih mengambang di sekitar pesawat, matahari sudah terang.
Lima belas menit kemudian, pesawat jet mendarat mulus di bandara. Aku melangkah turun, sedan hitam telah menungguku di hanggar pesawat. Aku punya kontak di berbagai negara, lewat telepon singkat, mereka bisa menyiapkan dengan cepat kebutuhan logistik setiba aku di sana. Mengemudikan sedan itu menuju pusat kota Manila.
Tere Liye : Pulang

Hari kerja pertama setelah libur, jalanan padat. Mobilku merayap. Tapi itu tidak masalah, aku bisa mengerjakan beberapa hal selama perjalanan.
Yang pertama, Parwez meneleponku.
“Kapal kontainer itu sudah kembali melepas sauh, Bujang. Anak buahnya utuh, juga seluruh barang bawaannya. Terima kasih bantuannya.” 
Aku mengangguk. Sudah seharusnya demikian. Perompak itu tidak akan pernah berani berurusan dengan penguasa shadow economy. Pasukan militer milik pemerintah tetap punya prosedur jika hendak menyerang, ada negosiasi, tahapan-tahapan, tapi kami, sekali jengkel, seluruh desa asal perompak itu bisa dihabisi. Mereka menahan kapal kami, maka kami akan menahan seluruh keluarganya. Mereka melukai awak kapal kami, maka kami akan melukai seluruh keluarganya.
“Kau berada di mana sekarang?”
“Manila.” Aku menjawab pendek.
“Kapan kau kembali?”
“Jika semua lancar, malam ini sudah tiba di markas besar. Ada apa?”
“Ada yang ganjil sepagi ini di kantorku, Bujang.” Parwez mengecilkan suaranya, entah dia takut didengar siapa, “Ada banyak orang-orang yang tidak dikenali security kantor, mereka masuk ke lobi, lantai-lantai tertentu, termasuk ke lantai dengan akses keamanan tingkat tinggi.”
“Mereka bukan tamu kantor?” Aku memastikan. Parwez berkantor di jalan protokol ibukota, gedung tiga puluh lantai, di sana jelas banyak kantor perusahaan Keluarga Tong. Boleh jadi orang-orang itu adalah kolega, klien, konsumen, supplier atau entahlah.
“Awalnya aku pikir begitu, mereka mungkin ada keperluan bisnis, tapi ini ganjil, Bujang. Aku tidak ahli soal ini, aku hanya tahu tentang perusahaan, bukan tukang pukul. Tapi pagi ini, sekretarisku menerima dua orang yang bilang mereka punya jadwal pertemuan denganku. Aku tidak mengenalnya, dan tidak ada nama mereka dalam daftar tamu. Sekretarisku menolak mereka, mengambil inisiatif memeriksa kantor di lantai lain. Polanya sama.”
Aku terdiam. Laporan Parwez serius.
“Kau sudah menelepon Basyir?”
“Sudah. Dia dan beberapa Letnan sedang dalam perjalanan menuju ke kantor.”
“Sementara kau selesaikan dengan Basyir. Setiba di sana, aku akan membantu memastikan siapa mereka, dan apa tujuan mereka. Jangan bertemu dengan siapapun yang kau tidak kenal Parwez, dan jangan bepergian tanpa pengawalan. Selalu bawa tombol darurat yang kau miliki.”
Parwez terdiam di seberang sana. Meski aku tidak melihatnya, aku tahu wajahnya sedang pucat. Parwez tidak pernah suka kekerasan, dan dia dalam posisi paling rentan jika hal itu terjadi. 
“Apakah ini serius sekali, Bujang?” Suara Parwez bergetar.
“Aku tidak tahu. Tapi semua orang harus bersiap-siap. Tauke Besar sudah berkali-kali memberitahu kemungkinan serangan. Kau akan baik-baik saja sepanjang tidak meninggalkan kantor. Gedung itu dilengkapi sistem pertahanan terbaik, sama seperti markas besar Keluarga Tong…. Aku harus memutus telepon, Parwez, ada telepon lain masuk, dari Basyir.”
“Baik. Sekali lagi terima kasih atas bantuannya, Bujang.” 
Mobilku berbelok di perempatan depan, setelah melaju lancar satu kilometer, kembali menemui antrian panjang komuter Manila yang memulai aktivitas.
“Selamat Pagi, Tauke Muda.” Suara khas Basyir langsung terdengar di langit-langit mobilku saat aku menerima teleponnya.
“Berhenti memanggilku begitu, Basyir.”
Basyir tertawa, “Aku membaca berita pagi ini, Bujang. Kasino Grand Lisabon terbakar, lantai 40-nya rusak berat. Lampu seluruh kasino padam, seluruh tamu dievakuasi. Petugas kepolisian setempat bilang hanya kebakaran biasa, ada saluran gas yang meledak. Semua sudah terkendali. Sayangnya, mereka tidak tahu, kau sepertinya habis menggila di sana, Bujang?”
Aku ikut tertawa. Selalu menyenangkan membahas soal penyerbuan dengan Basyir. Sejak kami remaja, membanding-bandingkan aksi siapa yang paling keren, mengolok-olok, itu sudah kebiasaan setiap tukang pukul.
“Kau sudah menerima telepon Parwez?” Aku memotong tawa Basyir.
“Sudah. Aku sedang menuju kantor Parwez, ada empat Letnan bersamaku. Macet hari pertama kerja sialan ini membuatku terlambat. Anak itu pasti sudah berkali-kali ke toilet karena gugup. Semoga orang-orang itu hanya salah-alamat datang ke kantor Parwez. Kita tidak perlu membuka front peperangan baru di masa-masa seperti ini.”
Aku mengangguk. Semoga mereka bukan orang suruhan dari Keluarga Lin. Dalam dunia yang tersambung cepat, meskipun Makau ribuan kilometer jauhnya, cukup hitungan jam jika Keluarga Lin memutuskan menyerang, mengirim orang-orang bayaran. Mereka sedang sakit hati, sepagi ini, keluarga mereka sedang berkabung, kantor Parwez adalah sasaran setara dengan Grand Lisabon, mereka punya alasan lengkap untuk melakukannya. Lazim sekali dalam tradisi balas dendam, kesumat harus diselesaikan sebelum Tuan Lin dikebumikan.
“Bagaimana eskekusi tadi malam?” Aku teringat sesuatu.
“Dilakukan dengan cepat, Bujang. Sesuai keinginanmu. Mereka bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi, lima menit, dan kami telah kembali ke markas besar.”
Aku menghembuskan nafas perlahan.
“Hei, kau baik-baik saja, Bujang?” Basyir bertanya, intonasi suaranya terdengar heran.
“Aku baik-baik saja.”
“Ayolah. Jangan-jangan kau mulai melunak soal ini, Kawan. Ada apa denganmu? Kau tidak terdengar nyaman setiap kali membahas eksekusi.”
Aku menyumpahi Basyir dalam hati. Siapa pula yang akan nyaman? Eksekusi itu berarti menghabisi seluruh penghuni rumah, termasuk anak-anak, wanita, siapa saja yang ada di sana. Sejauh apapun Tauke Besar membawa bisnis ini lebih terang, bersih, sisi satunya tidak pernah bisa ditinggalkan. Sisi itu seperti bayangan hitam pekat yang selalu ikut. Tidak bisa dipisahkan.
“Kau harus berhati-hati soal kantor Parwez, Basyir. Jangan terlalu mencolok.” Aku mengingatkan, “Ada belasan perusahaan kita yang terdaftar di bursa efek dunia berkantor di gedung itu. Bahkan kabar kebakaran biasa seperti Grand Lisabon tadi malam, bisa membuat rontok harga saham perusahaan kita di New York atau London, apalagi jika ada yang mengaitkannya dengan aktivitas ilegal. Lebih serius lagi dampaknya.”
“Jangan cemas, Bujang. Walaupun aku tidak tahu-menahu soal saham yang kau sebut itu, hanya kau dan Parwez yang sekolah di keluarga kita.” Basyir tertawa lagi, ”Aku akan bertindak hati-hati.”
Sambungan telepon kuputus setelah bercakap dengan Basyir satu-dua kalimat, mobil yang kukendari telah memasuki kawasan super padat kota Manila. Belasan rumah susun berdiri di sana, menggantikan sebagian perkampungan kumuh, ruko-ruko berbaris, kedai makanan dengan kepul asap dari kuali, took penjual gadget dan pulsa tapi sisanya sama, jalanan sempit, aroma busuk parit, sampah menggunung, preman yang mengatur parkiran, anak-anak jalanan yang berpakaian lusuh, gelandangan, peminta-minta, loket peminjaman uang dengan bunga selangit, tempat ini tidak pernah berubah sejak dulu. Masih menjadi poverty industry, bisnis kemiskinan bagi kelompok tertentu.
Inilah Tondo, kota Manila.
Aku akan menemui Salonga di sini.
***
Sepagi ini, ruangan latihan menembak itu dipenuhi belasan pengunjung, mereka mengenakan headset pelindung bising, kacamata dan rompi klub menembak. Terlihat dua puluh lajur menembak dengan sasaran di depannya, bisa dilihat dari jendela kaca tebal yang memisahkannya dengan ruangan resepsionis.
Aku melintasi bagian depan, dua pemuda yang menjaga meja penerima tamu segera mengenaliku.
“Salonga ada di ruangan latihan belakang, Tuan.” 
Aku mengangguk.
Salonga sudah pensiun menjadi pembunuh bayaran. Sudah sepuluh tahun terakhir dia banting stir, membuka klub menembak di Tondo. Dia membeli lapangan besar di sana, menyulapnya menjadi tempat latihan menembak terlengkap dan terbaik di seluruh Asia. Lulusan klub ini tercatat menjadi atlet tembak terkenal, mulai dari anggota militer, kepolisian, satuan khusus, atau orang-orang yang sekadar menyalurkan hobi berburu, atau untuk menjaga diri. Klub menembak menerima murid-murid yang resmi, memegang lisensi senjata api, dan taat atas regulasi. Instruktur, peralatan, semuanya bersih dan sesuai SOP klub menembak.
Tapi itu hanya separuh gedung saja, sisanya, Salonga masih punya kelas khusus untuk pemuda yang dia rekrut, mulai dari pengangguran, anak jalanan, siapa saja di kawasan Tondo yang berminat belajar menembak. Ruangan latihan mereka ada di belakang, Salonga langsung yang menjadi instrukturnya, dibantu dua murid senior. Aku hampir setiap tahun mengunjungi Salonga di Manila, aku sudah hafal bangunan klub menembak, melangkah menuju ruangan itu, mendorong pintu besi. Suara letusan peluru terdengar bersahut-sahutan, ada delapan orang yang tengah berlatih menembak sasaran bergerak di dinding, sedangkan Salonga berdiri di belakang mereka, berteriak memaki seperti biasanya, “Bodoh! Astaga! Aku benar-benar menghabiskan waktu mengajari mereka.”
Aku menahan tawa, melangkah lebih dekat. Tubuh gempal dan pendek itu sudah hampir tujuh puluh tahun, masih gagah, meski rambutnya memutih, kulitnya menua. Tapi sisanya tetap sama, Salonga yang kukenal belasan tahun lalu, yang mudah marah, tidak peduli, memakai kaos tanpa lengan, celana pendek, persis seperti penjaga kelontong. 
“Cukup! Hentikan tembakan kalian!” Salonga berseru kesal.
Suara tembakan langsung terhenti. Delapan muridnya menoleh, juga dua instruktur senior yang berdiri di dekat Salonga.
“Kalian kira harga peluru itu murah, hah? Dua belas sasaran bergerak, hanya kena empat? Kalian sudah mati dari tadi jika itu pertarungan sungguhan.” Wajah Salonga merah-padam.
Aku kali ini sungguhan tertawa. Membuat Salonga menoleh.
“Hallo, Salonga.” Menyapanya.
“Ah! Ah, ini kejutan yang menyenangkan, kemari kau, Bujang.” Salonga berseru kepadaku, wajahnya yang merah padam berubah ceria.
Dia bukannya bertanya apa kabarku, kapan tiba di Manila, Salong langsung melemparkan pistol, “Kau perlihatkan kepada delapan murid bodohku ini, bagaimana menjadi seorang penembak yang baik.” 
Aku cekatan menangkapnya.
“Sekarang?” 
“Tentu saja sekarang, Bujang! Aku tidak punya waktu berdiri di sini sepanjang hari.”
Aku nyengir lebar, aku hanya bergurau, senang menggodanya. Baiklah, sambil masih memegang pistol, aku meletakkan tas punggung, melepas jas, menyampirkannya di kursi. Mengambil posisi, menggenggam pistol lebih erat. Melambaikan tangan memberi kode, salah-satu murid senior segera menekan tombol, dua belas sasaran itu bergerak cepat di dinding. Tanganku tidak kalah cepat mulai menarik pelatuk. Suara letusan terdengar susul-menyusul, dua belas sasaran itu bertumbangan. 
Enam detik. Ruangan latihan kembali lengang.
“Bagus sekali, Bujang.” Salonga terkekeh, kemudian menoleh, “Nah! Kalian lihat! Seperti itulah penembak yang menggunakan otaknya. Cepat, akurat, bahkan tidak berkedip menghabisi sasarannya. Nasib sekali aku harus mengajari kalian setiap pagi, makan hati, stress.”
Delapan murid Salonga terdiam, wajah mereka tertekuk. Aku tahu rasanya dimaki-maki seperti ini, mereka masih lebih baik, karena dimaki ramai-ramai, aku dulu, harus mengunyah kalimat kasar dan menyakitkan Salonga sendirian.
“Ikut aku, Bujang. Temani orang tua ini sarapan.” Salonga sudah melangkah menuju pintu besi, dua murid senior segera menggantikan.
Aku mengikutinya.
Lima menit, kami sudah duduk di teras lantai empat, menatap kawasan Tondo yang super padat. Klub menembak Salonga, terjepit rumah susun, ruko, bangunan-bangunan lain.
“Ini bukan jadwalmu seperti biasa, ada apa, Bujang?” Salonga tanpa basa-basi bertanya, sambil tangannya menyeduh kopi. Piring-piring berisi kue khas Manila tertata rapi di atas meja kayu. 
Aku ikut menyeduh kopi, “Hanya masalah kecil, Salonga.”
Salonga menatapku datar, “Kau tidak pernah membawa masalah kecil ke rumahku, Bujang. Bahkan saat kau masih sepantaran murid-muridku tadi, kau sudah menjadi masalah serius bagiku.”
Aku tertawa, menyeruput kopi dengan rileks. Mengambil sepotong kue, aku lapar, ini sarapan yang lezat. Salonga tahu aku tidak pernah minum-minuman keras atau makan daging babi, dia menyuruh pelayan menyiapkan sarapan yang aman.
“Tauke Besar punya masalah dengan Keluarga Lin,” Aku mulai menjelaskan, setelah menghabiskan kue tersebut, “Tadi malam, aku menyelesaikan masalahnya. Kepala keluarga Lin tewas—“
“Kau membunuhnya dengan pistol colt yang kuberikan?” Salonga memotong. 
Aku menggeleng, “Mereka memintaku meninggalkan semua senjata di luar—“
“Kalau begitu, kau membunuhnya dengan cara Guru Bushi?” 
Aku mengangguk.
“Mengecewakan, Bujang.” Wajah Salonga terlihat masam, “Kau seharusnya menggunakan pistol. Itu jauh lebih berkelas dibanding teknik ninja.”
“Ayolah, Salonga.” Aku berseru sedikit kesal, “Bagaimana cara aku membunuhnya tidak penting. Aku tidak mau bertengkar membahas hal tersebut setiap kali datang ke sini, lantas kau mengusirku karena tersinggung. Kau benar, pistol itu tetap cara paling hebat, tapi aku tidak bisa menggunakannya.”
Salonga bersidekap, wajahnya kembali ceria setelah aku bilang pistol tetap yang terbaik. Setahun lalu saat mengunjunginya, aku bertengkar soal pistol versus teknik ninja, aku menjawab, dalam pertarungan jarak dekat, teknik ninja lebih efektif. Salonga marah-marah, mengusirku pulang. 
“Kenapa kau membunuh kepala Keluarga Lin?”
“Mereka mengambil benda yang sangat penting milik kami, sebuah prototype teknologi terkini. Aku mengambilnya kembali. Itulah alasan kenapa aku tiba-tiba mengunjungimu. Aku ingin kau menyimpannya sementara waktu, hingga semua keributan berakhir. Hanya itu.”
“Itu tidak pernah ‘hanya itu’, Bujang.” Salonga menggeleng, “Dua tahun lalu, kau juga menitipkan benda berharga di sini, kau bilang ‘hanya itu’. Apa yang terjadi kemudian? Kami harus bertahan dua hari dua malam dari serbuan puluhan orang tidak dikenal. Aku kehilangan empat muridku, Tondo berubah menjadi kawasan mencekam, jam malam diberlakukan penguasa militer. Beruntung kami berhasil menghabisi seluruh penyerang.”
“Tapi itu menyenangkan, bukan?” Aku menyeringai, “Kau tidak pernah bisa meninggalkan masa lalu, Salonga. Merasakan sensasi berada dalam pertarungan, menghadapi musuh. Kau boleh saja mengaku sudah pensiun, tapi kau merindukan masa-masa terbaik itu. Murid-murid khususmu juga menyukainya, mereka punya kesempatan berlatih dalam pertempuran.”
“Kalau soal itu kau benar, Bujang.” Salonga terkekeh.
Aku meraih tas punggung. Dia sudah sepakat, tawa Salonga berarti dia bersedia menyimpan prototype pemindai. Meletakkan tas punggung itu di samping meja. Salonga meliriknya tidak peduli, dia kembali meraih gelas kopi, menyeruput nikmat.
“Apa kabar, Tauke?” Salonga beranjak membahas hal lain.
“Stabil. Tapi dia mungkin tidak akan pernah bisa meninggalkan tempat tidur.”
“Malang sekali nasibnya.” Salonga meletakkan gelas, “Ah, setidaknya aku masih bisa meneriaki murid-muridku di ruangan latihan. Selingan setiap pagi dan sore. Ayah angkat kau hanya bisa berteriak di atas ranjang. Dia terlalu serius bekerja, siang malam, tubuhnya tidak pernah cukup istirahat. Dia terlalu ambisius, entah apalagi yang dia inginkan. Nama Keluarga Tong sudah disegani di benua ini.”
Aku mengangguk, setuju pendapat Salonga. Sejak pindah ke ibukota, Tauke Besar tidak pernah berhenti bekerja. Setiap hari dia melakukan pertemuan, merancang sesuatu, mengeksekusi sesuatu. Setiap minggu kekuasannya melebar. Setiap bulan perusahaannya bertambah. Setiap tahun, satu demi satu kota ditaklukan, seperti tinta hitam yang dituangkan di dalam akuarium, cengkeraman Keluarga Tong menyebar kemana-mana. Tauke selalu dipenuhi mimpi-mimpi baru, dia tidak pernah puas, hingga sakit sumsum tulang belakang membuatnya terbaring di atas kasur.
Aku dan Salonga bercakap-cakap setengah jam lagi. Pukul sepuluh, saatnya aku pamit. Aku harus kembali ke ibukota, membantu Basyir mengurus orang-orang tidak dikenal di kantor Basyir.
“Kau harus berhati-hati, Bujang.” Salonga menepuk-nepuk pipiku, sebagai tanda berpisah,“Keluarga Lin akan membalas. Cepat atau lambat dia akan tiba di pintu rumah kalian. Belum lagi keluarga lain yang tidak suka dengan Tauke. Kesuksesan Tauke dua puluh tahun terakhir mengundang cemburu, banyak keluarga yang membencinya tanpa perlu alasan. Ini masa-masa kritis.”
Aku mengangguk.
“Jika kau butuh bantuan, segera hubungi aku, Bujang. Tondo punya pasukan besar.”
“Akan kulakukan. Terima kasih, Salonga.” 
Lima menit kemudian, sedan hitam yang kukendarai telah kembali ke jalanan kota Manila yang macet, menuju bandara.
Salonga tidak pernah meminta bayaran sepeserpun atas setiap pekerjaan yang Keluarga Tong berikan. Sebagian memang karena Salonga pernah diselamatkan oleh Tauke Besar dari tiang gantungan, tapi sebagian lagi yang lebih penting, karena dia memiliki definisi kesetiaan sendiri. Aku memahami filosofi Salonga tersebut dari latihan terakhir, saat aku diminta menembak kepalanya. Hanya kesetiaan pada prinsiplah yang akan memanggil kesetiaan-kesetiaan terbaik lainnya. 
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar