Senin, 28 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 17. Part 1: Hutang 40 Juta Dollar

Kembali ke sepuluh tahun lalu. 
Sama seperti saat kepergian Mamak, seperti ikan diambil tulangnya, kabar kematian Bapak membuatku kehilangan semangat.
Berhari-hari, aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Tidak tertarik saat disuruh melaksanakan tugas tukang pukul, pun tidak berminat membaca buku-buku—aku lazimnya selalu suka membaca. 
Membiarkan kursiku di meja panjang kosong saat sarapan, hingga pelayan memutuskan membawa makanan ke kamar, tapi itu sama saja, aku hanya menyentuhnya satu-dua sendok, kemudian menyuruh mereka membawanya keluar. Aku juga tidak menanggapi sapaan tukang pukul dan anggota keluarga lain, hanya Tauke Besar dan Kopong yang sering datang ke kamar, memastikan aku baik-baik saja. Tapi itu tanpa percakapan, aku hanya diam saat ditanya. Berdiri melamun menatap keluar jendela, atau menatap kosong lukisan Gaugin di dinding.
Tere Liye : Pulang

Tidak hanya sekali Kopong berusaha menemaniku, menghibur, mencoba bergurau. Aku tidak tertawa dengan lelucon Kopong—yang kadangkala sangat lucu. Tapi aku tidak berminat tertawa dalam suasana hati yang suram. Buat apa? Toh, setelah tawa tersebut, aku tahu persis, perasaan sesak itu akan kembali mengungkung, lebih menyakitkan.
Gagal. Kopong mencari akal lain, mencoba menceritakan masa lalu, tentang Bapakku, karena dia sempat mengenal Bapak selama delapan tahun, sebelum Bapak kembali ke kampung, mengajak Mamak menikah dan terusir dari keluarganya. Itu sepertinya ide yang menarik.
“Kau ingin mendengar cerita, Bujang?” Kopong bertanya pada suatu hari.
Aku tidak menjawab.
“Baiklah, diam berarti iya.” Kopong tertawa kecil, “Aku akan bercerita, Bujang. Kau dengarkan.”
Kopong memperbaiki posisi duduk.
“Bapak kau adalah tukang pukul yang pemberani, Bujang.” Kopong mulai bercerita.
“Kami pernah terjebak dalam sebuah penyerangan. Bapak kau, aku dan empat tukang pukul lainnya. Berenam kami masuk ke dalam sebuah kapal tanker, meminta uang tambat pelabuhan. Harusnya itu pekerjaan yang mudah, banyak kapal yang sudah tahu peraturannya, mereka sendiri mengirim awaknya,menyerahkan amplop, satu jam semua kerepotan di pelabuhan selesai. Urusan cukai, surat-menyurat, perijinan dan sebagainya lancar, kami yang mengurusnya. Termasuk jika kapal itu mendapat masalah dengan petugas, kami yang akan membereskannya. Mereka bisa melepas sauh.
“Sialnya, kapal tanker ini baru sekali merapat di pelabuhan kota provinsi, dia tidak mau memberi uang, nahkoda kapalnya menolak mentah-mentah. Mendengar kabar itu, Tauke Besar saat itu naik pitam, berteriak marah menyuruh tukang pukul masuk ke dalam kapal sialan itu, memberi pelajaran kepada nahkodanya, bahwa jangankan kapal, ikan teri pun jika dia merapat ke dermaga pelabuhan, maka ikan itu harus membayar uang tambat kepada kami. Tidak ada pengecualian” Kopong tertawa—lagi-lagi berusaha melucu.
Aku hanya diam, menatap lukisan Gaugin di dinding.
“Kami berenam berangkat, naik ke atas kapal, membawa senjata tajam, kami terlihat sangat menakutkan, apalagi Bapak kau, menyeramkan. Awalnya akan terlihat gampang, awak kapal menuruti perintah kami, patuh membawa kami ke ruang nahkoda untuk bertemu. Tapi separuh perjalanan ke sana, di lorong-lorong kapal yang sempit, puluhan awak kapal mendadak menyerang. Mereka membawa kunci inggris, pipa besi, balok kayu. Itu kapal mereka, jadi mereka mengetahui arena perkelahian. Kami berenam segera terdesak. Semua kacau balau, jumlah mereka lebih banyak, muncul dari setiap lorong, berteriak marah.
“Aku ingat sekali, hanya karena Bapak kau yang gagah berani, kami bisa bertahan hidup, sambil terus mundur, berusaha menyelamatkan diri. Badanku terkena hantaman balok kayu berkali-kali, kondisi tukang pukul lain juga payah, paha, tangan, punggung mereka biru dihantam pipa besi. Bapak kau sendirian berusaha menghalau awak kapal. Setengah jam berkutat hidup-mati, sejengkal demi sejengkal, kami akhirnya bisa keluar hingga geladak, Syahdan menyuruh kami lompat ke air, hanya itu satu-satunya jalan. Tanpa banyak tanya, kami segera lompat, melarikan diri.
“Itulah Bapak kau, Bujang. Selain berani, dia selalu bertarung dengan baik, memberikan yang terbaik. Dia tidak pernah panik atas situasi apapun, menyemangati yang lain agar tidak mudah menyerah. Awak kapal tanker berteriak marah saat kami berhasil berenang menjauhi kapal mereka. Itu kekalahan yang memalukan sebenarnya, baru kali ini ada kapal yang melawan membayar uang tambat. Syahdan menghadap Tauke, mengakui kegagalannya, bersedia dihukum. Aku pikir Tauke akan marah, tapi setelah menatap kami berenam yang basah kuyup, dengan tubuh biru, memar dan terluka, kusut sekali penampilan kami, Tauke Besar terkekeh, menepuk-nepuk pipi Syahdan. Bilang, setidaknya kami pulang dengan selamat itu sudah bagus.”
“Apa kemudian yang terjadi dengan kapal tanker itu? Itulah menariknya. Tauke Besar bisa saja mengirim lebih banyak tukang pukul, menghabisi awak dan nahkodanya yang keras kepala. Tapi Tauke memutuskan cara lain untuk memberi pelajaran, Tauke menghubungi pejabat pelabuhan yang selama ini sudah kami susupkan—orang kami. Pejabat itu memeriksa dokumen kapal, memeriksa isi kapal, lantas memboikot kapal tanker itu, tidak ada izin melepas sauh, kapal itu tertahan di pelabuhan karena ada dokumen yang tidak lengkap.
“Kau harus tahu, Bujang, hampir setiap kapal punya masalah dengan surat-menyurat. Ada yang memang menggampangkan masalah itu, ada yang walaupun sudah berusaha patuh, tetap kurang atau tidak memenuhi syarat, karena peraturan selalu diciptakan bertele-tele, penuh lubang jebakan. Nahkoda kapal itu menemui masalah ‘serius’. Dia memang bisa mengusir kami dari kapalnya, tapi dia tidak bisa melawan pejabat pelabuhan, karena itu adalah prosedur. Setelah dua hari tertahan, dengan putus-asa nahkoda berusaha menyuap pejabat dengan uang. Pejabat menolaknya mentah-mentah, bilang, dia tidak bisa disogok.” Kopong tertawa lagi.
“Sebenarnya Tauke Besar yang menyuruh pejabat itu bergaya menolak sogokan, seolah suci, tidak naksir dengan uang berapapun. Empat hari tertahan, Nahkoda kapal semakin terdesak, dia jelas harus segera berangkat, biaya yang dikeluarkan atas keterlambatan kapal sangat besar, hitungannya perhari. Muatannya juga akan terlambat, dia bisa didenda mahal oleh pemesan. Seminggu kemudian, Nahkoda kapal itu sendiri yang datang ke rumah Keluarga Tong, dia mengemis minta tolong agar kapalnya bisa melepas jangkar, berapapun dia harus membayar. Tauke mengangguk, menyuruh orang ke pelabuhan, menyetempel surat jalannya. Tidak sampai satu jam, semuanya beres, kapal itu bisa berangkat. Aku pikir, nahkoda itu akhirnya mengerti, jika sejak awal dia bersedia mematuhi kami, maka dia bisa berangkat tepat jadwal, semua baik-baik saja, dengan biaya yang hanya seperlimanya dari yang akhirnya dia keluarkan, dan kami tidak perlu memar menghadapi kunci inggris.”
Kopong mengakhiri ceritanya. 
Aku diam, tidak memberikan respon apapun.
Kopong mengusap rambutnya, wajah sangarnya tertekuk, “Kau tidak tertarik mendengar cerita lama itu, Bujang?”
Aku tetap diam.
“Tauke benar, aku sepertinya memang bukan penghibur yang baik, Bujang.” 
Sebenarnya bukan Kopong yang tidak pandai, cerita itu menarik, tapi kisah itu justeru membuatku teringat masa lalu. Lima belas tahun ketika Bapak menghilang, karena cintanya ditolak keluarga Mamak, lewat cerita-cerita Kopong aku jadi tahu persis apa yang dilakukan Bapak di kota provinsi. Rasa sakit hati, kebencian, Bapak berubah menjadi tukang pukul. Bukankah Mamak pernah bilang, Bapak saat kecil, remaja hingga usia dua puluh tahun, tinggal di kampung, menghabiskan banyak waktu disurau, belajar ilmu agama kepada Tuanku Imam. Tapi jalan hidupnya berubah drastis sejak penolakan, dia berubah menjadi tukang pukul Keluarga Tong. 
Entahlah, apakah lebih banyak luka di fisik Bapak, atau luka di hatinya. Aku tidak tahu. 
Aku menatap lukisan Gaugin, menyeka pipi, air mataku kembali keluar tanpa bisa ditahan. 
Hidup ini adalah perjalanan panjang, dan tidak selalu mulus. Pada hari keberapa, pada jam keberapa, kita tidak pernah tahu, rasa sakit apa yang harus kita lalui. Sesak. Kita tidak tahu kapan hidup akan membanting kita dalam sekali, membuat terduduk, yang kemudian membuat kita mengambil keputusan. Satu-dua keputusan itu membuat kita bangga, sisanya lebih banyak adalah penyesalan. Aku tidak tahu, apakah Bapak menyesal dengan kehidupannya? Apakah dia bahagia, setelah akhirnya menikah dengan Mamak yang terusir. Apakah di nafas terakhirnya dia tersenyum, lirih menyebut nama Mamak, atau justeru mengumpat penuh benci kepada keluarga Mamak.
“Astaga, kenapa kau menangis, Bujang? Kau tidak apa-apa?” Kopong terlihat panic.
Aku tidak menjawab, menyeka pipiku.
“Sial! Harusnya aku tidak perlu membahas kisah Bapak kau.” Kopong menepuk kepalanya sendiri, merasa amat bersalah, ”Dasar bodoh! Bodoh! Aku seharusnya tidak menceritakannya.”
Kopong meninggalkanku sendirian di kamar, dia masih terdengar menyesal di luar.
Tapi Kopong tidak menyerah. Dia kembali datang, datang dan kembali lagi datang di hari berikutnya. Berusaha menghiburku, menceritakan banyak hal—kali ini bukan tentang Bapak. Pernah dia menceritakan tentang daftar panjang pengkhianatan di Keluarga Tong.
“Semua orang bisa berkhianat, Bujang. Termasuk Tauke Besar. Dia bisa saja berkhianat.”
Aku menatap Kopong tidak mengerti. Kalimatnya sedikit menarik perhatianku.
“Iya, Tauke Besar juga bisa berkhianat. Aku pernah ditangkap oleh aparat militer yang membeking ruko judi dadu. Ruko itu ada di teritorial Keluarga Tong, aku datang kesana untuk meminta iuran dari mereka. Sial, ada enam aparat yang telah menungguku, dengan mudah membekukku, lantas menyekap, menyiksa, kemudian mengirim permintaan tebusan atau aku akan disiksa hingga tewas. Tauke Besar bisa saja mengkhianatiku dengan bilang tidak kenal-mengenal, membiarkanku sendirian di sana.”
Aku menatap Kopong. Apakah Tauke Besar melakukannya?
Kopong menggeleng, tersenyum, “Tentu saja dia tidak akan pernah membiarkan tukang pukulnya disiksa. Dia mengirim puluhan tukang pukul ke ruko itu sebagai jawabannya. Enam aparat militer itu dihabisi. Tauke tidak peduli jika itu mengundang masalah dengan markas militer, dia selalu melindungi kami apapun harganya. Tauke tidak pernah mengkhianati kesetiaan anak buahnya. Tapi ceritaku ini memberikan pelajaran, semua orang bisa berkhianat, Bujang. Jika dia memiliki motif dan kesempatan, dia akan melakukannya. Kau harus selalu waspada.”
Aku kembali menatap lukisan Gaugin.
“Hei, Bujang? Kau tidak tertarik dengan ceritaku?” Kopong terlihat kecewa, sejenak dia sudah senang melihat kemajuanku, yang bersedia berkomunikasi meski hanya dengan ekspresi wajah.
Aku tetap menatap lukisan di dinding.
Kopong kembali keluar kamar dengan muka tertekuk. Bergumam kesal.
Tapi Kopong tidak menyerah. Seminggu kemudian dia datang dengan ide baru, mengusulkan kepada Tauke agar meminta Guru Bushi ke ibukota, mengajariku seperti dulu di Tokyp. Tauke setuju, itu ide yang menarik, tapi Guru Bushi tidak setuju. Latihanku sudah selesai, aku sendiri yang harus melewati seluruh masalah hingga mencapai puncak tertinggi seorang samurai sejati. Demikian isi surat yang Guru Bushi kirimkan. Lagipula, dia juga sedang repot di Tokyo, si kembar berkali-kali membuat masalah di sekolahnya. Salonga juga menolak datang, lewat telepon dia bilang, sejak aku berhasil menembaknya dulu, maka selesai sudah semua latihan. Dia sedih atas kondisiku, berdoa agar aku segera membaik.
“Atau kau ingin pergi, Bujang?” 
Kopong bertanya, dia berdiri di depan bingkai jendela, menatap keluar. Pukul empat dini hari. Aku jatuh sakit tadi malam, badanku demam, menggigil, wajahku pucat, bibirku biru. Semua kesedihan ini, tubuhku yang berminggu-minggu kurang makan, kurang tidur, akhirnya tidak kuat lagi. Dokter bergegas memeriksa. Tauke menyuruh agar peralatan medis dibawa ke kamarku, infus, alat bantu pernafasan—memastikan aku mendapatkan perawatan terbaik.
Kopong menemaniku sejak tadi malam. Dia tidak meninggalkan kamar walau sedetik. Kopong mengalihkan tugas-tugas penting kepada tukang pukul lain.
“Kalau kau memang ingin pergi, Tauke Besar akan mengijinkanmu, Bujang. Pergilah. Kau akan menerima pengecualian sama seperti Bapak kau dulu. Kau bisa tinggal di kota lain, memulai hidup baru, melupakan Keluarga Tong. Boleh jadi itu akan membantu menghilangkan semua beban di hatimu, melupakan kesedihanmu mengenang Syahdan.”
Aku menggeleng dalam diam. Nafasku terasa panas, badanku masih menggigil setelah minum obat. Aku tidak mau pergi. Ini rumahku, Keluarga Tong adalah keluargaku. Di sinilah tempat aku dibesarkan, dan besok lusa, disini pula tempat aku pulang.
“Aku tidak pernah tahu rasanya kehilangan anggota keluarga, Bujang. Aku yatim piatu sejak aku bisa mengingatnya.” Kopong beranjak duduk di pinggir ranjangku, menatapku iba.
“Tapi sungguh, Bujang. Ijinkan aku memberitahumu sebuah rahasia kecil…. Bagiku, Syahdan seperti kakak kandungku, dia membawaku ke rumah Keluarga Tong, dia mengambilku dari jalanan yang hina dan tanpa masa depan. Aku dulu tidak sekuat sekarang, tubuhku ringkih, kurus, dekil. Hari pertama di rumah, aku menjadi bahan lelucon, diolok-olok, tapi apa yang bisa kulakukan? Aku tidak pandai berkelahi, terkena senggol sedikit, tubuhku tumbang.
“Tapi Syahdan tidak pernah menyerah, dia berkali-kali meyakinkanku, bilang aku bisa seperti anggota keluarga lainnya. Dia selalu menghiburku saat aku sedih, dia selalu memotivasiku saat aku kehilangan semangat. Dia selalu ada bagiku, Kopong, anak jalanan yang apalah artinya…. Saat Tauke membacakan surat itu, kabar kematian Syahdan, hatiku juga tercabik, Bujang. Sedih sekali, hanya karena aku harus terlihat kuat, maka aku tetap menjalani semuanya.” Kopong diam sejenak, suaranya serak.
“Kau harus melewatinya, Bujang. Percayalah, di rumah ini, semua orang menyayangi dan menghormatimu. Mereka bisa menjadi pengganti Syahdan yang telah pergi. Kau harus sembuh, kembali kuat. Aku akan membantumu, aku tidak akan pernah menyerah walau kau akan mengusirku, walau kau tidak tertawa atas setiap leluconku, sama seperti Bapak kau yang tidak pernah menyerah kepadaku.” 
Aku terdiam, menggigil. Mataku panas, berair.
Suara adzan subuh terdengar lamat-lamat dari jauh. Melintas masuk ke dalam jendela. 
Aku juga punya rahasia kecil, yang tidak pernah kuberitahu kepada siapapun. Setiap kali mendengar adzan subuh, maka hatiku seperti diiris sembilu. Sakit sekali. Hampir semua momen kesedihan milikku, tiba saat adzan subuh. Panggilan shalat itu menusuk-nusuk kepalaku. Tidakkah mereka tahu, ada banyak orang terganggu dengan suara itu. Tidakkah mereka menyadari, teriakan mereka mengembalikan kenangan buruk masa kecilku. 
Tubuhku semakin menggigil. Air mata mengalir di pipiku. 
Kenangan masa remaja kembali muncul di pelupuk. Saat Tauke mengajakku berburu. Saat Tauke memintaku ikut ke kota. Juga saat Bapak dan Mamak bertengkar di dapur. Saat aku memutuskan pergi dari rumah, bukan karena semata-mata karena aku ingin pergi, tapi agar aku bisa jauh dari Bapak. Agar Bapak tidak menyakiti hati Mamak setiap kali mengetahuiku belajar agama. Bapak membenciku, karena setiap melihatku, dia akan teringat dengan Tuanku Imam.
Aku tahu itu.

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar