Minggu, 20 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 11 part 2. Latihan Menembak

Selain kuliah di siang hari, menjadi tukang pukul di malam hari, aku juga meneruskan latihan rutinku. Tidak setiap malam, hanya dua kali seminggu, di antara tugas malamku bersama tukang pukul lain, tapi itu tetap penting. Kopong memastikanku tetap menjalankan rencana-rencana pelatihan.
Keluarga Tong memiliki lahan luas di pinggiran ibukota yang disulap menjadi tempat latihan. Tidak menghadap pantai, berada di antara perumahan, tapi dengan fasilitas lebih baik. Ada trek lari di dalamnya, jadi aku tidak perlu menyalakan api unggun, juga tersedia fasilitas gym dan fitness, arena tinju, juga ruangan berlatih senjata tajam dan yang lainnya. Tempat itu ramai oleh tukang pukul hingga petang. Kosong melompong setelah malam tiba.
Tere Liye : Pulang

Kopong akhirnya memperoleh guru baru untukku. Namanya Salonga. Usianya sepantaran dengan Tauke. Dia jelas bukan guru biasa. Kopong mencarikan guru terbaik untukku.
Salonga lahir miskin di kawasan Tondo, kota Manila. Sebuah kawasan super-padat di ibukota Filipina. Gang-gang kumuh, jalan sempit, rumah menempel rapat satu sama lain, bau pengap dari got-got, dengan ratusan tindak kriminal terjadi setiap hari di atasnya. Salonga besar di jalanan yang keras. Sama seperti Kopong, sejak kecil dia sudah belajar memukul, mencuri, merampok, termasuk membunuh. Bedanya, tubuh Salonga gempal dan pendek, tidak cocok untuk postur seorang penjahat kawakan. Bahkan dia lebih mirip penjaga toko kelontong saat memakai kaos tanpa kerah dan celana pendek.
Tapi ada sesuatu yang sangat spesial dari Salonga. Itulah yang membuat Kopong dengan persetujuan Tauke Besar, menjadikannya guru berlatihku. Berikan dia pistol, maka di tangannya, pistol itu bisa punya mata dan telinga. Salonga adalah penembak ulung, terbaik di benua Asia. 
Aku tahu kisahnya. Usia dua puluh tahun, Salonga sudah tercatat sebagai pembunuh bayaran nomor satu di Manila. Dia melanglang buana ke banyak kota, menerima pesanan dari siapapun. Catatan rekornya seratus persen, tidak ada nama yang selamat dari daftar sasarannya. Di salah-satu perjalanan, membawanya bertemu dengan Tauke Besar (ayah dari Tauke sekarang), mereka menjadi teman baik, termasuk bersahabat dengan Tauke sekarang—yang belajar menembak darinya. 
Lantas bagaimana Salonga bisa menjadi guruku? Inilah menariknya. 
Enam bulan lalu, dia menerima klien yang sangat penting, order membunuh calon presiden Filipina. Salonga terbiasa terlibat dalam intrik politik di negeri manapun, tapi kali ini dia benar-benar terjebak dalam permainan tingkat tinggi elit kekuasaan. Ada dua calon presiden yang maju, dia harus menembak mati salah-satu diantaranya. Salonga sudah menyusun rencana, membawa pistol kesayangannya, tidak ada yang bisa menghentikannya. Persis di hari H, saat kampanye calon presiden itu, Salonga datang menyamar sebagai pendukung. Ketika calon presiden itu naik ke atas panggung, mulai berpidato, Salonga menarik cepat pistol di pinggang, terselip di antara ribuan, tanpa tahu dari arah mana si penembak, di tengah keramaian kampanye, Salonga melepas tembakan, persis ke dada calon presiden. Salonga tidak suka menembak kepala, dia selalu menyasar jantung.
Calon presiden itu tumbang. Kampanye menjadi kacau-balau. Sesuai rencana, Salonga seharusnya dengan mudah bisa melarikan diri dalam kerusuhan yang segara terjadi, itu sudah biasa dia lakukan, tanpa pernah tertangkap. Sialnya, Salonga tidak menyadari dia hanya dijadikan pion permainan. Pihak yang memintanya membunuh calon presiden justeru datang dari calon presiden sasarannya itu sendiri. Calon presiden itu telah menggunakan rompi anti peluru, jadi tidak mati. Insiden penembakan itu membuat rakyat bersimpati padanya, menuduh pelakunya adalah pesaing pemilihan. Intrik politik yang mematikan.
Nasib Salonga sial, dia dengan mudah dibekuk di acara kampanye itu, karena semua sudah direncanakan si pemesan. Hari itu, catatan rekor Salonga tumbang, dia diborgol, dibawa ke penjara dengan pengamanan maksimum. Enam minggu kemudian, calon presiden yang ditembaknya memenangkan pemilihan. Hakim tidak mempercayai kesaksiannya, Salonga dijatuhkan hukuman mati, digantung. Beruntung baginya, dia punya kawan lama yang kekuasaannya mulai membesar di negara tetangga. Tauke mengetahui kasus itu, maka sebulan lalu, persis sehari sebelum eksekusi, Tauke mengirim Kopong ke Manila. Kopong menyuap sipir dan pejabat penjara dengan setumpuk uang, rencana disusun, Salonga berhasil ‘melarikan diri’ dalam pelarian yang epik, koran-koran setempat menjadikannya berita utama. Dinding penjara yang hancur, jejak Salonga yang berlari di lorong-lorong bawah tanah—tapi itu semua hanya skenario agar tidak ada yang bisa disalahkan. 
Dua hari kemudian, Salonga tiba di ibukota bersama Kopong—bersamaan dengan pengumuman hadiah jutaan dollar dari pemerintah berkuasa bagi siapa saja yang bisa menangkap kembali Salonga. Tauke menawarinya tinggal di markas besar Keluarga Tong untuk sementara waktu, setidaknya hingga rezim penguasa di negara asalnya berganti, dan dia bisa memperoleh keadilan saat kembali. Kopong menambahkan ide itu, meminta agar Salonga juga melatihku menembak selama tinggal bersama kami, Tauke menyetujuinya.
Singkat cerita, akhirnya aku punya guru baru, menggantikan Guru Bushi.
Malam pertama bertemu dengannya, tidak akan aku lupakan. Jangan lihat penampilannya, karena kalian akan tertipu, menyangkanya hanya seorang laki-laki separuh baya pengangguran, yang lebih suka duduk melamun, tidak peduli sekitar. Salonga menemuiku di tempat berlatih Keluarga Tong, dia menatapku tidak peduli, menggaruk rambut yang berantakan. Melemparkan sepucuk pistol. Di seberang kami, terpisah empat langkah dariku—tidak jauh, sebuah tiang kayu telah berdiri dengan papan melintang di atasnya. Di atas papan itu ada enam botol kosong.
“Namamu Bujang, bukan?” Suara Salonga terdengar serak, menggunakan bahasa Inggris.
Aku mengangguk.
“Dengarkan aku baik-baik. Ada dua peluru di dalam pistolmu, Bujang. Latihanmu malam ini mudah. Kau harus menjatuhkan enam botol kosong di depanmu dengan dua peluru itu.” Salonga kemudian beranjak duduk di belakangku. Tidak peduli.
Dua peluru, enam sasaran. Aku menelan ludah. Bagaimana caranya? Aku menoleh ke arah Kopong yang ikut menemaniku berlatih. Kopong mengangkat bahu, berbisik, lakukan saja, Bujang.
Malam itu, aku belajar logika menggunakan pistol paling mendasar. Jarakku dengan enam botol itu dekat, hanya dua meter, mudah sekali aku menjatuhkan botol kosong itu—aku pernah belajar melempar shuriken, jadi telah memiliki pondasi menembak. Tapi dengan dua peluru di pistol, maka hanya itu saja yang berhasil kujatuhkan. Dua botol itu pecah berhamburan saat terkena peluru. Empat sisanya tetap berdiri di atas papan.
“Bodoh!” Salonga memakiku.
Aku menoleh—menelan ludah, tidak menyangka akan dimaki. 
“Kau kusuruh menjatuhkan enam botol dengan dua peluru. Berapa yang kau jatuhkan, hah? Atau kau bahkan tidak bisa berhitung. Pasang lagi botol lainnya, isi pistolmu dengan dua peluru.”
Malam itu, hanya itu latihan yang kulakukan. Setiap kali aku menembak dua botol, Salonga memakiku, menyuruhku memasang botol kosong baru—ada banyak botol kosong di dalam kotak kayu, lantas memasukkan dua peluru ke dalam pistol, mengulangi lagi latihan tersebut. 
Satu jam berlalu, aku tetap tidak bisa menjatuhkan enam botol dengan dua peluru. Wajahku merah padam karena kesal, bagaimana cara aku melakukannya? Tidak mungkin. Aku butuh enam peluru, maka semua botol baru bisa dijatuhkan.
Kopong mengusap wajahnya, berdiri di sebelahku, juga tidak mengerti.
Dua jam berlalu, Salonga berdiri, dia meraih paksa pistol dariku.
“Kau lihat, Bujang!” Salonga mendengus, “Pelurumu hanya dua, sedangkan ada enam botol di depanmu. Apa yang kusuruh? Jatuhkan enam botol itu. Lihat! Perhatikan baik-baik, bodoh!”
Tangan Salonga teracung kedepan, pistol tidak terarah ke botol manapun, melainkan ke bawahnya. Salonga menembak tiang kayu. Satu tembakan terdengar, tiang kayu hancur separuh sisi, masih berdiri tapi sudah bergetar. Satu tembakan lagi meletus, tiang kayu itu patah dua, enam botol jatuh ke lantai serempak, pecah berhamburan.
“Pistol ini hanya benda mati, Bujang! Tidak bisa berpikir. Tidak bisa menembak sendiri. Yang berpikir adalah orang yang memegangnya. Tidak ada yang menyuruhmu menembak langsung botol-botol itu, kau hanya diminta menjatuhkannya. Maka pemegang pistol yang bodoh, hanya bergaya menembak ke botol, hore, berhasil jatuh satu, hore, berhasil jatuh dua, untuk kemudian baru menyadari, empat yang lain tetap di sana. Menatap bingung. Itulah pemegang pistol yang bodoh. Tapi pemegang pistol yang pintar, dia fokus pada misinya. Kau paham, hah?”
Aku terdiam. Juga Kopong di sebelahku.
“Pelajaran malam ini cukup. Aku bosan melihat wajah anak ini. Dia sama bodohnya seperti penembak lain. Dia butuh waktu lama sekali hingga bisa mendengar pistol di tangannya. Entah apa yang ada di kepala Tauke saat menjadikan anak ini anak angkatnya. Bodoh sekali.” Salonga sudah melangkah meningalkanku, dengan muka masam.
Aku sungguh terdiam kali ini. Dalam satu tarikan nafas, Salonga sudah menyebutku bodoh dua kali.
“Jangan kau masukkan ke dalam hati, Bujang.” Kopong menepuk pundakku, berusaha menghibur, “Dia memang suka marah-marah sejak aku membawanya dari Filipina, dia mungkin masih sakit hati atas pengkhianatan kliennya di sana.”
Aku menggeleng. Aku sama sekali tidak tersinggung.
Aku justeru sedang bersemangat. Aku telah menemukan guru terbaik berikutnya.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar