Minggu, 06 Agustus 2017

Tere liye : Pulang

Bab 2. Janji Kepada Mamak

Esoknya, Bapak dan Mamak kembali bertengkar di belakang rumah.
“Apa yang kau harapkan dari anak laki-lakimu, Midah? Akan kau kirim dia belajar mengaji dengan Tuanku Imam? Akan kau kirim dia kembali ke kampung halaman tempat kau lahir? Kerabatmu hanya akan tertawa melihatnya, bagus jika mereka tidak meludahinya.” Bapak berseru.
Mamak menangis dalam diam, menyeka ujung matanya.
Tere Liye : Pulang

“Lihatlah aku, Midah. Lihat. Sejak kecil aku berusaha melupakan asal keturunanku, belajar mengaji, bermalam di surau. Aku sudah berusaha melepaskan semua catatan gelap milik keluargaku, tapi saat aku melamarmu, memintamu baik-baik, mereka hanya tertawa. Sakit sekali. Mereka tidak akan pernah bisa menerima kenyataan jika aku berbeda dengan Bapakku, si tukang jagal. Aku terusir dari kampung. Pergi ke kota mencari penghidupan. Mereka melempar kotoran saat aku pergi. Tidak mengapa semua kebencian itu, aku bisa mengunyahnya. Tidak mengapa meski akhirnya aku juga menjadi tukang jagal di kota, seperti orang tuaku yang dulu amat kubenci. Tidak mengapa. Karena yang paling menyakitkan adalah aku harus pergi melupakanmu, Midah. Seluruh cinta kita hancur.”
“Biarkan Bujang ikut Tauke Muda, Midah. Aku mohon.” Bapak memegang lutut Mamak, menatapnya dengan tatapan memohon, “Biarkan anak kita melihat dunia luar. Dia tidak akan jadi siapa-siapa di kampung ini. Tidak sekolah. Tidak berpengetahuan. Dia sudah limas belas, entah mau jadi apa dia sini? Petani? Penyadap getah damar? Dia tidak bisa pulang ke kota kecamatan, bertemu Tuanku Imam? Keluarga kau pasti mengusirnya, sama seperti saat mengusirmu.”
Mamak menyeka lagi ujung matanya. 
Aku duduk memeluk lutut di pojok dapur, mendengar seluruh percakapan. Tanganku masih terbebat kain, juga dadaku, betisku. Darah kering menggumpal di kain itu. 
“Tauke Muda memintanya sendiri, Midah. Tauke berjanji akan mengurus Bujang seperti mengurus anaknya sendiri. Biarkan anak laki-lakimu punya kesempatan menaklukan dunia ini. Biarkan dia mewarisi darah perewa dari keluargaku. Mungkin itu sudah takdir hidup Bujang. Biarkan dia pergi, kita berdua bisa menghabiskan sisa hidup bersama di sini, dengan damai. Aku akan mati bahagia setelah tahu Bujang memiliki masa depan.”
Mamak masih diam. Mamak sudah kehabisan kata-kata. Pertengkaran ini, selalu begitu. Setiap kali Bapak mengungkit masa lalu, Mamak akan terdiam.
Bapak menggenggam jemari Mamak, kali ini berkata lirih, “Aku juga tidak ingin berpisah dengan anak kita, Midah. Tapi kau seharusnya tahu persis, ini adalah perjanjian masa lalu. Aku pernah bilang dengan kau, cepat atau lambat kau akan melihatnya, menyaksikannya. Cepat atau lambat kita akan kehilangan anak laki-laki kita. Biarkan dia pergi dengan restumu. Agar langkah kakinya ringan.”
Dapur rumah panggung lengang, menyisakan asap dari tungku kayu bakar.
“Aku tahu kau akan cemas akan menjadi apa Bujang besok lusa, Midah. Kau juga tahu siapa Tauke Muda itu. Setahu bahwa aku sudah lama melupakan agama, aku bahkan membenci semua ajaran Tuanku Imam, sejak dia sendiri tidak adil justeru menghukum cinta kita. Tapi siang ini, jika Tuhan memang sayang, maka anakmu akan menemukan jalan terbaiknya. Sejauh apapun dia pergi, sejauh apapun dia menghilang, Tuhan akan menemukannya. Biarkan Bujang ikut Tauke Muda, Midah, aku mohon. Setidaknya tanyakan pada Bujang, apakah dia memang ingin pergi.”
Mamak tertunduk, air mata mengalir di pipinya. Menoleh padaku.
“Apakah kau ingin pergi, Bujang?” Suara tanya Mamak tersendat.
Aku menatap sejenak wajah lelah Mamak, lantas mengangguk perlahan. Aku ingin pergi. Aku ingin ikut Tauke Muda ke kota.
Percakapan telah tiba di ujung kesimpulan. 
Mamak menangis tergugu melihat anggukan kepalaku.
Siang itu, Mamak menyiapkan buntalan kain berisi pakaianku sambil menangis. 
Lantas mendekap kepalaku erat-erat. Berbisik lembut, “Mamak akan menginjinkan kau pergi, Bujang. Meski itu sama saja dengan merobek separuh hati Mamak. Pergilah, anakku, temukan masa depanmu. Sungguh, besok lusa kau akan pulang. Jika tidak kepangkuan Mamak, kau akan pulang pada hakikat sejati yang ada di dalam dirimu. Pulang….”
Aku diam, menunduk. 
“Berjanjilah, Bujang, berjanjilah satu hal ini.”
Aku mendongak menatap wajah Mamak yang sembab. 
“Kau boleh melupakan Mamak, kau boleh melupakan seluruh kampung ini. Melupakan seluruh didikan yang Mamak berikan. Melupakan agama yang Mamak ajarkan diam-diam jika Bapak kau tidak ada di rumah….” Mamak diam sejenak, menyeka hidung, “Mamak tahu kau akan jadi apa di kota sana…. Mamak tahu…. Tapi, tapi apapun yang akan kau lakukan di sana, berjanjilah Bujang, kau tidak akan makan daging babi, daging anjing. Kau akan menjaga perutmu dari makanan haram dan kotor. Kau juga tidak akan menyentuh tuak, segala minuman haram.”
Aku terdiam. Aku tidak sepenuhnya mengerti pesan Mamak.
“Berjanjilah kau akan menjaga perutmu dari semua itu, Bujang. Agar…. Agar besok lusa, jika hitam seluruh hidupmu, hitam seluruh hatimu, kau tetap punya satu titik putih, dan semoga itu berguna. Memanggilmu pulang.” Mamak mencium ubun-ubunku.
Aku mengangguk.
Siang itu, empat mobil para pemburu bersiap meninggalkan halaman rumah Bapak. Aku ikut serta di dalamnya. Mamak tidak mengantarku, dia tidak melambaikan tangan untuk terakhir kalinya. Mamak justeru sednag tersungkur di sajadah kumalnya, menangis, mengadukan seluruh resah hatinya.
Sekuat apapun dia hendak melawan kemauan Bapak, itu tidak akan mencegahku pergi. Yang pertama, karena aku ingin pergi, yang kedua, saat Bapak dulu diijinkan meninggalkan rumah Tauke Besar salah-satu harga tebusannya adalah aku. Jika Bapak punya anak laki-laki, maka Bapak akan mengirimkan anaknya. 
“Jagalah anakku, Tauke Muda.” Bapak dengan kaki lumpuh memeluk tubuh pendek gempal dengan mata sipit itu. Momen perpisahan.
“Kau keliru, Syahdan. Bujang-lah yang akan menjagaku.” Tauke Muda tersenyum, tubuhnya juga dibebat kain, terluka di banyak tempat, “Sama seperti yang kau lakukan saat menjaga Tauke Besar dulu. Dan dia telah memulainya tadi malam, seorang diri menaklukkan babi raksasa. Dia akan tumbuh dengan reputasi hebat. Semua orang akan gemetar mendengar namanya disebut. Aku bersumpah akan mengurus anak kau, Syahdan. Anak dari saudara angkatku.”
Bapak tersenyum getir.
“Selamat tinggal, Syahdan.” 
Tauke Muda naik ke atas mobil, melambaikan tangan, menyuruhku juga naik.
Aku menatap wajah Bapak untuk terakhir kalinya. Seseungguhnya, aku ingin memeluk Bapak. Tapi itu tidak pernah kulakukan—dan Bapak juga tidak pernah memelukku. Aku hanya mengangguk, kemudian menyusul naik, duduk di samping Tauke Muda.
Sekejap, empat mobil itu telah melaju meninggalkan talang di lereng bukit barisan. Tanah kelahiranku, tempat aku dibesarkan hingga usia lima belas tahun. Tempat terbuangnya Bapak dan Mamakku karena cinta mereka tidak pernah direstui.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar