Senin, 21 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 12 part 1. Mamak Pergi

Aku akan membuktikan kepada Salonga bahwa aku layak menjadi muridnya. Aku akan berlatih lebih keras dibanding yang dia bisa bayangkan.
Maka aku datang ke tempat latihan lebih cepat satu jam sebelum Salonga tiba, dan baru pulang satu jam setelah Salonga memakiku bodoh, sebagai kalimat penutup sesi latihan. Minggu-minggu pertama, mau dikata apa, aku memang terlihat bodoh jika mengacu standar Salonga. Dia terus memberikan perintah ganjil, seperti menembak sebuah kaleng susu kosong dari jarak tiga meter. Itu mudah, aku bisa mengenai kaleng itu berkali-kali, tapi permintaan Salonga adalah, peluru yang mengenai kaleng itu harus ada di dalam kaleng, tidak tembus keluar.
Tere Liye : Pulang

Ratusan percobaan dilakukan, mau bagaimanapun aku melakukannya, peluru tetap menembus kaleng. 
“Peluru mahal, Bujang! Kau pikir, karena ayah angkat kau kaya, maka kau bebas menghamburkan peluru, hah?” Salonga bersungut-sungut, menunjuk peluru yang berserakan di depan kami, juga kaleng-kaleng yang berjatuhan ditembus peluru.
Aku menyeka peluh di pelipis. Ruangan latihan terasa gerah. Aku sudah mencoba menembak dari sudut manapun, cara apapun, tetap saja peluru itu tidak tersangkut di dalam kaleng.
“Berikan padaku!” Salonga mengambil kasar pistol dari tanganku. Dia melangkah mendekati papan, meletakkan dua kaleng di atasnya, berbaris. Satu kaleng di depan, satu lagi di belakang, lantas menembak cepat. Dua kaleng itu berhamburan jatuh.
Salonga meraih kaleng kedua di lantai, yang sebelumnya berada di belakang. Menggoncangkannya, peluru jelas berada di dalam kaleng, terdengar berkelontangan.
“Lihat! Apa susahnya melakukannya?”
Aku hendak berseru kesal. Salonga tidak bilang kalau aku boleh meletakkan dua kaleng di atas papan, membiarkan peluru menembus kaleng pertama, tapi dengan kecepatan yang berkurang, peluru hanya bisa melewati separuh kaleng kedua, lantas terhenti di dalamnya. Kopong juga terlihat protes.
“Penembak yang baik selalu tahu persis kekuatan pistolnya, Bujang. Dia tahu pelurunya akan tiba di mana, bisa menembus apa saja, dan semua tabiat pistolnya. Bagi penembak, pistol seperti kekasih hati, dia memahaminya dengan baik. Kau sudah tahu, mau kapanpun, peluru pistolmu akan terus menembus kaleng, karena dia terlalu kuat, maka jika misimu adalah masukkan peluru ke dalam kaleng, pikirkan cara lain, letakkan dua kelang di sana, atau apapun yang bisa membuatnya melambat. Bukan malah berusaha menyesuaikan pistolmu. Karena kau yang harus memahami pistolmu, bodoh, bukan benda mati yang memahamimu.” Salonga lebih dulu berseru ketus, melemparkan kaleng berisi peluru.
“Cukup untuk malam ini. Kau hanya menyia-nyiakan waktuku.”
Salonga melangkah, punggungnya hilang dibalik pintu.
“Kau baik-baik saja, Bujang?” Kopong bertanya pelan.
Aku menggeram, mengepalkan tanganku. Yeah, aku baik-baik saja. Belum pernah aku dimaki berkali-kali seperti ini, seolah tidak ada harganya. Bodoh-bodoh begini, aku bisa menembak jitu sasaran sejauh empat puluh meter dengan pistol. 
Tapi minggu-minggu berikutnya, kemajuanku pesat. Aku tahu, Salonga bukan hanya mengajariku menembak, melatih akurasi tembakan, dia sekaligus sedang menanamkan filosofi mendasar bagi seorang penembak. Pistol bukan hanya senjata bagi Salonga, lebih dari itu. Aku menuruti apa yang dia mau, berpikir lebih terbuka, dan berusaha menerjemahkan filosofi latihannya.
Akhir bulan kedua, Salonga menyuruhku melatih sentuhan jariku, agar bisa lebih sensitif saat menarik pelatuk pistol.
“Kau pikirkan caranya, Bujang. Pertemuan berikutnya aku ingin tahu latihan apa yang kau pilih. Ingat, latihan agar jemarimu bisa seperti menari, bukan melatih dia kuat atau hal bodoh lainnya.”
Aku mengangguk, aku akan memikirkannya siang-malam, meski aku tidak tahu apa jenis latihannya. Esoknya Kopong memberikan beberapa ide, termasuk hand grip, yang biasa digunakan tukang pukul saat melatih jari. Aku menggeleng, itu jelas salah-satu ide bodoh menurut versi Salonga.
Pertemuan berikutnya, aku memutuskan membawa gitar.
Malam itu untuk pertama kalinya Salonga menatapku lebih bersahabat.
“Kau bisa bermain gitar, Bujang?” Salonga bertanya setiba di tempat latihan.
Aku mengangguk. Di kota provinsi dulu, kami sering berkumpul di meja panjang, kemudian mengisi sisa malam dengan bernyanyi. Ada banyak tukang pukul yang suka memainkan gitar.
“Berikan padaku, Bujang.” Salonga duduk di sebelahku.
Aku menyerahkan gitar itu.
Saat Salonga mulai memetik gitar, aku dan Kopong terdiam, menelan ludah. Aku tidak pernah menyangka Salonga pandai bermain gitar. Dia menyanyikan lagu-lagu Filipina yang sendu. Aku tidak paham bahasa tagalong, lirik lagu yang dia nyanyikan, tapi aku bisa merasakan betapa indahnya lagu itu. Sambil bernyanyi, Salonga bercerita, dia dibesarkan dengan seluruh kesedihan. Dia tidak pernah tahu siapa orang tuanya, besar di jalanan yang keras. Dengan petikan gitarnya yang memenuhi langit-langit ruangan, suara seraknya bernyanyi, aku seperti bisa merasakan kepedihan lagu itu. Denting senar bernada tinggi, merobek hati, mata Salonga berkaca-kaca.
Malam itu, tidak sebutir peluru pun kami tembakkan. Kami hanya bergantian bermain gitar. Setelah sesi lagu sedih, Salonga mulai menyanyikan lagu legendaris milik penyanyi dunia, yang bisa dinyanyikan bersama. Lagu-lagu bahagia, lagu-lagu indah. Kopong ikut bernyanyi, tertawa-tawa, bertepuk-tangan. Itu malam yang menyenangkan.
“Latihan selesai, Bujang. Sampai pertemuan berikutnya. Terus latih jari-jarimu di atas senar gitar, hingga jemarimu bisa merasakan setiap mili pelatuk pistol, hingga kau bisa ‘bicara’ dengan pistolmu. Minggu depan, aku akan mulai mengajarimu menembak sasaran bergerak. Kau sudah siap.” Untuk pertama kalinya, Salonga tidak menutup latihan dengan memakiku bodoh.
Pertemuan-pertemuan berikutnya sebenarnya sangat seru, aku mulai menembak sasaran bergerak di dinding. Dua belas sasaran, bergerak sangat cepat, dan aku harus mengenainya. Kopong telah mempersiapkan alat latihan tersebut sesuai instruksi Salonga. Yang tidak seru, tiga kali pertemuan, rekorku hanya enam sasaran yang bisa kujatuhkan.
“Bodoh! Bodoh!” Salonga memakiku—khasiat bermain gitar sebelumnya ternyata hanya bertahan tiga pertemuan, Salonga kembali memakiku, “Berikan pistolnya padaku.”
Salonga maju ke depan, menatap lurus-lurus, menyuruh Kopong menekan tombol peralatan, dua belas sasaran itu bergerak cepat, melintas di dinding tembok sejauh dua puluh meter dari kami. Suara tembakan terdengar berkali-kali, pistol memuntahkan peluru. Enam detik berlalu, dua belas sasaran bergerak itu tumbang. 
Aku terdiam. Juga Kopong di dekatku.
“Kau tidak berusaha lebih keras, Bujang! Kau pikir menjadi penembak itu mudah, hah? Seusiamu, aku bahkan berlatih menembak ribuan kali setiap harinya dengan peluru kosong. Melatih konsentrasi, melatih fokus, melatih kecepatan. Aku menghabiskan waktuku sia-sia di negeri ini. Kalau saja aku bukan buronan, aku lebih memilih dikejar harimau daripada melatihmu. Memalukan.” Salonga meninggalkanku.
Aku terduduk di atas lantai.
Kopong menghela nafas. Kehilangan komentar, menatap dua belas sasaran bergerak yang tergeletak. Dibandingkan dengan Salonga, tidak ada satupun di Keluarga Tong yang bisa menandinginya, termasuk Tauke Besar sekalipun. Salonga adalah penembak pistol terbaik seluruh Asia. Lihatlah, dia hanya butuh enam detik untuk menghabisi dua belas sasaran bergerak—Kopong memperlihatkan stop watch di tangannya.
Tapi aku tidak akan menyerah. Aku bersumpah, jika aku tidak bisa sebaik Salonga, setidaknya, aku bisa mendapatkan rasa hormat darinya. Aku bosan dipanggil bodoh. Aku meminta kepada Kopong agar tugasku sebagai tukang pukul berhenti sementara waktu, aku membutuhkan setiap malam sekarang untuk berlatih. Kopong mengangguk. Mulailah aku berlatih menembak ribuan kali seperti yang dilakukan Salonga dulu. Dengan senjata kosong. Dalam teknik pelatihan menembak yang kupelajari dari buku-buku, itu disebut dry-fire drills. Dimulai pukul tujuh malam, baru berakhir pukul dua belas. Hingga tanganku terasa kebas, jemariku kesemutan.
Tiga bulan kemudian, aku berhasil menembak dua belas sasaran bergerak itu. 
Salonga menyeringai tipis. Menguap, “Tidak jelek, sepuluh detik. Sampai jumpa pertemuan berikutnya, Bujang.”
Kopong tertawa, menepuk-nepuk bahuku, saat Salonga sudah hilang dibalik pintu. Aku ikut tertawa, mengusap wajahku, menghela nafas lega. Apa susahnya Salonga bilang, “Ini hebat sekali, Bujang,” tapi sepertinya dia belum bersedia memujiku.
Aku sudah tiba di penghujung latihanku. Pertama, karena memang semua teknik sudah diajarkan oleh Salonga. Kedua, terbetik kabar, rezim berkuasa di Filipina dikudeta oleh penguasa militer. Dengan jatuhnya presiden terpilih tersebut, konstelasi politik di sana berubah drastis. Salonga memiliki kesempatan pulang, membersihkan namanya.
Minggu-minggu terakhir, Salonga melatihku bertarung satu lawan satu. Arena menembak disulap menjadi medan pertempuran, rongsokan mobil, tumpukan ban, pohon buatan, memenuhi ruangan. Kami masing-masing memegang pistol dengan amunisi peluru karet, memakai helm, pelindung tubuh, bergerak dari sudut terpisah, maju, mulai saling menembak. Malam pertama, dari enam kali percobaan, Salonga menang enam kali, dia menembakku lebih dulu. Aku terduduk, mengaduh, peluru karet itu tetap terasa sakit saat menghantam dada yang dilapisi pelindung. Salonga tidak pernah menembak kepala, dia selalu menyasar jantung.
Pertemuan berikutnya aku tetap gagal mengalahkan Salonga. Enam pertemuan, setiap pertemuan enam sesi pertarungan, rekornya tetap sama, enam-kosong. Aku selalu melangkah gontai setiap kali habis latihan. Entah bagaimana aku bisa mengalahkannya. Aku sudah berusaha secepat mungkin, setangkas mungkin, apapun yang bisa kulakukan, tetap saja Salonga menembakku lebih dulu. Setidaknya minggu-minggu terakhir latihan, Salonga tidak memakiku bodoh, dia hanya menepuk-nepuk pipiku, “Itu tadi pertarungan yang seru, Bujang. Kau hampir saja membuatku kesulitan. Sayangnya, kau masih lambat.”
Aku tertunduk, dadaku masih terasa sakit terhantam peluru karet.
Barulah, di pertemuan ke dua belas, sesi terakhir, lewat pertarungan yang mendebarkan, berlari cepat, menghindar cepat, aku berhasil menembak Salonga lebih dulu. Peluru karetku menghantam dadanya, Salonga terduduk—lebih karena kaget, tidak menyangka akhirnya dia kena. Kopong mengepalkan tangannya di pinggir arena, berseru tertahan. Kopong terlihat sangat senang.
Itulah akhir latihanku dengan Salonga. Sama seperti dulu ketika aku berhasil memukul Kopong, sekali saja aku berhasil menembak Salonga, itu berarti latihan telah selesai. Salonga tidak banyak bicara, dia melangkah diam, meninggalkan arena latihan. Wajahnya terlipat.
“Apakah dia baik-baik saja?” Aku bertanya pada Kopong setelah Salonga pergi, melepas helm dan baju pelindung.
“Dia baik-baik saja, Bujang. Itu adalah momen paling sulit bagi seorang guru. Ketika muridnya berhasil mengalahkannya. Aku tahu bagaimana rasanya. Antara bangga, sedih, kecewa, semua bercampur menjadi satu. Susah dilukiskan.”
Aku terdiam. Aku baru menyadarinya, meskipun Salonga seperti tidak peduli dengan latihan ini, seolah hanya menganggapnya selingan saat menjadi buronan, latihan ini sangat penting dan emosional. Seperti mengingatkannya pada masa mudanya.
Seminggu kemudian, Salonga kembali ke Manila, dia mendapatkan jaminan keamanan dari penguasa militer yang berkuasa di Filipina. Sebelum berangkat, dia menemuiku di bangunan utama Keluarga Tong. Tauke Besar dan Kopong ada di sana. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba dipanggil, aku sudah berpamitan dengan Salonga malam sebelumnya.
“Duduk, Bujang.” Tauke menyuruhku duduk di depan Salonga, terpisahkan meja kecil.
Aku segera duduk. Tauke dan Kopong berdiri di belakangku.
Salonga mengeluarkan sepucuk pistol colt, memutar silinder peluru, menghentikannya, lantas meletakkan pistol itu ke tanganku, “Kau tahu, Bujang. Ini adalah pistol yang sangat penting bagiku. Pistol pertama, pistol terbaik yang pernah kumiliki.”
Aku menatap Salonga tidak mengerti. Menerima pistol itu.
“Di dalamnya ada enam slot peluru. Lima slot kosong, satunya berisi. Aku sudah memutar slindernya, kita tidak tahu di mana posisi peluru itu. Sekarang, angkat pistolnya, arahkan padaku.”
Aku terdiam. Hei, apa yang Salonga suruh? 
“Lakukan apa yang dia minta, Bujang.” Tauke Besar menyuruh.
Aku menelan ludah, mengangkat pistol itu, mengarahkannya kepada Salonga.
“Tarik pelatuknya. Sekarang.” Salonga berkata dingin.
Apa? Tarik pelatuknya? Aku segera menggeleng.
“Tarik pelatuknya, Bujang!” Tauke Besar mendesak.
Aku mendesis. Ruangan kerja Tauke segera terasa menegangkan. Ini gila, bagaimana mungkin aku akan menarik pelatuk pistol ini? Menembak Salonga?
“Hanya ada satu banding enam kemungkinan peluru di dalamnya, bodoh. Jangan cemaskan, tarik saja pelatuknya. Atau kau begitu sepengecutnya, tidak berani mengambil resiko.” Salonga memakiku. 
Aku menggeram. Menatap Salonga di depanku. Sudah hampir satu menit pistolku teracung.
“Lakukan, Bujang. Semua kalimatku adalah perintah di rumah ini. Kau akan mendapatkan hukuman serius jika menolak.” Tauke Besar berseru, ikut mendesak.
“Ayo, bodoh! Tarik pelatuknya.” Salonga melotot.

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar