Jumat, 25 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 14 Part 2. Belajar Hingga Negeri Seberang

Enam bulan aku di rumah Guru Bushi, tidak sekalipun aku bisa menang melawannya. Aku pernah mengalahkan Kopong bertinju, juga mengalahkan Salonga bertarung pistol, tapi aku tidak bisa mengalahkan Guru Bushi bermain pedang, bahkan dengan mata Guru Bushi tertutup.
Di penghujung bulan ke enam, Frans si Amerika tiba di Tokyo, dia menjemputku. Itu berarti masa berlatihku dengan Guru Bushi telah selesai.
“Samurai adalah perjalanan hidup, Bujang. Tidak pernah soal berapa lama kau berlatih. Kau sudah menggenapkan seluruh teknik yang kumiliki, seluruh jurus yang aku punya. Sisanya, akan kau sempurnakan sendiri bersama perjalanan hidupmu.” Guru Bushi menjamuku minum teh di malam terakhir.
Tere Liye : Pulang

Aku menunduk, menatap tikar. Ada banyak sekali yang tidak kukuasai. Bukan hanya mengalahkan Guru Bushi bermain pedang dengan mata tertutup, tapi juga melempar shuriken di gulita malam. Dan puncak dari kemampuan Guru Bushi adalah, aku pernah bertarung dengannya di dojo, satu lawan satu, aku mengerahkan kemampuan terbaikku, saat dia terdesak, hampir tidak ada kemungkinan bisa lolos dari sabetan pedang, tubuhnya menghilang begitu saja. Aku tidak akan mempercayainya jika tidak melihatnya sendiri, dan sebelum aku menyadari di mana dia berada, katananya sudah menempel di leherku. Guru Bushi tersenyum menatapku. Pertarungan usai, untuk kesekian kalinya aku gagal.
“Aku tahu, kau tetap penasaran tentang banyak hal, karena kau dibesarkan dengan rasionalitas. Tapi saat kau tiba pada titik itu, maka kau akan mengerti dengan sendirinya. Itu perjalanan yang tidak mudah, Bujang. Kau harus mengalahkan banyak hal. Bukan musuh-musuhmu, tapi diri sendiri, menaklukkan monster yang ada di dirimu. Sejatinya, dalam hidup ini, kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak perlu, kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egoisme. Ketidakpedulian. Ambisi. Rasa takut. Pertanyaan. Keraguan. Sekali kau bisa menang dalam pertempuran itu, maka pertempuran lainnya akan mudah saja.
“Aku tidak bisa lagi melatihmu, Bujang. Tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Sekarang saatnya kau melatih diri sendiri, dan menemukan jawaban dari dirimu sendiri. Hanya seorang samurai sejati yang tiba pada titik itu. Ketika kau seolah bisa keluar dari tubuh sendiri, berdiri, menatap refleksi dirimu seperti sedang menatap cermin. Kau seperti bisa menyentuhnya, tersenyum takjim, menyaksikan betapa jernihnya kehidupan. Saat itu terjadi, kau telah pulang, Bujang. Pulang pada hakikat kehidupan. Pulang, memeluk erat semua kesedihan dan kegembiraan.”
Aku mengangguk. Aku sama sekali tidak mengerti kalimat Guru Bushi, tapi aku bisa merasakan betapa khidmatnya acara jamuan minum teh itu, seperti berada kembali di abad-abad sebelumnya. 
Esok pagi, Guru Bushi mengantarku dan Frans ke bandara. Yuki dan Kiko ikut serta. Si kembar asyik bermain di jok paling belakang, mengajakku tebak-tebakan, melemparkan tepung ke kepala jika aku gagal menjawabnya—si kembar selalu bermain-main. 
Bertahun-tahun berlalu, Guru Bushi meninggal, aku sempat melayat ke Tokyo. Bertahun-tahun kemudian, aku juga bertemu lagi Yuki dan Kiko, mereka bukan lagi remaja tanggung, tapi sudah menjadi ninja terbaik—dengan profesi yang sangat ganjil, pencuri kelas dunia, sambil membawa kamera kemana pun, berlagak turis Jepang. Pun bertahun-bertahun telah lewat, aku tidak pernah bisa menyentuh titik yang dijelaskan oleh Guru Bushi, definisi menjadi samurai sejati.
***
Sebelum kematian Mamak, Frans si Amerika telah mendaftarkanku ke program studi master Ekonomi di salah-satu kampus ternama Massachusetts. Setiba di kota itu, menatap hamparan salju di setiap jengkal kampus, semangat sekolahku kembali seperti dulu. Duduk di ruangan kelas yang hangat, bertemu dengan banyak orang dari berbagai negara, berdiskusi seru dengan dosen, atmosfer akademis begitu terasa, aku siap mengejar semua ketinggalan. 
Satu semester kemudian, tidak hanya satu, aku mengambil master kedua, kuliah secara paralel, kali ini di bidang Matematika Terapan. Aku punya banyak waktu, tidak ada pekerjaan tukang pukul, tidak ada Tauke Besar yang tiba-tiba memanggilku ke ruang kerjanya. Aku bisa menghabiskan seluruh hari untuk belajar, setiap waktu senggang bisa kumanfaatkan, termasuk mengambil short courses yang kusukai. Itu tahun-tahun yang berjalan cepat. Frans hanya menemaniku dua minggu, setelah memastikan aku baik-baik saja, dia kembali ke ibukota, Tauke punya pekerjaan lain untuknya.
Selain sekolah, aku tetap berlatih. Secara mandiri, dengan jadwal rutin. Apartemen yang disewa Mansur untukku luas, aku mengubah salah-satu ruangannya sebagai tempat berlatih pedang. Memikirkan kalimat-kalimat Guru Bushi, mengulang kembali teknik yang dia ajarkan, tapi aku tetap tidak mengerti. Entah bagaimana sensasi saat kita seolah bisa keluar dari tubuh, menatap diri sendiri, seperti melihat cermin? Itu konsep absurd yang mungkin hanya bisa dimengerti ketika aku mencapainya. Bosan berlatih pedang, malas melempar shuriken, aku pergi ke stadion kampus, berlari di trek atletiknya, memutarinya puluhan kali hingga bosan.
Aku punya lebih banyak teman saat kuliah di negeri orang, lebih leluasa bergaul. Tapi seluruh latar belakang hidupku tetap misterius, tidak ada yang tahu persis siapa keluargaku, sumber pendanaan kuliahku, latar belakang, aku tidak pernah membahasnya. Aku sudah terlatih hidup dengan dua sisi, satu sisi terlihat terang dan dikenali, Bujang, mahasiswa master dua program studi, satu sisi lagi gelap, tidak diketahui, Si Babi Hutan, tukang pukul Keluarga Tong. Aku menyukai dua sisi itu, menikmati transisi saat menjadi sosok terbuka, ramah, bersahabat dengan orang banyak, untuk kemudian berdiri di bawah bayangan, menatap sekitar—tanpa mereka tahu aku sedang memperhatikan banyak hal.
Hanya sesekali dua hal itu bercampur, kadang kulakukan karena terpaksa (misalnya saat ospek di universitas ibukota), kadang karena aku tidak tahan untuk tidak melakukannya, salah-satunya adalah ketika atlet terkenal, pemenang medali Olimpiade, pemegang rekor lari cepat dunia, mengunjungi kampusku untuk memberikan kuliah umum. Itu hal lazim, ada banyak pesohor yang memberikan ceramah di sini, mulai dari pekerja seni terkenal, atlet, pengusaha, aktivis sosial, hingga presiden. Atlet itu bicara di depan ratusan mahasiswa, tentang kerja keras, latihan dan semua prestasi yang dia peroleh. Tiba di akhir sesi, dia bergurau menantang seluruh aula kampus, siapa yang berani mengajaknya lomba lari, jika menang, dia akan memberikan sepuluh dollar. Seluruh aula dipenuhi oleh tawa. Itu hanya lelucon penutup, tidak ada yang serius menanggapi.
Aku seharusnya juga cukup tertawa, melupakannya, tapi aku teringat kalimat Kopong, saat dia memaksaku berlatih lari melewati dua titik api unggun di kota provinsi, aku melangkah cepat meninggalkan aula, mencegat atlet itu di lorong sebelum naik mobil, saat dia masih dikerumuni mahasiswa lain untuk meminta tanda-tangan, berfoto dan sebagainya.
“Aku menantangmu lomba lari.” Aku berkata datar.
Atlet itu terdiam, kemudian tertawa, “Itu hanya bergurau, Dude. Itu bukan tawaran serius.”
Aku menatap atlet yang tingginya sejengkal di atas kepalaku itu, “Aku serius. Aku bisa mengalahkanmu lari seratus meter.”
“Bagaimana kau akan mengalahkanku, Dude. Ayolah.” Atlet itu kembali tertawa, menunjukku—seolah ingin bilang, tidak ada kesempatan sama sekali aku akan menang.
“Coba saja, di stadion kampus. Kau akan melihatnya.”
“Kita harus segera pergi. Jadwal berikutnya telah menunggu, interview dengan majalah olahraga.” Manajer atlet itu berbisik, memotong. Beberapa mahasiswa lain menonton percakapan, gerakan mereka meminta tanda-tangan atau foto terhenti.
“Sorry, Dude. Aku tidak punya waktu melayanimu.” Atlet itu melangkah.
“Hei! Atau kau terlalu khawatir kalah bertanding lari denganku? Kehilangan sepuluh dollar?” Aku berseru, mengangkat tangan.
“Aku tidak pernah khawatir kalah, Dude.” Atlet itu mengangkat bahunya, sedikit tersinggung.
“Kalau begitu, kenapa kau menolaknya? Bukankah kau sendiri yang menutup sesi dengan berseru, menantang ratusan orang di aula. Terlepas kau bergurau atau tidak, aku menerima tantanganmu. Anggap saja aku sedang mempraktekkan semua yang kau bicarakan, tentang kerja keras, disiplin dan latihan.” Aku mendesak, tersenyum tipis. 
“Kita harus pergi, kau tidak perlu melayani mahasiswa ini.” Manajernya berbisik lagi.
“Baiklah. Kau tentukan tempat dan waktunya, aku akan bertanding lari denganmu.” Atlet itu mengambil keputusan berbeda, aku telah berhasil mencungkil egonya. Manajer di sebelahnya berguman tidak suka, beberapa mahasiswa di sekitar kami berseru dan bertepuk-tangan antusias. 
Malamnya, pukul tujuh, di stadion kampus, disaksikan beberapa orang, aku bertanding lari dengan pemegang rekor dunia itu. Dia datang bersama manajernya, melakukan pemanasan lima menit, mengganti sepatu. Aku sudah hadir setengah jam sebelumnya, aku sudah siap. Manajernya memberikan syarat, seluruh yang hadir tidak boleh mengambil gambar, video, pun menceritakan kejadian itu kepada siapapun, atau pertandingan dibatalkan. Aku menyetujuinya, juga penonton. Hanya dengan aba-aba suara dari penonton—tanpa letusan pistol, malam itu aku mengalahkannya di tiga kali kesempatan.
Kesempatan pertama, dia tertinggal satu meter di belakangku.
Wajahnya berubah—juga wajah manajernya, “Itu hanya kebetulan, Dude. Aku terlalu menganggap pertandingan ini main-main. Satu kali lagi.”
Atlet itu melemaskan tubuhnya, kali ini lebih serius. Belasan penonton yang ada di sekitar kami menonton lebih semangat, bersorak menyemangati. Atmosfer kompetisi mulai terasa pekat di langit-langit stadion. 
Kesempatan kedua, kami nyaris finish bersamaan, tapi aku lebih dulu beberapa senti. 
Wajah atlet itu merah padam. Juga manajernya, terlihat gelisah. Dia jelas tidak suka dengan pertandingan amatir seperti ini—apalagi dengan hasilnya.
“Satu kali lagi, Dude.” Atlet itu mengusap wajahnya, tidak terima, minta pertandingan ulang, “Kau tahu, minggu-minggu ini jadwalku padat, aku butuh waktu untuk melemaskan tubuh.”
Aku mengangguk. Tidak masalah. Memberikan lebih banyak waktu atlet itu melakukan pemanasan. Aku berdiri menunggu di atas lintasan lari.
Kesempatan ketiga, seratus meter, aku tetap menang tipis. Itu pertandingan yang sangat serius dan membuatku mengerahkan seluruh kemampuan. 
Atlet itu tersengal, mengusap wajahnya, menatapku tidak percaya.
“Bagaimana kau melakukannya?” Dia bertanya.
“Persis seperti yang kau bilang, kerja keras, latihan dan disiplin.” 
Atlet itu mengusap wajahnya. Tidak bisa berkomentar lagi.
“Kita harus pergi sekarang.” Manajer atlet mendekat, membereskan perlengkapan atlet, berbisik, “Jangan terlalu dipikirkan, kau hanya kelelahan. Ini bukan catatan waktu terbaikmu. Kau bisa dengan mudah mengalahkannya di pertandingan resmi.”
“Hei, kau berhutang sepuluh dollar.” Aku berseru saat atlet itu melangkah meninggalkanku.
Manajer atlet bergumam, balik kanan, bergegas mengeluarkan dompet, menyerahkan uang kepadaku dengan kasar, menatapku jengkel.
“Terima kasih.” Aku tersenyum.
Tidak banyak yang tahu kejadian malam itu. Tapi aku tahu, atlet itu tidak akan pernah melupakannya, dia kalah dalam pertandingan amatir. 
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar