Jumat, 18 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

BAB 10 part 2. Pindah Ke Ibukota

Tauke Besar dan Kopong yang biasanya siaga atas segala hal benar-benar abai menghadapi situasi ini. Kesibukan pindah ke ibukota membuat mereka tidak bisa melihat skenarionya secara utuh. Kelompok Arab itu sengaja menyerang pelabuhan dengan cepat, lantas seolah melarikan diri, meninggalkan jejak. Mereka sejatinya tidak kemana-mana, mereka bersembunyi di dekat pelabuhan, menunggu saat yang tepat. Ketika ratusan tukang pukul berusaha mengejar mereka, mengikuti petunjuk palsu, tiga puluh anggota tersisa kelompok itu menyerang markas besar Keluarga Tong.
Itulah rasa aneh yang kurasakan tadi pagi. Betapa lengangnya benteng Keluarga Tong.
Cepat sekali serbuan mereka, dalam hitungan satu menit, mereka sudah berhasil menguasai pintu gerbang baja, meledakkannya. Mereka menyerbu parkiran bangunan utama, kembali melemparkan granat, menghancurkan sistem otomatis pintu besi sebelum diaktifkan pelayan—yang jika situasi darurat, akan menyegel semua jalan masuk ke dalam rumah dengan teralis besi. Tiga puluh kelompok Arab itu berseru-seru membawa pedang, mereka menghabisi siapa saja yang mereka temui. Jeritan pelayan terdengar di sana-sini, bertumbangan. Beberapa tukang pukul yang tersisa di rumah berusaha melawan, mereka keluar dari bangunan sayap belakang dan kanan, tapi mereka hanya bisa bertahan lima belas menit, menyusul terkapar di lorong-lorong bangunan. 
Darah mengalir di lantai.
Tere Liye : Pulang

Serbuan kelompok Arab ini lebih mirip kamikaze, mereka tidak peduli lagi apakah mereka akan berhasil keluar dengan selamat dari markas Keluarga Tong, bila perlu mereka mati bersama dengan sebanyak mungkin anggota Keluarga Tong. Dan rencana mereka berjalan mulus. Kopong dan ratusan tukang pukul justeru sedang berada puluhan kilometer dari markas. Benteng Keluarga Tong keropos, tidak ada yang menjaganya.
“Tenang! Semua tenang!” Tauke Besar berseru.
Beberapa pelayan meringkuk ketakutan di sekitarku, yang lain menjerit ketakutan. Kelompok Arab itu semakin dekat dari ruangan kerja Tauke. Mereka terus maju mulai masuk ke dalam bangunan utama.
Aku berdiri, meletakkan tumpukan berkas, nafasku mulai kencang. Cepat atau lambat, para penyerang akan tiba di ruangan ini. Tidak ada yang bisa menahan mereka.
Tauke bergegas melangkah ke mejanya, mendengus marah. Dia sudah terbiasa menghadapi serangan seperti ini. Berpuluh tahun hidup di dunia hitam, penyerbuan adalah hal biasa, dia masih memiliki rencana cadangan selain mengaktifkan teralis besi.
Tiga puluh anggota kelompok Arab itu sudah masuk ke lorong bangunan utama. Suara teriakan galak mereka terdengar, susul menyusul dengan jeritan pelayan di sepanjang lorong, mereka mengacungkan pedang, merangsek menuju ruangan kami.
Tauke Besar sudah menunggu, persis saat mereka tiba di depan pintu, Tauke menekan tombol di mejanya. Lorong itu meledak. Delapan dari anggota kelompok Arab terkapar seketika. Dan sebelum kelompok Arab itu menyadari apa yang terjadi, Tauke Besar menekan lagi tombol berikutnya, ledakan kedua yang lebih besar berdentum, pintu ruangan terbanting, dinding berguguran, kepul debu menguar dari lorong, masuk ke dalam ruangan. Sepuluh penyerang menyusul terkapar. Gerakan mereka terhenti, juga teriakan galak, debu di mana-mana.
Aku tahu apa yang sedang terjadi, Kopong sengaja memasang bom di lorong itu, yang bisa diledakkan dari tombol di atas meja Tauke Besar. Itu perlindungan terakhir yang dimiliki Tauke Besar, diledakkan jika kondisi sangat darurat.
Sialnya, tidak seluruh penyerang tewas, masih tersisa dua belas lagi. Mereka yang tidak menduga akan disambut dengan ledakan bom, menyaksikan rekannya terkapar, berteriak kalap, kelompok Arab itu muncul dari balik kepul debu dengan pedang teracung. Tubuh-tubuh tinggi besar itu berloncatan, dengan bebat kepala bertuliskan simbol mereka. Pelayan yang berada di ruangan menjerit ngeri, Mansur sudah meringkuk di bawah meja, gemetar hingga terkencing dalam celana. Aku tetap berdiri, posisiku paling depan, nafasku semakin kencang.
Tauke Besar meraih pistol dari dalam laci meja. Melepas tembakan ke depan, menyambut para penyerang. Dua dari kelompok Arab itu terbanting, peluru bersarang telak di dahi mereka. Tauke adalah penembak jitu, aku ingat saat di rimba Sumatera, hampir seluruh babi ditembak oleh Tauke. Pistol di tangan Tauke menyalak lagi, dua penyerang kembali terbanting. Hanya saja, amunisi pistol itu cuma enam, dua peluruh sisanya berhasil dihindari oleh mereka. Jarak mereka sudah semakin dekat, pedang teracung buas, masih sisa delapan orang lagi. Dalam perkelahian jarak pendek, pistol Tauke juga tidak berguna, dia butuh waktu mengisi ulang peluru. Kami terdesak, situasinya sangat genting, tidak ada yang bisa menolong kami. Penyerang ini berhasil tiba di jantung benteng Keluarga Tong.
Aku menggeram, tanganku terkepal. Inilah waktu yang kutunggu-tunggu. Tauke tidak pernah memberikan ijin kepadaku untuk melaksanakan tugas bersama tukang pukul lain, tapi pagi ini, takdirku datang menjemput dengan sendirinya. Aku lompat ke samping, aku ingat kotak kayu yang menyimpan pedang hadiah Guru Bushi untuk Tauke, aku menendang tutup kotaknya, mengait pedang itu dengan kaki, melemparkannya ke atas, dan persis saat pedang itu mengambang di depanku, tanganku menyambarnya, memegang kokoh hulunya, menyabetkannya ke depan.
Delapan lawan satu. Aku sungguh tidak takut. Tidak ada kata itu dalam kamus hidupku.
Bahkan entah apa yang terjadi denganku, aku seperti bisa melihat semuanya dalam gerakan lambat. Gerakan delapan penyerang, jeritan ketakutan pelayan, Tauke yang reflek melangkah mundur di balik mejanya, pun pedangku yang bergerak cepat, menebas dada penyerang terdekat, membuatnya langsung terkapar di lantai. Ini sensasi yang baru kusadari, aku seperti sedang menari, menghindari serbuan penyerang. Sekejap, kakiku bergeser bagai seorang samurai sejati, tertekuk setengah badan, memasang kuda-kuda mantap, mengibaskan lagi pedangku ke depan. Serangan mematikan kedua. Seorang penyerang berteriak, pedangku menebas perutnya, berbusai.
Cepat sekali seranganku, di tengah kepul debu, tubuhku bergerak lincah bagai seorang ninja tak terlihat, dua penyerang tumbang. Tidak ada ampun, tidak ada keraguan, menebas musuh. 
Guru Bushi selalu bilang, “Ingat, Bujang. Jika kau tidak membunuh mereka lebih dulu, maka mereka akan membunuhmu lebih awal. Pertempuran adalah pertempuran. Tidak ada ampun. Jangan ragu walau sehelai benang.”
Aku menggigit bibirku, tubuhku meliuk menghindari dua sabetan pedang. Menunduk menghindari tusukan berikutnya. Lantas naik ke atas kursi, menggunakan ketinggian kursi itu untuk loncat ke depan, mendarat di belakang mereka, masih dengan posisi membelakangi, tanpa melihat penyerangku, pedangku menghujam dari bawah ke atas, dari depan ke belakang. Itu gerakan khas Guru Bushi, baru kukuasai setelah enam minggu berlatih. Penyerangku tumbang dengan luka menembus dadanya.
Tiga tewas, tersisa lima orang sekarang. 
Lima penyerang yang terhenti gerakannya.
Kelompok Arab itu menatapku jerih. Mereka seperti barusaja menyaksikan kengerian besar, saat tiga temannya tewas dalam hitungan detik. Aku balas menatapnya tanpa berkedip, nafasku memang menderu, jantungku berdetak kencang, tapi aku sangat terkendali. Darah penyerang menetes dari ujung pedangku. Rambut dan pakaianku kotor terkena debu.
“Siapa kau?” Pemimpin kelompok Arab bertanya dengan suara serak, pedang mereka masih teracung padaku, kapanpun bisa menyerang.
Aku mendesis, sebagai jawabannya balas mengacungkan pedang.
“Siapa kau? Aku tidak pernah melihatmu di antara tukang pukul Keluarga Tong.”
Aku tetap tidak menjawab, kakiku bergeser, memasang kuda-kuda.
Adalah Tauke Besar yang akhirnya menjawab, suaranya lantang di langit-langit, penuh rasa bangga, “Siapa dia? Dialah Si Babi Hutan! Jagal nomor satu di rumah ini.”
Lima anggota kelompok Arab itu saling tatap tidak mengerti.
Tauke terkekeh—tawa penuh kemenangan, “Kalian benar-benar keliru berhitung. Kalian pikir, dengan berhasil masuk ke ruangan ini kalian bisa membunuhku? Rumah ini tidak mudah ditaklukkan. Kalian justeru telah membangunkan monster keluarga ini.”
Debu sisa ledakan masih mengambang di sekitar kami.
“Habisi mereka, Bujang! Itu tugas pertamamu sebagai tukang pukul!”
Dadaku seperti mengembang mendengar perintah itu. Mataku berkaca-kaca menahan rasa haru. Dua tahun lamanya aku menunggu, dua tahun lamanya aku membujuk, pagi ini, Tauke Besar telah memberikan tugas pertama bagiku. Tidak akan kusia-siakan, akan kutunaikan tugas ini dengan baik.
Aku berteriak, pedangku bergerak, sebelum sempat mereka menyadarinya, satu penyerang sudah tumbang dengan dada terluka, menyusul satu lagi yang paling dekat denganku. 
Sisa perkelahian bisa ditebak dengan mudah, Tauke Besar juga sudah berhasil mengisi pistolnya, dua yang lain tumbang karena tembakan Tauke. Yang terakhir, pemimpin Kelompok Arab, sempat memberikan perlawanan selama tiga menit, melukai lenganku, juga menyobek bajuku, tapi lewat gerakan cepat, teknik kenjutsu, aku merobohkannya.
Delapan penyerang terkapar di lantai ruangan kerja Tauke. Lengang.
Pedang terlepas dari tanganku, aku menyeka keringat dan debu di pelipis.
“Kau baik-baik saja, Bujang?” Tauke berlari, mendekatiku.
Aku baik-baik saja. Tapi aku baru menyadari sesuatu. Pagi itu, aku baru tahu bagaimana rasanya membunuh. Tidak hanya satu, enam sekaligus. Membunuh mereka tanpa ampun.
Aku terduduk di lantai, menatap darah merah yang mengalir di atas marmer.
***
Kopong dan ratusan tukang pukul segera kembali saat menerima kabar penyerangan. Mereka tiba setengah jam, menemukan gerbang baja yang tergeletak, dinding bangunan utama yang berlubang, serta ruangan kerja Tauke Besar yang berantakan.
Dokter memeriksaku, memastikan aku baik-baik saja. Kopong menggenggam tanganku, berbisik tentang, betapa bangganya dia melihatku seorang diri mempertahankan seluruh kehormatan Keluarga Tong.
“Kau akan melupakannya, Bujang. Kau akan terbiasa.” Kopong berbisik, menenangkanku soal enam orang yang kuhabisi.
Aku menyeka dahi, mengangguk. Kondisiku sudah lebih baik.
Ada dua puluh orang lebih pelayan yang menjadi korban penyerangan tersebut. Juga empat penjaga pintu gerbang, enam tukang pukul yang tidak ikut mobil jeep. Sore itu juga, saat hujan deras turun, tubuh membeku mereka dikuburkan.
Meski Dokter melarangku, aku ikut pergi ke pemakaman.
Semua anggota Keluarga Tong hadir di sana, mengenakan pakaian hitam-hitam. Sudah lama sekali Tauke tidak mengalami hal ini, penyerangan besar. Puluhan anggota keluarganya tewas. Tauke memimpin upacara pemakaman.
“Penyerangan apapun yang tidak berhasil menghabisi kita, justeru akan membuat kita semakin kuat. Penyerbuan apapun yang tidak berhasil membenamkan kita, justeru akan membuat kita berdiri semakin tegak.” Suara Tauke terdengar serak.
“Kenapa Keluarga Tong terus bertahan hingga hari ini? Karena kita semakin kokoh. Kenapa kita masih berdiri di sini, bersama ratusan yang lainnya? Karena kita semakin besar! Siapa kita, hah? Siapa kita?” Tauke berteriak, mengalahkan suara hujan
“Keluarga Tong!”
“Keluarga Tong!”
Ratusan tukang pukul mengacungkan tangan, balas berteriak serempak.
“Nama-nama yang pergi hari ini akan dipahat di pualam dinding, tidak akan ada yang dilupakan. Kita akan mengingatnya, mengenang semua pengorbanan yang telah mereka lakukan. Seluruh kejayaan Keluarga Tong dibangun atas keringat dan darah anggota keluarganya. Kita akan terus berdiri tegak, tidak akan ada yang bisa menghalangi kita.”
“Hidup Keluarga Tong!”
“HidupKeluarga Tong!”
Ratusan tukang pukul kembali berteriak, saat puluhan peti mati dimasukkan ke dalam liang. Hujan membungkus prosesi pemakaman.
***
Malamnya, Kopong menyiapkan acara inisiasi bagiku.
Di aula mess belakang, pukul delapan, seluruh anggota keluarga kembali berkumpul. Kali ini mereka mengenakan jubah keluarga berwarna emas, dengan sulaman lambang Keluarga Tong berwarna merah, huruf T yang dililit naga. Tauke Besar duduk di depan, di atas kursi kayu, di sampingnya berdiri Kopong, Mansur, dan beberapa tukang pukul senior, yang lain berdiri memenuhi aula hingga belakang.
Aku mengenakan pakaian putih polos, melangkah dari pintu menuju tempat duduk Tauke. Semua orang menunduk, memberikan salam. Aku balas menunduk. Aku sudah hafal ritual inisiasi ini, dua tahun terakhir, aku menontonnya puluhan kali, bedanya, kali ini, akulah yang melintas di antara anggota keluarga lain.
Aku tiba di depan. Tauke Besar berdiri takjim dari kursinya. Kopong menyerahkan jubah keluarga kepadanya, Tauke memakaikannya padaku.
“Selamat bergabung dengan Keluarga Tong, Bujang.” Tauke tersenyum, menepuk pipiku dua kali.
Aku mengangguk. Balik kanan, menghadap yang lain, membungkuk sungguh-sungguh.
Ratusan tukang pukul balas membungkuk sungguh-sungguh, termasuk Kopong.
Simbol saling menghargai, saling menghormati, saling membantu.
Hanya sesederhana itu acara inisiasi Keluarga Tong. Sesuatu yang akhirnya kudapatkan setelah dua tahun tinggal di sana. Sesuatu, yang sejak hari itu, membuatku resmi sudah menjadi tukang pukul. Tauke tidak pernah lagi melarangku, bahkan jika itu termasuk menemani Kopong, Basyir dan yang lain, melaksanakan penyerangan besar.
Esoknya, dua kapal berangkat dari pelabuhan kota provinsi. Aku berdiri di geladak salah-satunya, menatap garis pantai yang semakin tertinggal.
Keluarga Tong bersiap menjemput masa depan gemilangnya. Aku juga bersiap mengejar karirku, aku sudah melupakan bagaimana rasanya berlarian di lereng rimba Sumatera. Entahlah apa kabar ladang padi tadah hujan Bapak dan Mamak. Apa kabar mereka berdua.
Aku tidak tahu.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar