Minggu, 13 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 7 : Pencuri Yang Pengecut (Part 2)

Latihan lari ekstrem itu membuat kakiku melepuh. Aku tidak bisa memakai sepatuku beberapa hari kemudian. Tapi latihan terus dilakukan, Kopong menyuruhku lari tanpa alas kaki. Selama berbulan-bulan hanya itu, berlari dari satu titik api unggun ke api unggun lainnya, hingga api unggun itu padam.
Siangnya aku berangkat sekolah. Bukan di sekolah sungguhan, tapi belajar dengan Frans di bangunan utama. Usiaku lima belas tahun, aku sudah tertinggal sembilan tahun pendidikan formal. Setiap kali selesai menemui Frans, aku membawa lebih banyak buku yang harus kubaca di kamar. Tapi ini berubah menyenangkan, dengan bisa berlatih bersama Kopong, aku tidak keberatan menghabiskan waktu membacanya. Juga tidak keberatan mendengarkan Basyir dan pemuda lain mengolok-olokku, memangilku ‘Profesor’. Aku berjanji akan mendapatkan nilai-nilai terbaik. Frans si Amerika juga guru yang mengasyikkan, dia mengajariku dengan cara menyenangkan.
Tere Liye : Pulang

Bulan demi bulan berlalu cepat. Basyir, pemuda-pemuda di mess sayap kanan tidak lagi sering menggangguku soal sekolah itu. Mereka sibuk. Tauke Besar mulai serius mengembangkan kekuasaannya di kota provinsi, hampir setiap hari terjadi perebutan territorial. Aku tidak ikut mereka bertempur, tapi setiap pagi saat sarapan, mereka bercerita, menceritakan perkelahian, sambil tertawa, saling mengolok mengingat kejadian sehari sebelumnya.
“Kau lari, Basyir, kami semua melihatnya.” Seorang pemuda berseru, tertawa.
“Aku tidak lari. Aku hanya mencari posisi bertahan yang lebih baik, sekaligus menunggu bantuan dari yang lain.” Basyir membela diri.
Mereka sedang membahas penyerbuan ke sentral perdagangan elektronik, mengambil alih teritorial itu dari kelompok lain. Pertempuran yang terjadi di lorong-lorong toko, gang-gang sempit, rumah-rumah padat.
“Jangan membantah, Basyir…. Sepertinya penunggang kuda suku Bedouin tidak sehebat yang dia ceritakan, kau lari terbirit-birit di kejar enam orang membawa golok besar.”
Wajah Basyir merah padam. Aku ikut tertawa melihatnya diolok pemuda lain. Menilik cerita mereka, tentu saja Basyir akan lari, tidak akan ada tukang pukul yang nekad menghadapi enam orang bersenjata tajam sendirian.
Tapi itu percakapan yang seru. Satu-persatu wilayah penting di kota provinsi jatuh di tangan Keluarga Tong. Kelompok-kelompok yang berhasil ditaklukkan hanya punya dua pilihan, tunduk pada kami, atau dihabisi. Hampir setiap malam aku menemukan ada tukang pukul yang pulang dengan badan terluka. Bahkan beberapa minggu kemudian, aku melihat Kopong dengan bebat besar di lengan kanan. Aku hendak bertanya itu luka apa, tapi Kopong lebih dulu membentakku agar terus berlari lebih cepat.
“Lebih cepat, Bujang! Kau lari macam ibu-ibu sedang mengandung.”
Aku mengangguk, berlari semakin kencang. Melupakan pertanyaanku.
Tiga bulan tinggal di rumah Keluarga Tong, aku mulai menyaksikan betapa mahalnya perebutan kekuasaan. Siang itu, saat gerimis membungkus kota, saat aku sedang berlatih mengerjakan soal bersama Frans si Amerika, terdengar seruan-seruan dari parkiran depan bangunan utama. Aku meletakkan buku, beranjak ke depan, diikuti Frans. Pintu gerbang baja dibuka, enam mobil jeep masuk. Halaman segera ramai oleh anggota keluarga.
Dari mobil jeep, diturunkan delapan tubuh yang telah membeku. Darah menggumpal di sekujur tubuh mereka. Pakaiannya robek, compang-camping. Delapan tukang pukul tewas diserang kelompok lain saat bertugas di pelabuhan.
Sore itu juga delapan orang itu dikuburkan, Tauke Besar memimpin sendiri penguburannya. Seluruh anggota keluarga hadir. Termasuk aku, melupakan pelajaran sekolah, segera mengikuti yang lain. Gerimis menderas, membuat basah seluruh tubuh. Wajah-wajah suram, kesedihan menggantung di lokasi pemakaman Keluarga Tong saat delapan tubuh kaku itu telah selesai dikuburkan.
“Kita akan membalasnya!” Tauke berseru, mengepalkan tangan ke udara. 
Anggota keluarga lain berteriak semangat.
“Balas! Balas!”
“Kematian mereka tidak akan sia-sia. Mereka mati demi keluarga kita. Keluarga Tong!” Suara Tauke tercekat, tangannya kembali teracung.
“Keluarga Tong! Hidup Keluarga Tong!” Yang lain balas berteriak.
Aku menunduk, menatap delapan gundukan tanah merah yang becek.
Ini adalah proses pemakaman pertama bagiku, untuk kemudian, berminggu-minggu lagi, aku mulai terbiasa menyaksikannya. Nisan-nisan baru bermunculan. Selain dicatat dalam hati kami, nama mereka yang gugur juga dipahat di dinding pualam ruangan Tauke Besar, sebagai penghormatan. 
Tapi Keluarga Tong tidak kehabisan tenaga. Setiap kali ada tukang pukul yang mati, maka penggantinya akan muncul dua kali lipat. Kopong merekrut banyak tenaga baru, dia mengambil orang-orang terbaik, setia dan bisa diandalkan dari seluruh penjuru kota. Benteng keluarga semakin besar, ada bangunan baru di sayap belakang untuk menampung lebih banyak orang. Juga tukang pukul yang disuruh tinggal di wilayah penting kekuasaan. Semua teritorial Keluarga Tong dijaga dengan kekuatan penuh.
Satu tahun yang sangat penting bagi Keluarga Tong, kami akhirnya nyaris menguasai seluruh kota provinsi. Hanya menyisakan daerah industri tekstil yang dikuasai kelompok Arab. Reputasi Keluarga Tong mulai terbentuk, tidak ada lagi yang berani main-main dengan kami. Nama Keluarga Tong juga mulai didengar hingga kota-kota lain, hingga seberang pulau. Tauke Besar bahkan mulai bersiap melebarkan sayapnya ke ibukota, dia mulai membeli kapal-kapal kontainer, terjun di bisnis eskpor-impor—sebagai kedok bisnis penyelundupan yang semakin meraksasa. Saatnya dia membawa keluarga kami menjadi lebih besar dan disegani.
Aku tidak pernah ikut satu pun pertempuran. Pertama karena Tauke melarangku, dan itu tidak ada tawar-menawar, kedua, aku sibuk dengan sekolahku. Satu tahun tinggal di sana, aku telah mendapatkan ijasah persamaan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Nilai-nilaiku sempurna. Frans si Amerika mulai memasang target, saat usiaku menjelang tujuh belas, aku harus memiliki ijasah persamaan sekolah menengah atas.
“Dengan begitu, kau yang ketinggalan sembilan tahun, membalik situasinya, akan lebih cepat satu tahun dibanding yang lain. Tauke ingin kau segera kuliah, Bujang. Kau akan menjadi tukang pukul pertama Keluarga Tong yang kuliah di universitas terbaik, bila perlu hingga ke luar negeri.”
Aku mengangguk.
Sama dengan Kopong, Frans si Amerika menjadi sahabat baikku. Dia telaten mengajariku, mencarikan buku-buku yang harus kubaca, memastikan aku bisa menguasai buku itu dengan menceritakan ulang padanya. Frans juga mengajariku banyak bahasa, mulai dari bahasa Inggris, Mandarin dan Jepang. Saat aku bosan mengerjakan soal, berlatih, dia akan mengajakku bercakap-cakap sambil membentangkan peta dunia—sebenarnya itu juga belajar, tapi disampaikan dengan cara yang berbeda.
“Aku berasal dari Amerika, Bujang.” Frans menunjuk peta,“Aku lahir dan besar di Texas, surganya kota judi. Kau lihat, inilah ibukotanya, Las Vegas.
Aku melongok, menatap peta warna-warni di atas meja.
“Texas adalah negera bagian terbesar kedua, sekaligus dengan penduduk terbanyak kedua di Amerika. Nyaris enam puluh persen penduduknya religius, rajin pergi ke tempat ibadah, tapi judi dan alokohol dilegalkan di sana. Sepanjang kau memenuhi syarat usia, tidak ada yang peduli kau mau berjudi, atau minum minuman keras di sana. Las Vegas adalah sentral perjudian dunia. Aku lahir di keluarga militer, tidak jauh dari kota Las Vegas, keluargaku keras dan disiplin. Saat lulus kuliah, aku bekerja menjadi diplomat, meninggalkan rumah, ditugaskan dibanyak negara. Hong Kong adalah favoritku. Kau lihat ini, kota Hong Kong, tidak jauh dari Makau, Taiwan dan Jepang.”
Frans si Amerika kemudian bisa menghabiskan waktu berjam-jam bercerita tentang Hong Kong, sehingga aku seolah bisa membayangkan gedung-gedungnya, jalanan, gang-gang, pelabuhan. 
“Aku punya anak laki-laki seusiamu, namanya White. Dia tinggal bersama Ibunya di Hong Kong, tempat penugasan terakhirku sebagai diplomat. White bercita-cita ingin menjadi marinir, anak itu memang suka berkelahi, sama seperti kau. White anak yang menarik, karena percaya atau tidak, dia juga pandai memasak. Masakannya lezat sekali. Entahlah, aku sebenarnya lebih suka dia menjadi koki dibanding meneruskan karir militer keluarga kami.”
Aku mendengarkan seluruh cerita Frans si Amerika. Frans bukan anggota Keluarga Tong, dia hanya datang saat diperlukan. Dia dekat dengan Tauke Besar, karena Tauke pernah menyelesaikan urusannya di ibukota. Aku tidak tahu detailnya, tapi itu pasti berurusan dengan dunia hitam. Toh, di Keluarga Tong, ada nasehat yang penting dihafal anggotanya, semua orang punya masa lalu, dan itu bukan urusan siapapun. Urus saja masa lalu masing-masing.
Latihan malamku juga semakin sibuk, lebih panjang. Setelah berlari bolak-balik dua puluh kali titik api unggun selama enam bulan, saat aku berpikir jangan-jangan Kopong hendak melatihku menjadi atlit lari Olimpiade, Kopong akhirnya menambah jadwalku dengan pelajaran berkelahi. Sesuatu yang sudah kutunggu-tunggu. Kopong ahli bertinju, gaya ortodoks, kekuatan tangan kanannya mengagumkan, tangan kanan Kopong bisa memukul KO orang dengan tubuh lebih besar darinya. Dengan sarung tinju seadanya, aku mulai berlatih bersamanya hingga larut malam. Terjatuh di pasir, tersungkur berkali-kali, Kopong tidak pernah main-main menghadapiku. Dia memukulku sekuat tenaga.
Kemudian kami akan menghabiskan waktu duduk di pinggir pantai, beristirahat sebentar sebelum kembali ke rumah. Aku bisa bercakap-cakap dengannya.
“Bagaimana sekolahmu, Bujang?” Tanya Kopong pada suatu malam.
Aku tahu, Kopong sudah berusaha bertanya dengan sangat ramah, tapi wajah sangarnya tetap tidak bisa ditolong. Hanya karena aku sudah lama menghabiskan waktu dengannya, aku tahu kalau Kopong tidak sedang mendelik marah, dia bisa menjadi teman bicara yang menyenangkan.
“Lancar. Tiga bulan lagi aku akan ikut ujian persamaan sekolah menengah atas.”
“Itu bagus, Bujang. Bagus sekali.” Kopong bergumam kepada langit malam, menatap lautan. Suara debur ombak pecah di pantai terdengar berirama.
“Aku tidak pernah sekolah. Menyentuh bangku sekolahpun tidak pernah. Aku hanya tahu berkelahi. Bagaimana rasanya sekolah, Bujang?”
“Bagaimana rasanya?”
“Iya? Apakah duduk di bangku sekolah memang spesial? Nikmat sekali?”
Aku tertawa, “Tidak ada. Sama saja dengan kursi panjang di mess.”
Kopong akhirnya ikut tertawa—menyadari betapa naif pertanyaannya.
“Kau harus sekolah tinggi, Bujang. Jangan sepertiku.” Kopong mengusap wajahnya, “Kau tahu, dulu Tauke Besar, maksudku Ayah dari Tauke sekarang, mengambilku dari pasar saat usiaku dua belas tahun. Aku yatim-piatu, tidak tahu-menahu siapa orang tuaku, menjadi anak jalanan sejak aku bisa mengingatnya. Mencopet, mencuri adalah pekerjaanku, sesekali nekad menjebol toko. Hingga suatu hari, aku tidak tahu sedang mencuri toko milik Keluarga Tong. Tertangkap basah. Sial sekali.
“Harusnya aku dipukuli hingga habis, tapi tukang pukul yang memergokiku justeru membawaku ke rumah Keluarga Tong. Bilang kepada Tauke Besar agar aku bisa tinggal di rumah, menjadi anggota keluarga. Tauke setuju memberikan maaf, dia bahkan memberiku tempat tidur, makan. Kau tahu siapa tukang pukul itu? Yang mengubah jalan hidupku menjadi lebih baik? Tidak lagi menjadi pencuri rendah? Bapak kau, Syahdan.” Kopong terdiam sebentar, tersenyum—senyuman yang membuat wajah sangarnya malah terlihat tambah sangar, seperti mendelik.
Aku menatapnya, itu cerita yang baru kudengar. Aku akhirnya mengerti kenapa Kopong bersedia mengajariku berkelahi setiap malam, juga dulu membujuk Tauke agar aku diijinkan berlatih. Di keluarga ini, masa lalu, hari ini, dan masa depan sepertinya berkelindan erat bagi setiap penghuninya.
Berbulan-bulan aku berlatih tinju dengan Kopong, saat aku berhasil memukul dagunya, membuat Kopong terhentak ke belakang, hampir KO jika aku tidak menyambar tangannya, latihanku selesai.
“Kau tidak apa-apa?” Aku bertanya cemas.
Kopong menggeleng, “Aku baik-baik saja. Itu pukulan yang bagus, Bujang. Sama sekali tidak kuduga. Sayangnya, itu berarti kau membutuhkan guru lain.”
Aku tidak mengerti. Dari puluhan malam berlatih tinju bersamanya, aku baru kali ini berhasil memukulnya, itu lebih mirip kebetulan. Tapi Kopong tidak banyak bicara lagi. 
Saat aku bertanya-tanya, siapa guru baruku, seminggu kemudian, di pinggir pantai hadir orang ketiga. Kopong memperkenalkannya, namanya Bushi, aku harus memanggilnya dengan Guru Bushi. Usianya lima puluh tahun lewat, rambutnya beruban, mengenakan pakaian tradisional berbentuk jubah, dengan ikat pinggang lebar. Dua katana terselip di pinggangnya. Cahaya api unggun menimpa wajahnya yang masih nampak gagah, dia jelas bukan orang sini. 
Aku membungkuk memberikan hormat. Sebagai balasan, Guru Bushi melemparkan salah-satu katana kepadaku, aku terkesiap menerimanya. Guru Bushi sudah mencabut katananya bahkan sebelum aku tahu harus kuapakan katana ini, Guru Bushi berseru menyuruhku bersiap, belum habis kalimatnya, belum sempat aku memasang kuda-kuda, dia sudah menebaskan pedang ke depan. Tanpa ampun, seolah kami bertarung sungguhan.
Aku tahu, pelajaran bertinjuku telah berakhir. Malam itu, aku belajar menggunakan senjata tajam—pedang. Langsung dari ahlinya, seorang samurai yang tersisa di jaman modern, didatangkan Kopong lewat kenalannya yang luas dari daratan Jepang. Kopong memberikanku guru terbaik. Guru Bushi, bukan hanya master dalam samurai, dia juga pernah menjadi seorang ninja. Itulah cara terbaik Kopong berterima-kasih atas jasa Bapakku dulu.
Waktu melesat dengan cepat. Setahun aku telah tinggal di Keluarga Tong. Aku sudah mulai melupakan lereng rimba Sumatera. Lupa rasanya berlarian di ladang padi tadah hujan, melompati parit-parit hutan, berjalan di atas pohon tumbang, atau menatap kabut putih menggantung setiap pagi. Pun aku telah melupakan malam itu, saat rasa takut diambil dari dadaku. 
Aku sedang serius merintis karir sebagai tukang pukul nomor satu.
Besok lusa, semua orang akan memanggilku “Si Babi Hutan”.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar