Sabtu, 26 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

BAB 15. Surat Dari Bapak

Di akhir tahun ketiga tinggal di luar negeri, aku berhasil menyelesaikan seluruh pendidikan, memperoleh dua gelar master. Frans si Amerika menjemputku pulang. Masa-masa sekolahku telah berakhir.
“Kau terlihat berbeda, Bujang.” Frans berkata santai, dia hadir dalam wisuda.
Aku menoleh, apanya yang berbeda?
“Yang pasti, kau bukan lagi remaja kusam tanpa alas kaki, dari pedalaman rimba Sumatera.” Frans bergurau, tertawa.
Aku ikut tertawa.
“Dulu, kau terlihat sangat kesal saat harus mengerjakan tes dariku, pertama kali kita bertemu. Hari ini, kau pulang membawa dua gelar master dari universitas ternama. Lihatlah, wajahmu terlihat percaya diri, cara menatapmu, cara bicara, bersikap, bertindak, kau belajar banyak, Bujang, tidak hanya dari pendidikan formal, juga dari pengalaman. Itulah kenapa Tauke Besar mengirimmu jauh untuk sekolah, itu akan bermanfaat bagi Keluarga Tong.”
Aku mengangguk. Aku sudah bisa memahami visi Tauke secara utuh.
Tere Liye : Pulang

Pesawat terbang membawaku kembali ke ibukota, dua puluh empat jam perjalanan. Tiba di bandara, kejutan, Kopong sendiri yang menjemputku.
Kopong tertawa, memelukku erat-erat.
“Aku harus mengakuinya, Bujang. Ternyata aku rindu pula dengan kau.” Kopong menepuk-nepuk pundakku, “Astaga! Kalau saja aku tidak malu, aku hampir menangis, Bujang.”
Aku ikut tertawa. Tiga tahun lamanya aku tidak bertemu Kopong. Fisik Kopong masih gagah seperti yang aku ingat. Wajahnya pun tetap sangar seperti dulu. Tapi rambutnya mulai beruban satu-dua, puncak kekuatannya mulai berkurang.
“Bagaimana perjalanan kau? Lancar?”
Aku mengangguk, menaikkan koper-koper ke bagasi. Duduk satu mobil bersama Kopong. Frans ikut mobil lainnya. Rombongan segera bergerak meninggalkan bandara.
“Keluarga Tong hampir menguasai ibukota, Bujang.” Kopong menjelaskan banyak hal saat menuju markas besar, “Kita memiliki puluhan properti penting, kau lihat itu, apartemen itu milik keluarga kita. Juga hotel di sebelahnya yang sedang dibangun.” Kopong menunjuk keluar jendela, “Bisnis perbankan kita juga berjalan baik, asetnya tumbuh berkali-kali lipat, kita punya banyak uang untuk berkembang. Tauke juga menyuruh Mansur mengurus bisnis keuangan lainnya, mulai dari asuransi, investasi, pasar modal—entahlah apa namanya, aku tidak paham.”
Aku menatap keluar jendela, kami melintasi gedung-gedung.
“Masih ada beberapa keluarga lain yang berkuasa di ibukota, mereka menguasai teritorial tertentu, mereka cukup tangguh, bisa bertahan dari gempuran Keluarga Tong, tapi kita akan menaklukannya cepat atau lambat. Kau telah pulang, Bujang, kau bisa ikut dalam berbagai penyerbuan, itu akan menyenangkan sekali. Bahu-membahu seperti dulu.”
Aku mengangguk. Tiga tahun lamanya aku kehilangan kesenangan itu.
“Kau akan pangling melihat markas besar kita, Bujang.” Kopong sudah pindah membahas hal lain, “Ada banyak bangunan baru di sana, kamar kau berubah, lebih luas, lebih bagus, langsung terhubung dengan bangunan utama, kau akan memiliki ruangan kerja tersendiri, Tauke yang menyuruh meyiapkannya. Aku juga membuat banyak sistem kemanan baru, menambahkan lorong-lorong bawah tanah, jalur darurat, sistem otomatis. Mungkin kau bisa memberikan masukan setelah melihatnya.”
Aku kembali mengangguk. Bertanya kabar beberapa tukang pukul, terutama yang dulu tinggal satu mess di sayap kanan markas kota provinsi.
“Beberapa tukang pukul yang kau sebut telah meninggal, Bujang. Mereka tewas melaksanakan tugas, kita kehilangan banyak orang tiga tahun ini.” Kopong diam sebentar, menghela nafas pelan, “Tapi tidak masalah, kita punya banyak penggantinya…. Sial, kenapa kita harus bicara bagian itu di momen kepulangan kau, Bujang. Lebih baik membahas hal lain saja.”
Aku menggeleng, tidak masalah, aku tetap senang mendengarnya.
“Ahiya, aku lupa, ada salam dari Salonga untukmu, enam bulan lalu dia mengunjungi Tauke. Salonga memutuskan pensiun dari pekerjaannya, dia berhenti menerima klien. Dia sekarang membangun pusat latihan menembak di Tondo. Aku tidak bisa membayangkannya, mengajarimu saja membuatnya memaki tidak henti, apalagi jika muridnya banyak, dia bisa stress sendiri.” Kopong tertawa.
Aku ikut tertawa. 
Sepanjang perjalanan menuju markas Keluarga Tong, Kopong meng-update banyak hal kepadaku. Itulah kenapa dia yang menjemputku langsung, menjadi sejenis briefing singkat, padat dan sangat penting agar aku bisa segera menyesuaikan diri.
Sedan hitam akhirnya tiba di depan gerbang baja markas Keluarga Tong, gerbang itu terbuka perlahan, mobil melaju melewatinya. Aku menatap perubahan besar yang ada di sekitarku. 
Kopong segera membawaku ke bangunan utama, melewati lobi besar dengan lampu gantung dari turki, menaiki anak tangga pualam. Guci dan keramik besar terlihat semakin banyak, juga benda-benda seni lainnya, beberapa lukisan terkenal terlihat di dinding. Aku menatapnya, siapapun yang mengubah interior bangunan utama, pastilah memiliki selera yang sangat baik.
Kopong mendorong pintu ruang kerja, aku berjalan di belakangnya.
“Bujang!” Tauke Besar berseru saat melihatku, terkekeh.
Dia meninggalkan kursi kerjanya, melangkah cepat, menyambutku.
“Astaga! Lihatlah anak Syahdan.” Tauke menepuk-nepuk pipiku, mendogak—aku jauh lebih tinggi darinya, “Apa kabarmu, Bujang? Kau terlihat lebih putih, lebih bersih. Lebih tampan. Jika dia ada di sini, aku berani bertaruh, Syahdan pasti tidak bisa mengenali anak laki-lakinya.”
Aku tersenyum lebar.
“Nah, nah, lihatlah senyumnya, Kopong. Lebar sekali. Aku ingat, tiga tahun lalu, saat kusuruh dia sekolah jauh-jauh, wajahnya tertekuk, mukanya masam. Kuberikan dia surat undangan dari universitas ternama, dirobek olehnya. Hampir saja kuhajar dia dulu, beruntung aku masih sabar. Ayo duduk, Bujang, ceritakan padaku, bagaimana rasanya di sana? Ada gadis bule yang menaksir kau?”
Tauke terlihat riang. Wajahnya lebih tua dibanding aku mengingatnya tiga tahun lalu, sama seperti Kopong, rambutnya mulai memutih. Kami menghabiskan waktu hampir satu jam, bercakap-cakap apa saja, sesekali Kopong ikut menimpali, tertawa. 
“Kau pastilah lelah setelah sehari semalam di perjalanan, aku lupa,” Tauke Besar menepuk pinggiran kursi, teringat sesuatu, “Sebaiknya kau bersitirahat dulu, Bujang, kita punya seluruh waktu untuk bicara lagi. Malam ini aku akan mengadakan jamuan, menyambut kepulanganmu. Tolong antar Bujang ke kamar barunya.”
Tauke memanggil pelayan, menyuruhnya mengantarku. Kopong masih tinggal di sana, berbicara sebentar dengan Tauke—urusan pekerjaan.
Aku menyukai kamar baruku, tempat tidurnya besar, perabotannya dari kayu jati terbaik. Ada lukisan yang amat kukenali di dinding. Sepertinya Tauke tiga tahun terakhir mulai mengumpulkan koleksi karya seni, salah-satunya adalah lukisan di hadapanku. Entah darimana Tauke mendapatkannya, ini lukisan yang amat bernilai. Skripsiku dulu juga membahas tentang benda seni di dunia hitam, ini adalah lukisan Gaugin, judulnya “When Will You Marry”, esok lusa harganya bisa menyentuh ratusan juta dollar, lukisan termahal di dunia.
Saat aku melepas jaket, menumpahkan isi tas punggung ke atas meja, memeriksa koper-koper yang telah dibawa ke kamar, seseorang menyapaku.
“Asslammualaikum.” 
Aku mengenal sekali suara itu. Juga sapaan khasnya. 
Basyir. Hanya dia satu-satunya yang menggunakan kalimat itu sebagai pengganti sapaan “Hallo”, “Pagi” di Keluarga Tong, bukan karena Basyir taat beragama, tapi karena kebiasaan saja. 
Aku segera menoleh. Dibawah pintu kamarku, Basyir berkacak pinggang, menatapku. Tubuhnya tinggi besar, kulitnya lebih gelap dari yang kuingat, gurat wajahnya sangat mencolok, tegas dan gagah. Tiga tahun tidak berjumpa, Basyir telah berubah menjadi sosok tangguh.
“Kau akhirnya tiba, Bujang.” Dia tersenyum.
“Hei, kau juga telah pulang, Basyir? Sejak kapan?” Aku berseru, ini kejutan berikutnya yang menyenangkan. 
“Dua minggu lalu.”
“Bagaimana gurun pasir? Penunggang kuda?” Aku bertanya.
“Lebih hebat dari yang kubayangkan.” 
Basyir juga telah kembali dari “sekolahnya”. Gurun pasir jelas telah mengajarinya banyak hal. Basyir mengajakku sebentar ke kamarnya—persis di sebelah kamarku, kami bercakap-cakap, bercerita. Tidak ada lagi poster Muammar Khadafi, atau quote suku Bedouin di kamar barunya.
“Aku sudah utuh sebagai ksatria suku Bedouin, Bujang. Aku tidak memerlukannya lagi. Semuanya sudah mengalir dalam tubuhku, di setiap hela nafasku, akulah penunggang kuda itu.” Basyir menjawab mantap—ada banyak yang berubah darinya, kecuali yang satu ini, dia tetap Basyir yang dulu. 
Dia memperlihatkan foto-foto keluarga angkat yang menampungnya di gurun pasir. Tenda-tenda, kuda-kuda, unta, sekumpulan orang yang mengenakan jubah, sorban, di belakangnya debu dan pasir mengepul tinggi. Basyir memperlihatkan belati miliknya, khanjar. “Aku peroleh senjata ini setelah memenangkan pertarungan melawan belasan orang. Tidak mudah, tapi belati ini simbol penting, kehormatan Suku Bedouin, harga diri.” 
Dari cerita Basyir, aku tahu jika dia tidak hanya menghabiskan waktu di gurun, dia juga melakukan perjalanan ke Afrika, terlibat dalam pergolakan politik lokal, bergabung dengan kelompok-kelompok milisi di sana, juga menyeberang ke Afganistan, terjun dalam pertikaian antar suku, berperang bersama pemberontak, berperang melawan tentara asing. Basyir melakukan apapun untuk mengembangkan dirinya, melatih kemampuannya. Dia ingin lebih kuat, lebih cepat dibanding siapapun. Tiga tahun berlalu, sepertinya Basyir berhasil mencapai apa yang dia inginkan, meski harganya tidak murah. Dia menyingkap pakaian yang dia kenakan, ada belasan bekas luka ditubuhnya. Dia pernah disiksa di penjara mengerikan milik milisi selama sebulan, berhasil meloloskan diri. Pernah terkapar pingsan berhari-hari di gurun, hingga pasir menimbun separuh tubuh. 
“Aku tidak sabar menunggu kembali beraksi bersama tukang pukul lainnya. Beraksi bersamamu, Bujang, bahu-membahu mengalahkan musuh.” Basyir mengakhiri cerita, “Kopong sudah menjelaskan banyak hal. Tidak lama lagi kita akan menjadi penguasa di ibukota.”
Aku mengangguk. Itu akan menyenangkan.
Hari ini sepertinya semua berjalan sempurna. Aku telah pulang menyelesaikan pendidikanku, Basyir juga telah kembali. Kami kembali berada di tengah Keluarga Tong, keluarga yang membesarkan, memberikan banyak kesempatan. Kami telah pulang.
***
Malamnya, jamuan makan diadakan di gedung utama. Meja-meja panjang dipenuhi makanan lezat, ratusan tukang pukul duduk dikursi, segera sibuk menghabiskan isi piring, disela-sela percakapan.
Aku duduk satu meja dengan Tauke, Kopong, Mansur, Basyir dan beberapa tukang pukul penting. Pelayan hilir mudik membawa nampan makanan dan botol minuman. Mereka sudah hafal, tidak ada satupun minuman beralkohol di hadapanku.
“Sejak kapan Tauke mengumpulkan barang seni di rumah ini?” Aku bertanya, mencomot sembarang percakapan—karena sejak tadi mereka terus bertanya tentangku.
“Ah, itu,” Mansur yang menjawab, “Sejak dua tahun lalu, Bujang. Kau yang memberikan kami ide.”
Aku menatap tidak mengerti. Aku? Kapan aku bilang?
“Tidak secara langsung memang, tapi kau pernah menulis barang seni adalah salah-satu investasi terbaik sekaligus cara mencuci uang. Lukisan misalnya, dengan harga belasan hingga puluhan juta dollar, bisa menjadi alat yang sangat efektif mengalirkan uang dari dunia hitam menjadi legal. Maka Tauke menyuruh orang-orang mengikuti lelang barang seni di berbagai negara. Dua tahun terakhir, Tauke mengumpulkan banyak lukisan, keramik, peninggalan bersejarah. Salah-satunya yang ada di kamarmu, itu dibeli dengan harga tiga puluh juta dollar di pasar gelap. Kau suka lukisannya, Bujang?”
“Kalian membaca skripsi sarjanaku?” Aku tidak menjawab pertanyaan Mansur, sepertinya aku paham arah percakapan.
Tauke Besar terkekeh, “Aku bahkan membacanya berkali-kali, Bujang. Itulah gunanya kau sekolah, agar ada di keluarga ini yang berpikir. Skripsimu itu hanya menumpuk dalam lemari universitas, tapi aku tahu itu sangat penting, bisa memberikan banyak ide. Aku menyuruh Mansur mengambil copy-nya dari sana. Kau telah menulis dengan sangat detail tentang dunia itu. Tentang keluarga-keluarga penguasa yang lebih tua dan lebih maju dibanding kita. Apa istilahmu, ah iya, shadow economy. Ekonomi bayangan. Mansur dan beberapa staf pentingnya juga membaca skripsimu, aku menyuruhnya. Hanya Kopong yang tidak, dia pusing dan mual-mual macam sedang hamil setelah membaca dua halaman.”
Aku akhirnya ikut tertawa. Kopong juga tertawa di sebelahku.
Separuh jalan jamuan makan, Tauke Besar berdiri, seluruh tukang pukul menatapnya, menghentikan percakapan dan gerakan sendok.
“Malam ini, kita menyambut kembali seorang anggota keluarga.” Tauke berseru, “Sama seperti minggu lalu saat jamuan untuk Basyir. Malam ini, anak angkatku, penjagaku, putra dari sahabat terbaikku, telah berhasil menyelesaikan pendidikannya. Dia telah tumbuh menjadi pemuda gagah, esok lusa, dia akan menjadi bagian keluarga kita yang sangat penting. Mari kita bersulang untuk Bujang.”
“Untuk Bujang!” Ratusan gelas terangkat.
“Untuk Si Babi Hutan!” Tauke berseru.
“Untuk Si Babi Hutan!”
“Untuk Keluarga Tong!” Tauke berseru sekali lagi.
“Untuk Keluarga Tong!” Ratusan tukang pukul menimpali. 
Ruangan makan itu terasa sangat khidmat. Aku tersenyum, tanganku juga terangkat ke atas.
Aku telah pulang. Berada di antara keluargaku. Tidak ada yang bisa merenggut rasa senang menggunung di hatiku. Hari ini berjalan sempurna.
***
Tapi aku keliru. Benar-benar keliru. Masih ada yang bisa mengubur semua rasa bahagia. 
Pukul setengah empat, pintu kamarku diketuk dari luar.
Aku memicingkan mata. Siapa? Basyir? Dia mengajakku melakukan sesuatu sepagi ini? 
Bukan Basyir yang muncul di balik pintu, melainkan Tauke Besar, bersama Kopong. Tauke masih mengenakan piyama, menyodorkan sepucuk surat kepadaku. 
“Ini apa?” Aku bertanya.
“Bacalah, Bujang.” Suara Tauke terdengar berat, wajahnya terlihat suram, penuh duka cita, “Baru tiba setengah jam lalu, aku sudah membacanya.”
Aku tiba-tiba teringat kejadian beberapa tahun lalu. Tanganku bergegas membuka lipatan kertas kusam, aku mengenali tulisan di atasnya. Itu surat dari Bapak.
“Anakku, Bujang.
Jika kau akhirnya membaca surat ini, maka itu berarti Bapak sudah mati. Aku menulis surat ini mungkin berminggu-minggu, atau berbulan-bulan sebelum ajalku tiba, kutitipkan surat ini kepada tetangga kita di talang, dengan pesan, jika aku sudah dikuburkan, tanah merah sudah menimbun jasadku, dia akan segera mengirimkan surat ini ke alamat Tauke Muda di kota provinsi, dan dari sana, entah bagaimana caranya, pastilah akan tiba kepadamu.
Bujang, saat menulis surat ini, kondisi Bapak sudah payah sekali. Bukan karena kaki Bapak semakin susah digerakkan. Atau pinggang Bapak yang sakit setiap malam. Melainkan, Bapak rindu Mamak kau. Saat tidur, aku selalu bermimpi bertemu dengannya, untuk kemudian terbangun, termangu di pinggir ranjang kayu, dia tiada di rumah lagi. Saat siang hari duduk di rumah panggung, sendirian menatap rimba lebat, Bapak seperti bisa melihat Mamak kau yang berjalan kesana-kemari, membersihkan rumah. Kupanggil dia dengan lembut, tapi sosoknya segera menghilang seperti asap ditiup angin. Bapak tahu, sudah dekat waktunya aku menyusul Mamak kau. 
Maafkan Bapakmu jika selama ini terlalu keras padamu, Bujang. Maafkan juga jika Bapak tidak pernah ada untukmu. Aku tahu, aku bukan Bapak yang baik, aku terlalu membenci masa lalu, saat masih pemuda seperti kau. Sungguh maafkan Bapak yang tidak pernah memelukmu sejak kau telah beranjak remaja. Terlalu besar gengsi yang Bapak miliki untuk melakukannya. Juga maafkan Bapak yang tak pernah berkirim surat menyatakan rindu, terlalu tinggi ego yang bapak tanam. Hingga semua sudah terlanjur semakin sulit. 
Kali ini, dengan tangan gemetar, Bapak tuliskan sepucuk surat perpisahan. Selamat tinggal, Nak. Hati-hatilah kau di sana. Turuti apapun perintah Tauke Muda. Lindungi dia dengan apapun yang kau miliki. Dia adalah satu-satunya keluargamu sekarang. 
Bapak kau, 
Mohammad Syahdan.”
Aku terduduk di atas kasur, kertas lusuh itu terjatuh ke lantai.
Ya Tuhan? Aku mendesis, tanganku mencengkeram paha, seolah ini hanya mimpi. Bangunkan aku, aku mohon, aku tidak mau berada di sini. 
“Kau baik-baik saja, Bujang?” Kopong bergegas memegang bahuku.
Aku sudah menunduk, menangis dalam senyap. Sayangnya ini bukan mimpi. Ini nyata sekali.
“Kau baik-baik saja, Bujang?” Kopong menggoyangkan badanku—yang beberapa detik seperti kaku. 
“Tentu saja dia tidak baik-baik saja, Kopong.” Tauke yang menjawab, kali ini berseru serak, menatapku iba, “Bapaknya mati. Bagaimana kau akan baik-baik saja dengan hal itu?”
Aku masih mencengkeram paha.
“Kabar ini mendadak sekali….” Tauke mengusap wajahnya, “Sial, kenapa Syahdan tidak bilang kalau dia sekarat berbulan-bulan terakhir? Aku bisa membawanya ke ibukota untuk berobat, memanggil dokter terbaik seluruh dunia, mengirimnya ke rumah sakit paling hebat. Dia selalu saja keras kepala, menyimpan semua sendirian. Dasar keras kepala…. Aku juga sedih sekali, Bujang. Syahdan adalah saudara angkatku. Dia mati sendirian di talang sana.”
Tauke terdiam, menghembuskan nafas. Kamarku lengang. 
Lima menit, Tauke mengajak Kopong keluar. 
“Bujang butuh sendirian, Kopong. Kau tidak bisa menghiburnya, dan jelas kau bukan penghibur yang baik, hanya membuatnya tambah sedih. Biarkan dia menerima kabar ini. Aku juga dulu butuh berbulan-bulan menerimanya saat Tauke Besar meninggal.” 
Tauke dan Kopong meninggalkanku. Pintu ditutup dari luar.
Aku meringkuk di atas ranjang. Memeluk lututku.
Sepuluh tahun lamanya aku telah meninggalkan talang di rimba Sumatera. Tak sekali aku pernah pulang menjenguk Bapak. Tak ada definisi pulang bagiku sejak Mamak meninggal, karena aku merasa inilah rumahku, Keluarga Tong. Bapak pastilah kesepian di sana, hari-hari terakhirnya sendirian, tanpa Mamak dan tanpa aku yang menemani. 
Wajah Bapak, kakinya yang lumpuh, caranya berjalan dengan tongkat. Tawanya yang samar, aku seperti bisa menyaksikannya sekarang, kepalaku seperti televisi yang memutar siaran ulang. Air mata mengalir di pipiku.
Dari jauh, adzan subuh terdengar sayup-sayup. Suaranya melintasi langit-langit gelap, merambat di udara, tiba di jendela kamarku, menyelinap lewat kisi-kisi.
Aku menangis tanpa suara. Kesedihan ini semakin dalam mendengar suara adzan tersebut.
Aku tidak terlalu dekat dengan Bapak, dia bahkan selalu keras mendidikku, Bapak sering memukulku jika aku melanggar peraturannya, apalagi saat mengetahui aku belajar mengaji pada Mamak, ilmu agama dari Tuanku Imam, pernah dia menangkap basah aku yang sedang belajar adzan, tak pelak dia langsung berteriak marah bagai babi terluka, memecut punggungku dengan rotan berkali-kali, membuat Mamak hanya bisa menangis menyaksikannya. 
Aku juga pernah dihukum berdiri di luar rumah panggung semalaman. Hujan turun deras, tubuhku menggigil kedinginan, tak semili daun pintu dibuka untukku, hanya karena Bapak menemukanku sedang membuka buku belajar shalat yang diberikan Mamak. Buku itu dibakar Bapak. Tapi benarlah kata orang, meski semua hal itu adalah kenangan menyakitkan, kita baru merasa kehilangan, setelah sesuatu itu telah benar-benar pergi, tidak akan mungkin kembali lagi. 
Suara adzan semakin lantang terdengar. 
Aku tergugu di kamar. Bapak telah pergi, menyusul Mamak. Selama-lamanya.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar