Rabu, 16 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 9 Part 2. Penyerbuan Kasino

Aku segera bergerak cepat, menunduk, mencabut pistol colt, menembak panel elektronik pintu baja. Percik api keluar saat panelnya hancur. Pintu itu berdebam keras, menutup, dan tidak bisa dibuka lagi dari dalam. Rentetan peluru dari ruang meditasi mengenai pintu baja. Rencanaku berhasil, aku sudah mengurangi jumlah musuhku, putra tertua Keluarga Lin dan puluhan tukang pukul akan tertahan di dalam sana hingga mereka bisa membuka pintu baja secara manual.
Tapi masih ada puluhan tukang pukul yang berjaga-jaga di lorong. Sekali mereka mendengar teriakan putra tertua Keluarga Lin, mereka reflek mengangkat M16. Puluhan senjata menyalak di depanku, tukang pukul yang berjaga di lorong segera menyerbu. Aku lompat ke balik keramik-keramik raksasa, yang langsung hancur berkeping-keping terkena peluru, tubuhku terus berguling menuju tiang pualam, tempat perlindungan yang lebih baik, sambil balas menembak. Tiang itu mulai rontok, berguguran, seperti remah roti. Aku mengeluh dalam hati, sialan, kemana si Yuki dan Kiko? Sekarang adalah tugas mereka, mengalihkan perhatian. Aku tidak akan bertahan lima menit di bawah hujan peluru.
Aku menarik telepon genggam dari saku.
“Kalian ada di mana?” Aku berteriak, berusaha mengalahkan hingar-bingar suara tembakan.
“Sedikit lagi tiba, Bujang.”
“Astaga! Ada setidaknya dua puluh senjata M16 menembakiku saat ini, dan akan ada puluhan yang lain segera datang ke lantai 40, kalian ternyata belum tiba?”
“Ini semua salah Yuki, dia keasyikan berjudi di bawah—“
“Segera Kiko!! Atau aku tidak akan membayar kalian walah sebatang emas pun.” Aku mendelik, menutup telepon, kembali menembak ke depan. 
Tere Liye : Pulang

Satu menit berlalu, aku berhasil menembak enam orang tukang pukul, tapi rentetan peluru M16 seolah tidak ada habisnya. Tiang tempatku berlindung hampir runtuh. Dua orang tukang pukul terlihat bergabung di ujung lorong, membawa pelontar granat. Aku menyumpah dalam hati. Apa yang harus kulakukan sekarang? Jika situasinya begini, lebih baik aku kembali masuk ke dalam ruangan dengan pintu baja, setidaknya aku punya kesempatan mengurus putra tertua dan pasukannya di sana. Menghadapi pelontar granat?
Dua orang itu mengangkat senjatanya, siap menembak. 
Saat itulah, dari ujung lorong, terlihat masuk seorang pelayan bersih-bersih, dia mendorong gerobak peralatan bersihnya. Tidak ada yang memperhatikan, karena itu hal lumrah, hanya seorang pelayan yang terjebak dalam pertempuran dunia hitam, beberapa dari pelayan sebenarnya sudah sejak tadi segera lari, atau meringkuk ketakutan berlindung. Tapi aku mengenalinya, pelayan yang satu ini justeru merangsek ke dalam pertempuran.
Pelayan itu adalah White, dia mengeduk sesuatu dari gerobak cleaning service-nya, mengeluarkan senjata mitraliur, Thompson Sub Machine Gun yang bisa memuntahkan seratus peluru per menit. Segera melepaskan tembakan ke depan, membantuku. Dua tukang pukul yang mengangkat pelontar granat tersungkur, senjatanya menyalak saat tubuh mereka jatuh, menembak sembarang rekannya, meledak, granat itu menghancurkan dinding beton lantai 40. Dari kejauhan kota Makau pasti terlihat jelas ledakannya.
Tukang pukul yang mengepungku menoleh kaget. White sudah menunggu mereka, dia mengirim tembakan mematikan, membersihkan lorong di depanku. Tukang pukul Keluarga Lin bertumbangan seperti daun rontok, juga keramik-keramik besar, rata dengan lantai. Aku keluar dari balik tiang, menepuk-nepuk pakaianku yang berdebu.
“Kau baik-baik saja, Bujang?” White bertanya dari seberang.
Aku mengangguk, segera mendekatinya, melangkahi tubuh tukang pukul yang bergelimpangan, “Terima kasih, White. Kau datang tepat waktu.”
“Aye-aye, Bujang.” Satu tangan White mengambil sepucuk AK dari gerobak dorongnya, melemparkannya kepadaku. 
Aku menerimanya. Aku butuh senjata baru, peluru pistol colt-ku habis. White memberikan tas punggung, sebagai wadah kotak pemindai, aku memasukkannya ke dalam tas, menyelempangkannya ke pundak. Kami harus bergegas meninggalkan lantai 40, segera menuju titik pelarian.
“Masih ada sepuluh lantai hingga kita tiba di atas gedung, Bujang. Semua lantai penuh oleh tukang pukul, aku sudah memeriksanya sejak tiba tadi siang menyamar menjadi pelayan bersih-bersih. Tidak akan mudah melewati mereka.”
Aku mengangguk, sambil mengutuk dalam hati, ini seharusnya tugas Yuki dan Kiko, pengalih perhatian. Jika mereka melakukan tugasnya dengan baik, aku dan White bisa naik lebih mudah. Saat aku tidak sabaran hendak menelepon mereka lagi, mendesak mereka agar cepat bekerja, akhirnya si kembar itu mengerjakan tugasnya. Lampu seluruh gedung Grand Lisabon mendadak padam.
Itulah pengalih perhatiannya. White melemparkan kaca mata infrared kepadaku. Aku mengenakannya, saatnya kami bergerak di tengah gelap. Waktuku tidak banyak, genset cadangan akan berfungsi dalam hitungan menit.
Aku memimpin di depan, White mengikutiku. Segera meninggalkan lorong lantai 40.
Empat tukang pukul muncul di ujung lorong, aku menarik pelatuk AK, menghabisinya tanpa ampun. Empat orang lain muncul dari ruangan di belakang, giliran White menembakinya. Itu strategi yang kami sepakati tanpa bicara, aku berjaga di depan, Wahite membersihkan belakang. Kami segera berbelok menuju tangga darurat, lift mati. Menaiki anak tangga darurat.
Tapi itu tetap tidak mudah. Kami segera masuk ke dalam arena baru pertempuran. Tukang pukul ini tidak bodoh, mereka dengan segara bisa tahu kami akan melarikan diri lewat tangga darurat. Aku berjaga-jaga di depan terus naik, menembak apapun yang muncul di depan, sementara White di belakangku, menembaki ke bawah, para pengejar. Tukang pukul ini seperti air bah, semakin lama semakin banyak.
Masih empat lantai lagi, dan situasi semakin rumit. White yang menahan serbuan dari bawah terdesak, anak tangga darurat sudah berlubang di sana-sini. Aku juga kesulitan naik, ada banyak tukang pukul menunggu di atas.
“Kau baik-baik saja, White?” Aku berteriak, sambil terus menembaki tukang pukul yang turun.
“Buruk, Bujang! Amunisiku hampir habis.” White balas berteriak.
Aku mendengus, masalah kami akan bertambah serius jika genset darurat tiba-tiba menyala, keunggulan kami dengan kacamat infrared akan hilang. Tukang pukul ini dengan mudah akan mengetahui posisi kami.
“Peluruku habis, Bujang!” White berteriak dua menit kemudian, “Apakah kita keluar? Masuk ke lantai berikutnya, mencari jalan lain? Plan B?”
Aku mengutuk dalam hati, tinggal dua lantai lagi. Jika aku kembali ke ruangan, bagaimana aku bisa tiba di atap gedung, tempat aku bisa melarikan diri? Kami tidak bisa menggunakan lift untuk turun atau naik, seluruh pintu dijaga oleh mereka. Peluru berdesing di kepala, debu mengepul di sekitar, aku merunduk mencari tempat berlindung. White beringsut mendekatiku, dia telah melemparkan senapan mitraliur ke bawah—amunisi terakhir. Kami terpojok di anak tangga darurat.
Saat aku hampir memutuskan untuk keluar dari tangga darurat, Yuki dan Kiko, si kembar itu akhirnya bergabung dalam pertempuran, mereka datang dari lantai bawah, menembaki tukang pukul, membersihkan para pengejar. Tukang pukul itu tidak menduga kehadiran si kembar, mereka dengan cepat dibersihkan.
“Kalian dari mana saja?” White berseru kesal.
Yuki tertawa, “Ayolah, Marinir. Jangan terlalu serius. Seharusnya kalimat pertama yang kau ucapkan adalah, terima kasih telah membantu.”
Kiko melemparkan senjata baru dengan amunisi penuh kepada White. Mereka memakai kacamata infrared, bergaya dengan senapan berat, tapi berpakaian seperti turis yang habis berjudi di meja poker.
White menepuk dahinya, tidak percaya melihat pakaian si kembar. Gaun.
“Kita harus bergerak cepat, White. Lampu bisa menyala kapanpun.” Aku bergegas mengingatkan, ini bukan waktu yang tepat untuk bertengkar.
“Santai saja, lampu akan padam hingga mereka bisa memperbaiki genset daruratnya, Bujang.” Yuki melangkah tenang, dia mengambil inisiatif memimpin rombongan.
“Iya, sebagai bonus keterlambatan, kami juga meledakkan genset daruratnya jika itu pertanyaannya.” Kiko menyusul saudara kembarnya.
Mereka berdua segera terlibat tembak-menembak, menghabisi tukang pukul di lantai berikutnya. Tanpa para pengejar dari bawah untuk sementara waktu, kami bisa bergerak cepat. Akhirnya tiba di atap gedung, menuju helipad.
“Mana helikopternya, Yuki!” Aku berseru, berlarian. Tidak ada apa-apa di atas Grand Lisabon. Kosong.
“Kiko salah memesan helikopternya, Bujang. Dia keliru menyebut nama gedung, helikopter itu ada di helipad gedung seberang.” Yuki tertawa.
“Astaga? Tidakkah kalian bisa serius sedikit?” White terlihat marah, dia sedang sibuk menembaki tukang pukul yang muncul dari pintu belakang. Tukang pukul ini tidak ada habis-habisnya.
“Lantas bagaimana kita bisa pergi dari sini, Yuki?” Aku menatapnya, ini sudah berlebihan. Kami terdesak, tidak bisa main-main lagi. Aku sudah memberikan instruksi detail sekali di kertas kecil saat bertemu di feri. Aku membutuhkan helicopter untuk melarikan diri dari puncak Grand Lisabon.
“Jangan cemas, Bujang.” Yuki tersenyum, dia masih memimpin di depan.
Kami tiba di pinggir gedung. Ada gondola pembersih kaca jendela di sana. Kami akan turun dengan ini? Tidak mungkin, di bawah sana, puluhan orang sudah menunggu.
Yuki menyingkap kain yang menutupi gondola, ada pelontar panah di baliknya, dengan gulungan tali. Dia mengangkat pelontar panah, memasang anak panah dengan cepat, mengikatkan tali, mengarahkannya ke depan, ke gedung yang terpisah seratus meter dari kami. Yuki memicingkan mata, membidik, lantas melepaskan anak panah.
Anak panah dari logam itu melesat cepat melintasi langit-langit kota Makau yang gelap, membawa tali panjang, tiba di atap gedung seberang yang lebih rendah. Seseorang di atap sana telah menunggu, segera mengambil tali, mengikatnya dengan kokoh. Kiko mengikat ujung satunya di atap gedung kasino. Jalur pelarian kami sudah siap.
“Ladies first!” Yuki mengambil alat meluncur di dalam gondola, memasangnya di tali yang terbentang, dan sebelum aku sempat bicara, Yuki sudah santai lompat.
Tubuhnya melesat menuju gedung seberang.
Kiko menyusul kemudian. Tertawa, “Ini seru sekali.”
“Kau duluan, Bujang.” White masih sibuk menahan para tukang pukul.
Aku mengangguk, mengambil alat peluncur. Sedetik, tubuhku sudah menggelantung di atas tali.
White lompat lima detik kemudian, satu tangannya bergelantungan, satu lagi sibuk menembaki tukang pukul yang mendekat.
Empat tubuh kami melintasi tali, bergelantungan, tiba di atap gedung seberang dalam hitungan detik. Di bawah sana, seratus meter tingginya, terlihat jalanan kota Makau yang gemerlap, dipadati mobil-mobil. Aku bisa melihat orang-orang berkerumun di depan Grand Lisabon, tamu hotel dan pengunjung kasino sedang dievakuasi, kebakaran hebat di lantai 40, listrik seluruh gedung padam.
Yuki memutus tali dengan belati saat White tiba, membuat empat tukang pukul yang nekad mengejar, ikut bergelantungan dengan alat seadanya, berteriak panik, mereka terjatuh ke jalanan kota Makau.
Aku menghela nafas, helikopter kami terparkir di atas helipad gedung. Mesinnya menyala, sudah menunggu. Kami berempat berlari cepat, naik ke atas helikopter, pilotnya segera menarik tuas, mengudara ke langit gelap, menuju bandara Makau. 
Misiku berhasil dengan sempurna. Prototype pemindai itu telah berada di tangan Keluarga Tong. Yuki dan Kiko tertawa di depanku, melepas kaca-mata infrared. White mengusap wajah di sebelahku, kemudian melepas seragam petugas bersih-bersih. 
Aku menatap untuk terakhir kalinya gedung Grand Lisabon yang mengepulkan asap tebal.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar